Assalamu'alaikum,,, Salam Hormat

Terima kasih atas kunjungan anda ke blog saya. Semoga bermanfaat. Semua tulisan ini hasil saya pribadi, atau diambil dari tulisan lain yang tercantum pada rujukannya. Bila mengutip baik secara langsung maupun tidak, sebagian atau keseluruhan, diharapkan Mencantumkan sumber tulisan dan penulisnya pada daftar pustaka/catatan kaki sebagai bahan rujukannya.
atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih

Minggu, 14 Desember 2008

Dialog Dua Hati

Dialog Dua Hati


Disebuah ruang yang sepi, pada suatu malam, aku terpaku menatap langit-langit kamar yang diam membisu. Tidak ada seseorang yang menemaniku. Hanya keheningan malam dan seekor cicak yang berlarian di dinding yang menemaniku.


Tiba-tiba tanganku bergerak pada tombol-tombol hand phone, dan mengirimkan sebuah pesan pada sebuah nomor lain. Ku tulis demikian.


A : dalam keheningan malam, aku termenung sendiri, tak ada yang menemani. Hanya seekor cicak yang berlarian di langit-langit kamarku yang menemani kesunyian malamku.


Tak beberapa lama, muncul sebuah pesan di layar HP ku. Sampai akhirnya terjadi sebuah percakapan yang cukup panjang.


Y : Berteman dengan cicakpun tak mengapa, daripada tanpa ada yang menemani.

A : Tapi sekarang, cicakpun enggan untuk menampakkan wujudnya di hadapanku. Seakan dia mengerti kehadirannya hanya akan merusak keheningan malam yang indah. Yang hanya dinikmati ketika dia hening.

Y : Wah ngomongnya puitis banget tuh.

A : Itu adalah suara hati dan pikiran saya. Karena saya tidak pernah memenjarakan hati dan pikiran, karena itu adalah hak yang harus dimiliki setiap manusia.

Y : Apa yang keluar dari hati, itulah yang terindah. Tak ada dusta dan rekayasa. Memang tak seharusnya kau menghalangi ketulusannya. Karena itu akan membuat hati menjerit dan tersiksa.

A : Sepakat..!! Tapi terkadang untaian kata lewat tulisan tak cukup memuaskan hati. Goresan pena hanya akan menumpuk pada lembaran kertas, atau SMS yang kapanpun bisa terhapus. Tapi,, ketika mulut tak cukup memiliki keberanian, tulisan dapat menjadi alternatif.

Jika hati menjerit, maka berteriaklah..Jangan sampai kelak kita hanya mempu menuliskan untaian kata yang tak terucap itu pada batu nisannya. Yang itu hanya akan ditertawakan oleh tubuh yg terbujur kaku yang berada di dalamnya. Atau ditertawakan oleh burung bangkai yg melihat, atau oleh gundukan tanah merah.

Semuanya tidak akan berarti ketika penyesalan datang. Karena waktu tak dapat kembali ke masa lalu..Untuk apa kita menuliskan untaian kata yang belum sempat terucap pada batu nisannya? Karena ketika itu dia tidak akan melihat. Hanya penyesalan dan penyesalan yg dapat kita rasakan. Dan pada akhirnya kita akan menertawanan dan menangisi kebodohan dan sikap pengecut kita.

Y : Begitu rapuhkan kau hingga tak mampu mengalahkan pesimismu. Persaan yang akan membuatmu makin terpuruk dalam kehampaan. Jika setiap kata yang kau goreskan pada kertas atai layar HP benar adanya sesuai dg bisikan hatimu, tak perlu kau takutkan akhir dari setiap katamu. Belajar tuk ikhlas, agar tak menyisakan penyesalan.

A : Aku adalah ruang kosong yg hampa dan bisu. Aku hanya malam yg gelap sepi. Yang tiap orang enggan untuk tetap terjaga menemani malam..Hanya kesunyian dan keheningan yg setia menemaniku. Bintang dan bulanpun enggan muncul walau hanya untuk sekedar menemani malam yang gelap sepi. Hanya dinding dan ruang bisu yg menemaniku.

Bahkan cicak pun enggan untuk menampakkan wujudnya lagi di hadapanku. Seolah dia mengerti kehadirannya hanya akan merusak keheningan malam.

Y : Tak selamanya ruang kosong yg hampa dan penuh kesunyian menakutkan. Karena tak sedikit yg mendambakannya. Malam gelap tak selamanya kelam, karena pasti kan ada yg menghiasi.

A ; Tapi mengapa kali ini terasa semua menjauh. Hidup terasa melankolis. Malam hanya didambakan ketika bintang dan purnama bersinar. Tapi mengapa purnama tak mengerti betapa berartinya dia bagi sang malam? Mengapa pula malam tak mengatakannya pd purnama? Mungkin dia yankin, purnama akan datang suatu saat nanti untuk mengindahkan malam...

Y : Semua terasa menjauh ketika kita tak berusaha menggapainya. Namun ketika hati mulai tak yakin mencapainya, biarkan keikhlasan yg menyapa. Karena semua kan melahirkan ketentraman tiada akhir.


Y ; Aku tlah terbiasa menuangkan pesan hati pada secarik kertas. Tak ada ketakutan sedikitpun pesan itu akan lenyap. Ketulusan rasa tak akan mengubahnya. Karena pesan itu akan selalu ada dalam diri yang merasakannya.

A : bagaimana jika pesan itu untuk disampaikan? Bagaimana orang lain dapat merasakan jika hanya tertutup pada lembaran kertas yang hanya kita yang tau?

Y : Memang tak mudah tuk meluluhkan keinginan untuk menyampaikkan pada seseorang. Namun ketika diri menyadari tak ada dorongan kuat untuk menyampaikan, apa hendak dikata, selain mencoba tuk berbagi dengan benda mati.

A : Keikhlasan boleh dilakukan ketika kita telah berusaha untuk menyampaikannya. Karena itu adalah amanah hati kita. Ketidakyakinan adalah bukti ketidakberdayaan kita untuk melepaskan diri dari belenggu.

Y : Akhirnya dikau mengakui kelemahanmu..

A : Itu masalahnya..Aku tak cukup punya keberanian. Yg nanti dikhawatirkan adalah penyesalan, karena terpaksa menuliskan amanah hati pada seonggok batu nisan.

Y : Mengapa tak kau paksa mulutmu berbicara? Biar raga tak terbebani oleh amanah hati yang akhirnya meninggalkan penyesalan.

A : saya belum siap menerima kenyataan ketika dia tak berkenan..Ingin rasanya mulut ini berucap, atau lewt untaian kata tulisan yg langsung ditujukan untuknya.

Y : Yaahh...diriku juga bingung kalo gitu. Untuk saat ini lebih baik turuti apa kata hati saja.

A : Ya begitulah bahasa hati, sulit dimengerti, tapi inginnya dimengerti. Terima kasih karena telah mau berdialog dengan hati saya. Kaena belum tentu dalam dunia nyata hati ini sudi untuk berbicara.

Y : Jangan biarkan rangkaian kata yang begitu indah kehilangann makna hanya karena ego semata. Jadikan kejujuran hati sebagai langkah awal tuk memahami arti yang tersembunyi. Pesona kata-kata kiasan tak seharusnya kau pertaruhkan sebagai perantra belaka. Hingga murni ketulusan tetap abadi.

A : Selama ini amanat hati menuntut untuk diungkapkan. Tapi diri ini menolak dan berusaha untuk diam diri dalam kesunyian dan kehampaan. Saya bingung harus menuruti yang mana? Sayang hati hati tak dapat bicara sendiri, tetapi harus menggunakan perantaa kata atau tulisan.


Dengan menyebut asma Allah dan disaksikan oleh jagat raya yang melantunkan kidung cinta..aku bersaksi bahwa dirimu adalah cintaku, sebagai anugerah illahi Sang Maha Kasih Pemberi Cinta.


Y : Meski harus melalui perjalanan yg sangat panjang, akhirnya amanat hati tlah kau sampaikan. Semoga tak ada lagi beban yg sulit terungkap, hingga kedamaian selalu mengiringi.

Senin, 13 Oktober 2008

otonomi khusus

Otonomi Khusus Sebagai Solusi Masalah Desentralisasi

oleh: Bambang Wibiono


I. Pendahuluan

Gagasan dan tuntutan federalisme muncul setelah selama tiga dasawarsa kekuasaan orde baru gagal menerjemahkan konsep negara kesatuan sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD 1945. Konsep negara kesatuan cenderung ditafsirkan identik dengan sentralisasi kekuasaan dan uniformitas struktur pemerintahan. Konsekuensinya, otonoi daerah menjadi suatu yang niscaya. Daerah tidak memeiliki kemerdekaan untuk menentukan masa depannya, tidak memiliki keleluasaan untuk mengelola pendapatan daerah, serta ketiadakpercayaan dari Pusat untuk menentukan sendiri pemimpin bagi daerahnya. Akibatnya masa depan setiap daerah ditentukan semuanya oleh pusat.

Akibat dari tersentralisasinya kekuasaan kepada pemerintah pusat, serta tidak meratanya hasil-hasil pembangunan, maka timbul berbagai pertentangan dan perlawanan dari daerah yang menuntut kemerdekaan dan bahkan keluar dari NKRI. Untuk mengatasi hal ini, pemerintah mulai mendefinisikan ulang konsep desentralisasi, yang akhirnya dijabarkan menajadi otonomi daerah. Daerah diberi keleluasaan untuk mengatur rumah tangga daerahnya sendiri. Daerah juga mempunyai wewenang untuk mengatur keuangan dan pembangunan di daerahnya dengan disesuaikan dengan kondisi dan kulutur daerah masing-masing.

Namun bagaimanakah permasalah yang timbul dari pelaksanaan otonomi daerah yang ternyata masih menyisakan masalah bagi beberapa daerah. Ternyata masih ada daerah yang menuntut untuk memerdekakan diri dan lepas dari NKRI. Ini diakibatkan oleh akumulasi ketidakpercayaan pada Pemerintah Pusat dalam memajukan daerah dan cenderung diskriminatif tanpa memperhatikan kondisi daerah. Kasus seperti ini dapat dilihat pada konflik di Aceh, Papua, dan bebrapa daerah lainnya. Pada akhirnya untuk mengatasinya Pemerintah pusat mengeluarkan kebijakan mengenai otonomi khusus bagi beberapa daerah seperti Aceh dan Papua.

II. Pembahasan

Dasar konstitusional penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah pasal 18, 18A dan 18B UUD 1945. Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa negara kesatuan republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. Dalam pola penyelenggaraan pemerintahan Indonesia, terdiri atas pemerintahan yang bertingkat dari Pemerintah Pusat, provinsi, kabupaten, hingga pemerintahan yang terkecil yakni Desa. Kesatuan-kesatuan pemerintahan yang berada dibawah pemerintah pusat dapat melaksanakan sendiri pemerintahannya dan dapat melaksanakan tugas-tugas yang telah didelegasikan oleh pemerintahan pusat.

Dalam UUD 1945 mengaskan bahwa pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Selain itu, pada pasal 18B UUD 1945 juga menyebutkan bahwa Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan yang bersifat khsusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Dasar-dasar secara konstitusional yang disebutkan di atas merupakan dasar secara yuridis dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dan dasar pelaksanaan otonomi.

Dalam undang-undang, dasar pelaksanaan otonomi telah termaktub dalam UU No.22 Tahun 1999 yang kemudian disempurnakan dengan lahirnya UU No.32 Tahun 2004 tentang penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dalam UU No.32 Tahun 2004 telah menyebutkan dalam melaksanakan pemerintahan, pemerintah dapat melaksanakan sendiri pemerintahan yang berada di daerah-daerah, menyerahkan sebagian kewenangan kepada daerah-daerah untuk melaksanakan sendiri pemerintahan yang berada di daerah, melimpahkan sebagian kewenangannya kepada pemerintah daerah dan dapat melaksanakan tugas dengan diperbantukan oleh pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota dan kepada desa. Berarti asas dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam Negara kesatuan republik Indonesia adalah asas sentralisasi, desentralisasi dan tugas pembantuan.

Pada masa kekuasaan Orde Baru melalui UU No.5 Tahun 1974 tentang penyelenggaraan pemerintahan daerah, pada realitasnya adalah asas sentralisasi. Pemerintah beranggapan bahwa apabila daerah diberikan keleluasaan untuk menyelenggarakan sendiri pemerintahannya, berpotensi akan hilangnya nasionalisme dan berpotensi akan terjadinya disintegrasi bangsa. Sehingga dalam prakteknya pemerintah memberlakukan keberagaman dalam pelaksanaan pemerintahan daerah di Indonesia. Hal ini terbukti dengan pembiaran dan tidak mengakui lembaga-lembaga daerah di Indonesia yang telah lama hidup dan berkembang serta dihormati dan dipatuhi oleh masyarakat setempat. Bentuk sentralisasi lain yang dapat kita lihat dalam pelaksanaan pemerintahan pada masa orde baru adalah adanya pengawasan yang sangat ketat dan dominasi yang dilakukan oleh pemerintah pusat terhadap daerah.

Daerah tidak diberikan kesempatan untuk lebih kreatif dalam menyelenggarakan pemerintahannya. Akibatnya pemerintah daerah cenderung pasif dan kewenangan-kewenangan yang dilaksanakan tidak lebih dari apa yang telah digariskan sebelumnya oleh pemerintah pusat. Pelaksanaan pemerintahan yang sangat sentralistik tersebut diibaratkan api dalam sekam yang siap untuk menyala. Meskipun pemerintah dapat meredam dengan kekuatan militer dan birokrasi yang bersifat komandoistik, namun protes dan persoalan integrasi bangsa mencuat manakala pemerintah Orde Baru tumbang. Pasca lengsernya pemerintahan yang sangat sentralistik tersebut, Indonesia mengalami suatu persoalan baru yakni persoalan disintegrasi bangsa.

Akibatnya tidak ada jalan lain bagi pemerintah, yakni dengan memberikan status otonomi bagi daerah. Dasar yuridis dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah diberikan untuk melaksanakan otonomi, hal ini seiring dengan lahirnya UU No.22 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Lahirnya UU ini telah melahirkan nuansa baru dalam perkembangan demokrasi di Indonesia. Daerah-daerah khsususnya kabupaten/kota diberikan kesempatan yang besar dalam melaksanakan urusan-urausannya. Persoalan yang baru muncul dalam pelaksanaan otonomi adalah pemerintah provinsi merasa tidak diberikan kewenangan yang besar dibandingkan dengan pemerintah kabupaten/ kota. Akibatnya pemerintah kabupaten/kota merasa memiliki posisi yang sama dengan pemerintah provinsi. Hal ini berdampak kepada para gubernur di Indonesia merasakan kabupaten berada di luar pengawasannya. Tidak jarang para gubernur merasa tidak dihormati oleh pemerintah kabupaten. Dasar pelaksanaan otonomi daerah diperbaharui dengan lahirnya UU No.32 Tahun 2004. UU ini kembali memberikan kewenangan yang besar kepada pemerintah provinsi untuk melaksanakan otonomi. Artinya, meskipun kesempatan untuk melaksanakan otonomi dititikberatkan pada kabupaten/kota, namun pemerintah provinsi mempunyai kewenangan untuk melakukan pengawasan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan kabupaten/kota.

Otonomi Luas Sebagai Sebuah Solusi

Berbagai permasalah yang ada selama orde baru yang sentralistik berdampak luas pada penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Dengan berbagai pemberontakan dan aksi yang menuntut kemerdekaan menyebabkan perlunya sebuah kebijakan yang mampu menampung aspirasi dan kepentingan daerah. Oleh karena itu untuk menengahi konflik yang berkepanjangan dikeluarkan kebijakan otonomi luas bagi daerah Aceh, Papua, dan Maluku.

Pemberian otonomi khusus kepada Provinsi Daerah istimewa Aceh didasarkan pada, antara lain kondisi riil masyarakat Aceh yang belakangan ini memunculkan pergolakan dalam berbagai bentuk reaksi. Pergolakan itu muncul sebagai akibat dari kebijakan dalam penyelenggaan pemerintahan pada masa lalu yang menitik beratkan pada system yang terpusat. System itulah yang menjadi sumber bagi kemunculan ketidakadilan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika tidak segera direspons dengan aktif dan bijaksana, maka hal tersebut akan dapat mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Berdasarkan konisi tesebut, MPR pada Sidang Umum MPR tahun 1999, merumuskan dalam Gars-Garis Besar Haluan Negara 1999, kebijakan menyangkut Pembangunan Daerah. Dalam kebijakan itu, MPR menetapkan ketentuan khusu untuk tiga Provinsi, yaitu Daerah Istimewa Aceh, Irian Jaya, dan Maluku. Dalam keterangan pemberian status khusus itu disebutkan:

“Dalam rangka pengembangan otonomi daerah di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta untuk menyelesaikan secara adil dan menyeluruh permasalahan di daerah yang memerlukan penanganan segera dan bersungguh-sungguh ….” (Ni’matul Huda, 2005: 68)


Untuk Daerah Istimewa Aceh, ditetapkan bahwa:

  1. Mempertahankan integrasi bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan mengharagai social budaya masayrakat Aceh, melalui penetapan Aceh sebagai daerah otonomi khusus “yang diatur dengan undang-undang.”

  2. Menyelesaikan kasus Aceh secara berkeadilan dan bermartabat dengan melakukan pengusutan dan pengadilan yang jujur bagi pelanggaran hak asasi manusia, baik selama pemberlakuan Daerah Operasi Militer maupun pasca-pemberlakuan Daerah Operasi Militer.

Pemberian otonomi kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat dan diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan, dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Penyelenggaraan desentralisasi tersebut mensyaratkan pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah pusat dan daerah otonom.

Sedangkan untuk Provinsi Irian jaya Pemerintah mengeluarkan UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Otonomi Khusus bagi Provinsi papua pada dasarnya adalah pemberian kewenangan yang lebih luas bagi provinsi dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri di dalam kerangka NKRI. Kewenangan yang lebih luas berbarti pula tanggung jawab yang lebih besar bagi Provinsi dan rakyat Papua untuk menyelenggarakan pemerintahan dan mengatur pemanfaatan kekayaan alam di Provinsi papua untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Papua sebagai bagian dari rakyat Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Aspek Yuridis Konstitusional Otonomi Khusus

Pada saat kita merdeka dan sehari kemudian ditetapkan UUD 1945, Pasal 18 dan Penjelasannya memberikan dasar hukum bahwa Negara memandang dan mengingati hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa. Dalam sejarah penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia lalu kita mengenal adanya 2 (dua) daerah istimewa yaitu Aceh dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Namun sejarah juga telah mencatat bahwa sepanjang penyelenggaraan pemerintahan yang sangat dinamis, diantara daerah-darah di Indonesia terdapat daerah-daerah yang secara politis sangat berbeda sehingga perlu diapresiasi. Itulah kenapa MPR-RI pada saat menetapkan GBHN Tahun 1999-2004 mencantumkan hal itu untuk dijadikan acuan kebijakan.

Hadirnya peraturan perundang-undangan tentang otonomi khusus diawali oleh lahirnya Ketetapan MPR RI No. IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah. Ketetapan ini telah merekomendasikan agar segera di bentuk Undang-Undang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001. Secara umum, isi dari Undang-undang ini pada prinsipnya mengatur kewenangan pemerintahan di Provinsi Daerah Istimewa Aceh yang merupakan kekhususan dari kewenangan Pemerintahan Daerah selain yang diatur didalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.

Ketetapan MPR No. IV/MPR/1999 tentang GBHN Tahun 1999-2004 yang menetapkan landasan arah kebijakan pembangunan daerah, salah satunya adalah mengembangkan otonomi daerah secara luas, nyata dan bertanggung jawab dalam rangka pemberdayaan masyarakat, lembaga ekonomi, lembaga politik, lembaga hukum, lembaga keagamaan, lembaga adat dan lembaga swadaya masyarakat, serta seluruh potensi masyarakat dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara lebih khusus GBHN mengarahkan bahwa dalam rangka pengembangan otonomi daerah di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta untuk menyelesaikan secara adil dan menyeluruh permasalahan di daerah yang memerlukan penanganan segera dan bersungguh-sungguh, maka perlu ditempuh langkah-langkah sebagai berikut:

  1. Daerah Istimewa Aceh;

    • Mempertahankan integrasi bangsa dalam wadah NKRI dengan menghargai kesetaraam dan keragaman kehidupan sosial budaya masyarakat Aceh melalui penetapan Daerah Istimewa Aceh sebagai daerah otonomi khusus yang diatur dengan undang-undang.

    • Menyelesaikan kasus Aceh secara berkeadilan dan bermartabat dengan melakukan pengusutan dan pengadilan yang jujur bagi pelangar hak azasi manusia, baik selama pemberlakuan Daerah operasi militer.

  1. Irian Jaya;

    • Mempertahankan integrasi bangsa dalam wadah NKRI dengan menghargai kesetaraam dan keragaman kehidupan sosial budaya masyarakat Irian Jaya melalui penetapan daerah otonomi khusus yang diatur dengan undang-undang.

    • Menyelesaikan kasus pelanggaran hak azasi manusia di Irian Jaya melalui proses pengadilan jujur dan bermartabat.

  1. Maluku.

    • Menugaskan pemerintah untuk segera melaksanakan penyelesaian konflik sosial yang berkepanjangan secara adil, nyata dan menyeluruh serta mendorong masyarakat yang bertikai agar pro-aktif melakukan rekonsialisasi untuk mempertahankan dan memantapkan integrasi nasional.

Setahun kemudian ditetapkan Ketetapan MPR No.IV Tahun 2000 Tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah. Dari 7 (tujuh) rekomendasi yang ditetapkan, yang nomor 1 ditujukan secara khusus kepada Pemerintah dan DPR agar: Undang-undang tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh dan Irian Jaya, sesuai amanat Ketetapan MPR No.IV/MPR/1999 tentang GBHN Tahun 1999-2004,agar dikeluarkan selambat-lambatnya 1 Mei Tahun 2001 dengan memperhatikan aspirasi masyarakat daerah yang bersangkutan.

Kedua Undang-undang yang diamanatkan MPR tersebut direalisasikan oleh Pemerintah dan DPR pada tahun 2001 yakni dengan diberlakukannya UU No.18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan UU No.21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Dalam perkembangannya UU No.18 Tahun 2001 diganti dengan UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Seiring dengan dinamika politik yang berkembang Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 (yang merupakan salah satu bagian dari amandemen kedua UUD 1945) mengatur bahwa Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-undang. Ketentuan tersebut diadopsi dalam Pasal 2 Ayat (8) UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang dalam penjelasannya dinyatakan bahwa yang dimaksud satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus adalah daerah yang diberikan otonomi khusus, sedangkan daerah istimewa adalah Daerah Istimewa Aceh dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Dari uraian tersebut maka otonomi khusus di Indonesia sejalan dengan prinsip universal yakni dilaksanakan dengan pertimbangan politik, secara yuridis konstitusional di Indonesia diberlakukan di Aceh dan Irian Jaya (Papua).

Otonomi Khusus Secara yuridis dasar implementasi adanya otonomi khusus dan istimewa adalah pasal 18B UUD 1945, pasal 18 ayat (1) berbunyi Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Dengan demikian, pemerintah NKRI memberikan legitimasi bagi daerah tertentu untuk melaksanakan otonomi khusus dalam penyelenggaraan pemerintahan. Daerah yang diberikan otonomi khusus adalah daerah Papua dan Aceh.

Papua diberikan otonomi khusus melalui UU No.21 Tahun 2001 dan daerah Aceh melalui UU No.18 Tahun 2001. Otonomi khusus di Papua berupa diberikan eksistensi daerah tersebut dengan diakuinya lembaga adapt Papua serta diberikan penmabahan dana perimbangan antara pusat dan daerah. Sedangkan pada daerah Aceh diberikan kewenangan untuk melaksanakan syarat Islam di daerah tersebut. Secara konfrehensif perbedaan antara daerah yang diberikan otonomi khusus dapat kita lihat pada kedua undang-undang yang telah disahkan tersebut.

Otonomi Khusus di Aceh Diberikannya kesempatan untuk melaksanakan pemerintahan secara khusus di Aceh melalui UU No.18 Tahun 2001 tidak memberikan dampak yang signifikan untuk menghentikan konflik vertikal yang terjadi di daerah itu. Para kalangan menilai bahwa UU tersebut hanya bersifat untuk meredam gejolak semakin memanasnya situasi Aceh untuk memisahkan diri dari NKRI. Sehingga bila kita lihat dasar pemberlakuan UU tersebut hanya dikarenakan kondisi objektif yang memaksa bagi pemerintah. Karenanya konflik masih saja berlangsung di wilayah itu.

Perundingan-perundingan yang dilakukan oleh pemerintah dengan Gerakan Aceh Merdeka untuk menghentikan konflik belum menemukan titik terang. Pemerintah Megawati Soekarno Putri sampai memberlakukan status Darurat Militer bagi Aceh setelah gagalnya perundingan Tokyo. Adanya momentum tsunami yang telah banyak menelan korban yang cukup besar di Aceh telah membawa perubahan sikap bagi entitas yang berkonfrontasi untuk memikirkan kembali perundingan demi terciptanya perdamaian di Aceh. Sehingga pemerintah NKRI dan GAM kembali melakukan perundingan pada bulan Januari 2005 yang lalu. Perundingan tersebut melahirkan nota kesepahaman (MoU) yang ditandatangani oleh kedua belah pihak pada tanggal 15 September 2005. amanat dari MoU ini adalah perlunya pengaturan secara konstitusional tentang penyelenggaraan pemerintahan Aceh, pengintegrasian GAM, pemusnahan senjata GAM dan penarikan pasukan TNI/POLRI nonorganik di Aceh. Adanya MoU antara pemerintah dengan GAM telah menimbulkan pro dan kontra di kalangan nasional.

Sebagian kalangan menilai bahwa semestinya pemerintah tidak perlu melakukan perundingan dengan separatis yang jelas-jelas telah berusaha untuk merusak keutuhan NKRI. Namun demikian, pemerintah tetap melaksanakan penandatanganan kesepakatan dengan tujuan untuk menyelesaikan persoalan Aceh yang telah lama bergejolak. Hal menarik untuk kita kaji adalah implementasi MoU ini telah melahirkan UU No.11 Tahun 2006 tentang penyelenggaraan pemerintahan Aceh. Lahirnya UU ini telah memberikan dinamika baru dalam penyelenggaraan pemerintahan Aceh.

Infrastruktur politik barupun bermunculan dan kewenangan-kewenangan bagi pemerintah Aceh dalam melaksanakan roda pemerintahan di Aceh bertambah sehingga sebagian kalangan nasionalis menilai dengan adanya UU ini telah menjadikan daerah Aceh sebagai daerah yang sangat istimewa dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia. Hal ini dikarenakan Sebagian ahli hukum berpendapat bahwa MoU merupakan perjanjian politik bukan perjanjian hukum.

Adanya keraguan dan kecemasan ini akan berpotensi dalam implementasi UU No.11 Tahun 2006 kedepan, karenanya perlu kita kaji kembali penyelenggaraan pemerintahan Aceh melalui UU No.11 tahun 2006 dari sudut Hukum Tata Negara Indonesia. Apakah implementasi UU yang mengatur tentang kekhususan Aceh tersebut berpotensi merusak bentuk NKRI? Hal ini menarik untuk kita diskusikan dan kaji kembali.

Secara teoritis pelaksanaan otonomi daerah berlatar belakang dari adanya tujuan politis dan tujuan administratif yang ingin dicapai oleh pemerintah suatu negara. Maddick (1963 dalam Riyadmadji, 2007) menyatakan bahwa secara rasional tujuan politisnya ialah adanya kebutuhan untuk menciptakan civic consciousness dan political maturity melalui pemerintah daerah. Lebih lanjut Maddick berargumen bahwa "The spread of political maturity can be affected through popular participation and a responsive government that can convert local needs into policies and be accountable to the people".

Argumen yang senada juga dinyatakan oleh Loughlin (1981:1, dalam Ibid.) yang mengatakan bahwa sistem pemerintahan daerah perlu untuk mengakomodasikan pluralisme dalam suatu negara modern yang demokratis. Sedangkan Smith (1985) berargumen bahwa keberadaan pemerintah daerah perlu untuk mencegah munculnya kecenderungan sentrifugal karena perbedaan etnis, agama dan unsur-unsur primordial lainnya dalam daerah-daerah yang berbeda.

Sementara itu dari tujuan administratif alasan rasional membentuk pemerintahan daerah adalah untuk mencapai efisiensi ekonomis melalui desentralisasi perencanaan, pengambilan keputusan, pengadaan pelayanan masyarakat dan pelaksanaan kegiatan-kegiatan pembangunan. Dari sini lahir suatu kebutuhan untuk membentuk unit-unit pemerintahan di tingkat lokal (sub national governments) baik atas prinsip devolusi/ desentralisasi maupun atas dasar prinsip dekonsentrasi.

Kedua jenis pilihan tersebut akan mempunyai implikasi yang sangat berbeda dan menurut Rondinelli (1984), adanya kecenderungan dari pemerintah negara-negara di dunia untuk mengkombinasikan pilihan-pilihan tersebut walaupun dengan memberikan titik berat pada salah satu prinsip (desentralisasi atau dekonsentrasi).

Dari tataran teoritis dan bukti-bukti empirik tersebut terlihat bahwa masalah otonomi selalu berkembang dari waktu ke waktu. Perkembangan otonomi sangat berkait erat dengan perkembangan politik di tingkat nasional. Nature dari politik di tingkat nasional akan mewarnai nature politik di tingkat lokal dan pada gilirannya akan mewarnai politik desentralisasi yang diterapkan oleh pemerintah yang berkuasa.

Secara akademis hakekat otonomi daerah merupakan refleksi dari power sharing yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah. Dalam kaitan ini terdapat beberapa kewenangan pusat yang tidak dapat diserahkan kepada daerah yaitu pertahanan keamanan, hubungan luar negeri, serta urusan moneter dan fiskal. Di luar itu pada dasarnya urusan-urusan Pemerintah Pusat dapat didesentralisasikan ke daerah.

Sementara itu pelaksanaan otonomi khusus di beberapa negara merupakan refleksi dari pendekatan desentralisasi yang asimetrik (asymetric decentralization). Artinya kebijakan desentralisasi yang diterapkan di daerah-daerah yang diberi otonomi khusus tersebut tidaklah simetris dengan desentralisasi di daerah otonom lainnya.

Philipina yang memberlakukan otonomi khusus di Mindanao Selatan, Spanyol yang memberlakukan otonomi khusus di Basque, Canada yang memperlakukan otonomi khusus di Quebec semuanya didasari karena adanya kelompok minoritas yang ingin memisahkan diri, lalu daripada memisahkan diri diberlakukan kebijakan desentralisasi yang bersifat khusus dengan memberikan otonomi khusus. Dengan demikian secara akademis pendekatan asimetrik tersebut dilakukan untuk mengakomodasikan perbedaan yang tajam yang terjadi di daerah-daerah khusus dengan yang berlaku umum di bagian lain dari sebuah negara. Dengan kata lain otonomi khusus diberlakukan karena pilihan itu berbobot politik yang sangat kental.

Bila demikian maka dari tataran akademik tersebut maka otonomi khusus di Indonesia memang hanya diberlakukan pada 2 (dua) daerah yaitu Aceh dan Irian Jaya yang secara politis perlu treatment secara khusus di bidang kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah.

Secara substantif, pengaturan dalam UU Otsus selalu mencantumkan adanya hak-hak khusus yang diberlakukan di daerah tersebut yang dalam bahasa pengaturan dapat berupa dana tambahan, dana otsus, dana kelebihan bagi hasil dan seterusnya. Dan substansi ini yang paling gampang diserap pengertiannya dengan menyimpulkan bahwa bila berlaku otsus berarti khusus pula bagi hasil dan dana tambahannya.

III. Kesimpulan

Pada dasarnya dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia masing-masing daerah berpeluang memiliki potensi untuk mengembangkan sektor unggulan sesuai dengan karakteristik,kekhasan dan potensi unggulan daerah tersebut. Itulah sebabnya dalam UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengatur dalam Pasal 13 ayat (2) dan Pasal 14 ayat (2) tentang hal tersebut diatur dengan istilah urusan pilihan. Sayang untuk hal ini belum diaktualisasi secara optimal oleh masing-masing daerah pada umumnya.

Apabila hal tersebut dapat diaktualisasi secara optimal, sebenarnya tidak perlu terjadi wacana otonomi khusus lagi. Lebih-lebih bila tafsir otonomi khusus dijauhkan dari konsep sebenarnya, dan sebaliknya hanya diidentikkan dengan tuntutan ingin memperoleh perlakuan yang khusus dari bagi hasil sumber daya alam yang ada di daerahnya dan semacamnya, sambil melupakan daerah lain yang miskin sumber daya alam. Namun bagaimanapun Otonomi Khusus yang sudah berjalan merupakan langkah untuk memperbaiki pemerintahan di daerah guna mencapai good local governance dan mempercepat proses demokratisasi.




Daftar Pustaka

Azmi, Zul. 2008, “Dilematika Otonomi Khusus Aceh” Artikel dalam http://www.peoplecrisiscentre.org

Hoessein, Bhenyamin. 2002, “Perspektif Jangka Panjang Desentralisasi dan Otonomi Daerah”, Makalah Diskusi Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah dalam Jangka Panjang, Bappenas, 27 Nopember 2002.

Huda, Ni’matul. 2005, Otonomi Daerah: Filosofi, Sejarah Perkembangan, dan Problematika, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Riyadmadji, Dodi. 2007. “Mengapa Otonomi Khusus?”, artikel dalam http://www.ditjen-otda.go.id

Rozali, Abdullah. 2005, Pelaksanaan Otonomi Luas dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung, PT Raja Grafindo, Jakarta.

Sabarno, Hari. 2007, Memandu Otonomi Daerah Menjaga Kesatuan Bangsa, Sinar Grafika, Jakarta.

Soebiantoro, M, dkk. 2007, Politik dan Pemerintahan Lokal, FISIP-Unsoed, Purwokerto.

Sumule, Agus. 2003, Satu Setengah Tahun Otsus Papua: Refleksi dan Prospek, Penerbit Yayasan ToPanG, Manokwari.

Kamis, 24 Januari 2008

Menggugat Konstruksi Sosial Nilai Barat dan Timur

Review Artikel
Judul : Asian Values Reconsidered
Tahun terbit : 2000
Penerbit : Asia-Pasific Review, Vol. 7 No. 1, 2000; Institute for International Policy Studies
Menggugat Konstruksi Sosial Nilai Barat dan Timur
Bambang Wibiono
Selama ini, kita telah terjebak pada dikotomi antara barat dan timur। Dalam benak kita sebagai orang Timur atau Asia—atau mungkin dalam benak setiap orang—telah melekat stigma bahwa barat lebih baik dari Timur, negara barat lebih maju, orang barat lebih unggul, sedangkan kita sebagai orang Timur, khususnya orang Asia merasa lebih rendah dan terbelakang॥ stigama seperti ini sungguh sangat naif dalam kehidupan saat ini yang mengutamakan persamaan, dan hak asasi।।

Stereotyipe seperti ini merupakan sebuah konstruksi sosial yang sudah tercipta sejak lama dan melalui proses yang sangat panjang, serta telah menjadi sebuah sistem dan struktur yang mapan. Dari anggapan seperti ini pula yang menyebabkan sebagian orang Asia sulit untuk maju dan berkembang. Karena mereka menganggap dirinya sebagai inferior. Anggapan atau penyudutan terhadap orang Asia oleh orang barat inilah yang hendak dipertanyakan dan dibongkar oleh Tommy T.B. Koh dalam tulisannya "Asian Values reconsidered". Apakah benar nilai-nilai Asia lebih rendah dari nilai-nilai yang dianut barat? Apakah benar Asia, dalam dirinya selalu melekat nilai-nilai negatif? Atas dasar apakah mereka (orang barat) menilai hal itu?. Atau jangan-jangan penyudutan ini hanya sebuah ekspresi kehkawatiran orang Barat akan bangkitnya Asia dan takut jika Asia akan mengungguli Barat.

Setidaknya ada dua pandangan mengenai nilai-nilai yang melekat pada individu maupun sosial. Pandangan pertama manyatakan bahwa pada dasarnya nilai-nilai bersifat universal dalam karakternya pada semua orang, bahkan tidak memendang batas antara barat dan timur. Pandangan kedua menyatakan bahwa nilai tidak tersusun dan terbagi pada semua orang, sehingga akan selalu ada perbedaan, begitu juga dengan nilai yang dianut oleh barat maupun Asia. Namun dari pandangan tersebut dapat ditarik kesimpulan sebagai jalan tengah bahwa terdapat nilai-nilai tertentu yang membedakan antar orang atau kelompok sosial, disamping itu juga diantara perbedaannya, mengandung di dalamnya sebuah persamaan konsep tentang penilaian sesuatu.

Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan bahwa trdapat kesamaan baik nilai pribadi maupun sosial diantara orang-orang Asia. Semua nilai yang dianut oleh orang Asia, tidak sedikitpun yang mengarah pada hal negatif. Bahkan orang Asia lebih mengutamakan ketraturan, keharmonisan daripada mengutamakan pentingnya hak pribadi sebagaimana dianut oleh sebagian besar orang Amerika.


Nilai yang dianut oleh Asia terlihat lebih mengedepankan proses-proses yang harmonis dan dinamis daripada hasilnya. Namun, berbeda dengan konsep yang dianut oleh sebagian besar orang barat yang lebih menekankan pencapaian keberhasilan. Dari sini bisa ditafsirkan bahwa nilai yang dianut barat akan lebih mudah terjebak pada konsep "menghalalkan segala cara" demi tercapainya tujuan.


Berdasarkan hasil penelitian, bahkan yang dilakukan oleh orang barat sendiri, tidak aada yang membuktikan bahwa Asia lebih inferior dan terbelakang daripada barat। Bahkan selama ini apa yang mereka tuduhkan adalah akibat dari kolonialisme dan imperialisme dunia barat. Disaat mereka mengedepankan hak-hak pribadi, namun disaat yang sama, mereka mengekang hak orang lain dengan penjajahan dan ekspolitasi.


Tuduhan mengenai penyebab krisis di Asia akibat nilai-nilai yang dianut, sangatlah tidak beralasan. Hal itu terbukti, beberapa negara di Asia khususnya Asia Timur telah dengan cepat bangkit dari keterpurukannya dan mampu mengimbangi kemajuan yang dicapai negara barat. Dalam hal disiplin dan etos kerja misalnya, Jepang menjadi contoh keunggulan Asia.


Dalam hal menangani pembangunan misalnya, kemerdekaan menjadi suatu landasan yang sangat penting. Pandangan tentang pembangunan sebagai tujuan dan sekaligus alat (yang sebagian besar dianut barat), akan terjebak pada pencapaian angka-angka statistik dari pertumbuhan ekonomi, yang sesungguhnya tidak menyentuh dunia riil. Ini akan mengakibatkan kesenjangan akibat penumpukan modal di tangan segelintir orang.


Sepeti apa yang dikatakan oleh Amartya Sen (1999), dalam melihat pembangunan sebagai suatu proses, harus mampu membuka seluas mungkin kemerdekaan bagi semua orang। Kemerdekaan harus dipandang sebagai tujuan utama sekaligus juga sebagai cara terpenting. Kemerdekaan di sini, harus mencakup pula kemampuan untuk mencegah terjadinya pengurangan hak dasar.


Ketika pandangan orang Barat tentang kebebasan individu menjadi sangat penting, ternyata Asia telah menerapkan hal tersebut, bahkan melampaui negara Barat, seperti Jepang, Korea Selatan, Taiwan, India (negara bagian Kerala)
1। Banyak negara di barat yang lebih mengutamakan pencapaian pembangunan, tetapi mengabaikan keadilan, sehingga mengakibatkan terabaikannya hak-hak dasar masyarakat, walaupun memperoleh laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi।

Dari penjelasan contoh tersebut, setidaknya dapat membuka wawasan kita bahwa Asia memiliki nilai-nilai yang tidak kalah bahkan jauh lebih unggul dari nilai yang dianut kalangan barat। Walaupun terdapat kesamaan nilai seperti pentingnya kebebasan, persamaan hak, keadilan, namun dalam proses pelaksanaan dan pencapaiannya sangatlah berbeda. Ada hal-hal yang bisa dikembangkan dari nilai-nilai Asia. Inilah hal yang dapat dijadikan aset bangsa Asia dalam berkompetisi dengan negara lain khususnya Barat yang dianggap lebih unggul dan superior dalam era globalisasi saat ini. Karena saat ini dituntut sebuah persamaan dalam kompetisi di era global. Tidak ada lagi pembedaan atau stereotyipe antara Barat dan Timur (Asia), semua memiliki kedudukan yang sama dalam mengambil peran.


1 Argumen ini dijelaskan oleh Amartya Sen dalam bukunya Development as Freedom, Oxford University Press, Oxford: 1999।Dia membandingkan proses pembangunan dan pencapaiannya di beberapa Negara seperti Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Cina, Gabon, Sri Lanka, Brazil, Nagara Bagian Kerala, Namibia, Afrika Selatan, seta beberapa segara Eropa।

Minggu, 13 Januari 2008

sastra

Kisah sang Malam


Purnama datang membawa indahnya malam

Dia datang bersama gemerlapnya bintang

Langit dan bumi menyambut indahnya Purnama

Dia datang atas nama keindahan malam

Tak selamanya malam itu gelap mencekam

Kenapa tak Engkau datangkan saja Purnama tiap malam

Biar semua orang tak takut akan datangnya malam

Andai sang malam bisa bicara

Dia akan memohon agar indahnya Purnama selalu menemaninya

Bila Purnama tak datang

Sang malam selalu termenung kesepian

Mengapa Purnama tak mengerti betapa berartinya dia bagi sang malam

Purnama pergi dengan senyumnya

Bintang kejorapun memancarkan sinarnya

Sebagai tanda berpisahnya sang malam dengan purnama

Ada apakah dengan sang malam?

Mengapa tak katakan saja keinginannya pada sang Purnama?

Dia hanya bisa menanti akan kembalinya sang purnama

Mungkin dia yakin bahwa purnama akan datang

Suatu saat nanti untuk mengindahkan malam


By: Wibiono

negeri angan-angan

Negeri Angan-Angan


Ada sebuah negara yang dibentuk dari potongan surga.

Tongkat yang tertancap akan menjadikanya tumbuh tanaman,

atau bahkan menyemburkan harta

berupa minyak dan gas alam.


Airnya tak hanya menyegarkan,

Namun memberikan banyak kemanfaatan.


Indonesia kusebut negeriku.

Tetapi negeri yang tak seperti dalam anganku

Ini sebuah negeri yang penuh dengan kekacauan dan malapetaka

Dimanakah potongan surga itu dari bagian negeri ini?


Apakah itu semua hanya muslihat Sang Kuasa

Untuk menghibur setiap mahluk di dalamnya

Ataukah hanya sebuah mitos leluhur.


Entahlah…Aku hanya ingin menjalani hidup ini seadanya

Tanpa harus terbuai akan rayuan indahnya surga

Atau ketakutan akan kejamnya Neraka

Karena semua itu mungkin hanya angan belaka

untuk mengelabui hati yang gentar menghadapi dunia



Januari 2007

Wibiono”

negeri angan-angan

Negeri Angan-Angan


Ada sebuah negara yang dibentuk dari potongan surga.

Tongkat yang tertancap akan menjadikanya tumbuh tanaman,

atau bahkan menyemburkan harta

berupa minyak dan gas alam.


Airnya tak hanya menyegarkan,

Namun memberikan banyak kemanfaatan.


Indonesia kusebut negeriku.

Tetapi negeri yang tak seperti dalam anganku

Ini sebuah negeri yang penuh dengan kekacauan dan malapetaka

Dimanakah potongan surga itu dari bagian negeri ini?


Apakah itu semua hanya muslihat Sang Kuasa

Untuk menghibur setiap mahluk di dalamnya

Ataukah hanya sebuah mitos leluhur.


Entahlah…Aku hanya ingin menjalani hidup ini seadanya

Tanpa harus terbuai akan rayuan indahnya surga

Atau ketakutan akan kejamnya Neraka

Karena semua itu mungkin hanya angan belaka

untuk mengelabui hati yang gentar menghadapi dunia



Januari 2007

Wibiono”



menggugat konstruksi sosial nilai barat dan timur

Review Artikel

Judul : Asian Values Reconsidered

Tahun terbit : 2000

Penerbit : Asia-Pasific Review, Vol. 7 No. 1, 2000; Institute for International Policy Studies


Menggugat Konstruksi Sosial Nilai Barat dan Timur

Oleh: Bambang Wibiono


Selama ini, kita telah terjebak pada dikotomi antara barat dan timur. Dalam benak kita sebagai orang Timur atau Asia—atau mungkin dalam benak setiap orang—telah melekat stigma bahwa barat lebih baik dari Timur, negara barat lebih maju, orang barat lebih unggul, sedangkan kita sebagai orang Timur, khususnya orang Asia merasa lebih rendah dan terbelakang.. stigama seperti ini sungguh sangat naif dalam kehidupan saat ini yang mengutamakan persamaan, dan hak asasi.

Stereotyipe seperti ini merupakan sebuah konstruksi sosial yang sudah tercipta sejak lama dan melalui proses yang sangat panjang, serta telah menjadi sebuah sistem dan struktur yang mapan. Dari anggapan seperti ini pula yang menyebabkan sebagian orang Asia sulit untuk maju dan berkembang. Karena mereka menganggap dirinya sebagai inferior. Anggapan atau penyudutan terhadap orang Asia oleh orang barat inilah yang hendak dipertanyakan dan dibongkar oleh Tommy T.B. Koh dalam tulisannya ”Asian Values reconsidered”. Apakah benar nilai-nilai Asia lebih rendah dari nilai-nilai yang dianut barat? Apakah benar Asia, dalam dirinya selalu melekat nilai-nilai negatif? Atas dasar apakah mereka (orang barat) menilai hal itu?. Atau jangan-jangan penyudutan ini hanya sebuah ekspresi kehkawatiran orang Barat akan bangkitnya Asia dan takut jika Asia akan mengungguli Barat.

Setidaknya ada dua pandangan mengenai nilai-nilai yang melekat pada individu maupun sosial. Pandangan pertama manyatakan bahwa pada dasarnya nilai-nilai bersifat universal dalam karakternya pada semua orang, bahkan tidak memendang batas antara barat dan timur. Pandangan kedua menyatakan bahwa nilai tidak tersusun dan terbagi pada semua orang, sehingga akan selalu ada perbedaan, begitu juga dengan nilai yang dianut oleh barat maupun Asia. Namun dari pandangan tersebut dapat ditarik kesimpulan sebagai jalan tengah bahwa terdapat nilai-nilai tertentu yang membedakan antar orang atau kelompok sosial, disamping itu juga diantara perbedaannya, mengandung di dalamnya sebuah persamaan konsep tentang penilaian sesuatu.

Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan bahwa trdapat kesamaan baik nilai pribadi maupun sosial diantara orang-orang Asia. Semua nilai yang dianut oleh orang Asia, tidak sedikitpun yang mengarah pada hal negatif. Bahkan orang Asia lebih mengutamakan ketraturan, keharmonisan daripada mengutamakan pentingnya hak pribadi sebagaimana dianut oleh sebagian besar orang Amerika.

Nilai yang dianut oleh Asia terlihat lebih mengedepankan proses-proses yang harmonis dan dinamis daripada hasilnya. Namun, berbeda dengan konsep yang dianut oleh sebagian besar orang barat yang lebih menekankan pencapaian keberhasilan. Dari sini bisa ditafsirkan bahwa nilai yang dianut barat akan lebih mudah terjebak pada konsep ”menghalalkan segala cara” demi tercapainya tujuan.

Berdasarkan hasil penelitian, bahkan yang dilakukan oleh orang barat sendiri, tidak aada yang membuktikan bahwa Asia lebih inferior dan terbelakang daripada barat. Bahkan selama ini apa yang mereka tuduhkan adalah akibat dari kolonialisme dan imperialisme dunia barat. Disaat mereka mengedepankan hak-hak pribadi, namun disaat yang sama, mereka mengekang hak orang lain dengan penjajahan dan ekspolitasi.

Tuduhan mengenai penyebab krisis di Asia akibat nilai-nilai yang dianut, sangatlah tidak beralasan. Hal itu terbukti, beberapa negara di Asia khususnya Asia Timur telah dengan cepat bangkit dari keterpurukannya dan mampu mengimbangi kemajuan yang dicapai negara barat. Dalam hal disiplin dan etos kerja misalnya, Jepang menjadi contoh keunggulan Asia.

Dalam hal menangani pembangunan misalnya, kemerdekaan menjadi suatu landasan yang sangat penting. Pandangan tentang pembangunan sebagai tujuan dan sekaligus alat (yang sebagian besar dianut barat), akan terjebak pada pencapaian angka-angka statistik dari pertumbuhan ekonomi, yang sesungguhnya tidak menyentuh dunia riil. Ini akan mengakibatkan kesenjangan akibat penumpukan modal di tangan segelintir orang.

Sepeti apa yang dikatakan oleh Amartya Sen (1999), dalam melihat pembangunan sebagai suatu proses, harus mampu membuka seluas mungkin kemerdekaan bagi semua orang. Kemerdekaan harus dipandang sebagai tujuan utama sekaligus juga sebagai cara terpenting. Kemerdekaan di sini, harus mencakup pula kemampuan untuk mencegah terjadinya pengurangan hak dasar.

Ketika pandangan orang Barat tentang kebebasan individu menjadi sangat penting, ternyata Asia telah menerapkan hal tersebut, bahkan melampaui negara Barat, seperti Jepang, Korea Selatan, Taiwan, India (negara bagian Kerala)1. Banyak negara di barat yang lebih mengutamakan pencapaian pembangunan, tetapi mengabaikan keadilan, sehingga mengakibatkan terabaikannya hak-hak dasar masyarakat, walaupun memperoleh laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

Dari penjelasan contoh tersebut, setidaknya dapat membuka wawasan kita bahwa Asia memiliki nilai-nilai yang tidak kalah bahkan jauh lebih unggul dari nilai yang dianut kalangan barat. Walaupun terdapat kesamaan nilai seperti pentingnya kebebasan, persamaan hak, keadilan, namun dalam proses pelaksanaan dan pencapaiannya sangatlah berbeda. Ada hal-hal yang bisa dikembangkan dari nilai-nilai Asia. Inilah hal yang dapat dijadikan aset bangsa Asia dalam berkompetisi dengan negara lain khususnya Barat yang dianggap lebih unggul dan superior dalam era globalisasi saat ini. Karena saat ini dituntut sebuah persamaan dalam kompetisi di era global. Tidak ada lagi pembedaan atau stereotyipe antara Barat dan Timur (Asia), semua memiliki kedudukan yang sama dalam mengambil peran.


1 Argumen ini dijelaskan oleh Amartya Sen dalam bukunya Development as Freedom, Oxford University Press, Oxford: 1999.

Dia membandingkan proses pembangunan dan pencapaiannya di beberapa Negara seperti Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Cina, Gabon, Sri Lanka, Brazil, Nagara Bagian Kerala, Namibia, Afrika Selatan, seta beberapa segara Eropa.

Rabu, 09 Januari 2008

Ruang Publik Sebagai Sarana Komunikasi Politik terhadap Sistem Politik dalam Demokratisasi

Ruang Publik Sebagai Sarana Komunikasi Politik terhadap Sistem Politik dalam Demokratisasi

oleh: Bambang wibiono

Reformasi telah membuka jalan bagi kebebasan berpendapat di muka umum. Sejak masa orde baru kebebasan berbicara kita telah dipenjara. Bangsa kita sedang memasuki tahapan sejarah yang sangat penting dengan melangsungkan pemilihan presiden secara langsung. Namun, ini baru awal. Sangatlah dini mengklaim sukses pemilu sebagai sukses demokratisasi. Yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa negara ini dalam masa demokratisasi bukan demokrasi. Artinya kita sedang dalam prsoses dan ini akan terus berjalan sampai pada waktu yang tidak ditentukan.

Hampir satu dekade usia gerakan reformasi yang dirasa cukup memeberikan gambaran. Ada yang beranggapan bahwa transisi demokrasi memang sedang berlangsung. Pandangan ini mengacu pada adanya kebebasan politik dan partisipasi politik yang sudah dirasakan oleh semua komunitas. Namun ada juga yang beranggapan bahwa demokrasi di Indonesia belum tentu terkonsolidasi. Jika tidak terkonsolidasi, demokrasi itu ibarat tamu yang datang yang dapat dipastikan akan pergi kembali (J.A, Denny, 2006). Dan akhiranya kita akan kembali pada nostalgia otoritarian.

Demokrasi dan sistem politik

Pemahaman demokrasi di negara-negara yang sedang melangsungkan transisi dari otoritarianisme menuju demokrasi seperti negara kita bersifat minimal. Demokrasi dimengerti sebagai pemilihan umum yang berlangsung fair. Demokrasi minimalis ini mengabaikan proses di antara pemilihan umum yang satu dan pemilihan umum yang lain. Namun, jika bertolak dari konsep demokrasi itu sendiri, kita tak dapat berhenti pada sikap minimalis.
Dalam literatur ilmu politik dikenal dua macam pemahaman tentang demokrasi yaitu demokrasi secara normatif dan secara empirik (Gaffar, 1999). Secara normatif dapat diartikan sebagai suatu tujuan yang hendak dilakukan oleh negara yang biasanya dituangkan dalam konstitusi. Sedangkan demokrasi dalam artian secara empirik atau dikenal dengan istilah procedural democracy, yaitu demokrasi dalam wujudnya yang nyata di kehidupan politik praktis. Namun yang diperlukan untuk mencapai demokrasi adalah apakah suatu sistem politik, pemerintah memeberikan ruang gerak yang cukup bagi warga masyarakat untuk melakukan partisipasi politik.
Dalam kajian demokrasi, hampir semua teoritisi atau ilmuwan sepakat bahwa dalam demokrasi yang berkuasa atau yang berdaulat adalah rakyat (demos). Oleh karena itu selalu ditekankan peran masyarakat dalam proses politik yang berjalan. Atau setidaknya jika merujuk pada teori sistem politik dari David Easton, perlu adanya peran nyata dari masyarakat dalam agenda seting, dan tahap pengambilan keputusan. Demokrasi juga bisa diartikan sebagai pemerintahan dari mereka yang diperintah (Budi Hardiman, 2006). Dari konsep ini memberi pengertian bahwa menyerahkan kepercayaan begitu saja kepada para pelaku dalam sistem politik hasil pemilihan umum eksekutif, legislatif, dan yudikatif tidak akan memenuhi definisi itu. Mereka yang diperintah harus mendapatkan akses pengaruh ke dalam sistem politik. Jika demokrasi ingin maksimal, celah di antara dua pemilihan umum harus diisi dengan partisipasi politis warga negara dalam arti seluas-luasnya. Dalam demokrasi maksimal inilah konsep ruang publik menduduki tempat sentral.
Bila demokrasi tidak sekadar dipahami formalistis, ia harus memberikan kemungkinan kepada warga negara mengungkapkan opini mereka secara publik. Ruang atau, katakanlah, panggung tempat warga negara dapat menyatakan opini, kepentingan, serta kebutuhan mereka secara diskursif dan bebas tekanan itu merupakan inti ide ruang publik politis. Dalam teori-teori demokrasi klasik dikenal konsep volonte generale (kehendak umum), yaitu keputusan publik yang mencerminkan kepentingan seluruh rakyat. Konsep kuno yang berasal dari Jean-Jacques Rousseau ini tetap dianut dalam praktik-praktik parlementarisme modern meski konsep itu lahir dari masyarakat berukuran kecil yang relatif homogen. Dalam permasalahan agenda seting, yaitu memilih masalah apa yang akan dibahas menjadi sangat penting adanya keterlibatan masyarakat secara langsung. Dimana dalam sistem politik agar berjalan perlu adanya dukungan maupun tuntutan yang datangnya dari masyarakat.
Menurut teori sistem Easton, sistem tidak akan berjalan dengan baik bahkan bisa mengalami stagnan bila tak ada pemicu. Tuntutan maupun dukungan yang datang akan menjadi sebuah agenda seting dalam merumusakan sebuah kebijakan dalam sebuah konversi. Dari hasil konversi ini kelak akan diputuskan sebuah solusi dari permasalahan yang diajukan menjadi sebuah kebijakan yang berlaku bagi publik. Tanpa adanya peran serta rakyat secara nyata, mustahil kebijakan yang dikeluarkan akan dapat menyelesaikan persoalan. Bagaimana sebuah solusi akan bermanfaat jika pembuat solusi tidak mengetahi permasalahan dengan pasti.
Tetapi kita sebagai warga negara juga jangan terlalu menyalahkan pemerintah atas kebijakan yang dibuat. Kita jangan terlalu menuntut agar pemerintah mau mengerti atas persoalan yang kita hadapai. Tetapi kita juga perlu turut aktif berpartisipasi dalam sistem poltik. Dengan demikian permasalahan dan solusi akan dicarikan bersama, sehingga hasilnya kan lebih bermanfaat bagi semua tanpa ada yang dirugikan. Namun sebuah pertanyaan besar akan muncul dalam proses demokrasi ini, yaitu sejauh mana masyarakat turut aktif berpartisipasi?. Sejauh mana masyarakat sadar akan berpolitik ?. Karena dikhawatirkan ketika proses demokrasi sedang berjalan, masyarakat sebagai pelaku dan objeknya sendiri tak pernah memahami perannya. Hal ini dapat dimaklumi, sebab selam masa rejim orde baru, kita telah dibodohi dan tidak pernah diberikan sebuah pendidikan politik. Ketika msayarakat telah mengerti akan perannya dalam berdemokrasi, lalu sejauh mana masyarakat memanfaatkan ruang-ruang publik yang disediakan sebagai saluran komunikasi politiknya ?. Atau jangan-jangan ruang-ruang publik yang ada telah dikuasai oleh elit untuk memperkuat posisinya.

Apa itu ruang publik politis

Dalam masyarakat majemuk dewasa ini, suatu identifikasi “kedaulatan rakyat” dengan “perwakilan rakyat” dalam Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)/Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menjadi semakin sulit karena sistem politik “hanyalah” salah satu subsistem di antara subsistem lain di dalam sebuah masyarakat kompleks. Karena itu, konsep kedaulatan rakyat harus ditafsirkan secara baru. Jika parlemen hanyalah salah satu subsistem masyarakat kompleks, kedaulatan rakyat seharusnya dibayangkan melampaui sistem perwakilan itu, yang merupakan intensitas interaksi diskursif di antara berbagai subsistem di dalam masyarakat majemuk. Dengan kata lain, kedaulatan rakyat adalah “totalitas bentuk” dan “isi komunikasi” tentang persoalan-persoalan publik yang berlangsung, baik di dalam sistem politik (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) maupun di dalam masyarakat luas.
Dalam karya awalnya, Strukturwandel der Oeffentlichkeit (Perubahan Struktur Ruang Publik), Juergen Habermas menjelaskan ruang publik politis sebagai kondisi-kondisi komunikasi yang memungkinkan warga negara membentuk opini dan kehendak bersama secara diskursif (dalam Budi Hardiman, 2006).

Realitas pemanfaatan ruang publik oleh rakyat

Apakah dalam masa demokratisasi ini masyarakat kita telah mampu memanfaatkan ruang publik sebagai saluran komunikasi terhadap pemerintah ataupun sistem politik?. Kita dapat melihat aktivitas individu maupun kolektif yang ditujukan pada pemerintah. Saat ini masyarakat lebih berani dalam mengemukakan pendapat atau opini, saran, ataupun kritik terhadap pemerintah baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam ruang publik, semua partisipan dalam ruang publik politis memiliki peluang yang sama untuk mencapai suatu konsensus yang fair dan memperlakukan mitra komunikasinya sebagai pribadi otonom yang mampu bertanggung jawab dan bukanlah sebagai alat yang dipakai untuk tujuan-tujuan di luar itu semua. Dalam hal ini semua pelaku baik pemerintah maupun rakyat memiliki kedudukan yang sama. Semua berhak menggunakan ruang tersebut dalam berdemokrasi. Ini sesuai dengan konsep ruang publik itu sendiri yang membuka peluang bagi siapapun untuk berinteraksi. Konsep ini mengandung unsur pluralisme.
Selain itu dalam komunikasi politik, selain ketersedian ruang publik, perlu adanya payung hukum yang melindungi. Seperti yang diungkapkan oleh Denny J.A bahwa demokrasi yang terkonsolidasi mensyaratkan adanya aturan main. Semua yang terlibat harus sepakat bahwa prinsip demokrasi menjadi the only game in town yang harus dijunjung. Para pihak boleh berbeda pandangan, namun perbedaan iut harus diselesaikan dengan aturan main yang demokratis. Aturan tersebut untuk melindungi kedua belah pihak agar tidak terjadi represi/tekanan maupun diskriminasi.
Ringkasnya ruang publik harus bersifat inklusif, egaliter, dan bebas tekanan. Sehingga tercipta komunikasi yang wajar. Dalam demokrasi, ruang publik tidak harus ruang-ruang formal, tetapi juga bisa berupa ruang yang sifatnya informal. Setiap pendapat, kritik, atau apapun yang hendak disampaikan masyarakat bisa melalui media, ataupun secara langsung berdialog dengan yang dituju. Jika demikian, ruang publik politis harus dimengerti secara “normatif”: ruang itu berada tidak hanya di dalam forum resmi, melainkan di mana saja warga negara bertemu dan berkumpul mendiskusikan tema yang relevan untuk masyarakat secara bebas dari intervensi kekuatan-kekuatan di luar pertemuan itu. Kita menemukan ruang publik politis, misalnya, dalam gerakan protes, dalam aksi advokasi, dalam forum perjuangan hak-hak asasi manusia, dalam perbincangan politis interaktif di televisi atau radio, dalam percakapan keprihatinan di warung-warung, dan seterusnya.

Media massa memiliki peran dalam proses ini. Media berfungsi sebagai perantara atau penghubung antara elit dan masyarakat sipil. Dalam komunikasi politik dari elit kepada masyarakat sipil bisa berupa sosialisasi kebijakan, kampanye, maupun rekruitmen politik. Pemanfaatan ruang publik sangat diperlukan demi terciptanya demokratisasi. Masyarakat harus bisa memanfaatkan ruang-ruang yang ada untuk berpartisipasi di dalam sistem politik. Tetapi nyatanya khususnya masyarakat belum mampu memanfaatkan ruang publik yang ada untuk terlibat dalam sistem politik. Komunikasi yang sering terjadi adalah dari elit kepada masyarakat sipil.
Sesaat setelah memasuki era reformasi ini, terlihat adanya euforia politik. Masyarakat berani secara terang-terangan mengkritik pemerintah dengan cara mereka sendiri yang biasanya cenderung anarkis. Pemanfaatan ruang publik biasanya hanya ruang-ruang bebas seperti demonstrasi yang jarang melahirkan dialog-dialog dengan pemerintah. Ini salah satu penyebab tindakan anarki dalam demonstrasi. Masyarakat kelas bawah sangat jarang mengunakan forum-forum formal seperti diskusi publik dengan pemerintah, seminar, debat terbuka dan sejenisnya. Inisiatif-inisiatif ini biasanya datang dari kalangan akademisi, atau bahkan dari pihak pemerintah sendiri.Elit politik sebagai bagian dari pemerintah harus memiliki hubungan yang harmonis dan dinamis dengan kelompok massa, karena dengan terwujudnya hubungan yang harmonis dan dinamis maka komunikasi antara elite politik dengan khalayak (rakyat) dapat berjalan lancar sehingga kebijakan yang akan dikeluarkan oleh elite politik tidak akan merugikan rakyat.
Contoh kasus lain akan kurangnya pemanfaatan ruang publik untuk komunikasi politik adalah terjadinya peristiwa berdarah pada pemilu 1999 di Desa Dongos, Jepara (Sahidin, 2004). Ini terjadi karena kurangnya komunikasi antara elit partai yang berkompetisi dengan massanya. Akibat dari tidak adanya komunikasi massa antar pendukung/simpatisan kedua partai yang bertikai, maka tragedi politik berdarah itu bisa terjadi. Namun jika permasalahan tersebut dapat dibicarakan dengan memanfaatkan ruang publik yang ada, tentu peristiwa berdarah itu tak akan terjadi.
Pada masa orde baru, kegiatan-kegiatan diskusi publik yang diselenggarakan oleh stasiun televisi misalnya selalu mengandung muatan politik yang diistilahkan sebagai proyek mobilisasi politik (Saefulloh Fatah, 1998). Pada masa itu masalah partisipasi politik merupakan masalah krusial orde baru. Peranan negara terlampau besar dalam mengintervensi kehidupan sosial, politik, dan ekonomi. Peran pers oleh Omi Intan Naomi (1996), diistilahkan sebagai ‘anjing penjaga’ bagi orde baru atau pemerintah yang berkuasa saat itu. Sehingga tidak ada ruang publik yang tersedia bagi rakyat untuk aktif dalam sistem politik/pemerintahan dan akhirnya berdampak pada komunikasi satu arah yaitu dari pemerintah kepada rakyat.

Ruang publik dalam era globalisasi

Dalam era globalisasi pasar dan informasi dewasa ini, sulitlah membayangkan adanya forum atau panggung komunikasi politis yang bebas dari pengaruh pasar ataupun negara. Kebanyakan seminar, diskusi publik, demonstrasi, dan seterusnya didanai, difasilitasi, dan diformat oleh kekuatan finansial besar, entah kuasa bisnis, partai, atau organisasi internasional dan seterusnya. Hampir tak ada lagi lokus yang netral dari pengaruh ekonomi dan politik. Analisis Habermas, membayangkan masyarakat kompleks dewasa ini sebagai tiga komponen besar, yaitu sistem ekonomi pasar (kapitalisme), sistem birokrasi (negara), dan solidaritas sosial (masyarakat), lokus ruang publik politis terletak pada komponen solidaritas sosial. Dia harus dibayangkan sebagai suatu ruang otonom yang membedakan diri, baik dari pasar maupun dari negara.
Setidaknya dengan adanya era globalisasi dan demokratisasi, telah terbuka ruang-ruang umum yang bebas diakses oleh masyarakat umum. Dengan demikian seharusnya dengan terbukanya ruang publik tersebut, dapat dijadikan sarana untuk berkomunikasi untuk mendiskusikan atau menyelesaikan persoalan yang menyengkut hajat hidup orang banyak. Ruang-ruang tersebut seyogyanya dapat dimanfaatkan oleh seluruh elemen baik antar lembaga pemerintah maupun masyarakat sipil dan pemerintah. Kita harus bisa memanfaatkan peluang yang ada untuk mendukung demokratisasi dan kebaikan bersama.

Masyarakat sipil tidak hanya sebagai aktor atau pelaku, tetapi mereka juga merupakan penghasil ruang publik politis itu sendiri. J.Cohen dan A. Arato, memberikan ciri ruang publik politis yang dihasilkan oleh masyarakat sipil yaitu adanya pluralitas (seperti keluarga, kelompok nonformal, dan organisasi sukarela), publisitas (seperti media massa dan institusi budaya), privasi (seperti moral dan pengembangan diri), dan legalitas (struktur hukum dan hak-hak dasar). Itu artinya rakyat sipil bisa turut aktif dalam menciptakan ruang publik politis tersebut untuk menyuarakan opini, saran, maupun kritik terhadap sistem politik yang sedang berjalan.
Jangan sampai ruang publik tersebut dapat dikuasai oleh pihak-pihak tertentu demi kepentingan pribadi dan golongannya. Apalagi jika kembali dikuasai oleh rejim yang berkuasa, maka akan terjadi pengulangan sejarah orde baru. Karena ruang publik adalah milik bersama, maka siapapun berhak menggunakannya tanpa takut ada intervensi atau tekanan dari pihak manapun. Jangan sampai pula sepeti yang dikatakan oleh Denny J.A, demokratisasi yang sekarang sedang berlangsung hanya sekedar lewat karena tidak terkonsolidasikan.

***

Daftar Pustaka

Ali, Novel. 1999, Peradaban Komunikasi Politik: Potret Manusia Indonesia, PT Remaja Rosda Karya, Bandung.
Budi Hardiman, F. 2006, ”Ruang Publik Politis: Komunikasi Politis dalam Masyarakat Majemuk”, dalam http://duniaesai.com/komunikasi/kom1.htm, yang diakses tanggal 13 April 2007, bersumber dari Kompas Cyber Media.
Gaffar, Afan. 1999, Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Intan Naomi, Omi. 1996, Anjing-Anjing Penjaga Pers di Rumah Orde Baru, Gorong-Gorong Budaya, Jakarta.
J.A, Denny. 2006, Manuver Elit, Konflik, dan Konservatisme Politik, Penerbit LKIS, Yogyakarta.
Saefulloh Fatah, Eep. 1998, Catatan Atas Gagalnya Politik Orde Baru, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Sahidin. 2004, Kala Demokrasi Melahirkan Anarki: Potret Tragedi Politik di Dongos, Penerbit Logung Pustaka, Yogyakarta.
Suryadi, Budi. 2006, Kerangka Analisis Sistem Politik Indonesia, IRCiSoD, Yogyakarta.

Perdebatan RUU Paket Politik

Perdebatan RUU Peket Politik

Oleh: Bambang Wibiono*

Keluarnya draf revisi paket Undang-Undang Politik yang merupakan inisiatif pemerintah saat ini menuai kontrofersi. Dengan keluarnya UU Paket politik ini dirasa mengekanng proses demokrasi. Pemerintah terkesan takut akan hadirnya banyak Parpol. Dengan begitu RUU ini dibuat untuk mengkerucutkan jumlah Parpol yang ada dan mengekang lahirnya partai-partai baru. Pengerucutan itu terlihat dari peningkatan electoral thereshold dari 3% menjadi 5% perolehan suara dalam Pemilu 2009 untuk bisa ikut dalam Pemilu 2014.

Masalah yang lain adalah harus adanya deposit dana sebesar 5 miliar bagi pambentukan Parpol. Ini sangat tidak realistis bagi sebuah Partai baru terlebih bagi yang akan lahir. Apalagi sayarat untuk lolos Pemilu 2014 yang mengharuskan deposit dana 10 miliar. Dari mana dana sebesar itu bagi partai yang baru lahir. Mungkin pada dasarnya pemerintah bermaksud untuk menekan angka kecurangan dalam proses Pemilu maupun untuk menekan angka korupsi di kalangan pemerintahan. Baik legislatif, maupun eksekutif. Dana sebesar itu diperuntukkan dalam proses Pemilu. Sehingga kelak ketika calon dari Parpol tersebut terpilih tidak melakukan tindak korupsi dengan alasan untuk menutupi biaya yang dikeluarkan Parpol maupun pribadi selama kampanye.

Jika alasan semua ini dimaksudkan untuk menstabilkan jalannya roda pemerintahan yang selama ini dirasa kurang mendukung terciptanya pemerintahan yang stabil hal itu bisa dibenarkan. Dengan hadirnya banyak partai, kinerja pemerintah seolah terhambat karena begitu banyaknya friksi dalam tubuh pemerintah sendiri. Sehingga itu berdampak pemerintah tidak dapat mengambil kebijakan dengan cepat terkait dengan masalah yang sedang terjadi dan yang sangat membutuhkan penanganan dengan cepat.

Begitu banyaknya pertarungan kepentingan dalam pemerintahan merupakan masalah yang sebenarnya sudah pernah dialami negara ini pada masa demokrasi terpimpin. Dewan konstituante gagal dalam menyusun UUD yang baru karena banyak kontroversi dan tarik ulur kepentingan sehingga Presiden terpaksa membubarkan konstituante. Jika keadaannya demikian maka sistem kepartaian kita berubah dari sistem multi partai menjadi sistem multi partai terbatas seperti yang dikemukakan oleh Syamsudin Haris seorang pakar politk LIPI. Tetapi kemudian pertanyaan yang muncul apakah pemerintah mampu menjalankan pemerintahan dengan baik dengan adanya sistem kepartaian yang multi partai terbatas. Atau ini hanya siasat dari eksekutif untuk menguatkan wewenangnya seperti yang pernah dilakukan pada awal pemerintahan orde baru. Jika yang terakhir yang dimaksud, maka sudah seharusnya kita menolaknya. Namun semuanya itu akan kambali pada komitmen kita bersama untuk membangun negara Indonesia ini. Jika komitmen kita sungguh-sungguh, maka tak ada bedanya antara sistem multi partai maupun multi partai terbatas.

Syarat Pendidikan

Masalah persyaratan capres dan cawapres harus berijasah S-1, itu sangat baik untuk meningkatkan kapabilitas pemimpin negeri ini bila perlu jangan hanya pada capres atau cawapres saja tetapi juga bila perlu bagi anggota dewan dan juga kepala daerah. Tetapi permasalahan yang selama ini terjadi adalah manipulasi. Berapa banyak kasus ijasah palsu di kalangan anggota dewan dan kepala daerah. Jika hal ini yang akan terus terjadi, apalah artinya syarat gelar tersebut. Banyak orang yang tanpa mengenyam bangku kuliah atau tak bergelar sarjana lebih layak dan lebih mampu dibandingkan orang yang bergelar sarjana tapi asal lulus dan dapat ijasah. Apakah dengan pendidikan sarjana dengan ditunjukkan dengan ijasah itu sudah memenuhi standar kualitas ?. Sebab saat ini gelar dan ijasah sangat mudah didapat bahkan dari Perguruan Tinggi Negeri. Masalah ini perlu dipikirkan dan dipertimbangkan kembali.Sebagai orang yang cinta pada negeri ini sebaiknya kita tumbuhkan komitmen disertai tindakan konkrit kita untuk benar-benar ingin membangun negara. Sebab dengan dasar komitmen ini segala persoalan akan mudah diselesaikan. Semoga saja.