Oleh: Bambang Wibiono
Saat ini rakyat Indonesia kembali dilanda musibah yang besar. Di saat berjuta rakyat kita yang hidup dalam sebuah penderitaan—yang untuk dibayangkan saja kita tak sanggup—pemerintah SBY-Boediono kembali mengeluarkan kebijakan yang sangat menyakitkan hati rakyat, khususnya rakyat kecil. Belum sempat rakyat kita mampu menyesuaikan diri dengan keadaan mahal dan langkanya harga kebutuhan pokok, kini akan ditambah lagi dengan kenaikan harga tarif dasar listrik.
Jaman modern seperti ini, listrik sudah menjadi kebutuhan dasar setiap masyarakat. Dahulu, Indonesia pernah mencetuskan konsep modernisasi yang diagung-agungkan oleh bangsa barat. Kemajuan teknologi dengan sendirinya mengharuskan adanya ketersediaan sumber energi, diantaranya adalah listrik.
Akhir-akhir ini, kita sudah terbiasa dengan pemadaman listrik secara bergilir. Banyak pelaku usaha yang merasa rugi atas kebijakan ini. Tetapi, apakah pemerintah pernah berpikir mengenai kerugian sebagian besar penduduk negeri ini yang miskin? Dengan entengnya pemerintah mengkampanyekan hemat energi dan hemat listrik. Apakah anjuran itu berlaku juga bagi kediaman para pejabat negara? Apakah kebijakan itu berlaku juga pada kantor-kantor pemerintah di pusat, atau kantor-kantor swasta milik perusahaan raksasa di negeri ini? Kemungkinan besar itu tidak berlaku.
Ternyata kemerdekaan tidak menjamin bahwa keamanan, kenyamanan dan ketentraman akan didapat. Ternyata reformasi tidak seperti yang diarapkan oleh kita semua. Ternyata kolonialisme dan imperialisme tidak hanya terjadi pada jaman tradisional, namun dia bisa datang menyesuaikan diri pada jaman modern saat ini. Bahkan wajah imperialisme ditutupi oleh ‘kebaikan’ yang dinamakan dengan pembangunan dan pertumbuhan.
Setiap detik kita dengar jerit tangis manusia-manusia tak berdosa yang tak kuat menahan cobaan hidup. Setiap hari selalu ada orang yang tak bisa makan karena tidak ada yang dimakan. Tiap hari pula kita melihat tindak kriminal akibat masalah makan. Setiap hari selalu ada orang yang mati akibat tidak adanya biaya untuk berobat dan tidak ada yang mau peduli. Cobaan yang demikian luar bisanya yang selalu menimpa mereka-mereka yang tidak pernah tahu apa salahnya. Mereka semua tidak pernah berharap dan tidak pernah mau mendapat cobaan yang demikian berat yang hanya untuk dibayangkan saja sudah tak sanggup. Tetapi di sisi lain negeri ini masih pula kita dengar suara terbahak orang yang sedang menikmati indahnya hidup, masih kita dengar dengkuran orang yang tidur akibat kekenyangan, masih pula kita dengan suara orang bersenandung dalam gemerlap pesta meriah.
Aubade penderitaan hidup inilah yang setiap detik, setiap jam, dan setiap hari kita dengar, dan kita lihat lewat media. Seakan hidup tak pernah adil dan berpihak pada mereka yang memang tak sanggup menghadapi hidup. Roda kehidupan seperti enggan untuk berputar meski hanya untuk sesaat untuk membalik semua keadaan, bahkan untuk sedikit condong saja pun tak mau. Apakah roda kehidupan ini telah lelah dimakan jaman sehingga tak mampu berputar? Atau roda kehidupan memang tak mampu menahan bebannya setiap saat untuk berputar? Entahlah…tetapi itulah kenyataannya. Kehidupan ini seperti berhenti pada satu titik. Masih adakah keadilan untuk mereka?
Setiap saat selalu didengungkan keadilan. Setiap saat selalu bicara kepentingan rakyat kecil. Setiap saat selalu bicara soal kemakmuran dan kesejahteraan. Semua celotehan yang tak berguna itu tak banyak membantu. Semua itu hanyalah layaknya nyanyian burung berkicau di pagi hari yang indah dan menyejukan bagi yang mendengar. Tetapi, ketika kita sadar akan kenyataan, kita akan mulai mual, muak, benci akan hidup. Hiburan sesaat itu tak banyak membantu.
Demokrasi yang dijanjikan akan membawa perubahan dan kemajuan bangsa dan negara, sampai saat ini hanya sebatas mitos yang biasa kita dengar lewat nenek moyang kita. Welfare state yang menjadi tujuan negara kita, hanya gombal. Semua itu bohong!!. Rakyat sudah benci pada pemerintah dan negara ini. Rakyat sudah bosan dengan pemerintah. Keberadaan pemerintah, pemerintahan, dan negara sudah tidak ada signifikansinya lagi. Dia hanya sebatas simbol bagi penderitaan rakyat kecil, yang hanya akan semakin menyakitkan jika menyebutnya.
Sejenak kita bangga akan kesuksesan kita menjalankan demokrasi yang paling demokratis sejak tumbangnya orde baru. Negara kita mendapat penghargaan karena menjalankan sistem pemilu yang demokratis lewat pilihan langsungnya. Semua negara di dunia mengacungkan jempol mereka atas prestasi itu. Tapi, pernahkah kita berpikir apa arti itu semua? Buat apa demokrasi, jika dia tak mampu menyampaikan keluhan. Buat apa demokrasi, jika masalah rakyat tak kunjung diatasi?. Buat apa rakyat bebas berteriak jika tak ditanggapi?. Semua itu hanya buang-buang energi saja! Persetan dengan demokrasi!! Mungkin itulah ungkapan yang ada di benak sebagian besar rakyat Indonesia.
Demokrasi kita telah disalah artikan oleh segelintir orang yang tak bertanggungjawab. Demokrasi kita hanya melahirkan kelompok-kelompok baru penindaas rakyat kecil atas nama demokrasi. Atas nama dukungan rakyat, mereka bertindak semaunya. Mereka memohon dukungan rakyat, tetapi setelahnya mereka mencampakan rakyat seperti mencampakan sampah yang tak berarti meski mereka meneteskan air mata darah sekalipun.
Masih ingatkah kawan-kawan sekalian, ketika pemerintah berjanji tidak akan menaikkan harga BBM? Namun apa buktinya? SBY menyatakan bahwa ini adalah opsi terakhir untuk menyelamatkan APBN kita. Apakah kita tahu ke mana aliran dana APBN kita? Mungkin sebagian besar hanya dinikmati oleh segelintir orang saja. Malah lebih menyakitkan lagi SBY menyatakan bahwa sebenarnya ekonomi Indonesia mulai mebaik dan mengalami pertumbuhan. Bagaimana bisa di saat banyak rakyat miskin yang semakin menderita, bertambahnya pengangguran, dan semkin meningkatnya angka putus sekolah, ekonomi kita dianggap mengalami kemajuan/pertumbuhan.
Mempertanyakan eksistensi lembaga negara
Negara lahir karena adanya kebutuhan orang akan rasa aman, dan sejahtera. Rakyat membentuk sebuah negara atas dasar komitmen mereka untuk hidup bersama dalam naungan lembaga yang mengatur mereka semua demi terciptanya kesejatereaan yang merata. Tetapi apa yang terjadi pada negara Indonesia kita tercinta? Negara tak mampu mengakomodir keinginan rakyatnya—walau hanya sebatas rasa aman—apalagi kesejahteraan. Mereka seperti tertindas di negeri sendiri. Mereka dieksploitasi hanya untuk melanggengkan sistem yang ada dan untuk menyejahterakan kaum kapitalis asing.
Kenaikan harga-harga kebutuhan pokok, tarif dasar listrik, menjadi bukti ketidakberdayaan negara dalam memberikan rasa aman bagi rakyatnya. Bertapa tidak, setiap saat kita selalu dibayangi oleh ketakutan akan tidak mampunya kita untuk memenuhi kebutuhan yang paling primer. Meski peluh telah mengering, tulang telah remuk berkeping-keping, air mata telah habis, kulit telah hangus terbakar, tenaga telah menguap, namun tetap saja tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan. Semua daya dan upaya telah dikerahkan demi bertahan hidup.
Ditengah kondisi seperti ini, pemerintah malah menganjurkan untuk hidup bersahaja alias berhemat. Sungguh lucu memang. Mereka tidak pernah tahu-menahu begitu bersahajanya rakyat kecil melalui hidupnya sehari-hari. Bahkan hidup rakyat kecil sudah melebihi batas kewajaran dalam bersahaja. Pernyataan pemerintah seperti itu lebih pantas ditujukan kepada para pejabat pemerintahan, konglomerat, yang setiap harinya hanya menghambur-hamburkan uang.
Dimana rasa kemanusiaan mereka, ketika di sekitarnya masih ada jerit tangis kelaparan? Di mana moral mereka ketika masih ada yang sulit untuk tidur. Di mana hati mereka ketika ada yang membutuhkan pengobatan?? Lantas di manakah peran negara sebagai lembaga yang mengayomi rakyatnya, yang seharusnya memeberikan jaminan bagi rakyatnya untuk dapat merasakan hidup aman, tentram, dan sejahtera? Masih adakah negara itu di sini? Jika para pemimpin negeri ini tak sanggup memberikan apa yang diharapkan oleh rakyatnya, dia sudah tak pantas lagi memimpin negeri ini.
Sepertinya sistem di negara ini sudah tidak relevan lagi bagi kehidupan rakyatnya. Bahkan mungkin lembaga pemerintahan atau negara sudah tidak dibutuhkan lagi bagi kelangsungan hidup. Mestikah kita membubarkan lembaga negara yang selama ini hanya menyisakan kepedihan bagi yang di dalamnya?. Jika memang mungkin itu terjadi, maka benarlah apa yang dikatakan oleh para filsuf dahulu bahwa negara itu akan dengan sendirinya hilang ketika rakyat sudah tidak membutuhkannya lagi. Sebab negara ada, atas dasar kepentingan bersama dan demi tercapainya tujuan besama. Itu artinya negara ada hanya ketika dibutuhkan. Apakah kondisi seperti ini yang akan terjadi pada Indonesia tercinta. Hanya waktu yang akan menjawabnya.
*Tulisan ini dimuat dalam http://www.pbhmi.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar