Assalamu'alaikum,,, Salam Hormat

Terima kasih atas kunjungan anda ke blog saya. Semoga bermanfaat. Semua tulisan ini hasil saya pribadi, atau diambil dari tulisan lain yang tercantum pada rujukannya. Bila mengutip baik secara langsung maupun tidak, sebagian atau keseluruhan, diharapkan Mencantumkan sumber tulisan dan penulisnya pada daftar pustaka/catatan kaki sebagai bahan rujukannya.
atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih

Senin, 19 Januari 2009

Partisipasi Masyarakat Petani Desa Kawungcarang dalam Perumusan Kebijakan Desa

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Otonomi atau desentralisasi sebagai sebuah tawaran atas kesenjangan yang biasa terjadi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam berbagai hal yang meliputi kewenangan, pembagian pendapatan dan lain-lain sebetulnya telah menemukan bentuk idealnya dalam pelaksanaan pemerintahan pada tingkatan desa. Desa sebagai sebuah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah kecamatan memiliki kemandirian untuk melaksanakan pemerintahannya sendiri. Inilah yang kemudian dikenal sebagai kemandirian atau otonomi desa.
Dalam proses pembentukan kebijakan misalnya, pemerintah desa diberikan keleluasaan untuk menyusun kebijakan sendiri tanpa campur tangan dari pemerintah dengan hierarki yang lebih tinggi. Pemerintah desa dengan bebas bisa mendefinisikan kebutuhan apa yang sebetulnya diperlukan oleh masyarakat desanya secara umum untuk kemudian diaplikasikan dalam bentuk produk kebijakan desa. Proses pembentukannya pun tidak secara serta merta dilakukan oleh para elit desa sebagai pihak yang memiliki otoritas dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Biasanya proses artikulasi dilakukan melalui musyawarah desa yang melibatkan langsung masyarakat desa tanpa terkecuali, atau bisa pula melalui organisasi atau kelompok-kelompok profesi yang ada di desa. Badan Pemusyawaratan Desa (BPD) juga dapat dijadikan sarana dalam proses atikulasi kebijakan ini. Yang jelas proses yang ada tidaklah serumit seperti apa yang kita temukan dalam proses pembuatan kebijakan-kebijakan pada tataran pemerintahan yang lebih tinggi seperti kota atau kabupaten.
Kepekaan dari para elit desa untuk mendefinisikan apa yang diperlukan oleh masyarakat desa memang sangat diperlukan, tetapi peranan dari masyarakat sendiri untuk turut aktif dalam pembuatan kebijakan desa juga merupakan sebuah hal yang penting. Kelompok masyarakat seperti PKK, Karang Taruna ataupun kelompok-kelompok profesi yang biasa berada di desa seperti kelompok tani ataupun pedagang bisa digunakan sebagai sarana artikulasi.
Kelompok tani misalnya, dengan komposisi anggota yang sangat banyak karena sebagaian besar penduduk desa bekerja pada sektor pertanian, biasanya memiliki posisi yang strategis dalam penyusunan kebijakan desa ini. Kebutuhan-kebutuhan petani seperti sarana irigasi biasa disampaikan melalui kelompok tani ini untuk kemudian dibawa kepada forum musyawarah desa. Tetapi partisipasi masyarakat tidak hanya terbatas hanya melalui sarana organisasi, bisa juga menyalurkan aspirasinya secara individu. Yang jelas, apapun sarananya, yang terpenting adalah adanya ruang-ruang publik yang dijadikan arena diskusi sehingga tercipta peluang bagi setiap angota masyarakat untuk berperan dalam pembangunan di desanya baik itu pembangunan sosial, politik, maupun ekonomi.
Desa Kawungcarang merupakan desa yang luas wilayahnya kecil, namun sebagian luas wilayahnya terdiri dari lahan pertanian, dan penduduknya pun banyak yang berprofesi sebagai petani walaupun memiliki perkerjaan sambilan lainnya. Oleh karena kondisi geografis Desa Kawungcarang terdiri dari lahan pertanian, dan penduduknya banyak yang berprofesi sebagai petani, maka peneliti tertarik untuk melihat bagaimana dinamika masyarakat petani di desa tersebut dalam hal berpartisipasi politik. Partisipasi politik yang dimaksud adalah termasuk menyangkut bagaimana respon masyarakat terhadap kinerja pemerintah desa dan partisipasinya dalam hal pembuatan kebijakan.

B. Perumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut, maka rumusan masalahnya adalah bagaimanakah partisipasi masyarakat petani dalam perumusan kebijakan di Desa Kawungcarang, khususnya yang berkaitan dengan masalah pertanian?

C. Batasan Masalah
Dalam penelitian ini dibatasi hanya pada bagaimana kondisi partisipasi masyarakat petani di Desa Kawungcarang dalam penyusunan kebijakan desa, baik secara individu maupun melalui organisasinya.

D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran bagaimana partisipasi masyarakat petani Desa Kawungcarang dalam perpolitikan di desa, terutama dalam setiap pengambilan kebijakan atau musyawarah desa terkait masalah pembangunan desanya, sehingga dapat mengambarkan iklim politik Desa Kawungcarang. Kecamatan Sumbang, Kabupaten Banyumas, Provinsi Jawa Tengah.

E. Manfaat Penelitian
• Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah untuk menambah wawasan dan khasanah keilmuan bagi siapapun yang membaca, juga dapat dijadikan referensi bagi penelitian-penelitian selanjutnya.
• Manfaat Praktis
Diharapkan penelitian ini dapat menggambarkan kondisi partisipasi politik masyarakatnya sehingga dapat membantu mendorong peningkatan partisipasi masyarakat dalam penyusunan kebijakan desa sebagai upaya perbaikan proses demokratisasi di Desa Kawungcarang.

BAB II
LANDASAN TEORITIS

A. Desentralisasi dan Otonomi Desa
Otonomi desa adalah kemandirian desa. Demokrasi desa merupakan demokrasi asli yang lebih dahulu terbentuk sebelum negara Indonesia berdiri, bahkan pada masa kerajaan sebelum era kolonial. Ciri-ciri dari demokrasi desa antara lain adanya mekanisme pertemuan antar warga desa dalam bentuk-bentuk pertemuan publik seperti musyawarah/rapat, dan ada kalanya mengadakan protes terhadap penguasa (raja) secara bersama-sama.
Desentralisasi secara umum dikategorikan ke dalam dua perspektif utama, yakni perspektif desentralisasi politik dan desentralisasi administrasi. Perspektif desentralisasi politik menerjemahkan desentralisasi sebagai devolusi kekuasaan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, sedangkan perspektif desentralisasi administrasi diartikan sebagai pendelegasian wewenang administratif dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.
Jika desentralisasi merupakan arena hubungan antara desa dengan pemerintah supra desa (Negara) yang bertujuan untuk memberikan pengakuan terhadap eksistensi desa, memperkuat identitas lokal, membangkitkan prakarsa dan inisiatif lokal, serta membagi kekuasaan dan kekayaan kepada desa, dan mewujudkan otonomi desa, maka demokratisasi merupakan upaya untuk menjadikan penyelenggaraan pemerintah (desa) menjadi lebih akuntabel, responsif, diakui oleh rakyat.
Desentralisasi ataupun otonomi desa selain untuk menciptakan penyelenggaraan yang lebih baik dan responsif terhadap aspirasi dan kebutuhan desanya, otonomi desa juga dimaksudkan untuk memperkuat partisipasi masyarakat desa dalam proses pemerintahan dan pembangunan desa. Partisipasi juga menandai keikutsertaan kalangan marjinal yang selama ini disingkirkan dari proses politik dan ekonomi.

B. Good Governance dan Partisipasi Politik
Governance, yang diterjemahkan menjadi tata pemerintahan, adalah penggunaan wewenang ekonomi, politik dan administrasi guna mengelola urusan-urusan negara pada semua tingkat. Tata pemerintahan mencakup seluruh mekanisme, proses dan lembaga-lembaga dimana warga dan kelompok-kelompok masyarakat mengutarakan kepentingan mereka, menggunakan hak hukum, memenuhi kewajiban dan menjembatani perbedaan-perbedaan diantara mereka.
Definisi lain menyebutkan governance adalah mekanisme pengelolaan sumber daya ekonomi dan sosial yang melibatkan pengaruh sektor Negara dan sektor non-pemerintah dalam suatu usaha kolektif. Definisi ini mengasumsikan banyak aktor yang terlibat dimana tidak ada yang sangat dominan yang menentukan gerak aktor lain. Pesan pertama dari terminologi governance membantah pemahaman formal tentang bekerjanya institusi-institusi negara. Governance mengakui bahwa didalam masyarakat terdapat banyak pusat pengambilan keputusan yang bekerja pada tingkat yang berbeda.
UNDP merekomendasikan beberapa karakteristik governance, yaitu legitimasi politik, kerjasama dengan institusi masyarakat sipil, kebebasan berasosiasi dan berpartisipasi, akuntabilitas birokratis dan keuangan (financial), manajemen sektor publik yang efisien, kebebasan informasi dan ekspresi, sistem yudisial yang adil dan dapat dipercaya. Jadi dapat disimpulkan bahwa good governance merupakan penyelenggaraan pemerintahan yang baik yang menekankan adanya keseimbangan antara pemerintah, pasar, dan pemilik modal.
Dapat ditarik benang merah dari pemahaman tersebut, bahwa pada intinya pemerintahan yang baik adalah melibatkan peranserta publik dalam setiap pengambilan kebijakan, khususnya yang menyangkut kepentingan orang banyak. Asian Development Bank sendiri menegaskan adanya konsensus umum bahwa good governance dilandasi oleh 4 pilar praysarat yaitu (1) accountability, (2) transparency, (3) predictability, dan (4) participation.
Jelas bahwa jumlah komponen atau pun prinsip yang melandasi tata pemerintahan yang baik sangat bervariasi dari satu institusi ke institusi lain, dari satu pakar ke pakar lainnya. Namun paling tidak ada sejumlah prinsip yang dianggap sebagai prinsip-prinsip utama yang melandasi good governance, yaitu (1) Akuntabilitas, (2) Transparansi, dan (3) Partisipasi Masyarakat.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan di tingkat desa pun harus berlandaskan pada prinsip good governance/good local governance ini. Sebab dalam berbagai penelitian menunjukkan bahwa baik buruknya tata pemerintahan dijalankan mempunyai hubungan kausualitas yang erat dengan hasil-hasil pembangunan (Pohan, 2000).
Salah satu prinsip tata pemerintahan yang baik adalah partisipasi. Partisipasi ini dibutuhkan dalam memperkuat demokrasi khususnya pada tingkat grassroots, yaitu pada tingkat masyarakat desa. Dengan partisipasi, maka akan diperoleh modal sosial masyarakat desa dalam membangun iklim demokratisasi. Adapun bentuk partisipasi dari masyarakat dapat berupa partisipasi langsung secara individu dalam proses pengambilan keputusan, maupun melalui basis organisasi atau institusi seperti organisasi pemuda, kelompok petani, PKK, dan sebagainya.
Asumsi dasar dari partisipasi adalah semakin dalam keterlibatan individu dalam tantangan berproduksi, semakin produktif individu tersebut. Maka cara yang dapat dilakukan untuk menumbuhkan partisipasi itu adalah dengan mendorong partisipasi secara formal melalui komite atau dewan, yang mendorong masyarakat komunitas lokal untuk memberikan pandangan mereka tentang isu-isu kebijakan yang akan mempengaruhi pekerjaan maupun kesejahteraan mereka.
Dengan lahirnya desentralisasi dan otonomi desa, maka terbuka sebuah ruang publik politis yang dapat digunakan oleh rakyat untuk menyalurkan segala aspirasi dan tuntutannya mengenai permasalahan yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sebagai legislatif wadah menampung aspirasi serta mendiskusikan segala persoalan di desa untuk dicapai sebuah konsensus menjadi jalan terbukanya ruang bebas bagi masyarakat untuk menyalurkan aspirasi. Ruang publik politis ini dapat digunakan oleh individu maupun yang tergabung dalam wadah kelompok atau organisasi.
Berbicara mengenai masyarakat sipil di desa, ada tiga hal yang perlu diperhatikan dan diperkuat: (1) ruang publik desa, (2) organisasi dan gerakan masyarakat, (3) partisipasi masyarakat (Rozaki dkk, 2005:197). Ruang publik yang kritis diperlukan untuk menjembatani kesenjangan antara masyarakat sipil dan basis sentralnya.
Dalam karya awalnya, Strukturwandel der Oeffentlichkeit (Perubahan Struktur Ruang Publik), Juergen Habermas menjelaskan ruang publik politis sebagai kondisi-kondisi komunikasi yang memungkinkan warga negara membentuk opini dan kehendak bersama secara diskursif (dalam Budi Hardiman, 2006). Dengan melihat iklim keterbukaan ini, maka sebenarnya mudah untuk dapat melihat bagaimana peranan dari kelompok masyarakat maupun secara individu dalam turut berpartisipasi membangun desanya.
Penguatan organisasi masyarakat sipil berfungsi untuk mendorong demokrasi, yakni menggalang solidaritas dan kohesivitas sosial, menjadi jembatan di antara kelompok masyarakat yang berbeda, sebagai wadah gerakan sosial, dan sebagai bais partisipasi masayrakat desa dalam urusan pemerintahan dan pembangunan. Sedangkan partisipasi masyarakat adalah sebagai jembatan penghubung antara Negara dan masyarakat agar pengelolaan barang-barang publik menciptakan kesejahteraan (Sotoro Eko dalam Rozaki dkk, 2005).
Ada beberapa alat ukur yang dapat digunakan untuk melihat partisipasi dan peranan dari kelompok masyarakat, yaitu diantaranya public hearing, pertemuan kelompok masyarakat, diskusi publik, maupun musyawarah. Dari aspek ini dapat dilihat mengenai partisipasi masyarakat baik secara individu maupun organisatoris dalam mempengaruhi dan menentukan kebijakan di desa.


BAB. III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Metode penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan penelitian kulitatif sehingga dihasilkan sebuah data yang menggambarkan secara mendalam mengenai suatu fenomena. Metode kualitatif yang digunakan ini adalah dengan mendasarkan pada studi kasus. Hal ini karena setiap gejala sosial di suatu tempat sangat mungkin berbeda dengan di tempat lain, sehingga penelitian ini tidak melakukan generalisasi terhadap populasi, namun hanya bersifat kasuistik.

B. Sasaran Penelitian dan teknik penentuannya
Sasaran dari penelitian ini adalah aparatur Desa baik dari pihak eksekutif desa maupun legislatif desa (BPD), masyarakat petani Desa Kawungcarang, maupun Kelompok Tani Margo Makmur sebagai organisasi kelompok petani. Sasaran penelitian ini dipilih atas dasar pemahaman dan pengetahuan mengenai persoalan yang diteliti. Ini dikarenakan merekalah yang turut terlibat dalam setiap musyawarah desa, sehingga mereka pulalah yang mengetahui mengenai perpolitikan di desa tersebut.
Teknik penentuan sasaran penelitian ini adalah menggunakan purposive sampling. Teknik purposive sampling merupakan teknik penentuan sasaran berdasarkan tujuan penelitian. Sampel ataau sasaran penelitian/informan dipilih dengan dasar orang yang diangap paling mengetahui mengenai persoalan yang akan diteliti.

C. Lokasi Penelitian
Adapun lokasi dari penelitian ini adalah di wilayah Desa Kawungcarang, Kecamatan Sumbang, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.

D. Sumber data
Sumber data penelitian ini adalah data primer yang didapat dari hasil wawancara dan observasi lapangan, serta dengan didukung data skunder yang berupa data tertulis (dokumen) yang diperoleh dari Desa Kawungcarang.

E. Teknik Pengumpulan Data
Metode untuk pengumpulan data dilakukan dengan wawancara kepada responden yaitu aparat Desa Kawungcarang, pihak BPD, kelompok Tani Margo Makmur, serta wawancara kepada masyarakat/penduduk Desa setempat serta dengan didukung dengan data nonmanusia yaitu bersumber dari dokumen tertulis. Untuk dapat menghasilkan derajat kepercayaan (kredibilitas), maka penelitian ini dilakukan dengan melakukan wawancara yang bertahap dan dilakukan beberapa kali agar diperoleh variasi dan keakuratan informasi.


BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian
A.1 Demografi Desa Kawungcarang
Desa Kawungcarang terletak di Kecamatan Sumbang, Kabupaten Banyumas. Desa Kawungcarang merupakan desa dengan luas wilayah yang kecil yaitu berada di lahan seluas 47,365 hektar dengan jumlah penduduk 1.104 jiwa yang terdiri dari 310 kepala keluarga dengan komposisi laki-laki berjumlah 553 dan perempuan 551 jiwa. Jumlah penduduk ini tersebar dalam 7 RT dan 1 RW. Desa Kawungcarang berbatasan langsung dengan Desa Datar di sebelah Utara, di sebelah Timur berbatasan dengan Desa Kebanggan, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Tambaksogra, dan sebelah Barat berbatasan dengan Desa Karanggintung.
Luas wilayah Desa kawungcarang ini sebagian besar terdiri dari lahan pesawahan. Karena dari total luas wilayah, sebesar 31,47 hektar terdiri dari area pesawahan. Oleh karena itu kegiatan pertanian menjadi prioritas penduduknya. Hal ini terlihat dari penduduk yang berprofesi sebagai tani adalah 93 jiwa, buruh tani sebesar 20 jiwa, dan petani penggarap sebanyak 37 jiwa dari 356 penduduk yang bekerja. Selebihnya adalah bekerja sebagai karyawan, wiraswasta, PNS, TNI/Polri, pedagang, buruh bangunan, maupun sektor jasa.
Dengan total lahan sawah sebesar 31,47 hektar, sekitar 23,86 hektar merupakan sawah milik masyarakat, 7,61 hektar adalah tanah bengkok Pamong desa, dan tanah kas desa seluas 1 hektar. Dari jumlah tersebut, seluas 25 hektar digunakan untuk tanaman padi, dan sisanya digunakan untuk tanaman jagung.
Untuk masalah tingkat pendidikan penduduknya, di Desa Kawungcarang bebas dari buta huruf. Hanya sebanyak 5 orang yang tidak menamatkan sekolah dasar. Sebanyak 334 orang menamatkan pendidikan SD, 163 orang menamatkan SMP, 139 orang tamat SMA. Untuk yang mengenyam pendidikan tinggi, sebanyak 3 orang mampu menyelesaikan pendidikan diploma I (D-1), dan sebanyak 19 orang telah menamatkan pendidikan Sarjana (S-1). Selebihnya, yaitu sebanyak 180 orang masih sekolah. Dari usia sekolah yaitu umur 7-15 tahun, hanya 3 jiwa yang tidak sekolah.

A.2 Partisipasi masyarakat melalui Kelompok Tani Margo Makmur
Sebagai daerah yang sebagian besar terdiri dari lahan pertanian, kegiatan pertanian cukup mendominasi aktivitas masyarakatnya. Oleh karenanya, keberadaan organisasi petani seharusnya sangat mendukung dan menjadi media untuk mengartikulasikan kepentingannya. Di Desa Kawungcarang terdapat organisasi kelompok petani yang bernama “Margo Makmur”.
Kelompok tani “Margo Makmur” di Desa Kawungcarang telah berdiri sejak lama, walaupun tidak tahu pasti sejak kapan, yang jelas kelompok tani ini telah berdiri puluhan tahun. Dengan kondisi geografis yang sebagian besar terdiri dari lahan pertanian, organisasi ini menjadi sangat penting bagi masyarakat desa tersebut. Setidaknya dengan hadirnya kelompok tani tersebut, kepentingan petani Desa Kawungcarang akan terartikulasikan melalui organisasi yang kemudian dapat dipertimbangan dalam setiap pengambilan kebijakan di desa. Paling tidak keberadaan organisasi ini dapat menjadi media sosialisasi setiap kebijakan yang berkaitan dengan pertanian, atau jika ada bantuan untuk pertanian.
Berdasarkan penuturan Kepala Desa Kawungcarang, kelompok tani ini sempat vakum. Baru setelah beberapa tahun pemerintahannya, organisasi kelompok tani ini mulai dihidupkan kembali dengan pembentukan ketua berikut kepengurusannya. Salah satu maksud dihidupkannya kembali organisasi ini adalah karena pada waktu itu akan ada penyaluran bantuan pertanian di Kecamatan Sumbang. Pernyataan ini dibenarkan oleh ketua Kelompok Tani Margo Makmur sendiri dan Ketua BPD.
Dalam perkembangannya, keberadaan organisasi Margo Makmur ini seakan kehilangan signifikansinya bagi masyarakat desa tersebut yang sebagian besar hidup dari pertanian. Margo Makmur menjadi terkesan hanya sebagai sebuah nama atau formalitas. Ini terlihat dari kegiatan dan keanggotaannya yang semakin tidak jelas. Mekanisme pemilihan ketua atau pengurus pun tidak melalui musyawarah anggota, namun hanya melaui mekanisme penunjukkan atau pelimpahan wewenang dari yang menjabat sebelumnya. Hal ini didukung oleh pernyataan Pak Prayogi selaku ketua kelompok tani Margo Makmur saat ini. Dia menyatakan bahwa dirinya menjadi ketua kelompok tani hanya melalui pelimpahan wewenang dari ketua sebelumnya. Beliau juga menambahkan bahwa dirinya telah menjabat sejak tahun 1998 hingga sekarang. Hal ini dikarenakan selama ini tidak ada yang mau menggantikan posisi dirinya sebagai ketua.
Selain menjadi ketua kelompok tani, Pak Prayogi juga bekerja sebagai perangkat desa dan menjabat sebagai Kaur Umum. Begitu juga dengan ketua kelompok tani sebelumnya. Setiap orang yang menjabat ketua kelompok tani ini, sudah pasti dia adalah seorang perangkat desa. Entah mengapa mekanisme ini bisa terjadi.
Kegiatan dari kelompok tani ini hampir dikatakan tidak ada, bahkan program kerja pun tidak ada. Organisasi ini berjalan ketika perlu sosialisasi mengenai pertanian yang dilakukan oleh pemerintah, atau hanya ketika ada bantuan mengenai pupuk bersubsidi, atau bantuan lain yang berkaitan dengan pertanian.
Berkaitan dengan hubungannya dengan pemerintah desa, kelompok tani ini hanya sebatas formalitas. Mereka diundang dalam musyawarah desa, namun karena tidak ada partisipasi dari warga petani (anggota) itu sendiri maka mekanisme musyawarah atau demokrasi tidak berjalan sehat. Sebab yang menjadi perwakilan dari kelompok petani adalah dari kalangan perangkat desa itu sendiri. Bahkan menurut Pak Prayogi, boleh dikatakan bahwa selama ini kelompok tani tidak pernah dilibatkan dalam setiap perumusan kebijakan di desa. Sebab dia hadir dalam musyawarah desa sebagai kelompok tani, tetapi dia juga berperan sebagi perangkat desa. Selain itu, dia tidak memahami apa saja keinginan dari masyarakat petani di desa Kawungcarang itu sendiri. Hal ini dikarena tidak ada partisipasi dan koordinasi antara organisasi dengan anggotanya. Namun, petani desa Kawungcarang pernah meminta pembangunan irigasi ketika terdapat program PNPM, dan hal ini sudah dipenuhi.
Lebih jauh lagi ketika kami menayakan kepada kepala desa terkait dengan salah satu contoh kebijakan desa yang mengatur tentang pertanian di Desa Kawungcarang, dijelaskan bahwa selama kepemimpinannya tidak ada satupun kebijakan desa yang mengatur tentang hal ini. Menurut Bu Eni selaku kepala desa, masayarakat petani tidak terlalu perduli dengan hal-hal yang demikian, entah itu disampaikan secara pribadi ataupun melalui media Kelompok Tani Margo Makmur sendiri. Walaupun sebagian besar penduduk di Desa Kawungcarang ini bekerja sebagai petani, tetapi tidak ada satupun peraturan desa yang mengatur tentang masalah pertanian.
Permasalahannya adalah ketika ada bantuan untuk pertanian, yang menangani bukan dari kelompok tani itu, tetapi diambil alih oleh perangkat desa. Hal ini berdasarkan penuturan ketua Margo Makmur. Misalnya saja ketika ada bantuan Kredit Usaha Tani atau bantuan untuk sarana produksi pertanian.
Hal menarik lainnya, dari sekian luas lahan pertanian di Desa Kawungcarang tersebut, ternyata sebagian besar (kurang lebih 70%) adalah milik perangkat desa. Di sini menimbulkan sebuah asumsi atau pertanyaan, apakah selama ini masyarakat kurang respon atau kurang partisipatif terhadap keberadaan Margo Makmur sebagai organisasi representasi masyarakat petani, dikarenakan kepentingannya tidak ada bagi mereka. Sebab sebagian lahan pertanian dimiliki oleh pejabat desa.
Dari kondisi ini juga memunculkan pertanyaan apakah karena hal ini, mekanisme pemilihan ketua kelompok Margo Makmur hanya sebatas pelimpahan, dan selalu berasal dari perangkat desa itu sendiri? Mungkin hal ini dilakukan agar setiap permasalahan atau bantuan pertanian dapat ditangani oleh perangkat desa sendiri. Hal ini juga yang mungkin menjadi alasan mengapa keberadaan Margo Makmur tetap dipertahankan walaupun secara substansi atau kegiatannya tidak ada, agar bantuan dapat masuk.

A.3 Partisipasi Masyarakat dalam Perumusan Kebijakan Desa
Tidak berberbeda dengan organisasinya yang pasif, masyarakat petani di Desa Kawungcarang pun ternyata tidak memanfaatkan keberadaan organisasi yang sebenarnya atas prakarsa masyarakat desa. Baik secara organisasi ataupun individu, ternyata masyarakat desa tersebut pasif dalam hal berpartisipasi dalam setiap perumusan kebijakan, khususnya kebijakan yang menyangkut masalah peranian. Hal ini dapat dilihat dari partisipasi dalam setiap musyawarah yang membahas kebijakan desa atau Peraturan Desa.
Pelibatan setiap elemen masyarakat dalam perumusan kebijakan menjadi sebatas formalitas. Ini berdasarkan pernyataan Pak Prayogi selaku Ketua Kelompok Tani Margo Makmur dan Pak Rasmin selaku Ketua BPD. Masyarakat sulit untuk diajak berpartisipasi untuk perumusan kebijakan pembangunan desa. Akibatnya yang hadir dalam musyawarah hanya sebatas perwakilan tanpa representasi konstituen. Yang hadir dalam musyawarah hanya beberapa orang yang tidak cukup mewakili kepentingan seluruh masyarakat desa. Misalnya perwakilan dari masyarakat petani hanya menghadirkan ketuanya saja tanpa mengetahui apa yang diinginkan oleh para petani sebagai anggotanya. Itupun yang menjabat sebagai ketuanya adalah sebagai perangkat desa, sehingga netralitas birokrasi sulit diupayakan. Dikhawatirkan apa yang diusulkan dalam musyawarah tidak sesuai dengan keinginan masyarakat.
Ada anggapan dari pemerintah desa bahwa para petani cenderung telah nyaman dengan kondisi yang sedang mereka jalani sekarang. Mereka nyaman dengan idealitas kerja mereka sebagai seorang petani dengan menanam di awal musim tanam, merawatnya dan kemudian memanennya pada masa panen. Hal ini berlangsung terus sebagai suatu pola umum yang telah diterima oleh masyarakat petani di Desa Kawungcarang.
Pola kepemilikan tanah pertanian di Desa Kawungcarang disinyalir menjadi salah satu faktor pemicu sikap apatis masyarakat petani di desa ini. Menurut informasi yang kami dapatkan memang terlihat jelas bahwa dari total 31 hektar tanah pertanian yang ada di Desa Kawungcarang, jumlah tersebut telah terdistribusi kepada 102 warga desa dalam hal kepemilikikannya. Yang patut digarisbawahi di sini adalah masing-masing penduduk yang memiliki tanah pertanian, hampir semuanya memliki tanah pertanian tersebut dengan kuantitas yang sangat kecil. Kepemilikan tanah paling luas di miliki oleh kepala desa dengan jumlah dua hektar, itupun bukan merupakan tanah milik pribadi kepala desa, melainkan tanah bengkok desa seluas 2 hektar. Sisanya masing-masing petani memiliki tanah pertanian yang tidak lebih dari 0,3 hektar, atau bahkan ada yang jauh lebih kecil dari angka itu .
Faktor kedua yang memicu sikap apatis masyarakat adalah rasa kekecewaan masyarakat terhadap kinerja pemerintah desa yang tidak professional. Ternyata masih ada berbagai permasalahan yang pada akhirnya berimplikasi secara negatif terhadap partisipasi masyarakat desa dalam dinamika sosial politik di Desa Kawungcarang. Tidak hanya sekedar permasalahan pola kepemilikan tanah yang begitu rata terdistribusi, bukan pula permaslahan budaya masyarakat setempat yang memang tidak terlalu banyak menuntut.
Menutrut Kepala BPD Desa Kawungcarang ini, segala keapatisan dari masyarakat petani di desa disebabkan oleh faktor profesionalitas para perangkat desa. Sesungguhnya, menurut Kepala BPD, sebelum masa kepemimpinan kepala desa yang sekarang, masyarakat petani di Desa Kawungcarang ini dapat dikatakan sangat dinamis. Bahkan untuk sekedar menghadiri pertemuan saja seperti forum salapanan, dapat menghadirkan masa yang begitu banyak. Masyarakat petani sangat antusias untuk menghadiri acara-acara yang diselenggarakan oleh pemerintah desa. Ketika pemerintah desa ingin melakukan suatu acara, maka dengan serta merta masyarakat akan hadir berbondong-bondong untuk menghadiri acara terebut, meskipun acara tersebut hanya sekedar pertemua rutin saja seperti petemuan salapanan.
Permasalahan profesionalitas perangkat desa pada masa kepemmpinan kepala desa yang sekarang, secara langsung telah berakibat kepada keapatisan dari masyarakat petani di desa. Sebagai contoh dijelaskan, ketika pemerintah desa mengundang masyarakat petani untuk hadir dalam sebuah pertemuan rutin, tidak ada disiplin waktu dari pemerintah desa yang mengundang. Menurut Kepala BPD, hal-hal seperti ini yang pada akhirnya menyebabkan para petani enggan untuk menghadiri acara-acara serupa.
Lebih lanjut lagi dijelaskan, adalah yang lebih parah dalam pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan oleh pemerintah desa pada masa kepemimpian kepala desa yang sekarang, hanya segelintir saja peranggkat desa yang hadir secara rutin dalam pertemuan tersebut. Tidak lebih dari empat orang perangkat desa yang bersedia menghadiri pertemuan-pertemuan yang sebenarnya diselenggarakan oleh pemerintah desa sendiri. Ini dia yang kemudian dijelaskan oleh kepala BPD sebagai sebuah ketidakprofesionalan dari para perangkat desa terhadp tugas dan kewajiban mereka sebagai seorang pamong.
Permasalahan ini juga dirasakan oleh masyarakat petani yang kami wawancarai. Dari wawancara kepada Pak Muhadi, Pak Cipto, dan Bu Nasi selaku petani, ternyata terlihat sebuah kesepahaman dengan apa yang di ungkapkan oleh Kepala BPD dan Ketua kelom[ok tani dalam wawancara sebelumnya. Mereka menyatakan bahwa sebagian besar petani di desa ini hanya sebatas petani penggarap, bahkan hanya sekedar buruh tani, sedangkan yang memiliki lahan adalah para elit desa. Kalaupun ada petani yang memiliki lahan sendiri, itupun luasnya tidak seberapa seperti milik Pak Muhadi yang hanya sekitar 0,1 hektar.
Mereka menyatakan, dahulu aktivitas masyarakat cukup aktif misalnya dalam setiap pertemuan-pertemuan yang diadakan oleh pemerintah desa atau hanya pertemuan biasa. Misalnya saja ketika masih ada pertemuan yang bernama salapanan, masyarakat yang hadir sangat banyak, bisa mencapai seratus orang. Dalam pertemuan itu akan dibahas tentang apa saja, terutama yang menyangkut persoalan sekitarnya, termasuk juga keluhan tentang pertanian. Namun disayangkan ketika pemerintahan desa berganti, aktivitas ini telah pudar, sehingga pertemuan yang melibatkan seluruh masyarakat desa secara luas tidak pernah terjadi. Yang masih ada hanya sebatas pertemuan-pertemuan di tingkat RT.
Sekarang masyarakat petani terkesan tidak mempedulikan masalah kebijakan desa, khususnya terkait pertanian. Hal ini dikarenakan tidak terlalu menyentuh manfaatnya bagi para petani sendiri. Penyebab lain sikap apatis warga adalah karena kekecewaan terhadap kinerja aparat desa yang tidak professional. Seperti dicontohkan oleh Pak Muhadi, ketika ada bantuan untuk petani dalam bentuk pinjaman modal atau sarana produksi pertanian, pemerintah desa tidak transparan dalam sosialisasi dan laporannya. Masyarakat tidak pernah tahu untuk apa saja bantuan itu digunakan.
Kondisi seperti ini menjelaskan bahwa partisipasi masyarakat petani maupun organisasi kelompok petani belum cukup dalam sebuah iklim demokrasi di desa. Belum ada pemberdayaan di bidang politik merupakan salah satu penyebabnya. Iklim demokrasi ala orde baru masih mempengaruhi pemikiran masyarakatnya. Dalam hal ini perlu peran aktif dari pemerintah desa untuk mengupayakan partisipasi politik masyarakatnya sehingga tercipta iklim demokrasi di desa tersebut.
Upaya yang dapat dilakukan salah satunya adalah dengan mendukung kegiatan “Margo Makmur” sebagai organisasi masyarakat petani dan berusaha menghidupkan kembali organisasi tersebut yang dirasa telah “mati” sebab tidak ada kegiatan atau bahkan hanya pertemuan rutin pun tidak ada.
Keberadaan Margo Makmur terkesan hanya sebagai simbol dinamisasi aktivitas dan partisipasi politik masyarakatnya saja. Sebab secara substansi, organisasi ini tidak berbuat apa-apa selain hanya sebagai organisasi binaan di desa namun dengan kontribusi yang tidak nyata terlihat. Padahal seharusnya kelompok tani Margo Makmur ini mempunyai posisi yang strategis jika kita melihat komposisi penduduk di desa kawungcarang yang hampir seluruhnya adalah petani.
Menurut penjelasan yang kami dapat dari ketua Kelompok Tani Margo Makmur, Bapak Prayogi, disinggung bahwa sejauh masa jabatannya sebagai ketua kelompok tani Margo Makmur, ada semacam keapatisan dari masyarakat yang berimplikasi langsung terhadap dinamisasi kelompok tani ini dalam menopang segala kebutuhan dan aspirasi petani yang tidak mendapat respon yang positif. Kebanyakan mayarakat petani di desa kawungcarang sehari-harinya hanya bekerja menurut idealitas mereka sebagai seorang petani tanpa mencoba memanfaatkan organisasi kelompok tani ini sebagai media untuk memperjuangkan aspirasi anggota kelompoknya, untuk kemudian diterjemahkan oleh pemerintah desa melalui produk kebijakan desa. Pendapat ini pun dibenarkan oleh kepala desa, dan Ketua BPD, bahkan oleh para petani sendiri. Kondisi ini apatisme warga dalam berpartisipasi politik ini disebabkan oleh kekecewaan terhadap kinerja pemerintah desa yang tidak professional, tidak transparan.

B. Pembahasan
Dalam agenda desentralisasi adalah untuk mewujudkan good governance dan mengembangkan demokrasi lokal yang berdasarkan kultur masyarakat desa. Dalam tata pemerintahan, mencakup di dalamnya adalah seluruh mekanisme, proses dan lembaga-lembaga dimana masyarakat dapat mengaktualisasikan dan mengartikulasikan kepentingannya secara bebas. Dalam istilah governance pun dapat diartikan sebagai mekanisme pengelolaan sumberdaya baik ekonomi, sosial, maupun politik.
Dengan hadirnya desentralisasi dan otonomi desa, seluruh aparatur desa dan segenap masyarakatnya diharapkan mampu mengembangkan potensi yang dimilikinya, tidak terkecuali dengan Desa Kawungcarang. Dalam otonomi desa mengandung prinsip keleluasaan (discretionary), kekebalan (imunitas), dan kapasitas. Keterpaduan antara keleluasaan dan kapasitas akan dapat melahirkan kemandirian desa, yaitu kemandirian mengelola pemerintahan, mengambil keputusan, dan mengelola sumberdaya lokal sendiri yang sesuai dengan preferensi masyarakat lokal (Rozaki, 2005:53).
Dengan adanya kebebasan desa untuk mengatur rumahtangga pemerintahannya, diharapkan akan terbangun sebuah iklim demokrasi grass roots yang selama ini diindikasikan telah ada di pedesaan. Misalnya saja, ketika saat ini dunia sibuk membicarakan demokrasi langsung, sebenarnya sejak dahulu, masayarakat desa telah mengenal demokrasi langsung dengan mekanisme pemilihan kepala desa secara langsung. Dengan demikian, sebenarnya masyarakat desa telah lebih dahulu paham dan mengenal demokrasi, hanya dalam istilah yang berbeda. Prinsip-prinsip demokrasi pun sebenarnya sudah melembaga di lingkungan masyarakat desa, sepeti musyawarah mufakat, rembug desa, gotong royong, dan sebagainya.
Sebagai contoh yang ada di Desa Kawungcarang adalah adanya pertemuan salapanan, yang berfungsi sebagai media komunikasi untuk menyalurkan segala aspirasi dan keluhan masyarakat Desa Kawungcarang kepada pemerintah desa. Kegiatan ini rutin dilakukan setiap 35 hari sekali sebagai forum warga untuk menyalurkan segala permasalahan yang dihadapi di desanya. Dengan adanya forum ini, pemerintah desa akan mudah mengetahui permasalahan.
Pertemuan-pertemuan seperti ini yang disebut oleh Jurgen Habermas sebagai ruang publik politis, dirasa sangat efektif dalam menjaring aspirasi dan untuk mengetahui segala permasalahan yang terjadi di desa. Sebab memungkinkan masyarakat desa mebentuk opini dan kehendak bersama secara diskursif. Pada akhirnya pemerintah Desa Kawungcarang akan dengan cepat melakukan antisipasi atau mencari solusi dari permasalahan yang ada.

B.1 Realitas Relasi Antara Masyarakat Dan Pemerintah Desa
Good governance sebagai sebuah konsep pemerintahan yang ideal menjadi sebuah tawaran menjanjikan pada tataran aplikatif, bahkan untuk tingkatan desa sekalipun. Akuntabilitas, transparansi dan partisipasi politik dari masyarakat menjadi beberapa prayarat utama bagi mulusnya pelaksanaan good governance di desa. Pada tingkatan yang lebih jauh lagi, diharapkan pula terjadi sebuah hubungan yang sifatnya saling menopang, terutama dalam penciptaan sebuah tata pemerintahan yang baik antara pemerintah desa sendiri dengan kelompok-kelompok masyarakat yang telah mandiri. Posisi tawar yang baik dari masyarakat terhadap pemerintah desa diharapkan menjadi sebuah kontrol nyata bagi jalannya pemerintahan, disamping pula sebagai upaya tanggap dari pemerintah desa atas kebutuhan masyarakatnya.
Namun demikian, dari berbagai informasi yang kami dapatkan dari penelitian kami di Desa Kawungcarang, masih terdapat begitu banyak hal yang patut digarisbawahi, terutama bagaimana sesunguhnya pelaksanaan good governance yang ideal. Sejauh yang kami amati dari jalannya pemerintahan di Desa Kawungcarang, hampir tidak ditemukan sebuah konsep pemerintahan yang berbasis good governance. Koordinasi antara pihak-pihak yang ada tidak terjalin dengan baik kalau tidak mau dikatakan tidak terjadi sebuah hubungan yang konstruktif dan saling melengkapi.
Kita ambil contoh dari partisipasi masyarakat. Kelompok Tani Margo Makmur sebagai kelompok profesi terbesar di Desa Kawungcarang ternyata mandul dalam menerjemahkan aspirasi dari bawah. Sebuah analisis menarik disini adalah apakah memang ini di sebabkan oleh ketidakmampuan Kelompok Tani Margo Makmur untuk berdinamisasi dalam tatanan sosial politik desa, atau mungkin ini di sebabkan oleh kondisi masyarakat yang memang apatis, atau dengan bahasa lainnya, partisipasi masyarakat petani di Desa Kawungcarang ini masih sangat rendah.
Berdasarkan hasil wawancara yang kami dapatkan dari ketua BPD Desa Kawungcarang, ternyata memang sistem pemerintahan yang kemudian menciptakan sebuah kondisi yang demikian. Permasalahannya disini adalah profesionalitas kerja dari para perangkat desa. Padahal sesungguhnya jika kita mau menilik ke belakang, tepatnya sebelum masa pemeritahan kepala desa yang sekarang, masyarakat petani di Desa Kawungcarang adalah sebuah komunitas yang sangat dinamis dan memiliki kesadaran dan tingkat partisipasi yang tinggi dalam acara-acara atau kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah desa. Untuk sekedar menghadiri pertemuan-pertemuan rutin seperti salapanan pun, masyarakat sudah berbondong-bondong datang.
Lebih jauh lagi, permasalahan profesionalisme ini juga berlanjut pada mekanisme kerja Kelompok Tani Margo Makmur. Menurut penjelasan yang kami dapat dari Ketua BPD, dan Kelompok Tani Margo Makmur ini memang sengaja diciptakan mandul oleh pemerintah desanya, atau mungkin dengan bahasa yang lebih kasar, kelompok tani ini sengaja di tunggangi oleh pemerintah desa untuk keperluan beberapa kepentinagn tertentu. Sebut saja kepentingan tersebut adalah pencairan dana bantuan pertanian di Desa Kawungcarang. Keberadaan kelompok tani merupakan sebuah prasyarat bagi cairnya dana bantuian tersebut. Setelah dana bantuan cair, ternyata tidak sepenuhnya dapat di distribusikan secara professional. Memang kami tidak memiliki data yang konkrit terkait hal ini, tetapi menurut kepala BPD, ada beberapa indikasi dana yang cair tersebut menguap dan tidak terdistribusikan secara semestinya. Pendistribusian dana yang dilakukan pun tidak menjadi tepat sasaran karena kebanyakan diberikan kepada segelintir orang saja. Keadaan ini juga dirasakan oleh orang seperti Pak muhadi, Pak Cipto, dan Bu Nasi sebagai seorang petani kecil.
Seharusnya dinamika politik yang terjadi di tingkat lokal adalah ilustrasi yang baik untuk dapat dipakai sebagai cermin dalam melihat perubahan desentralisasi dan demokrasi lokal. Hadirnya otonomi daerah dan otonomi desa untuk mendorong dan memperkuat posisi desa sebagai self-governing community dan local-self government. Nyatanya tidak demikian yang terjadi di Desa Kawungcarang. Gagasan utama desentralisasi pembangunan dan otonomi desa yang menempatkan desa sebagai entitas yang otonom dalam pengelolaan pembangunan dengan perencanaan pembangunan yang bottom-up dan village self planning, tidak mampu berjalan optimal di Kawungcarang. Ketidakoptimalan ini disebabkan oleh perencanaan pembangunan yang dilakukan pemerintah desa tidak disertai partisipasi aktif masyarakatnya.
Asumsi dari hadirnya otonomi desa adalah akan semakin aktifnya masyarakat untuk terlibat dalam proses politik yang berlangsung baik secara formal ataupun informal. Kesadaran masyarakat akan semakin tumbuh, dan terwujud pada pengorganisiran dengan bergabung dalam organisasi-organisasi civil society dalam bentuk organisasi sektoral, kepemudaan, kelompok perempuan, kelompok keagamaan, kelompok petani, dan lain sebagainya. Kondisi ini terlihat mulai banyaknya organisasi yang berbasiskan masyarakat sipil. Dalam contoh kasus di Desa Kawungcarang, telah banyak organisasi atau perkumpulan-perkumpulan warga. Mereka mengasosiasikan diri dalam sebuah wadah untuk menyalurkan keinginan mereka.
Agenda desentralisasi yang terlihat di Desa Kawungcarang yang seharusnya mampu menumbuhkan partisipasi masyarakat dalam setiap perumusan kebijakan masih kurang terlihat. Organisasi-organisasi civil society yang ada masih hanya sekedar organisasi yang sifatnya sosial seperti kelompok pengajian, kelompok arisan. Mereka masih pasif dalam hal partisipasi politik. Kenyataan yang ada adalah banwa parisipasi masyarakat dalam msyawarah desa, masih minim. Ini dibuktikan dari respon masyarakat dalam setiap kebijakan atau peraturan yang dibuat oleh pemerintah desa. Bahkan untuk menghadiri rapat desa saja sangat enggan. Hal inilah yang dinyaakan oleh Pak Rasmin selaku ketua BPD. Ini menyebabkan kurang terciptanya dinamisasi politik yang diharapkan dari otonomi desa. Kebijakan yang tercipta terkesan masih sangat sentralistik atau top down bukan bottom up.
Dalam setiap musyawarah desa, lebih terkesan elitis. Sebab yang hadir hanyalah elit-elit desa atau tokoh masyarakat yang dekat dengan kekuasaan desa. Perwakilan dari organisasi kelompok tani saja yang seharusnya representasi masyarakat Desa Kawungcarang yang sebagian besar sebagai petani terlihat tak berdaya. Sebab masyarakat petaninya tidak aktif dalam organisasinya maupun secara individu.
Desentralisasi atau otonomi yang dilaksanakan di Desa Kawungcarang seharusnya juga mencakup desentralisasi pada lingkungan politik kemasyarakatan. Kesempatan untuk mengembangkan civil sosciety pada tingkat lokal harus difasilitasi seluas mungkin oleh pemerintah desa. Budaya-budaya atau kegiatan yang sudah ada di desa yang sifatnya dapat mengembangkan praktek demokrasi, seharusnya terus dipertahankan dan dikembangkan. Misalnya saja kegiatan salapanan yang merupakan forum informal yang dapat dijadikan ranah untuk mengapresiasikan dan mengartikulasikan segala suara dari masyarakat desa. Namun dalam kenyataannya, perkumpulan seperti ini telah hilang dari Desa Kawungcarang. Pemerintah desa kurang memperhatikan aktivitas waraga seperti ini. Yang masih tersisa adalah pertemuan-pertemuan di tingkat RT yang masih rutin dilakukan.
Perubahan pola pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi untuk pelaksanaan otonomi daerah, nampaknya menuntut perubahan-perubahan pula terhadap masyarakatnya. Pemerintah di tingkat desa juga seharusnya berperan dalam menyadarkan masyarakat bahwa mereka sekarang adalah stake holder yang utama dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Dengan kesadaran semacam ini, masyarakat madani akan dapat terbentuk yang akan terekspresikan dalam keterlibatan aktif masyarakat dalam proses politik dan pemerintahan lokal (CSIS, 2001).
Sebagai stakeholder utama, masyarakat desa sendiri harus mampu memelihara kemampuan politik lokal. Dalam hal ini, masyarakat perlu mendorong kemampunan politik lokal agar senantiasa dapat efisien dan efektif untuk memuaskan kepentingan-kepentingan masyarakat. Pada saat yang sama, masyarakat harus pula mampu mencegah institusi-institusi politik lokal seperti aparatur pemerintah desa agar tidak menjadi kekuatan politik lokal yang eksesif sehingga menjadi supresif dan arbriter (menekan dan sewenang-wenang) terhadap mereka sendiri (CSIS, 2001). Hal semacam inilah yang perlu dilakukan oleh segenap masyarakat Desa Kawungcarang, baik pemerintah maupun masyarakat umum sehingga akan tercipta suatu sistem pemerintahan yang ideal (good local governance).
Dalam pembangunan demokrasi desa, diperlukan sumberdaya sosial yang berasal dari elemen civil society agar tercipta pemerintahan desa yang partisipatif, dan demokratis, sehingga apa yang diharapkan oleh masyarakat desa dapat terwujud dalam sebuah kebijakan desa. Kondisi ini bertolak belakang dengan realitas di Desa Kawungcarang. Belum adanya partisipasi dari masyarakatnya dan peran pemerintah desa dalam menghidupkan organisasi atau kelompok-kelompok masyarakat menjadi gambaran kondisi sosial politik desa tersebut.


BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan beberapa poin mengenai gambaran partisipasi masyarakat petani di Desa Kawungcarang dan hal yang menyebabkannya. Masyarakat petani Desa Kawungcarang sebagai entitas masyarakat yang cukup besar ternyata saat ini tidak memperlihatkan partisipasinya dalam hal perumusan kebijakan desa. Masyarakat cenderung pasif dan tidak ingin disibukan dalam musyawarah yang diselenggarakan oleh pemerintah desa terkait pembangunan desa atau masalah pertanian itu sendiri.
Berdasarkan hasil temuan di lapangan, kondisi ini disebabkan oleh dua hal, yaitu:
Pertama, dalam hal kebijakan mengenai pertanian, masyarakat petani tidak memperoleh manfaat yang signifikan karena sebagian besar hanya sebagai petani gurem atau yang hanya memiliki lahan yang sangat kecil, sedangkan sebagian besar lahan pertanian dimiliki oleh para elit atau perangkat desa.
Kedua, kekecewaan masyarakat terhadap kinerja pemrintah desa yang tidak professional, tidak adanya transparansi dalam hal pelaksanaan maupun pelaporan pembangunan atau bantuan.

B. Saran
Untuk dapat membangun iklim demokrasi yang dicita-citakan dalam agenda desntralisasi/otonomi desa, maka dengan melihat kondisi partisipasi politik masyarakat petani di Desa Kawungcarang perlu adanya upaya perbaikan dengan cara:
1. Perlu dilaksanakannya prinsip good governance seperti akuntabilitas, dan transparansi dengan cara meningkatkan profesionalisme kinerja aparat pemerintah desa, sehingga memperoleh kepercayaan dari masyarakat sebagai stakeholder.
2. Pihak pemerintah desa harus berperan aktif dalam memelihara dan mengembangkan basis-basis demokrasi lokal seperti forum-forum warga seperti pertemuan RT, rembug desa, salapanan; serta berupaya memajukan kelompok-kelompok masyarakat sebagai institusi alternatif masyarakat untuk menyuarakan aspirasinya.
3. Memberikan penyadaran kepada masyarakat bahwa mereka adalah stakeholder yang utama dalam menciptakan otonomi desa yang demokratis sesuai dengan kultur masyarakat, sehigga akan menumbuhkan partisipasi masyarakat untuk ikut serta berperan dalam pembangunan desa serta mengontrol jalannya pemerintahan di tingkat desa.

Daftar Pustaka

Annual Report 2001-2002, “Desentralisasi dan Demokrasi Lokal”, IRE Press, Yogyakarta.

Cresswell, Jhon W. 1996, Research Design: Qualitative and Quantitative Approach, Penerbit KIK Press, Jakarta.

CSIS. 2001, Laporan Penelitian Kemampuan Politik Lokal untuk Pelaksanaan Otonomi Daerah, Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Jakarta.

Hardiman, Budi F. 2006, ”Ruang Publik Politis: Komunikasi Politis dalam Masyarakat Majemuk”, http://duniaesai.com/komunikasi/kom1.htm, yang diakses tanggal 13 April 2007, bersumber dari Kompas Cyber Media.

Huda, Ni’matul. 2005, Otonomi Daerah: Filosofi, Sejarah Perkembangan, dan Problematika, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Krina P., 2003. “Indikator & Alat Ukur Prinsip Akuntabilitas, Transparansi & Partisipasi”, Sekretariat Good Public Governance Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Jakarta - Agustus 2003.

Pohan, Max H. 2000, “Mewujudkan Tata Pemerintahan Lokal yang Baik (Local Good Governance) dalam Era Otonomi Daerah”, Makalah yang disampaikan pada Musyawarah Besar Pembangunan Musi Banyuasin ketiga, Sekayu, 29 September-1 Oktober 2000.

Rozaki, Abdur, dkk. 2005, Prakarsa Desentralisasi dan Otonomi Desa, Cetakan ke-2, IRE Press (Institute for Research and Empowerment), Yogyakarta.

Syaukani, dkk. 2004, Otonomi Derah dalam Negara Kesatuan, Kerjasama antara Pustaka Pelajar dan Pusat Pengkajian Etika Politik dan Pemerintahan (PUSKAP), Yogyakarta.