Assalamu'alaikum,,, Salam Hormat

Terima kasih atas kunjungan anda ke blog saya. Semoga bermanfaat. Semua tulisan ini hasil saya pribadi, atau diambil dari tulisan lain yang tercantum pada rujukannya. Bila mengutip baik secara langsung maupun tidak, sebagian atau keseluruhan, diharapkan Mencantumkan sumber tulisan dan penulisnya pada daftar pustaka/catatan kaki sebagai bahan rujukannya.
atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih

Senin, 04 Oktober 2010

Kekuasaan dan Kepemimpinan Tradisional

Oleh: Bambang Wibiono


Masyarakat tidak dapat ada tanpa suatu bentuk kekuasaan. Karl Mannheim, mempertanyakan kekuasaan yang bagaimana yang menguasai situasi tertentu. Ia menunjuk perbedaan antara kekuasaan perseorangan dan lembaga, kekuasaan fungsional dan sewenang-wenang, dan antara kekuasaan fungsional dan komunal. Kekuasaan perseorangan pada hakekatnya dijalankan oleh individu yang lebih kuat untuk keuntungan dirinya sendiri. Kekuasaan lembaga dijalankan oleh individu atas nama suatu kolektivitas melalui saluran-saluran sosial yang dikhususkan dan sah. Sedangkan kekuasaan fungsional merupakan lawan dari kekuasaan komunal, yang dilekatkan pada perkumpulan-perkumpulan dan lembaga khusus yang memiliki fungsi .

Dalam kajian akademis, politik diartikan sebagai interaksi kekuasaan dalam masyarakat yang meliputi fenomena mempertahankan, memperbesar, maupun merebut kekuasaan. Miriam Budiardjo merumuskan pengertian kekuasaan sebagai kemampuan pelaku untuk mempengaruhi tingkah laku pelaku lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku pelaku itu menjadi sesuai dengan keinginan pelaku yang mempunyai kekuasaan. Dalam pengertian ini, konsep pengaruh menjadi elemen penting dalam kekuasaan. Selain pengaruh (influence), elemen lain yang juga penting dalam kekuasaan adalah otoritas atau kewenangan (authority) dan daya paksa (force) .

Ada beberapa hal yang menyebabkan seseorang memiliki kekuasaan atau pengaruh. Sumber kekuasaan itu adalah dapat berupa sarana paksaan fisik, kekayaan dan harta benda (ekonomi), normatif, jabatan, keahlian, sarana informasi, status sosial, popularitas pribadi, dan massa yang terorganisasi.

Dalam konteks tradisional, terkadang sumber-sumber kekuasaan itu tidak berlaku. Pemimpin agama dan pemimpin suku misalnya, ditaati bukan karena senjata atau kekayaan, namun kebenaran agama yang “diwakili” dan disebarluaskan oleh pemimpin agama. Adat dan tradisi menaati kewenangan pemerintah bukan karena takut paksaan fisik atau kehilangan pekerjaan, melainkan lebih dikarenakan kesadaran hukum demi ketertiban umum dan pencapaian tujuan masyarakat-negara.

Menurut Max Weber (dalam Sugandi, 2007) terdapat tiga sumber kekuasaan, yaitu:
1. Tradisi. Artinya kekuasaan didapat karena legitimasi adat yang turun temurun.
2. Kharisma. Ini berkaitan dengan watak pribadi yang luar biasa. Seseorang dianggap sah berkuasa jika memiliki watak pribadi yang istimewa seperti kepahlawanan, kesederhanaan, santun, peduli terhadap keadaan, dan sebagainya.
3. Rasionalitas dan legalitas. Artinya legitimasi kekuasaan diperoleh karena ia memiliki jenjang kekuasaan melalui prosedur atau peraturan yang dibuat secara rasional dan legal.

Dalam konteks sistem kerajaan, raja sebagai pemimpin tradisional, dipandang sebagai pemilik sah kerajaan melalui kepercayaan adanya wahyu sehingga raja mempunyai otoritas kuat dan dipercaya penuh oleh rakyat. Raja mempunyai wewenang pada rakyat berdasar hubungan kawula-Gusti . Menurutnya, pada jaman penjajahan Belanda, ada dua hal yang membuat posisi Residen (sebagai bagaian dari pemerintahan kolonial) di depan elite pribumi dan rakyat itu sulit, yaitu: tradisi dan ideologi panatagama. Sementara simbol-simbol menegaskan kedudukan Sunan sebagai raja, yaitu sebagai pusat dunia di mana makrokosmos dan mikrokosmos bertemu.

Seperti yang dijelaskan oleh Kuntowijoyo bahwa Kraton beserta sistem kekuasaannya adalah kekuasaan yang bersifat kultural ketimbang formalistik. Kekuasaan kultural yang merupakan bagian dari sistem kebudayaan, diartikan sebagai sebuah sistem makna dan sistem simbol yang teratur, yang di dalamnya interaksi sosial berlangsung.

Pada taraf kultural, ada kerangka kerja kepercayaan-kepercayaan, simbol-simbol ekspresif, dan nilai-nilai. Dengan kerangka kerja itu, para individu mendefinisikan dunia mereka, mengungkapkan perasaan-perasaan mereka dan membuat penilaian mereka. Pada taraf sosial ada proses terus menerus dari tingkah laku interaktif. Menurut Geertz, karena kebudayaan adalah jalinan makna, maka dengan jalinan makna itu manusia menafsirkan pengalaman mereka dan mengarahkan tindakan mereka .

Raja sebagai kepemimpinan tradisional diatur dalam sistem kemasyarakatan yang sumber atau proses menjadinya terkadang sulit dilacak/diketahui. Terkadang, ia hanya merupakan dongeng yang diturun-alihkan secara lisan dari generasi ke generasi. Stratifikasi yang ada dalam masyarakat lokal sekaligus mencerminkan sistem pemerintahan (kepemimpinan) yang dianut dan dipraktekkan dalam masyarakat tersebut.

Strata tertinggi pada umumnya adalah pemimpin yang paling berkuasa dan selanjutnya strata terendah merupakan kelompok masyarakat yang diperintah atau dikuasai bahkan terkadang disetarakan dengan harta milik yang dalam segala hal harus taat kepada pemimpinnya. Ketaatan kepada sang pemimpin merupakan keharusan sebab hal itu merupakan partisipasi dalam memelihara ketertiban yang telah ditentukan oleh seluruh sistem. Dalam hal ini seorang bangsawan/pemimpin atau Raja ditempatkan sebagai wakil Tuhan di dalam dunia ini. Inilah sumber utama kewibawaan dan kekuasaan sang pemimpin atau Raja.

Menurut Ari Dwipayana, menjelaskan beberapa sumber kekuasaan bangsawan (sultan, raja) atau pemimpin tradisional, seperti:
a. Kesatuan yang integral antara istana (keraton, pura, puri, tongkonan) dengan bangsawan. Artinya Istana memberikan makna politis yang sangat besar bagi seorang bangsawan atau pemimpin.
b. Penguasaan secara hegemonik pada level wacana kebudayaan. Hal ini terjadi sebab istana merupakan sumber tunggal produksi wacana pengetahuan, kepercayaan, acuan sistem stratifikasi sosial, simbol status, gaya hidup, dan kesenian masyarakat. Upacara yang dilakukan dalam istana selain bermakna religius, tetapi juga mempunyai makna status serta berfungsi sebagai sarana hiburan bagi rakyat pada umumnya. Karena itu, tidak heran jika upacara sekaten yang dilaksanakan di keraton Surakarta atau Keraton Yogyakarta selalu mendapat perhatian dari seluruh rakyat. Demikian pula dengan benda-benda pusaka selain merupakan karya seni yang menarik tetapi juga merupakan simbol status bahkan menjadi sumber kekuatan atau kesaktian.
c. Penguasaan basis ekonomi politik. Artinya dalam sistem kepemimpinan tradisional bangsawan menjadi penguasa atas pengelolaan seluruh sumber ekonomi milik kerajaan.
d. Penguasaan atas birokrasi dan pengadilan. Kekuasaan bangsawan tidak hanya terbatas pada tingkat kekuasaan tertinggi dalam istana tetapi ia juga menguasai birokrasi di bawahnya. Kontrol itu begitu kuatnya sehingga tidak ada pembangkangan terhadap kekuasaan tertinggi. Kekuasaan yang “mutlak” tersebut diperkuat dengan penguasaan terhadap lembaga peradilan. Bahkan di beberapa suku, sang pemimpin pemerintahan sekaligus bertindak sebagai penegak hukum yang mengadili siapa saja yang dianggap bersalah.

Sekelumit Tentang Interaksionisme Simbolik

4 Okt 2010

Oleh : Bambang Wibiono

Persoalan mengenai kehidupan sosial manusia pada hakikatnya tidak dapat diabaikan dari sebuah jalinan interaksi sosial yang menopangnya. Bagaimanapun, sebuah kehidupan sosial atau sebuah masyarakat terbentuk dan terpelihara, sesungguhnya menyiratkan kerja-kerja individual manusia yang secara sosial terlibat dalam proses pembentukan realitas di luar dirinya.

Individu-individu yang beranekaragam dalam melakukan aktivitas secara kolektif (sosial), tentunya meniscayakan adanya pertukaran simbol. Sementara simbol itu sendiri sarat dengan muatan makna. Oleh karena itu, setiap individu pada dasarnya senantiasa melakukan proses pendefinisian situasi, menafsirkan realitas di luar dirinya yang penuh dengan simbol.

Berbicara mengenai simbol dalam dunia sosial kemasyarakatan, maka struktur sosial dilihat sebagai hasil produksi interaksi bersama yang tercipta mengenai simbol-simbol yang berupa bahasa, isyarat, dan penggunaan simbol lainnya. Tetapi dari kondisi yang ada menunjukkan bahwa wacana tentang ralitas kehidupan sehari-hari manusia sebagai mahluk perorangan atau individu bersifat kreatif-dinamis yang menciptakan dunianya sendiri. Konsep “diri” kurang dianggap sebagai bentuk kajian yang serius. Padahal dengan berusaha mengkaji persoalan seputar kehidupan sehari-hari merupakan salah satu cara untuk mendatangkan manfaat bagi kehidupan berasama, karena pada dasarnya kita tidak mungkin dapat hidup seorang diri, dan pasti memerlukan orang lain untuk mempertahankan hidup. Salah satunya yaitu dengan berusaha mengerti tentang siapa diri kita dan bagaimana seharusnya kita membawa diri ke masyarakat.

Ketika manusia lahir, ia tidak pernah sadar dan mengerti tentang siapa dirinya yang sesungguhnya karena masih kurang pemaknaan dan pemahaman terhadap realitas sosial. Manusia melakukan proses belajar melalui penggunaan simbol yang kemudian membentuk konsepsi “diri” mereka masing-masing. Melalui penggunaan simbol-simbol itu, manusia dapat melakukan perubahan-perubahan sosial bersama individu-individu lain, dapat menyesuaikan diri dengan yang lain, mempunyai kesamaan berfikir dalam mencapai tujuan bersama. Menurut Musgrove, manusia jarang sekali menyadari bahwa sebagian dari mereka atau mungkin keseluruhan dari kita telah mengalami proses perubahan kesadaran[1].

Perspektif interaksional menekankan tindakan yang bersifat simbolis dalam proses komunikasi manusia. Titik beratnya pada tindakan yang memungkinkan pengambilan peran (role taking) untuk mengembangkan tindakan bersama atau mempersatukan tindakan individu dengan tindakan individu-individu yang lain untuk membentuk kolektivitas. Tindakan bersama dari kolektivitas itu mencerminkan tidak hanya pengelompokan sosial, akan tetapi juga adanya persaan kebersamaan ataupun keadaan timbal balik dari individu-individu yang bersangkutan.

Untuk dapat berinteraksi dan dapat mengambil peran orang lain, seseorang perlu mempunyai informasi mengenai orang yang berada di hadapannya. Manakala ia asing bagi kita karena kita tidak memiliki informasi mengenai riwayat hidupnya (biographical stranger) dan atau tidak tahu kebudayaannya (cultural stranger), maka interaksi sukar dilakukan.

Perspektif interaksionisme simbolik bersumber pada pemikiran George Herbert Mead (1863–1931), selain itu juga dikenal nama Charles Horton Cooley (1846–1929), yang memusatkan perhatiannya pada interaksi antara individu dan kelompok. Mereka menemukan bahwa individu-individu tersebut berinteraksi dengan menggunakan simbol-simbol, yang di dalamnya berisi tanda-tanda, isyarat dan kata-kata[2]. Sosiolog yang dikenal dalam perspektif interaksionisme simbolik kontemporer lainnya adalah Herbert Blumer (1962) dan Erving Goffman (1959).

Dari kata interaksionisme sudah nampak bahwa sasaran pendekatan ini adalah interaksi sosial. Kata simbolik mengacu pada penggunaan simbol-simbol dalam interaksi[3]. Yang dimaksud simbol di sini menurut Leslie White adalah sesuatu yang nilai atau maknanya diberikan kepadanya oleh mereka yang mempergunakannya. Menurutnya, makna atau nilai tersebut tidak berasal dari atau ditentukan oleh sifat-sifat yang secara intrinsik terdapat dalam bentuk fisik atau objeknya, melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa[4]. Menurut White, makna suatu simbol hanya dapat ditangkap melalui cara nonsensoris, yaitu melalui cara simbolik[5].

Sesuai dengan pemikiran-pemikiran Mead[6], definisi singkat dari tiga ide dasar dari interaksi simbolik adalah :

1. Mind (pikiran) - kemampuan untuk menggunakan simbol yang mempunyai makna sosial yang sama, dimana tiap individu harus mengembangkan pikiran mereka melalui interaksi dengan individu lain.

2. Self (diri pribadi) - kemampuan untuk merefleksikan diri tiap individu dari penilaian sudut pandang atau pendapat orang lain, dan teori interaksionisme simbolis adalah salah satu cabang dalam teori sosiologi yang mengemukakan tentang diri sendiri (the-self) dan dunia luarnya.

3. Society (masyarakat) - hubungan sosial yang diciptakan, dibangun, dan dikonstruksikan oleh tiap individu di tengah masyarakat, dan tiap individu tersebut terlibat dalam perilaku yang mereka pilih secara aktif dan sukarela, yang pada akhirnya mengantarkan manusia dalam proses pengambilan peran di tengah masyarakatnya.

Dari penjelasan di atas, pada dasarnya interaksi simbolik didasarkan pada premis-premis berikut[7]: Pertama, individu merespon suatu situasi simbolik. Mereka merespon lingkungan, termasuk objek fisik (benda) dan objek sosial (perilaku manusia) berdasarkan makana yang dikandung komponen-komponen lingkungan tersebut bagi mereka. Ketika mereka menghadapi suatu situasi, respon mereka tidak bersifat mekanis, tidak pula ditentukan oleh faktor-faktor eksternal, tetapi bergantung pada bagaimana mereka mendefinisikan situasi yang dihadapi dalam interaksi sosial. Dalam hal ini inidividu dipandang aktif untuk menentukan lingkungan mereka sendiri.

Kedua, makna adalah produk interaksi sosial, dan karena itu makna tidak melekat pada objek, melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa. Negosiasi itu dimungkinkan karena manusia mampu menamai segala sesuatu, bukan hanya objek fisik, tindakan atau peristiwa (bahkan tanpa kehadiran objek fisik, tindakan, atau peristiwa itu), namun juga gagasan yang abstrak. Akan tetapi, nama atau simbol yang digunakan untuk menandai objek, tindakan, peristiwa atau gagasan itu bersifat arbitrer (sembarang).

Ketiga, makna yang diinterpretasikan individu dapat berubah dari waktu ke waktu, sejalan dengan perubahan situasi yang ditemukan dalam interaksi sosial. Perubahan situasi dimungkinkan karena individu dapat melakukan proses mental, yakni berkomunikasi dengan dirinya sendiri. Manusia dapat membayangkan atau merencanakan apa yang akan dilakuakan bahkan mengantisipasi reaksi orang lain, mencari alternatif ucapan atau tindakan yang akan ia lakukan.

Terkait dengan penelitian ini, persoalan kekuasaan, terlebih lagi kekuasaan yang bersifat tradisional, pada dasarnya memuat proses pertukaran simbol antar manusia yang terjadi melalui interaksi. Menurut teoritisi interaksi simbolik, kehidupan sosial, begitu juga politik pada dasarnya adalah interaksi antar manusia atau dengan lingkungannya menggunakan simbol-simbol. Mereka tertarik pada cara manusia menggunakan simbol-simbol yang merepresentasikan apa yang mereka maksudkan untuk berkomunikasi dengan sesamanya, dan juga pengaruh yang ditimbulkan dari penafsiran atas simbol-simbol ini terhadap perilaku pihak-pihak yang terlibat dalam interaksi sosial[8]. Oleh karena itu, dalam konteks politik, berdasarkan pemahaman dan penafsiran atas simbol yang diterimanya, kekuasaan dapat berjalan dan diterima dalam proses-proses sosial dan interaksi. Ini termanifestasikan dalam tindakan seseorang terhadap orang lain yang dianggap memiliki kuasa dan pengaruh.

Hal yang perlu diperhatikan dalam interaksi simbolik adalah mengenai aturan yang mengatur interaksi. Menurut David A. Karp dan W.C Yoels menyebutkan tiga jenis aturan, yaitu aturan mengenai ruang, waktu, dan mengenai gerak dan sikap tubuh[9].

Dalam interaksi dijimpai aturan tertentu dalam penggunaan ruang, dalam hal ini ruang yang dimaksud adalah jarak dimana interaksi itu berlangsung. Kondisi ini juga berlaku juga dengan waktu, karena interkasi akan bermakna berbeda pada waktu yang berbeda pula.

Dalam interaksi, sikap, gerak tubuh, atau gestur membantu memberikan makna terhadap simbol yang disampaikan, tidak hanya melalui ucapan saja. Interaksi tidak hanya memperhatikan apa yang dikatakan orang lain, tetapi juga apa yang dilakukannya. Komunikasi nonverbal ini kita gunakan secara sadar maupun tidak untuk menyampaikan perasaan kita kepada orang lain.

Kalau perbuatan hanya melibatkan satu orang, sedangkan perbuatan sosial melibatkan dua orang atau lebih. Menurut pandangan Mead, gestur merupakan mekanisme dasar dalam perbuatan sosial dan dalam proses sosial pada umumnya.



[1] Dalam Mulyana, Dedy. 2006, Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya, Cetakan ke-5, PT Remaja Rosda Karya, Bandung. Hal.: 229.

[2] Soeprapto, Riyadi. 2000, Interaksionisme Simbolik: Perspektif Sosiologi Modern, Averroes Press, Malang dan Pustaka Penajar, Yogyakarta.

[3] Sunarto, Kamanto. 2000, Pengantar Sosiologi, Edisi Kedua, lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI, Jakarta. Hal.: 38.

[4] Mulyana, Dedy. 2006, Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya, Cetakan ke-5, PT Remaja Rosda Karya, Bandung. Hal.: 72.

[5] Sunarto, Loc. Cit.

[6] Lihat dalam Ritzer, George & Douglas J. Goodman. 2010, Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern, Cetakan ke-4 (Terj. Nurhadi, Sosiological Theory), Kreasi Wacana, Yogyakarta, hal. 385-392.

.

[7] Mulyana, Op. Cit. hal 71-72.

[8] Ibid. hal 71

[9] Sunarto, Op. Cit. hal 39-40.

MEMAHAMI ISLAM SEBAGAI SEBUAH GERAKAN IDEOLOGIS YANG MENCERAHKAN DAN MEMBEBASKAN

Judul : Ideologi Kaum Intelektual, Suatu Wawasan Islam
Penulis : Dr. Ali Syariati
Pengantar : Dr. Jalaluddin Rakhmat
Penerbit : Mizan, Bandung
Cetakan : ke-5, Dzulhijjah1413/ Mei 1993
Tebal : +185 halaman


MEMAHAMI ISLAM SEBAGAI SEBUAH GERAKAN IDEOLOGIS YANG MENCERAHKAN DAN MEMBEBASKAN

Oleh: Eko Supriyadi1

“Kawan-kawan, mari kita tinggalkan Barat dan Eropa, mari kita hentikan sikap meniru-niru Barat. Mari kita tinggalkan Barat yang sok berbicara tentang kemanusiaan, tetapi di mana-mana kerjanya membinasakan manusia.”Ali Syari’ati, (1933-1977)


A. FATALISME PERADABAN

Dewasa ini, kebudayaan-kebudayaan dan peradaban-peradaban manusia telah banyak mengalami mutasi dalam bentukan yang tidak lagi orisinil. Ia tengah dibaratkan (westernized) dan dicongkel dari akarnya sehingga nilai-nilai, kearifan, dan identitas aslinya terkoyak menjadi potongan-potongan kecil yang terkontaminasi dengan produk kebudayaan Barat. Barat telah berhasil mengkristalisasikan sentimensentimen, corak-corak rasial, pandangan serta pola pemikiran masyarakatnya ke dalam karakter kebudayaannya dan mencekokkannya kepada bangsa-bangsa lain.

Kebudayaan dan peradaban sepertinya diklaim menjadi eksklusif Barat. Dengan menganggap produk kebudayaan mereka lebih unggul dari bangsa-bangsa lain, Barat ingin menjadikan bangsa-bangsa lain sebagai konsumen bagi kebudayaan dan nilainilai

spiritual mereka. Kebudayaan dan peradaban Barat telah mengambil bentuk yang baru, dari kungkungan etnisitas menjadi cluster universal. Filsafat, seni, teknologi, dan semua anasir kebudayaan yang berhubungan dengan makhluk bernama manusia dikonstruksi sedemikian rupa sehingga—seolah-olah—hanya ada satu parameter tunggal yang menjadi kiblat seluruh peradaban bangsa-bangsa di dunia.

Pada dataran yang lebih riil, perkembangan industri untuk menciptakan teknologi-teknologi baru membawa dampak bagi kaum Muslim. Barat sebagai kampiun teknologi memanfaatkan kemampuannya untuk menarik sumber-sumber alam, sumber uang, dan kekayaan negeri-negeri dunia ketiga yang banyak dihuni oleh kaum Muslim. Dengan teknologi pula Barat telah berhasil membentuk dirinya sebagai model dan mesin pencetak peradaban dunia. Pencitraan teknologi berikut segala bentuk variasi produknya berkembang pesat di bawah iklim kapitalistik. Sehingga, negara dunia ketiga yang notabene kurang memiliki kemampuan memproduksi teknologi sendiri, di-setting sedemikian rupa agar menjadi konsumen setia produk Barat dengan harga yang mahal. Demi keuntungan sebesar-besarnya, Kapitalisme selalu membuat strategi untuk bisa memasarkan produknya dalam jumlah yang terus meningkat setiap tahunnya. Agar masyarakat dunia rela membeli habis barang-barang produk teknologi mereka, satu-satunya cara adalah dengan membentuk pola pikir masyarakat yang konsumtif. Melalui berbagai media iklan dan propaganda, mereka menyusupkan visualisasi atas produk-produk tersebut seolaholah merupakan kebutuhan yang bersifat primer dan wajib dimiliki. Kecenderungan untuk membeli dan menggunakan produk Barat yang sebelumnya bersifat tersier menjadi kebutuhan primer merupakan salah satu cara kapitalis Barat mengeruk sebesar-besar keuntungan dari negara dunia ketiga. Pencitraan tingginya status sosial, prestise, trend, dan predikat modern dinisbatkan kepada siapapun yang mampu membeli, menggunakan dan terus mengikuti model terbaru atas produk teknologi Barat. Cara yang demikian merupakan suatu tipuan yang membolak-balik logika masyarakat dunia agar menanggalkan idetitas-identitas aslinya kemudian berebut untuk menggunakan beragam bentuk produk kebudayaan Barat yang diklaim sebagai ikon-ikon kemajuan dan keberadaban. Jadilah negeri-negeri konsumen sebagaimana kerbau yang dicocok hidungnya oleh kekuatan kapitalistik Barat yang eksploitatif.

Homogenisasi kebudayaan dan peradaban inilah yang menjadi salah satu tantangan terbesar bagi umat Islam sebagai pengemban wahyu illahi. Negeri-negeri Muslim yang pada umumnya masih menjadi mayoritas tertindas (the oppressed majority) dalam keterpurukan ekonomi, politik, dan sosial, ditambah dengan rendahnya intelektualitas, mengimpor produk kebudayaan, teknologi, dan peradaban Barat ke dalam tanah air mereka sebagai usungan jargon globalisasi dan ikon modernisasi. Sudah tentu generasi muda menjadi obyek terbesar yang menghadapi pengaruh dari perbenturan kebudayaan ini. Mengapa bukan kalangan tua yang justru tengah memegang perannya sebagai organ-organ yang sedang menjalankan mesin Negara dan masyarakat? Sebab bagaimanapun, generasi tua sudah sulit mengalami pergeseran nilai-nilai yang sebelumnya terpatri dalam benak mereka. Generasi tua akan segera mengakhiri tugas-tugasnya untuk digantikan, dan ia mesti mempersiapkan penerus yang lebih baik dari mereka; yaitu generasi muda. Generasi muda merupakan modal paling esensial bagi masyarakat untuk menciptakan suatu perubahan. Jika pikiran generasi muda perlahan-lahan digerus oleh konstruk pseudokebudayaan dan toxic peradaban Barat yang materialistik dan hedonis, sulit sekali mengharapkan perubahan positif muncul dari generasi seperti mereka.

Dengan logika-logika tersebut di atas, masalah dunia Islam dewasa ini nyata tertumpu kepada satu titik, yaitu ketergantungan yang teramat besar terhadap Barat. Sebagian besar masyarakat Muslim telah mengalami keruntuhan dalam banyak sisi. Cara pandang, gaya hidup, selera, kecenderungan berfikir, pilihan hidup, semua menuju kubangan besar yang bernama “hedonisme” dan saudara kembarnya, “materialisme”. Dunia Muslim telah dikoyak-koyak oleh kekuatan Barat. Kekayaan alam dikeruk di balik jargon-jargon liberalisme ekonomi dan perdagangan bebas.

Moralitas dan nilai dilepaskan dari otentitas kediriannya oleh lidah-lidah hipokrit kebebasan, kemerdekaan, dan HAM. Slogan kebebasan digembar-gemborkan di balik kamuflase penghancuran dari dalam. Momok terorisme digencarkan untuk memperoleh legitimasi atas pembantaian dan pemusnahan kepada siapapun yang dituduh sebagai kutu-kutu peradaban. Ketakutan dan kecemasan dihembuskan untuk menggiring umat manusia berbondong-bondong berlindung di balik ketiak Barat. Atas nama perdamaian dan keamanan dunia, penjajahan dan perampasan kemerdekan justru dihalalkan terhadap negeri-negeri Muslim.

Bagaimanapun, tibalah saatnya dunia kini sedang mengalami satu pendulum yang meluncur ke arah Barat. Dunia sedang berada dalam cengekeraman Barat, dalam segala sisi kehidupan. Sulit ditemukan sebuah negara yang bersih dari pengaruh anasir-anasir Barat. Masyarakat dunia secara umum sedang menderita westruckness dan westoxication—meminjam istilah Ali Syari’ati—kebangkrutan moral ala Barat dan mabuk kepayang terhadap Barat[1].

Kenyataan ini memang tengah berlangsung hingga saat ini. Namun ia tidak bisa terus-menerus demikian. Umat Islam memiliki modal dan kekuatan dasar untuk itu melakukan perubahan. Islam, selama ini telah terdistorsi menjadi sekedar agama ritual dan profan, ia telah kehilangan ruh ideologisnya secara terus-menerus hingga tinggal berbentuk mosaik reruntuhan peradaban.

B. PEMAKNAAN IDEOLOGIS ATAS ISLAM

Istilah ideologi berasal dari kata “idea” yang berarti pemikiran, daya khayal, konsep atau keyakinan. Kemudian “logos” berarti logika atau ilmu. Dengan demikian ideologi dapat diartikan sebagai ilmu tentang keyakinan dan gagasan. Seorang ideolog adalah penganjur gagasan tertentu yang perlu ditaati oleh suatu kelompok, kelas sosial, bangsa atau ras tertentu. Meminjam ungkapan seorang penulis Perancis, ideologi sangat erat kaitannya dengan orang yang menggerakkan, cendekiawan atau intelektual dalam masyarakat. Karena itulah seorang cendekiawan dituntut untuk memiliki pengertian yang jelas mengenai ideologi yang dapat membantunya mengembangkan suatu pola pemikiran yang jelas. Mempunyai ideologi berarti mempunyai keyakinan kuat tentang bagaimana mengubah status quo yang sudah mentradisi dalam masyarakatnya.

Ideologi berbeda dengan bentuk-bentuk pemikiran lain, seperti halnya ilmu pengetahuan dan filsafat. Ideologi menuntut agar kaum intelektual bersikap setia (commited). Ideologilah yang mampu merubah masyarakat, sementara ilmu dan fisafat tidak, karena sifat dan keharusan ideologi meliputi keyakinan tanggung jawab dan keterlibatan untuk komitmen. Sejarah mengatakan revolusi, pemberontakan, pengorbanan hanya dapat digerakkan oleh ideologi. Baik ilmu maupun filsafat tidak pernah dapat melahirkan revolusi dalam sejarah, walaupun keduanya selalu menunjukkan perbedaan-perbedaan dalam perjalanan waktu. Adalah ideology-ideologi yang senantiasa memberikan inspirasi, mengarahkan dan mengorganisir pemberontakan-pemberontakan menakjubkan yang membutuhkan pengorbanan-pengorbanan dalam sejarah manusia di berbagai belahan dunia. Hal ini karena ideologi pada hakekatnya mencakup keyakinan, tanggung jawab, keterlibatan dan komitmen.

Dalam bentuknya yang masih asli, pada dasarnya agama—dalam hal ini Islam—dapat dan harus difungsionalisasikan sebagai kekuatan revolusioner untuk membebaskan masyarakat di negeri manapun yang tertindas, baik secara cultural maupun politik. Lebih tegas lagi, Islam dalam bentuk murninya—yang belum terkontaminasi oleh nilai-nilai diluar dirinya—merupakan ideologi revolusioner ke arah pembebasan dari hegemoni politik, ekonomi, dan kultural yang bukan Islam.

Islam sebagai mahzab sosiologi ilmiah meyakini bahwa perubahan sosial (termasuk revolusi) dan perkembangan masyarakat tidak dapat didasarkan pada kebetulan, karena masyarakat merupakan organisme hidup, memiliki norma-norma kekal dan norma-norma yang tak tergugat dan dapat diperagakan secara ilmiah. Manusia memiliki kebebasan dan kehendak bebas, sehingga dengan campur tangannya dalam menjalankan norma masyarakat, setelah mempelajarinya dan menggunakannya, dia dapat berencana dan meletakkan dasar-dasar bagi masa depan yang lebih baik untuk individu maupun masyarakat. Islam sebagai sebuah ideologi, bukanlah spesialisasi ilmiah, melainkan perasaan yang dimiliki seorang berkenaan dengan mahzab pemikiran sebagai suatu sistem keyakinan dan bukan sebagai suatu kebudayaan. Hal ini berarti Islam perlu dipahami sebagai sebuah ide dan bukan sebagai sekumpulan ilmu. Islam perlu difahami sebagai suatu gerakan kemanusiaan, historis dan intelektual, bukan sebagai gudang informasi teknis dan ilmiah. Dengan demikian berarti Islam perlu dipandang sebagai ideologi dalam pikiran seorang intelektual, bukan sebagai ilmu-ilmu agama kuno dalam pikiran seorang ahli agama.

Namun demikian, proses pemihakan seorang Muslim terhadap ideologi Islam tidak bisa dipaksakan maupun dibayang-bayangi kekuatan di luar dirinya, melainkan harus terinternalisasi secara sukarela atas dasar kehendak bebasnya untuk memilih dan menentukan. Jika ideologi tidak lagi merupakan manifestasi kehendak merdeka seseorang, atau dipaksakan kehadirannya, maka ia telah kehilangan ruhnya dan berubah menjadi sekedar sebuah tradisi sosial bagian dari kebudayaan, ia telah kehilangan karakteristik aslinya. Sebagaimana diungkapkan oleh Syari’ati (1986):

Islam adalah agama yang dengan segera melahirkan gerakan, menciptakan kekuatan, menghadirkan kesadaran diri dan pencerahan, dan menguatkan kepekaan politik dan tanggung jawab sosial yang berkait dengan diri sendiri.… suatu kekuatan yang meningkatkan pemikiran dan mendorong kaum tertindas agar memberontak dan menghadirkan di medan perang spirit keimanan, harapan dan keberanian.”

Terdapat perbedaan antara Islam dengan pemahaman umum tentang agama yang dikonsepsikan oleh Durkheim. Dalam bentuk yang tidak ideologis, agama seperti dikemukakan oleh Durkheim sebagai “suatu kumpulan keyakinan warisan nenek moyang dan perasan-perasaan pribadi; suatu peniru terhadap modus-modus, agama-agama, ritualritual, aturan-aturan, konvensi-konvensi dan praktek-praktek yang secara sosial telah mantap selama generasi demi generasi. Ia tidak harus merupakan manifestasi dari semangat dan ideal kemanusiaan yang sejati.” Jika Islam dirubah bentuknya dari “mahzab ideologi” menjadi sekedar “pengetahuan kultural” dan sekumpulan pengetahuan agama sebagaimana yang dikonsepsikan Durkheim, ia akan kehilangan daya dan kekuatannya untuk melakukan gerakan, komitmen, dan tanggung jawab, serta kesadaran sosial sehingga ia tidak memberi kontribusi apapun kepada masyarakat.”.[2]

Dalam konteks praksis, Agama Islam berbeda dengan agama-agama lain. Islam tidak bisa dikonvensionalkan menjadi ritualitas individu semata, melainkan ruh yang menggerakkan hati seorang Muslim untuk menempuh aksi-aksi progresif bagi kemaslahatan umat manusia baik individu maupun kolektif. Sebagai sebuah ideologi, agama Islam bertengger di atas keyakinan yang secara sadar dipilih untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan serta masalah-masalah yang mencuat dalam masyarakatnya.

Sebagai konsekuensi karakteristik universalitasnya, Islam senantiasa hadir dalam realitas masyarakat seperti apapun bentuknya dan dalam kondisi bagaimanapun. Dengan demikian, Islam menuntut upaya-upaya korektif dan konstruktif atas kondisi yang kontraproduktif terhadap kebangunan Islam itu sendiri. Karenanya Islam adalah agama yang membumi, mendekati sedekat mungkin segala realitas kontekstual yang sedang bergejolak dalam masyarakat, untuk selanjutnya menawarkan solusi atas permasalahan yang ada.

Wawasan keislaman seperti apapun, tanpa suatu pemahaman yang mendalam terhadap prinsip-prinsipnya—dari dataran konseptual hingga wilayah praksis—tidak akan mampu menjadi khasanah untuk menemukan kebijaksanaan Islam, paling jauh hanya mencetak seorang intelektual yang kebetulan Islam, bukan Islam intelektual. Seorang Islam dalam bentukan yang tidak kaffah semacam ini memandang Islamnya dari suatu jarak yang jauh dari kehidupan masyarakat tanpa terbebani sebuah tanggung jawab sosial.

Kesadaran yang perlu ditumbuhkan ialah, bahwa kaum Muslim menanggung beban tanggung jawab sosial, dan bahkan misi universal, untuk memerangi kejahatan dan berusaha merebut kemenangan demi umat manusia, kebebasan, keadilan, dan kebaikan. Islam mengajarkan bahwa di hadapan Allah manusia bukanlah makhluk yang rendah, karena ia adalah rekan Allah, teman-Nya, pendukung amanah-Nya dibumi. Manusia menikmati afinitasnya dengan Allah, menerima pelajaran dari-Nya, dan telah menyaksikan betapa semua malaikat Allah bersujud kepadanya. Manusia bidimensional yang memikul tanggung jawab demikian ini, membutuhkan agama yang tidak hanya berorientasi kepada dunia ini atau akherat semata, melainkan agama yang mengajarkan keseimbangan. Hanya dengan agama demikian (Islam) manusia mampu melaksanakan tanggung jawabnya yang besar.

Dalam kenyataannya, kebanyakan ilmuwan, penulis, arsitek, sastrawan, ahli kesehatan, dan semua kelompok yang ada dalam masyarakat bekerja berdasarkan ilmu pengetahuan yang netral. Netralitas berarti bebas nilai, tidak bermuatan ideologis tertentu. Inilah yang menyebabkan mereka hanya dipekerjakan untuk uang yang berarti tergantung pada pemilik modal. Slogan netralitas ilmiah telah didiktekan kepada para ilmuwan dunia ketiga. Sehingga para ilmuwan haruslah menjadi jiwa yang terbelah (the split personality) menjadi dua bagian atau lebih, di satu sisi ilmu dan keahlian, di sisi lain adalah keyakinan, yang menempati wilayah saling terasing satu sama lain. Mereka mesti menjejali kepalanya dengan pernyataan-pernyataan bahwa dia adalah ilmuwan yang obyektif dan netral, bekerja dalam dunai analisis yang menuntut semua dicari dan direkam secara obyektif, demi kemurnian ilmu dan menghindari distorsi ilmu. Maka jatuhlah diri mereka ke dalam ketidakbermaknaan atas karya-karya dan jerih payah yang mereka kerjakan, tanpa suatu misi tertentu, motivasi yang hakiki, serta harapan yang lebih besar untuk mereka dapatkan dari sekedar uang, privelese, dan penghargaan oleh manusia.

Dewasa ini ilmu dipisahkan dari ideologi dalam jarak yang sangat jauh. Sebuah kekeliruan bagi ilmu untuk bersentuhan dengan ideologi. Ketersinggungan antara ilmu, profesi, dan ideologi bukan lagi masalah yang harus diperdebatkan, ia sudah dibereskan oleh modernisasi dan rasionalisasi pikiran manusia. Jika disadari, sebenarnya logika berfikir tersebut sama halnya mencabut ruh dari sangkar badannya. Dengan cara pandang demikian maka ilmuwan modern menjual dirinya kepada pemerintah, korporasi, kekuatan modal, demi mendapatkan upah yang tinggi untuk kemakmurannya. Mereka tidak lagi mempedulikan ketimpangan, ketidakadilan, status-quo, kebobrokan, dan peristiwa apapun yang muncul di tengahtengah masyarakatnya. Padahal disinilah tugas dan bidang garap ideologi. Ketika ideologi sudah dicampakkan dari kesatuan utuh paradigma berfikir masyarakat, maka nilai-nilai dasar yang memotivasi seluruh aktivitas mereka menjadi pragmatis.

Mereka akan kekurangan sense of humanity, kemanusiaan sudah tergadaikan oleh egoisme individualistik dan tujuan-tujuan jangka pendek. Dengan demikian sesungguhnya yang dibutuhkan Islam adalah ilmuwan-ilmuwan yang ideolog, bukan ilmuwan pragmatis. Ilmuwan yang bergerak dalam dua aras; antara idealita dan realita, antara individu dan sosial, antara vertikal dan horizontal, antara profesionalisme dan humanisme, antara misi kemanusiaan dan misi kenabian, antara kehidupan dunia dan setelahnya. Mereka itu adalah ulil albab, rausyanfikr yang menyimpan energi untuk menggerakkan peradaban.

C. MENJADI RAUSYANFIKR!

Rausyanfikr[3] adalah, seorang pemikir tercerahkan yang mengikuti ideology yang dipilihnya secara sadar. Ideologi akan membimbingnya kepada pewujudan tujuan ideologi tersebut, ia akan memimpin gerakan progresif dalam sejarah dan menyadarkan ummat terhadap kenyataan kehidupan. Ia akan memprakarsai gerakan revolusioner untuk merombak stagnasi. Sebagaimana rasul-rasul selalu muncul untuk mengubah sejarah dan menciptakan sejarah baru. Memulai gerakan dan menciptakan revolusi sistemik.

Rausyanfikr adalah model manusia yang diidealkan oleh Ali Syari'ati untuk memimpin masyarakat menuju revolusi. Menurut Eko (2004), Ia mengandung pengertian yang lebih detail sebagai:

Orang yang sadar akan keadaan manusia (human condition) di masanya, serta setting kesejarahannya dan kemasyarakatannya…yang menerima rasa tanggung jawab sosial. Ia tidak harus berasal dari kalangan terpelajar maupun intelektual. Mereka adalah para pelopor dalam revolusi dan gerakan ilmiah. Dalam zaman modern maupun berkembang, rausyanfikr mampu menumbuhkan rasa tangung jawab dan kesadaran untuk memberi arahan intelektual dan sosial kepada massa/ rakyat. Rausyanfikr dicontohi oleh pendiri agamaagama besar (para Nabi), yaitu pemimpin yang mendorong terwujudnya pembenahanpembenahan stuktural yang mendasar di masa lampau. Mereka sering muncul dari kalangan rakyat jelata yang mempunyai kecakapan berkomunikasi dengan rakyat untuk menciptakan semboyan-semboyan baru, memproyeksikan pandangan baru, memulai gerakan baru, dan melahirkan energi baru ke dalam jantung kesadaran masyarakat. Gerakan mereka adalah gerakan revolusioner mendobrak, tetapi konstruktif. Dari masyarakat beku menjadi progresif, dan memiliki pandangan untuk menentukan nasibnya sendiri. Seperti halnya para nabi, rausyanfikr tidak termasuk golongan ilmuwan dan bukan bagian dari rakyat jelata yang tidak berkesadaran dan mandek. Mereka individu yang mempunyai kesadaran dan tanggung jawab untuk menghasilkan lompatan besar.

Manusia rausyanfikr memiliki karakteristik memahami situasi, merasakan desakan untuk memberi tujuan yang tepat dalam menyebarkan gaya hidup moralitas dan monastis, anti status quo, konsumenistik, hedonistik dan segala kebuntuan filosofis menuju masyarakat yang mampu memaknai hidup, konteks, dan realitas masyarakat. Seperti apa yang dikatakan Syariati (2001) sebenarnya mewakili aksi-aksi intelektualnya, bahwa orang tercerahkan akan memanfaatkan potensi yang ada untuk perubahan:

Setelah jelas semua ini, tanggung jawab paling besar orang-orang yang tercerahkan adalah menentukan sebab-sebab yang sesungguhnya dari keterbelakangan masyarakatnya dan menemukan penyebab sebenarnya dari kemandekan dan kebobrokan rakyat dalam lingkungannya. Lebih-lebih ia harus mendidik masyarakatnya yang bodoh dan masih tertidur, mengenai alasan–alasan dasar bagi nasib sosio-historis yang tragis. Lalu, dengan berpijak pada sumber-sumber, tanggung jawab, kebutuhan-kebutuhan dan penderitaan masyarakatnya, ia dituntut menentukan pemecahan-pemecahan rasional yang memungkinkan pemanfaatan yang tepat atas sumber-sumber daya terpendam di dalam masyarakatnya dan diagnosis yang tepat pula atas penderitaan masyarakat itu, orang yang tercerahkan akan berusaha untuk menemukan hubungan sebab akibat sesungguhnya antara kesengsaraan, penyakit sosial, dan kelainan-kelainan serta berbagai faktor internal dan eksternal. Akhirnya, orang yang tercerahkan harus mengalihkan pemahaman diluar kelompok teman-temannya yang terbatas ini kepada masyarakat secara keseluruhan.

Rausyanfikr merupakan kunci bagi perubahan, oleh karenanya sulit diharapan terciptanya perubahan tanpa peranan mereka. Merekalah pembangun jalinan yang meninggalkan isolasi menara gading dan turun dalam masyarakat. Mereka adalah katalis yang meradikalisasi massa yang tidur panjang menuju gerakan melawan penindas. Hanya ketika dikatalisasi oleh rausyanfikr masyarakat dapat mencapai lompatan kreatif yang besar menuju peradaban baru. Pemikir tercerahkan adalah aktivis yang meyakini sungguh-sungguh dalam ideologi mereka dan menginginkan syahid demi perjuangan tersebut. Misi yang dilancarkan mereka adalah untuk memandu “massa yang tertidur dan bebal” dengan mengidentifikasi masalah riil berupa kemunduran masyarakat, dan Islam—agama keadilan—sebagai solusi rasional untuk menguliti masalah yang mencuat dalam masyarakat. Syari’ati (2001) bertutur:

Manusia ideal memiliki tiga aspek: kebenaran, kebajikan, dan keindahan. Dengan perkataan lain: pengetahuan, akhlaq, dan seni. Menurut fithrahnya dia adalah khalifah Allah. Dia adalah kehendak yang komit dengan tiga macam dimensi: kesadaran, kemerdekaan, dan kreativitas.

Jika boleh divisualkan, Ali Syari’ati seolah berorasi kepada seluruh intelektual Muslim di manapun,” Wahai ulil albab, rausyanfikr, kalian jangan berhenti di atas menara gading. Turunlah ke bawah, ke kampung-kampung, ke kota-kota, ke pasarpasar, ke sekolah-sekolah, ke tempat dimana ada sekumpulan manusia. Jangan puas dengan ilmu yang telah kalian dapatkan. Sebab ilmu itu harus kalian abdikan ke tengah masyarakatmu. Tumbuhkan kesadaran dan semangat umat untuk merubah dunia dengan bimbingan ilmu. Jangan anjurkan mereka meniru-niru Barat atau menjiplak Timur. Sebab Barat dan Timur bukanlah kutub yang harus dipilih, keduanya sama-sama tumbuh dari jantung tradisi. Hidupkan Islam, sebab Islam bukan tradisi, bukan Barat, bukan pula Timur. Islam adalah wahyu. Pelajari keyakinan dasar dan proses yang membentuk kesadaran masyarakatmu, kemudian kebudayaan mereka, dan karakteristik mereka. Tugas kalian adalah merobohkan sistem masyarakat yang berdasar atas penindasan, ketidakadilan, dan kezaliman dengan membentuk umat yang terbangun atas dasar tauhid. Inilah tugas para rasul, kini kalian penerusnya!”

Wallahual’lam bishawwab.



Referensi lanjut:

Rahnema, Ali (ed), Para Perintis Zaman Baru Islam, Mizan, Bandung, 1995. “Kumpulan tulisan tentang riwayat beberapa tokoh Muslim perubah dunia dan pemberi kontribusi besar dalam dinamika kebangunan ummat Islam.”

Ridwan, M. Deden, (ed), Melawan Hegemoni Barat; Ali Syariati Dalam Sorotan Cendekiawan Indonesia, Penerbit Lentera, Jakarta, 1999. “Kumpulan tulisan beberapa penulis Muslim Indonesia yang menyoroti sosok Ali Syari'ati dalam berbagai sudut pandang keagamaan, sosial, politik, dan kultural.”

Supriyadi, Eko, Sosialisme Islam; Pemikiran Ali Syariati, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Desember 2003. Analisis seputar karakteristik revolusioner Islam dalam pandangan Ali Syariati, kritik-kritiknya terhadap Marxisme, berikut analisis mengenai titik singgung dan titik seberang antara Islam dan Sosialisme-Marxisme.

Syari'ati, Ali, Tugas Cendekiawan Muslim, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2001. “Pandangan Ali Syari'ati yang membahas tentang perspektif Islam dalam memandang manusia, pandangan dunia seorang Muslim tentang tawhid dan perannya dalam masyarakat, berikut analisis sosiologis masyarakat Islam.”

_________, On Socioligy of Islam, Mizan Press, Berkeley, 1979. “Pandangan Ali Syari'ati tentang perspektif sosiologis Islam dan konsepsinya tentang masyarakat dalam kacamata Islam.”

_________, Paradigma Kaum Tertindas, Sebuah Kajian Sosiologi Islam, Al-Huda, Jakarta, 2001. “Pandangan hidup tawhid , dialektika sejarah dalam perspektif Al- ur'an, serta analisis tentang karakteristik Nabi Muhammad sebagai utusan Tuhan.”

_________, Humanisme Antara Islam dan Mahzab Barat, Pustaka Hidayah, Bandung, 1996. “Pandangan Ali Syari'ati tentang konsep humanisme sekuler, kritik terhadap humanisme, eksistensialisme, modernisme, dan Marxisme, serta tarik menarik antara Marxisme dengan agama, khususnya Islam. Di sini Ali Syari’ati secara tegas menyatakan perbedaannya antara mahzab Islam dan mahzab Barat.”

_________, Haji, Penerbit Pustaka, Bandung, 1997. “Penjelasan naratif tentang pelaksanaan ibadah hajji dalam analisis mistis-filosofispolitis dalam setiap tahapan hajji.”

_________, Islam Mahzab Pemikiran dan Aksi, Mizan, Bandung, 1992. “Mahzab pemikiran ideologi Ali Syari'ati, sejarah dua mahzab Islam dan filsafat doa dalam pandangan Ali Syari'ati.”

_________, Membangun Masa Depan Islam, Mizan, Bandung, 1986. “Kumpulan teks ceramah Ali Syari'ati tentang langkah-langkah yang ditempuh umat Islam dalam upaya reinterpretasi Islam, dilengkapi dengan naskah rencana praktis Husyainiyah Irsyad, sebagai tungku yang menampung pemikiran-pemikiran revolusioner Ali Syari'ati.”

_________, Panji Syahadah: Tafsir Baru Islam Sebuah Pandangan Sosiologis, Shalahuddin Press, Yogyakarta, 1986.

“Makna syahadah dalam tradisi Islam, karakterisik Islam sejati, dan gambaran wajah

Nabi Muhammad.”

_________, Reflections of Humanity: Two Views of Civilization and the Plight of Man, Free Islamic Literatures, Houston, 1980.

“Pandangan Ali Syari'ati tentang humanisme dan nestapa manusia di tengah pusaran
peradaban dan ideologi dunia.”

[1] Eko Supriyadi, Sosialisme Islam; Pemikiran Ali Syari’ati, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003. Halaman vii-ix.

[2] Ali Syari'ati, Islamology: The Basic Design for A School of Thought and Action, dalam

http//www.shariati.com//about DR. shariati.html. 23 Maret 2003.

[3] Rausyanfikr adalah bahasa Persia yang artinya “Pemikir yang tercerahkan.” Dalam terjemahan Inggris

terkadang disebut intelectual atau free thinkers. Rausyanfikr berbeda dengan ilmuwan. Seorang ilmuwan

menemukan kenyataan, seorang rausyanfikr menemukan kebenaran. Ilmuwan hanya menampilkan fakta

sebagaiman adanya, Rausyanfikr memberikan penilaian seharusnya. Ilmuwan berbicara dengan bahasa universal,

Rausahnfikr seperti para Nabi – berbicara dengan bahasa kaumnya. Ilmuwan bersikap netral dalam

menjalankan pekerjaannya, Rausyanfikr harus melibatkan diri pada ideologi. Lihat Jalaluddin Rahmat, “Ali

Syaria’ti ; panggilan untuk Ulil Albab” Pengantar dalam, Ali Shari’ati. Ideologi Kaum Intelektual, Suatu Wawasan

Islam, Syafiq Bashri dan Haidar Baqir (penrj), Mizan, Bandung, 1994, hal 14 – 15.