Assalamu'alaikum,,, Salam Hormat

Terima kasih atas kunjungan anda ke blog saya. Semoga bermanfaat. Semua tulisan ini hasil saya pribadi, atau diambil dari tulisan lain yang tercantum pada rujukannya. Bila mengutip baik secara langsung maupun tidak, sebagian atau keseluruhan, diharapkan Mencantumkan sumber tulisan dan penulisnya pada daftar pustaka/catatan kaki sebagai bahan rujukannya.
atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih

Rabu, 30 Desember 2009

Sejarah Cirebon


Kisah asal-usul Cirebon dapat ditemukan dalam historiografi tradisional yang ditulis dalam bentuk manuskrip (naskah) yang ditulis pada abad ke-18 dan ke-19. Naskah-naskah tersebut dapat dijadikan pegangan sementara sehingga sumber primer ditemukan.

Diantara naskah-naskah yang memuat sejarah awal Cirebon adalah Carita Purwaka Caruban Nagari, Babad Cirebon, Sajarah Kasultanan Cirebon, Babad Walangsungsang, dan lain-lain. Yang paling menarik adalah naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, ditulis pada tahun 1720 oleh Pangeran Aria Cirebon, Putera Sultan Kasepuhan yang pernah diangkat sebagai perantara para Bupati Priangan dengan VOC antara tahun 1706-1723.

Dalam naskah itu pula disebutkan bahwa asal mula kata “Cirebon” adalah “sarumban”, lalu mengalami perubahan pengucapan menjadi “Caruban”. Kata ini mengalami proses perubahan lagi menjadi “Carbon”, berubah menjadi kata “Cerbon”, dan akhirnya menjadi kata “Cirebon”. Menurut sumber ini, para wali menyebut Carbon sebagai “Pusat Jagat”, negeri yang dianggap terletak ditengah-tengah Pulau Jawa. Masyarakat setempat menyebutnya “Negeri Gede”. Kata ini kemudian berubah pengucapannya menjadi “Garage” dan berproses lagi menjadi “Grage”.

Menurut P.S. Sulendraningrat, penanggung jawab sejarah Cirebon, munculnya istilah tersebut dikaitkan dengan pembuatan terasi yang dilakukan oleh Pangeran Cakrabumi alias Cakrabuana. Kata “Cirebon” berdasarkan kiratabasa dalam Bahasa Sunda berasal dari “Ci” artinya “air” dan “rebon” yaitu “udang kecil” sebagai bahan pembuat terasi. Perkiraan ini dihubungkan dengan kenyataan bahwa dari dahulu hingga sekarang, Cirebon merupakan penghasil udang dan terasi yang berkualitas baik.

Berbagai sumber menyebutkan tentang asal-usul Sunan Gunung Jati, pendiri Kesultanan Cirebon. Dalam sumber lokal yang tergolong historiografi, disebutkan kisah tentang Ki Gedeng Sedhang Kasih, sebagai kepala Nagari Surantaka, bawahan Kerajaan Galuh. Ki Gedeng Sedhang Kasih, adik Raja Galuh, Prabu Anggalarang, memiliki puteri bernama Nyai Ambet Kasih. Puterinya ini dinikahkan dengan Raden Pamanah Rasa, Putra Prabu Anggalarang.

Karena Raden Pamanah Rasa memenangkan sayembara lalu menikahi Puteri Ki Gedeng Tapa yang bernama Nyai Subanglarang, dari Nagari Singapura, tetangga Nagari Surantaka. Dari perkawinan tersebut lahirlah tiga orang anak, yaitu Raden Walangsungsang, Nyai Lara Santang dan Raja Sangara. Setelah ibunya meninggal, Raden Walangsungsang serta Nyai Lara Santang meninggalkan Keraton, dan tinggal di rumah Pendeta Budha, Ki Gedeng Danuwarsih.

Puteri Ki Gedeng Danuwarsih yang bernama Nyai Indang Geulis dinikahi Raden Walangsungsang, serta berguru Agama Islam kepada Syekh Datuk Kahfi. Raden Walangsungsang diberi nama baru, yaitu Ki Samadullah, dan kelak sepulang dari tanah suci diganti nama menjadi Haji Abdullah Iman. Atas anjuran gurunya, Raden Walangsungsang membuka daerah baru yang diberi nama Tegal Alang-alang atau Kebon Pesisir. Daerah Tegal Alang-alang berkembang dan banyak didatangi orang Sunda, Jawa, Arab, dan Cina, sehingga disebutlah daerah ini “Caruban”, artinya campuran. Bukan hanya etnis yang bercampur, tapi agama juga bercampur.

Atas saran gurunya, Raden Walangsungsang pergi ke Tanah Suci bersama adiknya, Nyai Lara Santang. Di Tanah Suci inilah, adiknya dinikahi Maulana Sultan Muhammad bergelar Syarif Abdullah keturunan Bani Hasyim putera Nurul Alim. Nyai Lara Santang berganti nama menjadi Syarifah Mudaim.

Dari perkawinan ini, lahirlah Syarif Hidayatullah yang kelak menjadi Sunan Gunung Jati. Dilihat dari Genealogi, Syarif Hidayatullah yang nantinya menjadi salahseorang Wali Sanga, menduduki generasi ke-22 dari Nabi Muhammad.

Sesudah adiknya kawin, Ki Samadullah atau Abdullah Iman pulang ke Jawa. Setibanya di tanah air, mendirikan Masjid Jalagrahan, dan membuat rumah besar yang nantinya menjadi Keraton Pakungwati. Setelah Ki Danusela meninggal Ki Samadullah diangkat menjadu Kuwu Caruban dan digelari Pangeran Cakrabuana. Pakuwuan ini ditingkatkan menjadi Nagari Caruban larang. Pangeran Cakrabuana mendapat gelar dari ayahandanya, Prabu Siliwangi, sebagai Sri Mangana, dan dianggap sebagai cara untuk melegitimasi kekuasaan Pangeran Cakrabuana.

Setelah berguru di berbagai negara, kemudian berguru tiba di Jawa. Dengan persetujuan Sunan Ampel dan para wali lainnya disarankan untuk menyebarkan agama Islam di Tatar Sunda. Syarif Hidayatullah pergi ke Caruban Larang dan bergabung dengan uwaknya, Pangeran Cakrabuana. Syarif Hidayatullah tiba di pelabuhan Muara Jati kemudian terus ke Desa Sembung-Pasambangan, dekat Amparan Jati, dan mengajar Agama Islam, menggatikan Syekh datuk Kahfi.

Syekh Jati juga mengajar di dukuh Babadan. Disana ia menemukan jodohnya dengan Nyai Babadan Puteri Ki Gedeng Babadan. Karena isterinya meninggal, Syekh Jati kemudian menikah lagi dengan Dewi Pakungwati Puteri Pangeran Cakrabuana, disamping menikahi Nyai Lara Bagdad, Puteri Sahabat Syekh Datuk Kahfi.

Syekh Jati kemudian pergi ke Banten untuk mengajarkan agama Islam disana. Ternyata Bupati Kawunganten yang keturunan Pajajaran sangat tertarik, sehingga masuk Islam dan memberikan adiknya untuk diperistri. Dari perkawinan dengan Nyai Kawunganten, lahirlah Pangeran Saba Kingkin , kelak dikenal sebagai Maulana Hasanuddin pendiri Kerajaan Banten. Sementara itu Pangeran Cakrabuana meminta Syekh Jati menggantikan kedudukannya dan Syarif Hidayatullahpun kembali ke Caruban. Di Cirebon ia dinobatkan sebagai kepala Nagari dan digelari Susuhunan Jati atau Sunan Jati atau Sunan Caruban atau Cerbon. Sedjak tahun 1479 itulah, Caruban Larang dari sebuah nagari mulai dikembangkan sebagai Pusat Kesultanan dan namanya diganti menjadi Cerbon.

Pada awal abad ke-16 Cirebon dikenal sebagai kota perdagangan terutama untuk komoditas beras dan hasil bumi yang diekspor ke Malaka. Seorang sejarawan Portugis, Joao de Barros dalam tulisannya yang berjudul Da Asia bercerita tentang hal tersebut. Sumber lainnya yang memberitakan Cirebon periode awal, adalah Medez Pinto yang pergi ke Banten untuk mengapalkan lada. Pada tahun 1596, rombongan pedagang Belanda dibawah pimpinan Cornellis de Houtman mendarat di Banten. Pada tahun yang sama orang Belanda pertama yang datang ke Cirebon melaporkan bahwa Cirebon pada waktu itu merupakan kota dagang yang relatif kuat yang sekelilingnya dibenteng dengan sebuah aliran sungai.

Sejak awal berdirinya, batas-batas wilayah Kesultanan Cirebon termasuk bermasalah. Hal ini disebabkan, pelabuhan Kerajaan Sunda, yaitu Sundakalapa berhasil ditaklukan. Ketika Banten muncul sebagai Kesultanan yang berdaulat ditangan putra Susuhunan Jati, yaitu Maulana Hasanuddin, masalahnya timbul, apakah Sunda Kalapa termasuk kekuasaan Cirebon atau Banten?
Bagi Kesultanan Banten, batas wilayah ini dibuat mudah saja, dan tidak pernah menimbulkan konflik. Hanya saja pada tahun 1679 dan 1681, Cirebon pernah mengklaim daerah Sumedang, Indramayu, Galuh, dan Sukapura yang saat itu dipengaruhi Banten, sebagai wilayah pengaruhnya.

Pada masa Panembahan Ratu, perhatian lebih diarahkan kepada penguatan kehidupan keagamaan. Kedudukannya sebagai ulama, merupakan salah satu alasan Sultan Mataram agak segan untuk memasukkan Cirebon sebagai daerah taklukan. Wilayah Kesultanan Cirebon saat itu meliputi Indramayu, Majalengka, Kuningan, Kabupaten dan Kotamadya Cirebon sekarang. Ketika Panembahan ratu wafat, tahun 1649 ia digantikan oleh cucunya Panembahan Girilaya atau Panembahan Ratu II. Dari perkawinannya dengan puteri Sunan Tegalwangi, Panembahan Girilaya memiliki 3 anak, yaitu Pangeran Martawijaya, Pangeran Kertawijaya, dan Pangeran Wangsakerta. Sejak tahun 1678, dibawah perlindungan Banten, Kesultanan Cirebon terbagi tiga, yaitu pertama Kesultanan Kasepuhan, dirajai Pangeran Martawijaya, atau dikenal dengan Sultan Sepuh I. Kedua Kesultanan Kanoman, yang dikepalai oleh Pangeran Kertawijaya dikenal dengan Sultan Anom I dan ketiga Panembahan yang dikepalai Pangeran Wangsakerta atau Panembahan Cirebon I.

Kota Cirebon tumbuh perlahan-lahan. Pada tahun 1800 Residen Waterloo mencoba membuat pipa saluran air yang mengalir dari Linggajati, tetapi akhirnya terbengkalai. Pada tahun 1858, di Cirebon terdapat 5 buah toko eceran dua perusahaan dagang. Pada tahun 1865, tercatat ekspor gula sejumlah 200.000 pikulan (kuintal), dan pada tahun 1868 3 perusahaan Batavia yang bergerak di bidang perdagangan gula membuka cabangnya di Cirebon. Pada tahun 1877, disana sudah berdiri pabrik es, dan pipa air minum yang menghubungkan sumur-sumur artesis dengan perumahan dibangun pada tahun 1877. Pada awal abad ke-20, Cirebon merupakan salahsatu dari lima kota pelabuhan terbesar di Hindia Belanda, dengan jumlah penduduk 23.500 orang. Produk utamanya adalah beras, ikan, tembakau dan gula. (Nina H. Lubis, Sejarah Kota-kota Lama di Jawa Barat, tahun 2000).

Menurut Sulendraningrat yang mendasarkan pada naskah Babad Tanah Sunda dan Atja pada naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, Cirebon pada awalnya adalah sebuah dukuh kecil yang dibangun oleh Ki Gedeng Tapa, yang lama-kelamaan berkembang menjadi sebuah desa yang ramai dan diberi nama Caruban (Bahasa Sunda: campuran), karena di sana bercampur para pendatang dari berbagai macam suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat, dan mata pencaharian yang berbeda-beda untuk bertempat tinggal atau berdagang.

Mengingat pada awalnya sebagian besar mata pencaharian masyarakat adalah sebagai nelayan, maka berkembanglah pekerjaan menangkap ikan dan rebon (udang kecil) di sepanjang pantai serta pembuatan terasi, petis, dan garam. Dari istilah air bekas pembuatan terasi (belendrang) dari udang rebon inilah berkembanglah sebutan cai-rebon (Bahasa Sunda:, air rebon) yang kemudian menjadi Cirebon.

Dengan dukungan pelabuhan yang ramai dan sumber daya alam dari pedalaman, Cirebon kemudian menjadi sebuah kota besar dan menjadi salah satu pelabuhan penting di pesisir utara Jawa baik dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan di kepulauan Nusantara maupun dengan bagian dunia lainnya. Selain itu, Cirebon tumbuh menjadi cikal bakal pusat penyebaran agama Islam di Jawa Barat.

A. Perkembangan Awal

1. Ki Gedeng Tapa
Ki Gedeng Tapa (atau juga dikenal dengan nama Ki Gedeng Jumajan Jati) adalah seorang saudagar kaya di pelabuhan Muarajati, Cirebon. Ia mulai membuka hutan ilalang dan membangun sebuah gubug dan sebuah tajug (Jalagrahan) pada tanggal 1 Syura 1358 (tahun Jawa) bertepatan dengan tahun 1445 Masehi. Sejak saat itu, mulailah para pendatang mulai menetap dan membentuk masyarakat baru di desa Caruban.

2. Ki Gedeng Alang-Alang
Kuwu atau kepala desa Caruban yang pertama yang diangkat oleh masyarakat baru itu adalah Ki Gedeng Alang-alang. Sebagai Pangraksabumi atau wakilnya, diangkatlah Raden Walangsungsang, yaitu putra Prabu Siliwangi dan Nyi Mas Subanglarang atau Subangkranjang, yang tak lain adalah puteri dari Ki Gedeng Tapa. Setelah Ki Gedeng Alang-alang wafat, Walangsungsang yang juga bergelar Ki Cakrabumi diangkat menjadi penggantinya sebagai kuwu yang kedua, dengan gelar Pangeran Cakrabuana.

B. Masa Kesultanan Cirebon (Pakungwati)

1. Pangeran Cakrabuana (…. –1479)
Ketika kakeknya Ki Gedeng Tapa yang penguasa pesisir utara Jawa meninggal, Walangsungsang tidak meneruskan kedudukan kakeknya, melainkan lalu mendirikan istana Pakungwati dan membentuk pemerintahan di Cirebon. Dengan demikian, yang dianggap sebagai pendiri pertama Kesultanan Cirebon adalah Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana. Pangeran Cakrabuana, yang usai menunaikan ibadah haji kemudian disebut Haji Abdullah Iman, tampil sebagai "raja" Cirebon pertama yang memerintah dari keraton Pakungwati dan aktif menyebarkan agama Islam kepada penduduk Cirebon.

2. Sunan Gunung Jati (1479-1568)
Pada tahun 1479 M, kedudukannya kemudian digantikan putra adiknya, Nyai Rarasantang dari hasil perkawinannya dengan Syarif Abdullah dari Mesir, yakni Syarif Hidayatullah (1448-1568) yang setelah wafat dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati dengan gelar Tumenggung Syarif Hidayatullah bin Maulana Sultan Muhammad Syarif Abdullah dan bergelar pula sebagai Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah.
Pertumbuhan dan perkembangan yang pesat pada Kesultanan Cirebon dimulailah oleh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati kemudian diyakini sebagai pendiri dinasti raja-raja Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten serta penyebar agama Islam di Jawa Barat seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten. Setelah Sunan Gunung Jati wafat, terjadilah kekosongan jabatan pimpinan tertinggi kerajaan Islam Cirebon. Pada mulanya calon kuat pengganti Sunan Gunung Jati ialah Pangeran Dipati Carbon, Putra Pangeran Pasarean, cucu Sunan Gunung Jati. Namun, Pangeran Dipati Carbon meninggal lebih dahulu pada tahun 1565.

3. Fatahillah (1568-1570)
Kekosongan pemegang kekuasaan itu kemudian diisi dengan mengukuhkan pejabat keraton yang selama Sunan Gunung Jati melaksanakan tugas dakwah, pemerintahan dijabat oleh Fatahillah atau Fadillah Khan. Fatahillah kemudian naik takhta, dan memerintah Cirebon secara resmi menjadi raja sejak tahun 1568. Fatahillah menduduki takhta kerajaan Cirebon hanya berlangsung dua tahun karena ia meninggal dunia pada tahun 1570, dua tahun setelah Sunan Gunung Jati wafat dan dimakamkan berdampingan dengan makam Sunan Gunung Jati di Gedung Jinem Astana Gunung Sembung.

4. Panembahan Ratu I (1570-1649)
Sepeninggal Fatahillah, oleh karena tidak ada calon lain yang layak menjadi raja, takhta kerajaan jatuh kepada cucu Sunan Gunung Jati yaitu Pangeran Emas putra tertua Pangeran Dipati Carbon atau cicit Sunan Gunung Jati. Pangeran Emas kemudian bergelar Panembahan Ratu I dan memerintah Cirebon selama kurang lebih 79 tahun.

5. Panembahan Ratu II (1649-1677)
Setelah Panembahan Ratu I meninggal dunia pada tahun 1649, pemerintahan Kesultanan Cirebon dilanjutkan oleh cucunya yang bernama Pangeran Rasmi atau Pangeran Karim, karena ayah Pangeran Rasmi yaitu Pangeran Seda ing Gayam atau Panembahan Adiningkusumah meninggal lebih dahulu. Pangeran Rasmi kemudian menggunakan nama gelar ayahnya almarhum yakni Panembahan Adiningkusuma yang kemudian dikenal pula dengan sebutan Panembahan Girilaya atau Panembahan Ratu II.
Panembahan Girilaya pada masa pemerintahannya terjepit di antara dua kekuatan kekuasaan, yaitu Kesultanan Banten dan Kesultanan Mataram. Banten merasa curiga sebab Cirebon dianggap lebih mendekat ke Mataram (Amangkurat I adalah mertua Panembahan Girilaya). Mataram dilain pihak merasa curiga bahwa Cirebon tidak sungguh-sungguh mendekatkan diri, karena Panembahan Girilaya dan Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten adalah sama-sama keturunan Pajajaran. Kondisi ini memuncak dengan meninggalnya Panembahan Girilaya di Kartasura dan ditahannya Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya di Mataram.
Panembahan Girilaya adalah menantu Sultan Agung Hanyokrokusumo dari Kerajaan Mataram (Islam). Makamnya di Jogjakarta, di bukit Giriloyo, dekat dengan makam raja raja Mataram di Imogiri. Menurut beberapa sumber di Imogiri maupun Giriloyo, tinggi makam Panembahan Giriloyo adalah sejajar dengan makam Sultan Agung di Imogiri.

C. Terpecahnya Kesultanan Cirebon
Dengan kematian Panembahan Girilaya, maka terjadi kekosongan penguasa. Sultan Ageng Tirtayasa segera menobatkan Pangeran Wangsakerta sebagai pengganti Panembahan Girilaya, atas tanggung jawab pihak Banten. Sultan Ageng Tirtayasa kemudian mengirimkan pasukan dan kapal perang untuk membantu Trunojoyo, yang saat itu sedang memerangi Amangkurat I dari Mataram. Dengan bantuan Trunojoyo, maka kedua putra Panembahan Girilaya yang ditahan akhirnya dapat dibebaskan dan dibawa kembali ke Cirebon untuk kemudian juga dinobatkan sebagai penguasa Kesultanan Cirebon.

1. Perpecahan I (1677)
Pembagian pertama terhadap Kesultanan Cirebon, dengan demikian terjadi pada masa penobatan tiga orang putra Panembahan Girilaya, yaitu Sultan Sepuh, Sultan Anom, dan Panembahan Cirebon pada tahun 1677. Ini merupakan babak baru bagi keraton Cirebon, dimana kesultanan terpecah menjadi tiga dan masing-masing berkuasa dan menurunkan para sultan berikutnya. Dengan demikian, para penguasa Kesultanan Cirebon berikutnya adalah:

a. Sultan Keraton Kasepuhan, Pangeran Martawijaya, dengan gelar Sultan Sepuh Abil Makarimi Muhammad Samsudin (1677-1703)
b. Sultan Kanoman, Pangeran Kartawijaya, dengan gelar Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin (1677-1723)
c. Pangeran Wangsakerta, sebagai Panembahan Cirebon dengan gelar Pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati (1677-1713).

Perubahan gelar dari Panembahan menjadi Sultan bagi dua putra tertua Pangeran Girilaya ini dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa, karena keduanya dilantik menjadi Sultan Cirebon di ibukota Banten. Sebagai sultan, mereka mempunyai wilayah kekuasaan penuh, rakyat, dan keraton masing-masing. Pangeran Wangsakerta tidak diangkat menjadi sultan melainkan hanya Panembahan. Ia tidak memiliki wilayah kekuasaan atau keraton sendiri, akan tetapi berdiri sebagai kaprabonan (paguron), yaitu tempat belajar para intelektual keraton. Dalam tradisi kesultanan di Cirebon, suksesi kekuasaan sejak tahun 1677 berlangsung sesuai dengan tradisi keraton, di mana seorang sultan akan menurunkan takhtanya kepada anak laki-laki tertua dari permaisurinya. Jika tidak ada, akan dicari cucu atau cicitnya. Jika terpaksa, maka orang lain yang dapat memangku jabatan itu sebagai pejabat sementara.

2. Perpecahan II (1807)
Suksesi para sultan selanjutnya pada umumnya berjalan lancar, sampai pada masa pemerintahan Sultan Anom IV (1798-1803), dimana terjadi perpecahan karena salah seorang putranya, yaitu Pangeran Raja Kanoman, ingin memisahkan diri membangun kesultanan sendiri dengan nama Kesultanan Kacirebonan.

Kehendak Pangeran Raja Kanoman didukung oleh pemerintah Kolonial Belanda dengan keluarnya besluit (Bahasa Belanda: surat keputusan) Gubernur-Jendral Hindia Belanda yang mengangkat Pangeran Raja Kanoman menjadi Sultan Carbon Kacirebonan tahun 1807 dengan pembatasan bahwa putra dan para penggantinya tidak berhak atas gelar sultan, cukup dengan gelar pangeran. Sejak itu di Kesultanan Cirebon bertambah satu penguasa lagi, yaitu Kesultanan Kacirebonan, pecahan dari Kesultanan Kanoman. Sementara tahta Sultan Kanoman V jatuh pada putra Sultan Anom IV yang lain bernama Sultan Anom Abusoleh Imamuddin (1803-1811).

D. Masa kolonial dan kemerdekaan
Sesudah kejadian tersebut, pemerintah Kolonial Belanda pun semakin dalam ikut campur dalam mengatur Cirebon, sehingga semakin surutlah peranan dari keraton-keraton Kesultanan Cirebon di wilayah-wilayah kekuasaannya. Puncaknya terjadi pada tahun-tahun 1906 dan 1926, dimana kekuasaan pemerintahan Kesultanan Cirebon secara resmi dihapuskan dengan disahkannya Gemeente Cheirebon (Kota Cirebon), yang mencakup luas 1.100 Hektar, dengan penduduk sekitar 20.000 jiwa (Stlb. 1906 No. 122 dan Stlb. 1926 No. 370). Tahun 1942, Kota Cirebon kembali diperluas menjadi 2.450 hektar.
Pada masa kemerdekaan, wilayah Kesultanan Cirebon menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara umum, wilayah Kesultanan Cirebon tercakup dalam Kota Cirebon dan Kabupaten Cirebon, yang secara administratif masing-masing dipimpin oleh pejabat pemerintah Indonesia yaitu walikota dan bupati.

E. Perkembangan terakhir
Setelah masa kemerdekaan Indonesia, Kesultanan Cirebon tidak lagi merupakan pusat dari pemerintahan dan pengembangan agama Islam. Meskipun demikian keraton-keraton yang ada tetap menjalankan perannya sebagai pusat kebudayaan masyarakat khususnya di wilayah Cirebon dan sekitarnya. Kesultanan Cirebon turut serta dalam berbagai upacara dan perayaan adat masyarakat dan telah beberapa kali ambil bagian dalam Festival Keraton Nusantara (FKN).

Umumnya, Keraton Kasepuhan sebagai istana Sultan Sepuh dianggap yang paling penting karena merupakan keraton tertua yang berdiri tahun 1529, sedangkan Keraton Kanoman sebagai istana Sultan Anom berdiri tahun 1622, dan yang terkemudian adalah Keraton Kacirebonan dan Keraton Kaprabonan.

Pada awal bulan Maret 2003, telah terjadi konflik internal di keraton Kanoman, antara Pangeran Raja Muhammad Emirudin dan Pangeran Elang Muhammad Saladin, untuk pengangkatan tahta Sultan Kanoman XII. Pelantikan kedua sultan ini diperkirakan menimbulkan perpecahan di kalangan kerabat keraton tersebut.

Minggu, 28 Juni 2009

Konflik Politik dalam Pemilu Legislatif 2009


Pendahuluan

Beberapa waktu lalu bangsa kita melewati sebuah pesta demokrasi bernama Pemilu. Sebuah proses politik yang telah berlangsung secara periodik sejak berdirinya Negara ini. Hangar-bingar dalam menyambut pesta demokrasi itu pun diterjemahkan dalam berbagai tindakan oleh segenap rakyat Indonesia. Ada yang merasa bahwa Pemilu 2009 akan membawa dampak perubahan bagi kemajuan negeri ini. Namun tidak sedikit juga yang merasa pesimis akan terjadi kemajuan dan tercapainya kesejahteraan rakyat.

Berbagai pendapat itu didasari oleh pandangan dan pemahaman masing-masing individu dalam melihat dinamika perpolitikan tanah air. Tak jarang yang menilai dari parameter pemimpin-pemimpin negeri ini yang banyak berprilaku amoral dan hilangnya kepercayaan rakyat terhadap kemampuan pemimpinnya.

Dua periode terakhir Pemilu di Indonesia ini dianggap sebagai Pemilu yang paling demokratis sejak berdirinya republik ini. Hal ini disebabkan pemilu 2004 dan Pemilu 2009 diikuti oleh banyak partai politik. Kran kebebasan berorganisasi dan berpolitik sudah dibuka lebar sejak tumbangnya rejim orde baru yang dinilai represif. Di tambah lagi, pada Pemilu 2004, yaitu pada saat pemilihan presiden dilaksanakan secara langsung.

Begitu juga Pemilu 2009 yang merupakan pemilihan secara langsung baik legislative maupun presiden. Pada Pemilu yang dilaksanakan pada tanggal 9 April kemarin, adalah pemilihan calon-calon legislatif baik di tingkat daerah kabupaten/kota, provinsi, bahkan DPR pusat. Rakyat diberikan kebebasan dalam memilih calon wakil rakyatnya. Ini dimaksudkan agar wakil rakyat yang terpilih adalah benar-benar representasi rakyat, yang pada akhirnya akan lebih bertanggung jawab.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, apakah dengan mekanisme Pemilu 2009 yang secara langsung ini dapat menjamin sebuah iklim kondusif bagi rakyat atau bagi para kontestan itu sendiri? Sebab dalam politik, yang ada adalah sebuah pertarungan merebut dan mempertahankan kekuasaan, terlepas dari alasan apapun, baik untuk kesejahteraan rakyat maupun alasan jabatan atau materi belaka.

Pemilu Legislatif 2009 dalam Tinjauan Konflik

Banyak kalangan pengamat melihat bahwa Pemilu 2009 sangat berpotensi konflik. Misalnya saja, Muladi seperti diberitakan okezone.com yang memprediksi akan terjadi banyak konflik di internal partai politik dan antarpartai politik peserta Pemilu 2009. Hal tersebut dikarenakan banyak orang yang ingin menjadi anggota DPR maupun presiden.

Jika pada pemilu-pemilu sebelumnya konflik terjadi antar partai politk dalam rangka memperebutkan suara, namun pada Pemilu 2009, potensi konflik itu semakin meluas hingga konflik internal partai. Kondisi ini disebabkan oleh pertarungan dan perebutan suara antar calon legislatif dalam satu partai. Sebab mekanisme yang ada ditentukan oleh jumlah suara terbanyak yang diperoleh oleh masing-masing calon legislatif tanpa melihat nomor urut yang biasanya mencerminkan kapabilitas dan kapasitas kader parpol.

Dalam perspektif konflik dijelaskan bahwa sejarah yang kita buat selalu terjadi dalam suasana interaksi dengan orang lain. Manusia adalah mahluk sosial yang keberadaannya diciptakan dalam acuan interaksi sosial. Karena itu beberapa pemikir melihat interaksi sosial sebagai mekanisme yang mengerakan perubahan, terutama menggerakan konflik. Beberapa tokoh seperti, Karl Marx, Vilfredo Pareto melihat jalannya sejarah didorong oleh konflik antar manusia.

Dalam konteks mitologi Yunani, Max Weber menyatakan bahwa perang antar dewa di zaman kuno bukan hanya untuk melindungi kebenaran nilai-nilai kehidupan sehari-hari, tetapi juga keharusan memerangi dewa-dewa lain, sebagai komunitas mereka juga berperang dan dalam peperangan inipun mereka harus membuktikan kemahakuasaan mereka. Hal seperti inilah yang terjadi dalam perpolitikan saat Pemilu 2009. masing masing kontestan, dalam hal ini calon legislatif dalam sebuah partai politik tidak hanya bertarung memperebtkan kekuasaan dengan partai politik di luar mereka, tetapi juga mereka saling bertarung sesama teman dalam satu partai untuk membuktikan kekuatannya dengan menduduki kursi legislatif.

Konflik antar kepentingan diri sendiri dan kepentingan sosial ini didasari oleh salah satu pendapat Charles Darwin yang menyatakan bahwa “Yang kuatlah yang paling beruntung dalam perjuangan mempertahankan hidup.” Ide Darwin diterapkan pada tatanan sosial dalam ideologi sosial Darwinisme yang kemudian diterapkan oleh Herbert Spencer dan WG Summer. Perang antar kelompok dapat disamakan dengan perjuangan untuk mempertahankan hidup dan yang terkuatlah yang menang dalam kehidupan sosial. Kebencian yang besar dan yang melekat antar kelompok, antar ras dan antar orang yang berbeda menyebabkan konflik tak terelakan.

Vilfredo Pareto (dalam Setiawan, 2008) melukiskan sejarah sebagai perjuangan memperebutkan kekuasaan yang tak berkesudahan, kelompok dominan berusaha memelihara dan mempertahankan kedudukannya; kekuatan adalah faktor terpenting dalam mempertahankan stabilitas, kekerasan mungkin diperlukan untuk memulihkan keseimbangan sosial jika keseimbangan itu terganggu. Kekerasan tidak memerlukan pembenaran moral, karena kekerasan mempunyai kualitas pembaharuan membebaskan manusia untuk mengikuti ketentuan tak rasional dari sifat bawaannya sendiri.

Menurut Dahrendorf (1986), konflik sosial mempunyai sumber struktural yakni hubungan kekuasaan yang berlaku dalam struktur organisasi sosial. Dengan kata lain konflik antar kelompok dapat dilihat dari sudut konflik tentang keabsahan hubungan kekuasaan yang ada. Masing-masing pihak mencoba untuk menggugat kekuasaan yang ada. Dalam kasus Pemilu, masing-masing kontestan, baik itu partai politik maupun secara individu berusaha mengkritik penguasa yang saat ini berkuasa. Berbagai “dosa” dan kesalahan pemerintah selama ini dimunculkan kembali untuk menarik dukungan massa.

Dalam perspektif konflik ini, setiap masyarakat, dalam segala hal memperlihatkan ketidaksesuaian dan konflik. Artinya konflik sosial terdapat dimana saja. Setiap unsur dalam masyarakat memberikan kontribusi terhadap perpecahan dan perubahannya.

Charles Watkins (dalam Duverger, 1988) yang memberikan suatu analisis tajam tentang kondisi dan prasyarat terjadinya suatu konflik. Menurutnya, konflik terjadi bila terdapat dua hal. Pertama, konflik bisa terjadi bila sekurang-kurangnya terdapat dua pihak yang secara potensial dan praktis/operasional dapat saling menghambat. Kedua, konflik dapat terjadi bila ada sesuatu sasaran yang sama-sama dikejar oleh kedua pihak, namun hanya salah satu pihak yang akan memungkinkan mencapainya.

Teori Konflik berasumsi bahwa dalam kehidupan sosial terdapat beberapa hal yang ditetapkan sebagai “barang” (goods) yang langka dan dapat dibagi-bagikan, sehingga semakin banyak suatu fihak memperoleh barang tersebut, maka semakin sedikit baranbg itu tersedia bagi orang lain. Kekayaan, kekuasaan, status, dan kekuasaan atas suatu wilayah merupakan contoh mengenai hal ini. Konflik berarti pertentangan mengenai nilai atau tuntutan hak atas kekayaan, kekuasaan, status dan lain-lain yang terjadi antara satu pihak dengan pihak lain, baik sebagai individu maupun kelompok, dengan tujuan untuk menyisihkan salah satu pihak.

Berdasarkan landasan perspektif konflik inilah, Pemilu 2009 merupakan sebuah suasana dan arena konflik kepentingan yang ingin berebut kekuasaan. Masing-masing individu yang bertarung dalam pesta demokrasi itu berusaha untuk menyingkirkan lawan-lawannya tak terkecuali sesama partai. Banyak kasus yang terekam oleh media bahwa masing-masing calon legislatif beserta massa pendukungnya dalam satu partai saling ejek. Ini mengindikasikan adanya konflik di internal partai itu.mekanisme pemilihan langsung ini telah menggeser konflik pada ranah internal. Hasilnya adalah adanya perpecahan partai politik.

Jauh sebelum Pemilu, banyak partai politik yang sudah mulai pecah, diantaranya PKB, PPP, bahkan partai besar seperti Golkar. Begitu juga dengan PAN yang terpecah dengan kemunculan PMB yangsama-sama berbasis Muhammadiyah. Basis massa Nahdliyin terpecah dalam tiga partai yaitu PKB, PPP, dan PKNU.

Melihat konstelasi demikian, konflik semakin diperparah dengan perebutan massa masing-masing calon legislatif tidak hanya antar partai, tetapi juga intern partai. Sebagai contoh di sebuah daerah pernah terjadi ketegangan antara masa calon legislatif yang sedang berkampanye dengan masa calon legislatif lain dari partai yang sama seperti PDIP, PKB. Konflik juga biasanya terjadi antara caleg yang benar-benar dari kader partai dengan caleg dari non partai yang hanya menggunakan partai sebagai batu loncatan untuk memperoleh kekuasaan.

Konflik yang terjadi dalam pesta demokrasi yang dianggap demokratis itu, ternyata di dalamnya melahirkan sebuah friksi atau konflik. Konflik seolah dihalalkan dalam sebuah kompetisi politik. Seperti apa yang diungkapkan oleh Soerjono Soekanto (1985), bahwa ia lebih memandang konflik sebagai upaya yang dihalalkan untuk mencapai tujuan suatu kelompok atau pribadi tertentu daripada hanya sekedar sebagai suatu upaya yang bersifat cara-cara yang lebih halus untuk mencegah tercapainya kepentingan kelompok lain melalui strategi-strategi yang dibuat kelompok saingannya. Dalam pengertian tersebut, artinya konflik didefinisikan sebagai suatu proses sosial di mana orang per orang atau kelompok manusia berusaha untuk memenuhi tujuan hidupnya dengan jalan menentang pihak lawan dengan disertai dengan ancaman atau kekerasan.

Konflik dan kecemburuan semakin mencuat ketika caleg dari non kader lebih digandrungi ketimbang caleg dari kader partai yang telah lama terdidik dan mengabdi untuk partai. Gejala pragmatisme pun menjangkiti hamper semua parpol. Tokoh-tokoh selebritis dimunculkan untuk menarik massa. Tak heran banyak partai yang calon legislatifnya berasal dari kalangan artis atau selebritis yang tidak pernah bergelut dalam pendidikan politik di partai.

Kasus terakhir yang terjadi adalah gugatan salah satu calon legislatif yang kalah kepada calon legislatif lain dalam satu partai. Mereka saling menuduh adanya tindakan kecurangan yang dilakukan karena kekecewaan atas kekalahannya. Dalam pemahaman Margareth M. Poloma, ini dinamakan konflik yang bersifat realistik, yaitu konflik yang berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan-tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan dan dari kemungkinan keuntungan partisipan dan yang ditunjukkan pada objek yang dianggap mengecewakan. Dalam sifat ini, konflik yang timbul pada dasarnya menggambarkan adanya ketidakpuasan terhadap hasil-hasil yang telah dicapai.

Penutup

Dari berbagai kasus konflik yang terjadi seputar Pemilu 2009 yang lebih didominasi konflik intern parpol, ini mengindikasikan bahwa Pemilu 2009 mengakibatkan konflik dan perpecahan di tubuh partai politik. Hal ini didasarkan pada pendapat Duverger (1988) yang memberikan prasyarat terjadinya konflik, salah satunya adalah bila ada sesuatu sasaran yang sama-sama dikejar oleh kedua pihak, namun hanya salah satu pihak yang akan memungkinkan mencapainya. Sasaran yang sama-sama dikejar dalam kasus Pemilu 2009 adalah kursi kekuasaan di legislatif, namun tidak bisa semua calon legislatif yang berkompetisi mendapatkannya. Harus ada “pertarungan” memperebutkan simpati massa.



Daftar Pustaka


Dahrendorf, Ralf. 1986, Konflik dan Konflik Kelas dalam Masyarakat Industri, CV Rajawali, Jakarta.

Duverger, Maurice. 1988. Parpol dan Kelompok Kepentingan, Rajawali Press, Jakarta.
Gumilar, Gumgum. Bahan Ajar Pengantar Sosiologi, Program Studi Ilmu Komunikasi Unikom, tanpa tahun terbit.

Nugroho, Hery dan Ahluwalia. 2008, “Konflik Horisontal Intai Pemilu 2009”, http://www.inilah.com/berita/pemilu-2009/2008/09/22/51003/konflik-horisontal-intai-pemilu/

Setiawan, Agus. 2008, “Perspektif Sosiologi”, http://agussetiaman.wordpress.com/2008/11/25/perspektif-sosiologi/

Soekanto, Soerjono. 1985, Sosiologi Suatu Pengantar, CV. Rajawali. Jakarta
Bantahan Prediksi Kemenangan SBY-Budiono dan Kemungkinan Kemenangan Megawati-Prabowo dalam Putaran Kedua

Pasca pemilu legislatif yang dilaksanakan pada 9 April kemarin, perpolitikan di tanah air semakin memanas dikarenakan akan adanya pemilihan presiden secara langsung. Setelah melalui berbagai lobi-lobi dan komunikasi politik di antara partai-partai politik kontestan Pemilu 2009, muncul tiga pasang nama calon presiden dan wakil presiden yang akan bertarung pada Pilpres mendatang. Tiga pasangan calon itu adalah Susilo Bambang Yudhoyono berdampingan dengan Budiono, Jusuf Kalla dengan Wiranto, serta Megawati dengan Prabowo.

Melihat kontestan pemilu presiden tersebut, mulai banyak kalangan yang mencoba memprediksi siapakah yang akan memenangkan pertarungan dalam pesta demokrasi ini. Kemenangan partai demokrat yang mencapai angka 20% mengungguli partai-partai besar lain yang sudah lama berkiprah di negeri ini seperti PDIP dan Partai Golkar, mengantarkan SBY dalam pertarungan merebutkan kursi presiden. Hal serupa pun dilakukan oleh rival besarnya, yaitu Partai Golkar dan PDIP, yang masing-masing mencalonkan presiden. Berdasarkan pertimbangan perolehan suara pada Pemilu legislatif sebelumnya, dua partai besar rival Demokrat ini ngotot untuk mencalonkan presiden, bukan calon wakil presiden. Kondisi ini terlihat pada lobi-lobi yang dilakukan PDIP dengan Gerindra hingga akhir batas pendaftaran calon presiden dan wakil presiden yang berlangsung alot.

Melihat peta politik pasca penentuan capres-cawapres, koalisi yang terbentuk lebih didominasi oleh pasangan SBY-Budiono. Dengan kemenangan suara Partai Demokrat, didukung oleh PKS serta ditambah lagi dengan koalisi partai-partai kecil lainnya, dalam ukuran kuantitas suara, pasangan ini akan dapat memenangkan Pilpres mendatang. Penilaian ini jika dibandingkan dengan dukungan koalisi pasangan lainnya. Apakah kemenangan Demokrat pada Pemilu legislatif lalu serta dukungan koalisi mampu membawa kemenangan pasangan SBY-Budiono? Adakah peluang pasangan lain untuk menang?

Menurut penilaian saya, kemenangan Pemilu legislatif lalu oleh Partai Demokrat belum menjamin kemenangan Pilpres mendatang. Ada beberapa alasan yang mendasarinya, yaitu pertama, kemenangan PDIP pada Pemilu 2004 saja yang mencapai angka lebih dari 30% tidak mampu membawa Megawati sebagai pemenang. Hal serupa juga dialami oleh Golkar, walaupun pada putaran kedua, suara Golkar dapat beralih pada SBY karena menggandeng Jusuf Kalla sebagai kader Golkar. Meski Partai Demokrat merupakan pemenang Pileg 2009, perolehan suaranya jauh daripada mayoritas absolute.

Kedua, munculnya kritik tajam dari berbagai pihak soal pasangan calon wakil presiden yang digandeng oleh SBY yaitu Budiono yang dinilai adalah “pesanan” dan pro terhadap neoliberalisme. Kondisi ini dapat mempengaruhi pemikiran masyarakat mengenai penilaian terhadap pasangan SBY-Budiono, dan jika tidak ditangani dengan baik akan berdampak pada menurunnya popularitas dan dukungan masyarakat padanya.

Ketiga, koalisi yang dilakukan oleh partai-partai kecil bukan koalisi yang kuat yang akan menambah jumlah perolehan suara. Hal ini dikarenakan partai-partai kecil berkoalisi hanya ingin mencari aman agar tidak tersingkir dari kancah politik Pilpres dan pembentukan kabinet nantinya. Menurut Azyumardi Azra, koalisi ini hanya semacam political expediency, atau situasi politik darurat.1

Selain itu juga koalisi yang dilakukan terdiri dari berbagai aliran ideologis, agama serta aliran keagamaan. Ini dapat menyulitkan dalam mempersatukan koalisi dalam bentuk program-program yang akan dilakukan kedepan. Misalnya saja Muhammadiyah melalui mantan pemimpin puncaknya, Ahmad Syafii Ma’arif telah mewartakan isyarat kepada semua warga agar memihak JK-WIN. Ketua Umum PP Muhammadiyah sendiri, Dien Syamsuddin, diperkirakan memiliki alasan lebih besar untuk bergabung mendukung JK-Win ketimbang dua pasangan lainnya2. Persoalan kondisi perpecahan beberapa kader partai mengenai perbedaan dukungan (misalnya beberapa tokoh PAN yang tidak mendukung pasangan SBY-Budiono) mengindikasikan tidak solidnya dukungan dalam koalisi. Jadi dukungan struktural partai belum tentu mencerminkan dukungan massa di tingkat bawah, dan hal ini menuai angka swing voter karena pilihan calon belum tentu didasarkan pada pilihan partai.

Keempat, walaupun pasangan ini berasal dari Jawa yang merupakan penduduk terbanyak yang memungkinkan mendapat dukungan besar, tetapi sikap memunculkan sentimen primordial yang berlebihan dalam beberapa iklan di media, malah akan menurunkan simpati terlebih lagi di kalangan luar Jawa. Hal ini diperkuat dengan hasil survey yang dilakukan oleh Lingkar Survei Indonesia pada Bulan April 2006 yang menyebutkan di kalangan pemilih suku Jawa, sebanyak 63.5% menyatakan latar belakang suku kurang penting atau tidak penting sama sekali.

Kelima, adalah apatisme masyarakat yang apabila dibiarkan bisa begitu cepat menjurus sinisme kepada setiap hal yang berbau pemerintah (incumbent) atau yang secara umum patut diasosiasikan ke arah itu. Hal ini tidak saja berkembang di kalangan mahasiswa dan intelektual independen, tetapi juga masyarakat biasa. Penyebabnya ialah fenomena politik pasca Pemilu legislatif 2009.

Kelima alasan inilah yang menjadi landasan kecenderungan menurunnya perolehan suara pasangan SBY-Budiono dalam Pilpres 2009. Prediksi yang dilakukan melalui survei oleh Lembaga Survei Nasional (LSN) yang memprediksikan kemenangan SBY-Budiono dalam satu putaran mungkin akan meleset. Berdasarkan survei itu, responden yang memilih pasangan SBY_Budiono sebanyak 88%, dan hanya 10,9% yang menyatakan masih ada kemungkinan berpaling. Sedangkan yang akan memilih Megawati-Prabowo sebesar 76,6%, dan hanya 18,1% yang mengaku masih ada kemungkinan memilih pasangan lain. Sedangkan yang akan memilih JK-Wiranto hanya 56,9%, tetapi dengan catatan adalah bila Pilpres dilaksanakan pada saat itu.3 Artinya masih ada kemungkinan besar perubahan jika masing-masing pasangan tidak mampu menjaga wibawa dan menarik simpati massa.

Kemungkinan kemenangan MegaPro pada putaran kedua

Ada prediksi dari sejumlah pengamat bahwa Pilpres 2009 kemungkinan akan berlangsung dua putaran, karena terdapat tiga pasangan yang muncul untuk bersaing. Prediksi ini juga diungkapkan dalam Media Indonesia.com4. Jika ini terjadi, akan terbuka kemungkinan kemenangan untuk lawan politik SBY yang lolos pada putaran pertama. Ada kemungkinan yang akan lolos pada putaran pertama adalah pasangan SBY-Budiono dan Megawati-Prabowo. Karena melihat kekuatan suara melalui koalisi yang dibentuk masing-masing pasangan, pasangan JK-Wiranto berada pada urutan terendah. Ditambah lagi calon presiden yang diusung oleh Partai Golkar ini bukan berasal dari etnis Jawa, sehingga kemungkinan pemilih yang sebagian besar dari Jawa ini akan cenderung memilih selain pasangan JK-Wiranto. Implikasinya adalah pasangan ini akan tersingkir pada putaran pertama. Selain itu, citra Jusuf Kalla selama memerintah sudah dinilai rendah oleh masyarakat dan lebih menilai keunggulan SBY dalam memerintah.

Jika pasangan JK-Wiranto tersingkir pada putaran pertama, ada peluang tambahan suara bagi pasangan Megawati-Prabowo yang berasal dari partai pendukung pasangan JK-Wiranto. Hal ini disebabkan kedua pasangan ini lebih memiliki kedekatan emosional. Sebab sejak awal Partai Golkar sudah memperlihatkan “permusuhannya” dengan Partai Demokrat sebab merasa dikhianati selama bermitra dengan SBY. Kedekatan tokoh-tokoh kedua partai besar pendukung JK-Wiranto pada kubu PDIP pasca Pemilu legislatif menjadi alasan merapatnya dukungan JK-Wiranto pada pasangan Megawati jika kalah pada putaran pertama. Begitu juga kedekatan ideologi partai pendukungnya seperti Hanura dan Golkar yang beraliran nasionalis menjadi pendukung kemenangan pasangan Megawati-Prabowo pada putaran kedua. Jika menelisik sejarah pendiri Partai Hanura dan Gerindra, mereka berasal dari satu partai yang sama yaitu Golkar, sehingga ini memungkinkan bergabungnya ketiga partai itu untuk mendukung Megawati jika lolos putaran pertama.

Semua yang diungkapkan di sini hanyalah sebuah prediksi semata. Hasilnya tergantung pada masing-masing pasangan calon dalam pencitraan dirinya melalui berbagai pendekatan, sosialisasi, pemaparan visi dan misi yang jelas yang dapat menarik simpati dan dukungan konstituen. Peran media dalam hal pencitraan ini sangat penting. Jangan sampai dalam pencitraan melalui media malah menjatuhkan pamor karena ada sentimen primordial seperti yang dilakukan oleh SBY. Oleh karena itu perlu juga netralitas media dalam menggiring opini publik ke salah satu pasangan calon.

***

Senin, 19 Januari 2009

Partisipasi Masyarakat Petani Desa Kawungcarang dalam Perumusan Kebijakan Desa

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Otonomi atau desentralisasi sebagai sebuah tawaran atas kesenjangan yang biasa terjadi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam berbagai hal yang meliputi kewenangan, pembagian pendapatan dan lain-lain sebetulnya telah menemukan bentuk idealnya dalam pelaksanaan pemerintahan pada tingkatan desa. Desa sebagai sebuah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah kecamatan memiliki kemandirian untuk melaksanakan pemerintahannya sendiri. Inilah yang kemudian dikenal sebagai kemandirian atau otonomi desa.
Dalam proses pembentukan kebijakan misalnya, pemerintah desa diberikan keleluasaan untuk menyusun kebijakan sendiri tanpa campur tangan dari pemerintah dengan hierarki yang lebih tinggi. Pemerintah desa dengan bebas bisa mendefinisikan kebutuhan apa yang sebetulnya diperlukan oleh masyarakat desanya secara umum untuk kemudian diaplikasikan dalam bentuk produk kebijakan desa. Proses pembentukannya pun tidak secara serta merta dilakukan oleh para elit desa sebagai pihak yang memiliki otoritas dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Biasanya proses artikulasi dilakukan melalui musyawarah desa yang melibatkan langsung masyarakat desa tanpa terkecuali, atau bisa pula melalui organisasi atau kelompok-kelompok profesi yang ada di desa. Badan Pemusyawaratan Desa (BPD) juga dapat dijadikan sarana dalam proses atikulasi kebijakan ini. Yang jelas proses yang ada tidaklah serumit seperti apa yang kita temukan dalam proses pembuatan kebijakan-kebijakan pada tataran pemerintahan yang lebih tinggi seperti kota atau kabupaten.
Kepekaan dari para elit desa untuk mendefinisikan apa yang diperlukan oleh masyarakat desa memang sangat diperlukan, tetapi peranan dari masyarakat sendiri untuk turut aktif dalam pembuatan kebijakan desa juga merupakan sebuah hal yang penting. Kelompok masyarakat seperti PKK, Karang Taruna ataupun kelompok-kelompok profesi yang biasa berada di desa seperti kelompok tani ataupun pedagang bisa digunakan sebagai sarana artikulasi.
Kelompok tani misalnya, dengan komposisi anggota yang sangat banyak karena sebagaian besar penduduk desa bekerja pada sektor pertanian, biasanya memiliki posisi yang strategis dalam penyusunan kebijakan desa ini. Kebutuhan-kebutuhan petani seperti sarana irigasi biasa disampaikan melalui kelompok tani ini untuk kemudian dibawa kepada forum musyawarah desa. Tetapi partisipasi masyarakat tidak hanya terbatas hanya melalui sarana organisasi, bisa juga menyalurkan aspirasinya secara individu. Yang jelas, apapun sarananya, yang terpenting adalah adanya ruang-ruang publik yang dijadikan arena diskusi sehingga tercipta peluang bagi setiap angota masyarakat untuk berperan dalam pembangunan di desanya baik itu pembangunan sosial, politik, maupun ekonomi.
Desa Kawungcarang merupakan desa yang luas wilayahnya kecil, namun sebagian luas wilayahnya terdiri dari lahan pertanian, dan penduduknya pun banyak yang berprofesi sebagai petani walaupun memiliki perkerjaan sambilan lainnya. Oleh karena kondisi geografis Desa Kawungcarang terdiri dari lahan pertanian, dan penduduknya banyak yang berprofesi sebagai petani, maka peneliti tertarik untuk melihat bagaimana dinamika masyarakat petani di desa tersebut dalam hal berpartisipasi politik. Partisipasi politik yang dimaksud adalah termasuk menyangkut bagaimana respon masyarakat terhadap kinerja pemerintah desa dan partisipasinya dalam hal pembuatan kebijakan.

B. Perumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut, maka rumusan masalahnya adalah bagaimanakah partisipasi masyarakat petani dalam perumusan kebijakan di Desa Kawungcarang, khususnya yang berkaitan dengan masalah pertanian?

C. Batasan Masalah
Dalam penelitian ini dibatasi hanya pada bagaimana kondisi partisipasi masyarakat petani di Desa Kawungcarang dalam penyusunan kebijakan desa, baik secara individu maupun melalui organisasinya.

D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran bagaimana partisipasi masyarakat petani Desa Kawungcarang dalam perpolitikan di desa, terutama dalam setiap pengambilan kebijakan atau musyawarah desa terkait masalah pembangunan desanya, sehingga dapat mengambarkan iklim politik Desa Kawungcarang. Kecamatan Sumbang, Kabupaten Banyumas, Provinsi Jawa Tengah.

E. Manfaat Penelitian
• Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah untuk menambah wawasan dan khasanah keilmuan bagi siapapun yang membaca, juga dapat dijadikan referensi bagi penelitian-penelitian selanjutnya.
• Manfaat Praktis
Diharapkan penelitian ini dapat menggambarkan kondisi partisipasi politik masyarakatnya sehingga dapat membantu mendorong peningkatan partisipasi masyarakat dalam penyusunan kebijakan desa sebagai upaya perbaikan proses demokratisasi di Desa Kawungcarang.

BAB II
LANDASAN TEORITIS

A. Desentralisasi dan Otonomi Desa
Otonomi desa adalah kemandirian desa. Demokrasi desa merupakan demokrasi asli yang lebih dahulu terbentuk sebelum negara Indonesia berdiri, bahkan pada masa kerajaan sebelum era kolonial. Ciri-ciri dari demokrasi desa antara lain adanya mekanisme pertemuan antar warga desa dalam bentuk-bentuk pertemuan publik seperti musyawarah/rapat, dan ada kalanya mengadakan protes terhadap penguasa (raja) secara bersama-sama.
Desentralisasi secara umum dikategorikan ke dalam dua perspektif utama, yakni perspektif desentralisasi politik dan desentralisasi administrasi. Perspektif desentralisasi politik menerjemahkan desentralisasi sebagai devolusi kekuasaan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, sedangkan perspektif desentralisasi administrasi diartikan sebagai pendelegasian wewenang administratif dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.
Jika desentralisasi merupakan arena hubungan antara desa dengan pemerintah supra desa (Negara) yang bertujuan untuk memberikan pengakuan terhadap eksistensi desa, memperkuat identitas lokal, membangkitkan prakarsa dan inisiatif lokal, serta membagi kekuasaan dan kekayaan kepada desa, dan mewujudkan otonomi desa, maka demokratisasi merupakan upaya untuk menjadikan penyelenggaraan pemerintah (desa) menjadi lebih akuntabel, responsif, diakui oleh rakyat.
Desentralisasi ataupun otonomi desa selain untuk menciptakan penyelenggaraan yang lebih baik dan responsif terhadap aspirasi dan kebutuhan desanya, otonomi desa juga dimaksudkan untuk memperkuat partisipasi masyarakat desa dalam proses pemerintahan dan pembangunan desa. Partisipasi juga menandai keikutsertaan kalangan marjinal yang selama ini disingkirkan dari proses politik dan ekonomi.

B. Good Governance dan Partisipasi Politik
Governance, yang diterjemahkan menjadi tata pemerintahan, adalah penggunaan wewenang ekonomi, politik dan administrasi guna mengelola urusan-urusan negara pada semua tingkat. Tata pemerintahan mencakup seluruh mekanisme, proses dan lembaga-lembaga dimana warga dan kelompok-kelompok masyarakat mengutarakan kepentingan mereka, menggunakan hak hukum, memenuhi kewajiban dan menjembatani perbedaan-perbedaan diantara mereka.
Definisi lain menyebutkan governance adalah mekanisme pengelolaan sumber daya ekonomi dan sosial yang melibatkan pengaruh sektor Negara dan sektor non-pemerintah dalam suatu usaha kolektif. Definisi ini mengasumsikan banyak aktor yang terlibat dimana tidak ada yang sangat dominan yang menentukan gerak aktor lain. Pesan pertama dari terminologi governance membantah pemahaman formal tentang bekerjanya institusi-institusi negara. Governance mengakui bahwa didalam masyarakat terdapat banyak pusat pengambilan keputusan yang bekerja pada tingkat yang berbeda.
UNDP merekomendasikan beberapa karakteristik governance, yaitu legitimasi politik, kerjasama dengan institusi masyarakat sipil, kebebasan berasosiasi dan berpartisipasi, akuntabilitas birokratis dan keuangan (financial), manajemen sektor publik yang efisien, kebebasan informasi dan ekspresi, sistem yudisial yang adil dan dapat dipercaya. Jadi dapat disimpulkan bahwa good governance merupakan penyelenggaraan pemerintahan yang baik yang menekankan adanya keseimbangan antara pemerintah, pasar, dan pemilik modal.
Dapat ditarik benang merah dari pemahaman tersebut, bahwa pada intinya pemerintahan yang baik adalah melibatkan peranserta publik dalam setiap pengambilan kebijakan, khususnya yang menyangkut kepentingan orang banyak. Asian Development Bank sendiri menegaskan adanya konsensus umum bahwa good governance dilandasi oleh 4 pilar praysarat yaitu (1) accountability, (2) transparency, (3) predictability, dan (4) participation.
Jelas bahwa jumlah komponen atau pun prinsip yang melandasi tata pemerintahan yang baik sangat bervariasi dari satu institusi ke institusi lain, dari satu pakar ke pakar lainnya. Namun paling tidak ada sejumlah prinsip yang dianggap sebagai prinsip-prinsip utama yang melandasi good governance, yaitu (1) Akuntabilitas, (2) Transparansi, dan (3) Partisipasi Masyarakat.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan di tingkat desa pun harus berlandaskan pada prinsip good governance/good local governance ini. Sebab dalam berbagai penelitian menunjukkan bahwa baik buruknya tata pemerintahan dijalankan mempunyai hubungan kausualitas yang erat dengan hasil-hasil pembangunan (Pohan, 2000).
Salah satu prinsip tata pemerintahan yang baik adalah partisipasi. Partisipasi ini dibutuhkan dalam memperkuat demokrasi khususnya pada tingkat grassroots, yaitu pada tingkat masyarakat desa. Dengan partisipasi, maka akan diperoleh modal sosial masyarakat desa dalam membangun iklim demokratisasi. Adapun bentuk partisipasi dari masyarakat dapat berupa partisipasi langsung secara individu dalam proses pengambilan keputusan, maupun melalui basis organisasi atau institusi seperti organisasi pemuda, kelompok petani, PKK, dan sebagainya.
Asumsi dasar dari partisipasi adalah semakin dalam keterlibatan individu dalam tantangan berproduksi, semakin produktif individu tersebut. Maka cara yang dapat dilakukan untuk menumbuhkan partisipasi itu adalah dengan mendorong partisipasi secara formal melalui komite atau dewan, yang mendorong masyarakat komunitas lokal untuk memberikan pandangan mereka tentang isu-isu kebijakan yang akan mempengaruhi pekerjaan maupun kesejahteraan mereka.
Dengan lahirnya desentralisasi dan otonomi desa, maka terbuka sebuah ruang publik politis yang dapat digunakan oleh rakyat untuk menyalurkan segala aspirasi dan tuntutannya mengenai permasalahan yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sebagai legislatif wadah menampung aspirasi serta mendiskusikan segala persoalan di desa untuk dicapai sebuah konsensus menjadi jalan terbukanya ruang bebas bagi masyarakat untuk menyalurkan aspirasi. Ruang publik politis ini dapat digunakan oleh individu maupun yang tergabung dalam wadah kelompok atau organisasi.
Berbicara mengenai masyarakat sipil di desa, ada tiga hal yang perlu diperhatikan dan diperkuat: (1) ruang publik desa, (2) organisasi dan gerakan masyarakat, (3) partisipasi masyarakat (Rozaki dkk, 2005:197). Ruang publik yang kritis diperlukan untuk menjembatani kesenjangan antara masyarakat sipil dan basis sentralnya.
Dalam karya awalnya, Strukturwandel der Oeffentlichkeit (Perubahan Struktur Ruang Publik), Juergen Habermas menjelaskan ruang publik politis sebagai kondisi-kondisi komunikasi yang memungkinkan warga negara membentuk opini dan kehendak bersama secara diskursif (dalam Budi Hardiman, 2006). Dengan melihat iklim keterbukaan ini, maka sebenarnya mudah untuk dapat melihat bagaimana peranan dari kelompok masyarakat maupun secara individu dalam turut berpartisipasi membangun desanya.
Penguatan organisasi masyarakat sipil berfungsi untuk mendorong demokrasi, yakni menggalang solidaritas dan kohesivitas sosial, menjadi jembatan di antara kelompok masyarakat yang berbeda, sebagai wadah gerakan sosial, dan sebagai bais partisipasi masayrakat desa dalam urusan pemerintahan dan pembangunan. Sedangkan partisipasi masyarakat adalah sebagai jembatan penghubung antara Negara dan masyarakat agar pengelolaan barang-barang publik menciptakan kesejahteraan (Sotoro Eko dalam Rozaki dkk, 2005).
Ada beberapa alat ukur yang dapat digunakan untuk melihat partisipasi dan peranan dari kelompok masyarakat, yaitu diantaranya public hearing, pertemuan kelompok masyarakat, diskusi publik, maupun musyawarah. Dari aspek ini dapat dilihat mengenai partisipasi masyarakat baik secara individu maupun organisatoris dalam mempengaruhi dan menentukan kebijakan di desa.


BAB. III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Metode penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan penelitian kulitatif sehingga dihasilkan sebuah data yang menggambarkan secara mendalam mengenai suatu fenomena. Metode kualitatif yang digunakan ini adalah dengan mendasarkan pada studi kasus. Hal ini karena setiap gejala sosial di suatu tempat sangat mungkin berbeda dengan di tempat lain, sehingga penelitian ini tidak melakukan generalisasi terhadap populasi, namun hanya bersifat kasuistik.

B. Sasaran Penelitian dan teknik penentuannya
Sasaran dari penelitian ini adalah aparatur Desa baik dari pihak eksekutif desa maupun legislatif desa (BPD), masyarakat petani Desa Kawungcarang, maupun Kelompok Tani Margo Makmur sebagai organisasi kelompok petani. Sasaran penelitian ini dipilih atas dasar pemahaman dan pengetahuan mengenai persoalan yang diteliti. Ini dikarenakan merekalah yang turut terlibat dalam setiap musyawarah desa, sehingga mereka pulalah yang mengetahui mengenai perpolitikan di desa tersebut.
Teknik penentuan sasaran penelitian ini adalah menggunakan purposive sampling. Teknik purposive sampling merupakan teknik penentuan sasaran berdasarkan tujuan penelitian. Sampel ataau sasaran penelitian/informan dipilih dengan dasar orang yang diangap paling mengetahui mengenai persoalan yang akan diteliti.

C. Lokasi Penelitian
Adapun lokasi dari penelitian ini adalah di wilayah Desa Kawungcarang, Kecamatan Sumbang, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.

D. Sumber data
Sumber data penelitian ini adalah data primer yang didapat dari hasil wawancara dan observasi lapangan, serta dengan didukung data skunder yang berupa data tertulis (dokumen) yang diperoleh dari Desa Kawungcarang.

E. Teknik Pengumpulan Data
Metode untuk pengumpulan data dilakukan dengan wawancara kepada responden yaitu aparat Desa Kawungcarang, pihak BPD, kelompok Tani Margo Makmur, serta wawancara kepada masyarakat/penduduk Desa setempat serta dengan didukung dengan data nonmanusia yaitu bersumber dari dokumen tertulis. Untuk dapat menghasilkan derajat kepercayaan (kredibilitas), maka penelitian ini dilakukan dengan melakukan wawancara yang bertahap dan dilakukan beberapa kali agar diperoleh variasi dan keakuratan informasi.


BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian
A.1 Demografi Desa Kawungcarang
Desa Kawungcarang terletak di Kecamatan Sumbang, Kabupaten Banyumas. Desa Kawungcarang merupakan desa dengan luas wilayah yang kecil yaitu berada di lahan seluas 47,365 hektar dengan jumlah penduduk 1.104 jiwa yang terdiri dari 310 kepala keluarga dengan komposisi laki-laki berjumlah 553 dan perempuan 551 jiwa. Jumlah penduduk ini tersebar dalam 7 RT dan 1 RW. Desa Kawungcarang berbatasan langsung dengan Desa Datar di sebelah Utara, di sebelah Timur berbatasan dengan Desa Kebanggan, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Tambaksogra, dan sebelah Barat berbatasan dengan Desa Karanggintung.
Luas wilayah Desa kawungcarang ini sebagian besar terdiri dari lahan pesawahan. Karena dari total luas wilayah, sebesar 31,47 hektar terdiri dari area pesawahan. Oleh karena itu kegiatan pertanian menjadi prioritas penduduknya. Hal ini terlihat dari penduduk yang berprofesi sebagai tani adalah 93 jiwa, buruh tani sebesar 20 jiwa, dan petani penggarap sebanyak 37 jiwa dari 356 penduduk yang bekerja. Selebihnya adalah bekerja sebagai karyawan, wiraswasta, PNS, TNI/Polri, pedagang, buruh bangunan, maupun sektor jasa.
Dengan total lahan sawah sebesar 31,47 hektar, sekitar 23,86 hektar merupakan sawah milik masyarakat, 7,61 hektar adalah tanah bengkok Pamong desa, dan tanah kas desa seluas 1 hektar. Dari jumlah tersebut, seluas 25 hektar digunakan untuk tanaman padi, dan sisanya digunakan untuk tanaman jagung.
Untuk masalah tingkat pendidikan penduduknya, di Desa Kawungcarang bebas dari buta huruf. Hanya sebanyak 5 orang yang tidak menamatkan sekolah dasar. Sebanyak 334 orang menamatkan pendidikan SD, 163 orang menamatkan SMP, 139 orang tamat SMA. Untuk yang mengenyam pendidikan tinggi, sebanyak 3 orang mampu menyelesaikan pendidikan diploma I (D-1), dan sebanyak 19 orang telah menamatkan pendidikan Sarjana (S-1). Selebihnya, yaitu sebanyak 180 orang masih sekolah. Dari usia sekolah yaitu umur 7-15 tahun, hanya 3 jiwa yang tidak sekolah.

A.2 Partisipasi masyarakat melalui Kelompok Tani Margo Makmur
Sebagai daerah yang sebagian besar terdiri dari lahan pertanian, kegiatan pertanian cukup mendominasi aktivitas masyarakatnya. Oleh karenanya, keberadaan organisasi petani seharusnya sangat mendukung dan menjadi media untuk mengartikulasikan kepentingannya. Di Desa Kawungcarang terdapat organisasi kelompok petani yang bernama “Margo Makmur”.
Kelompok tani “Margo Makmur” di Desa Kawungcarang telah berdiri sejak lama, walaupun tidak tahu pasti sejak kapan, yang jelas kelompok tani ini telah berdiri puluhan tahun. Dengan kondisi geografis yang sebagian besar terdiri dari lahan pertanian, organisasi ini menjadi sangat penting bagi masyarakat desa tersebut. Setidaknya dengan hadirnya kelompok tani tersebut, kepentingan petani Desa Kawungcarang akan terartikulasikan melalui organisasi yang kemudian dapat dipertimbangan dalam setiap pengambilan kebijakan di desa. Paling tidak keberadaan organisasi ini dapat menjadi media sosialisasi setiap kebijakan yang berkaitan dengan pertanian, atau jika ada bantuan untuk pertanian.
Berdasarkan penuturan Kepala Desa Kawungcarang, kelompok tani ini sempat vakum. Baru setelah beberapa tahun pemerintahannya, organisasi kelompok tani ini mulai dihidupkan kembali dengan pembentukan ketua berikut kepengurusannya. Salah satu maksud dihidupkannya kembali organisasi ini adalah karena pada waktu itu akan ada penyaluran bantuan pertanian di Kecamatan Sumbang. Pernyataan ini dibenarkan oleh ketua Kelompok Tani Margo Makmur sendiri dan Ketua BPD.
Dalam perkembangannya, keberadaan organisasi Margo Makmur ini seakan kehilangan signifikansinya bagi masyarakat desa tersebut yang sebagian besar hidup dari pertanian. Margo Makmur menjadi terkesan hanya sebagai sebuah nama atau formalitas. Ini terlihat dari kegiatan dan keanggotaannya yang semakin tidak jelas. Mekanisme pemilihan ketua atau pengurus pun tidak melalui musyawarah anggota, namun hanya melaui mekanisme penunjukkan atau pelimpahan wewenang dari yang menjabat sebelumnya. Hal ini didukung oleh pernyataan Pak Prayogi selaku ketua kelompok tani Margo Makmur saat ini. Dia menyatakan bahwa dirinya menjadi ketua kelompok tani hanya melalui pelimpahan wewenang dari ketua sebelumnya. Beliau juga menambahkan bahwa dirinya telah menjabat sejak tahun 1998 hingga sekarang. Hal ini dikarenakan selama ini tidak ada yang mau menggantikan posisi dirinya sebagai ketua.
Selain menjadi ketua kelompok tani, Pak Prayogi juga bekerja sebagai perangkat desa dan menjabat sebagai Kaur Umum. Begitu juga dengan ketua kelompok tani sebelumnya. Setiap orang yang menjabat ketua kelompok tani ini, sudah pasti dia adalah seorang perangkat desa. Entah mengapa mekanisme ini bisa terjadi.
Kegiatan dari kelompok tani ini hampir dikatakan tidak ada, bahkan program kerja pun tidak ada. Organisasi ini berjalan ketika perlu sosialisasi mengenai pertanian yang dilakukan oleh pemerintah, atau hanya ketika ada bantuan mengenai pupuk bersubsidi, atau bantuan lain yang berkaitan dengan pertanian.
Berkaitan dengan hubungannya dengan pemerintah desa, kelompok tani ini hanya sebatas formalitas. Mereka diundang dalam musyawarah desa, namun karena tidak ada partisipasi dari warga petani (anggota) itu sendiri maka mekanisme musyawarah atau demokrasi tidak berjalan sehat. Sebab yang menjadi perwakilan dari kelompok petani adalah dari kalangan perangkat desa itu sendiri. Bahkan menurut Pak Prayogi, boleh dikatakan bahwa selama ini kelompok tani tidak pernah dilibatkan dalam setiap perumusan kebijakan di desa. Sebab dia hadir dalam musyawarah desa sebagai kelompok tani, tetapi dia juga berperan sebagi perangkat desa. Selain itu, dia tidak memahami apa saja keinginan dari masyarakat petani di desa Kawungcarang itu sendiri. Hal ini dikarena tidak ada partisipasi dan koordinasi antara organisasi dengan anggotanya. Namun, petani desa Kawungcarang pernah meminta pembangunan irigasi ketika terdapat program PNPM, dan hal ini sudah dipenuhi.
Lebih jauh lagi ketika kami menayakan kepada kepala desa terkait dengan salah satu contoh kebijakan desa yang mengatur tentang pertanian di Desa Kawungcarang, dijelaskan bahwa selama kepemimpinannya tidak ada satupun kebijakan desa yang mengatur tentang hal ini. Menurut Bu Eni selaku kepala desa, masayarakat petani tidak terlalu perduli dengan hal-hal yang demikian, entah itu disampaikan secara pribadi ataupun melalui media Kelompok Tani Margo Makmur sendiri. Walaupun sebagian besar penduduk di Desa Kawungcarang ini bekerja sebagai petani, tetapi tidak ada satupun peraturan desa yang mengatur tentang masalah pertanian.
Permasalahannya adalah ketika ada bantuan untuk pertanian, yang menangani bukan dari kelompok tani itu, tetapi diambil alih oleh perangkat desa. Hal ini berdasarkan penuturan ketua Margo Makmur. Misalnya saja ketika ada bantuan Kredit Usaha Tani atau bantuan untuk sarana produksi pertanian.
Hal menarik lainnya, dari sekian luas lahan pertanian di Desa Kawungcarang tersebut, ternyata sebagian besar (kurang lebih 70%) adalah milik perangkat desa. Di sini menimbulkan sebuah asumsi atau pertanyaan, apakah selama ini masyarakat kurang respon atau kurang partisipatif terhadap keberadaan Margo Makmur sebagai organisasi representasi masyarakat petani, dikarenakan kepentingannya tidak ada bagi mereka. Sebab sebagian lahan pertanian dimiliki oleh pejabat desa.
Dari kondisi ini juga memunculkan pertanyaan apakah karena hal ini, mekanisme pemilihan ketua kelompok Margo Makmur hanya sebatas pelimpahan, dan selalu berasal dari perangkat desa itu sendiri? Mungkin hal ini dilakukan agar setiap permasalahan atau bantuan pertanian dapat ditangani oleh perangkat desa sendiri. Hal ini juga yang mungkin menjadi alasan mengapa keberadaan Margo Makmur tetap dipertahankan walaupun secara substansi atau kegiatannya tidak ada, agar bantuan dapat masuk.

A.3 Partisipasi Masyarakat dalam Perumusan Kebijakan Desa
Tidak berberbeda dengan organisasinya yang pasif, masyarakat petani di Desa Kawungcarang pun ternyata tidak memanfaatkan keberadaan organisasi yang sebenarnya atas prakarsa masyarakat desa. Baik secara organisasi ataupun individu, ternyata masyarakat desa tersebut pasif dalam hal berpartisipasi dalam setiap perumusan kebijakan, khususnya kebijakan yang menyangkut masalah peranian. Hal ini dapat dilihat dari partisipasi dalam setiap musyawarah yang membahas kebijakan desa atau Peraturan Desa.
Pelibatan setiap elemen masyarakat dalam perumusan kebijakan menjadi sebatas formalitas. Ini berdasarkan pernyataan Pak Prayogi selaku Ketua Kelompok Tani Margo Makmur dan Pak Rasmin selaku Ketua BPD. Masyarakat sulit untuk diajak berpartisipasi untuk perumusan kebijakan pembangunan desa. Akibatnya yang hadir dalam musyawarah hanya sebatas perwakilan tanpa representasi konstituen. Yang hadir dalam musyawarah hanya beberapa orang yang tidak cukup mewakili kepentingan seluruh masyarakat desa. Misalnya perwakilan dari masyarakat petani hanya menghadirkan ketuanya saja tanpa mengetahui apa yang diinginkan oleh para petani sebagai anggotanya. Itupun yang menjabat sebagai ketuanya adalah sebagai perangkat desa, sehingga netralitas birokrasi sulit diupayakan. Dikhawatirkan apa yang diusulkan dalam musyawarah tidak sesuai dengan keinginan masyarakat.
Ada anggapan dari pemerintah desa bahwa para petani cenderung telah nyaman dengan kondisi yang sedang mereka jalani sekarang. Mereka nyaman dengan idealitas kerja mereka sebagai seorang petani dengan menanam di awal musim tanam, merawatnya dan kemudian memanennya pada masa panen. Hal ini berlangsung terus sebagai suatu pola umum yang telah diterima oleh masyarakat petani di Desa Kawungcarang.
Pola kepemilikan tanah pertanian di Desa Kawungcarang disinyalir menjadi salah satu faktor pemicu sikap apatis masyarakat petani di desa ini. Menurut informasi yang kami dapatkan memang terlihat jelas bahwa dari total 31 hektar tanah pertanian yang ada di Desa Kawungcarang, jumlah tersebut telah terdistribusi kepada 102 warga desa dalam hal kepemilikikannya. Yang patut digarisbawahi di sini adalah masing-masing penduduk yang memiliki tanah pertanian, hampir semuanya memliki tanah pertanian tersebut dengan kuantitas yang sangat kecil. Kepemilikan tanah paling luas di miliki oleh kepala desa dengan jumlah dua hektar, itupun bukan merupakan tanah milik pribadi kepala desa, melainkan tanah bengkok desa seluas 2 hektar. Sisanya masing-masing petani memiliki tanah pertanian yang tidak lebih dari 0,3 hektar, atau bahkan ada yang jauh lebih kecil dari angka itu .
Faktor kedua yang memicu sikap apatis masyarakat adalah rasa kekecewaan masyarakat terhadap kinerja pemerintah desa yang tidak professional. Ternyata masih ada berbagai permasalahan yang pada akhirnya berimplikasi secara negatif terhadap partisipasi masyarakat desa dalam dinamika sosial politik di Desa Kawungcarang. Tidak hanya sekedar permasalahan pola kepemilikan tanah yang begitu rata terdistribusi, bukan pula permaslahan budaya masyarakat setempat yang memang tidak terlalu banyak menuntut.
Menutrut Kepala BPD Desa Kawungcarang ini, segala keapatisan dari masyarakat petani di desa disebabkan oleh faktor profesionalitas para perangkat desa. Sesungguhnya, menurut Kepala BPD, sebelum masa kepemimpinan kepala desa yang sekarang, masyarakat petani di Desa Kawungcarang ini dapat dikatakan sangat dinamis. Bahkan untuk sekedar menghadiri pertemuan saja seperti forum salapanan, dapat menghadirkan masa yang begitu banyak. Masyarakat petani sangat antusias untuk menghadiri acara-acara yang diselenggarakan oleh pemerintah desa. Ketika pemerintah desa ingin melakukan suatu acara, maka dengan serta merta masyarakat akan hadir berbondong-bondong untuk menghadiri acara terebut, meskipun acara tersebut hanya sekedar pertemua rutin saja seperti petemuan salapanan.
Permasalahan profesionalitas perangkat desa pada masa kepemmpinan kepala desa yang sekarang, secara langsung telah berakibat kepada keapatisan dari masyarakat petani di desa. Sebagai contoh dijelaskan, ketika pemerintah desa mengundang masyarakat petani untuk hadir dalam sebuah pertemuan rutin, tidak ada disiplin waktu dari pemerintah desa yang mengundang. Menurut Kepala BPD, hal-hal seperti ini yang pada akhirnya menyebabkan para petani enggan untuk menghadiri acara-acara serupa.
Lebih lanjut lagi dijelaskan, adalah yang lebih parah dalam pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan oleh pemerintah desa pada masa kepemimpian kepala desa yang sekarang, hanya segelintir saja peranggkat desa yang hadir secara rutin dalam pertemuan tersebut. Tidak lebih dari empat orang perangkat desa yang bersedia menghadiri pertemuan-pertemuan yang sebenarnya diselenggarakan oleh pemerintah desa sendiri. Ini dia yang kemudian dijelaskan oleh kepala BPD sebagai sebuah ketidakprofesionalan dari para perangkat desa terhadp tugas dan kewajiban mereka sebagai seorang pamong.
Permasalahan ini juga dirasakan oleh masyarakat petani yang kami wawancarai. Dari wawancara kepada Pak Muhadi, Pak Cipto, dan Bu Nasi selaku petani, ternyata terlihat sebuah kesepahaman dengan apa yang di ungkapkan oleh Kepala BPD dan Ketua kelom[ok tani dalam wawancara sebelumnya. Mereka menyatakan bahwa sebagian besar petani di desa ini hanya sebatas petani penggarap, bahkan hanya sekedar buruh tani, sedangkan yang memiliki lahan adalah para elit desa. Kalaupun ada petani yang memiliki lahan sendiri, itupun luasnya tidak seberapa seperti milik Pak Muhadi yang hanya sekitar 0,1 hektar.
Mereka menyatakan, dahulu aktivitas masyarakat cukup aktif misalnya dalam setiap pertemuan-pertemuan yang diadakan oleh pemerintah desa atau hanya pertemuan biasa. Misalnya saja ketika masih ada pertemuan yang bernama salapanan, masyarakat yang hadir sangat banyak, bisa mencapai seratus orang. Dalam pertemuan itu akan dibahas tentang apa saja, terutama yang menyangkut persoalan sekitarnya, termasuk juga keluhan tentang pertanian. Namun disayangkan ketika pemerintahan desa berganti, aktivitas ini telah pudar, sehingga pertemuan yang melibatkan seluruh masyarakat desa secara luas tidak pernah terjadi. Yang masih ada hanya sebatas pertemuan-pertemuan di tingkat RT.
Sekarang masyarakat petani terkesan tidak mempedulikan masalah kebijakan desa, khususnya terkait pertanian. Hal ini dikarenakan tidak terlalu menyentuh manfaatnya bagi para petani sendiri. Penyebab lain sikap apatis warga adalah karena kekecewaan terhadap kinerja aparat desa yang tidak professional. Seperti dicontohkan oleh Pak Muhadi, ketika ada bantuan untuk petani dalam bentuk pinjaman modal atau sarana produksi pertanian, pemerintah desa tidak transparan dalam sosialisasi dan laporannya. Masyarakat tidak pernah tahu untuk apa saja bantuan itu digunakan.
Kondisi seperti ini menjelaskan bahwa partisipasi masyarakat petani maupun organisasi kelompok petani belum cukup dalam sebuah iklim demokrasi di desa. Belum ada pemberdayaan di bidang politik merupakan salah satu penyebabnya. Iklim demokrasi ala orde baru masih mempengaruhi pemikiran masyarakatnya. Dalam hal ini perlu peran aktif dari pemerintah desa untuk mengupayakan partisipasi politik masyarakatnya sehingga tercipta iklim demokrasi di desa tersebut.
Upaya yang dapat dilakukan salah satunya adalah dengan mendukung kegiatan “Margo Makmur” sebagai organisasi masyarakat petani dan berusaha menghidupkan kembali organisasi tersebut yang dirasa telah “mati” sebab tidak ada kegiatan atau bahkan hanya pertemuan rutin pun tidak ada.
Keberadaan Margo Makmur terkesan hanya sebagai simbol dinamisasi aktivitas dan partisipasi politik masyarakatnya saja. Sebab secara substansi, organisasi ini tidak berbuat apa-apa selain hanya sebagai organisasi binaan di desa namun dengan kontribusi yang tidak nyata terlihat. Padahal seharusnya kelompok tani Margo Makmur ini mempunyai posisi yang strategis jika kita melihat komposisi penduduk di desa kawungcarang yang hampir seluruhnya adalah petani.
Menurut penjelasan yang kami dapat dari ketua Kelompok Tani Margo Makmur, Bapak Prayogi, disinggung bahwa sejauh masa jabatannya sebagai ketua kelompok tani Margo Makmur, ada semacam keapatisan dari masyarakat yang berimplikasi langsung terhadap dinamisasi kelompok tani ini dalam menopang segala kebutuhan dan aspirasi petani yang tidak mendapat respon yang positif. Kebanyakan mayarakat petani di desa kawungcarang sehari-harinya hanya bekerja menurut idealitas mereka sebagai seorang petani tanpa mencoba memanfaatkan organisasi kelompok tani ini sebagai media untuk memperjuangkan aspirasi anggota kelompoknya, untuk kemudian diterjemahkan oleh pemerintah desa melalui produk kebijakan desa. Pendapat ini pun dibenarkan oleh kepala desa, dan Ketua BPD, bahkan oleh para petani sendiri. Kondisi ini apatisme warga dalam berpartisipasi politik ini disebabkan oleh kekecewaan terhadap kinerja pemerintah desa yang tidak professional, tidak transparan.

B. Pembahasan
Dalam agenda desentralisasi adalah untuk mewujudkan good governance dan mengembangkan demokrasi lokal yang berdasarkan kultur masyarakat desa. Dalam tata pemerintahan, mencakup di dalamnya adalah seluruh mekanisme, proses dan lembaga-lembaga dimana masyarakat dapat mengaktualisasikan dan mengartikulasikan kepentingannya secara bebas. Dalam istilah governance pun dapat diartikan sebagai mekanisme pengelolaan sumberdaya baik ekonomi, sosial, maupun politik.
Dengan hadirnya desentralisasi dan otonomi desa, seluruh aparatur desa dan segenap masyarakatnya diharapkan mampu mengembangkan potensi yang dimilikinya, tidak terkecuali dengan Desa Kawungcarang. Dalam otonomi desa mengandung prinsip keleluasaan (discretionary), kekebalan (imunitas), dan kapasitas. Keterpaduan antara keleluasaan dan kapasitas akan dapat melahirkan kemandirian desa, yaitu kemandirian mengelola pemerintahan, mengambil keputusan, dan mengelola sumberdaya lokal sendiri yang sesuai dengan preferensi masyarakat lokal (Rozaki, 2005:53).
Dengan adanya kebebasan desa untuk mengatur rumahtangga pemerintahannya, diharapkan akan terbangun sebuah iklim demokrasi grass roots yang selama ini diindikasikan telah ada di pedesaan. Misalnya saja, ketika saat ini dunia sibuk membicarakan demokrasi langsung, sebenarnya sejak dahulu, masayarakat desa telah mengenal demokrasi langsung dengan mekanisme pemilihan kepala desa secara langsung. Dengan demikian, sebenarnya masyarakat desa telah lebih dahulu paham dan mengenal demokrasi, hanya dalam istilah yang berbeda. Prinsip-prinsip demokrasi pun sebenarnya sudah melembaga di lingkungan masyarakat desa, sepeti musyawarah mufakat, rembug desa, gotong royong, dan sebagainya.
Sebagai contoh yang ada di Desa Kawungcarang adalah adanya pertemuan salapanan, yang berfungsi sebagai media komunikasi untuk menyalurkan segala aspirasi dan keluhan masyarakat Desa Kawungcarang kepada pemerintah desa. Kegiatan ini rutin dilakukan setiap 35 hari sekali sebagai forum warga untuk menyalurkan segala permasalahan yang dihadapi di desanya. Dengan adanya forum ini, pemerintah desa akan mudah mengetahui permasalahan.
Pertemuan-pertemuan seperti ini yang disebut oleh Jurgen Habermas sebagai ruang publik politis, dirasa sangat efektif dalam menjaring aspirasi dan untuk mengetahui segala permasalahan yang terjadi di desa. Sebab memungkinkan masyarakat desa mebentuk opini dan kehendak bersama secara diskursif. Pada akhirnya pemerintah Desa Kawungcarang akan dengan cepat melakukan antisipasi atau mencari solusi dari permasalahan yang ada.

B.1 Realitas Relasi Antara Masyarakat Dan Pemerintah Desa
Good governance sebagai sebuah konsep pemerintahan yang ideal menjadi sebuah tawaran menjanjikan pada tataran aplikatif, bahkan untuk tingkatan desa sekalipun. Akuntabilitas, transparansi dan partisipasi politik dari masyarakat menjadi beberapa prayarat utama bagi mulusnya pelaksanaan good governance di desa. Pada tingkatan yang lebih jauh lagi, diharapkan pula terjadi sebuah hubungan yang sifatnya saling menopang, terutama dalam penciptaan sebuah tata pemerintahan yang baik antara pemerintah desa sendiri dengan kelompok-kelompok masyarakat yang telah mandiri. Posisi tawar yang baik dari masyarakat terhadap pemerintah desa diharapkan menjadi sebuah kontrol nyata bagi jalannya pemerintahan, disamping pula sebagai upaya tanggap dari pemerintah desa atas kebutuhan masyarakatnya.
Namun demikian, dari berbagai informasi yang kami dapatkan dari penelitian kami di Desa Kawungcarang, masih terdapat begitu banyak hal yang patut digarisbawahi, terutama bagaimana sesunguhnya pelaksanaan good governance yang ideal. Sejauh yang kami amati dari jalannya pemerintahan di Desa Kawungcarang, hampir tidak ditemukan sebuah konsep pemerintahan yang berbasis good governance. Koordinasi antara pihak-pihak yang ada tidak terjalin dengan baik kalau tidak mau dikatakan tidak terjadi sebuah hubungan yang konstruktif dan saling melengkapi.
Kita ambil contoh dari partisipasi masyarakat. Kelompok Tani Margo Makmur sebagai kelompok profesi terbesar di Desa Kawungcarang ternyata mandul dalam menerjemahkan aspirasi dari bawah. Sebuah analisis menarik disini adalah apakah memang ini di sebabkan oleh ketidakmampuan Kelompok Tani Margo Makmur untuk berdinamisasi dalam tatanan sosial politik desa, atau mungkin ini di sebabkan oleh kondisi masyarakat yang memang apatis, atau dengan bahasa lainnya, partisipasi masyarakat petani di Desa Kawungcarang ini masih sangat rendah.
Berdasarkan hasil wawancara yang kami dapatkan dari ketua BPD Desa Kawungcarang, ternyata memang sistem pemerintahan yang kemudian menciptakan sebuah kondisi yang demikian. Permasalahannya disini adalah profesionalitas kerja dari para perangkat desa. Padahal sesungguhnya jika kita mau menilik ke belakang, tepatnya sebelum masa pemeritahan kepala desa yang sekarang, masyarakat petani di Desa Kawungcarang adalah sebuah komunitas yang sangat dinamis dan memiliki kesadaran dan tingkat partisipasi yang tinggi dalam acara-acara atau kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah desa. Untuk sekedar menghadiri pertemuan-pertemuan rutin seperti salapanan pun, masyarakat sudah berbondong-bondong datang.
Lebih jauh lagi, permasalahan profesionalisme ini juga berlanjut pada mekanisme kerja Kelompok Tani Margo Makmur. Menurut penjelasan yang kami dapat dari Ketua BPD, dan Kelompok Tani Margo Makmur ini memang sengaja diciptakan mandul oleh pemerintah desanya, atau mungkin dengan bahasa yang lebih kasar, kelompok tani ini sengaja di tunggangi oleh pemerintah desa untuk keperluan beberapa kepentinagn tertentu. Sebut saja kepentingan tersebut adalah pencairan dana bantuan pertanian di Desa Kawungcarang. Keberadaan kelompok tani merupakan sebuah prasyarat bagi cairnya dana bantuian tersebut. Setelah dana bantuan cair, ternyata tidak sepenuhnya dapat di distribusikan secara professional. Memang kami tidak memiliki data yang konkrit terkait hal ini, tetapi menurut kepala BPD, ada beberapa indikasi dana yang cair tersebut menguap dan tidak terdistribusikan secara semestinya. Pendistribusian dana yang dilakukan pun tidak menjadi tepat sasaran karena kebanyakan diberikan kepada segelintir orang saja. Keadaan ini juga dirasakan oleh orang seperti Pak muhadi, Pak Cipto, dan Bu Nasi sebagai seorang petani kecil.
Seharusnya dinamika politik yang terjadi di tingkat lokal adalah ilustrasi yang baik untuk dapat dipakai sebagai cermin dalam melihat perubahan desentralisasi dan demokrasi lokal. Hadirnya otonomi daerah dan otonomi desa untuk mendorong dan memperkuat posisi desa sebagai self-governing community dan local-self government. Nyatanya tidak demikian yang terjadi di Desa Kawungcarang. Gagasan utama desentralisasi pembangunan dan otonomi desa yang menempatkan desa sebagai entitas yang otonom dalam pengelolaan pembangunan dengan perencanaan pembangunan yang bottom-up dan village self planning, tidak mampu berjalan optimal di Kawungcarang. Ketidakoptimalan ini disebabkan oleh perencanaan pembangunan yang dilakukan pemerintah desa tidak disertai partisipasi aktif masyarakatnya.
Asumsi dari hadirnya otonomi desa adalah akan semakin aktifnya masyarakat untuk terlibat dalam proses politik yang berlangsung baik secara formal ataupun informal. Kesadaran masyarakat akan semakin tumbuh, dan terwujud pada pengorganisiran dengan bergabung dalam organisasi-organisasi civil society dalam bentuk organisasi sektoral, kepemudaan, kelompok perempuan, kelompok keagamaan, kelompok petani, dan lain sebagainya. Kondisi ini terlihat mulai banyaknya organisasi yang berbasiskan masyarakat sipil. Dalam contoh kasus di Desa Kawungcarang, telah banyak organisasi atau perkumpulan-perkumpulan warga. Mereka mengasosiasikan diri dalam sebuah wadah untuk menyalurkan keinginan mereka.
Agenda desentralisasi yang terlihat di Desa Kawungcarang yang seharusnya mampu menumbuhkan partisipasi masyarakat dalam setiap perumusan kebijakan masih kurang terlihat. Organisasi-organisasi civil society yang ada masih hanya sekedar organisasi yang sifatnya sosial seperti kelompok pengajian, kelompok arisan. Mereka masih pasif dalam hal partisipasi politik. Kenyataan yang ada adalah banwa parisipasi masyarakat dalam msyawarah desa, masih minim. Ini dibuktikan dari respon masyarakat dalam setiap kebijakan atau peraturan yang dibuat oleh pemerintah desa. Bahkan untuk menghadiri rapat desa saja sangat enggan. Hal inilah yang dinyaakan oleh Pak Rasmin selaku ketua BPD. Ini menyebabkan kurang terciptanya dinamisasi politik yang diharapkan dari otonomi desa. Kebijakan yang tercipta terkesan masih sangat sentralistik atau top down bukan bottom up.
Dalam setiap musyawarah desa, lebih terkesan elitis. Sebab yang hadir hanyalah elit-elit desa atau tokoh masyarakat yang dekat dengan kekuasaan desa. Perwakilan dari organisasi kelompok tani saja yang seharusnya representasi masyarakat Desa Kawungcarang yang sebagian besar sebagai petani terlihat tak berdaya. Sebab masyarakat petaninya tidak aktif dalam organisasinya maupun secara individu.
Desentralisasi atau otonomi yang dilaksanakan di Desa Kawungcarang seharusnya juga mencakup desentralisasi pada lingkungan politik kemasyarakatan. Kesempatan untuk mengembangkan civil sosciety pada tingkat lokal harus difasilitasi seluas mungkin oleh pemerintah desa. Budaya-budaya atau kegiatan yang sudah ada di desa yang sifatnya dapat mengembangkan praktek demokrasi, seharusnya terus dipertahankan dan dikembangkan. Misalnya saja kegiatan salapanan yang merupakan forum informal yang dapat dijadikan ranah untuk mengapresiasikan dan mengartikulasikan segala suara dari masyarakat desa. Namun dalam kenyataannya, perkumpulan seperti ini telah hilang dari Desa Kawungcarang. Pemerintah desa kurang memperhatikan aktivitas waraga seperti ini. Yang masih tersisa adalah pertemuan-pertemuan di tingkat RT yang masih rutin dilakukan.
Perubahan pola pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi untuk pelaksanaan otonomi daerah, nampaknya menuntut perubahan-perubahan pula terhadap masyarakatnya. Pemerintah di tingkat desa juga seharusnya berperan dalam menyadarkan masyarakat bahwa mereka sekarang adalah stake holder yang utama dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Dengan kesadaran semacam ini, masyarakat madani akan dapat terbentuk yang akan terekspresikan dalam keterlibatan aktif masyarakat dalam proses politik dan pemerintahan lokal (CSIS, 2001).
Sebagai stakeholder utama, masyarakat desa sendiri harus mampu memelihara kemampuan politik lokal. Dalam hal ini, masyarakat perlu mendorong kemampunan politik lokal agar senantiasa dapat efisien dan efektif untuk memuaskan kepentingan-kepentingan masyarakat. Pada saat yang sama, masyarakat harus pula mampu mencegah institusi-institusi politik lokal seperti aparatur pemerintah desa agar tidak menjadi kekuatan politik lokal yang eksesif sehingga menjadi supresif dan arbriter (menekan dan sewenang-wenang) terhadap mereka sendiri (CSIS, 2001). Hal semacam inilah yang perlu dilakukan oleh segenap masyarakat Desa Kawungcarang, baik pemerintah maupun masyarakat umum sehingga akan tercipta suatu sistem pemerintahan yang ideal (good local governance).
Dalam pembangunan demokrasi desa, diperlukan sumberdaya sosial yang berasal dari elemen civil society agar tercipta pemerintahan desa yang partisipatif, dan demokratis, sehingga apa yang diharapkan oleh masyarakat desa dapat terwujud dalam sebuah kebijakan desa. Kondisi ini bertolak belakang dengan realitas di Desa Kawungcarang. Belum adanya partisipasi dari masyarakatnya dan peran pemerintah desa dalam menghidupkan organisasi atau kelompok-kelompok masyarakat menjadi gambaran kondisi sosial politik desa tersebut.


BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan beberapa poin mengenai gambaran partisipasi masyarakat petani di Desa Kawungcarang dan hal yang menyebabkannya. Masyarakat petani Desa Kawungcarang sebagai entitas masyarakat yang cukup besar ternyata saat ini tidak memperlihatkan partisipasinya dalam hal perumusan kebijakan desa. Masyarakat cenderung pasif dan tidak ingin disibukan dalam musyawarah yang diselenggarakan oleh pemerintah desa terkait pembangunan desa atau masalah pertanian itu sendiri.
Berdasarkan hasil temuan di lapangan, kondisi ini disebabkan oleh dua hal, yaitu:
Pertama, dalam hal kebijakan mengenai pertanian, masyarakat petani tidak memperoleh manfaat yang signifikan karena sebagian besar hanya sebagai petani gurem atau yang hanya memiliki lahan yang sangat kecil, sedangkan sebagian besar lahan pertanian dimiliki oleh para elit atau perangkat desa.
Kedua, kekecewaan masyarakat terhadap kinerja pemrintah desa yang tidak professional, tidak adanya transparansi dalam hal pelaksanaan maupun pelaporan pembangunan atau bantuan.

B. Saran
Untuk dapat membangun iklim demokrasi yang dicita-citakan dalam agenda desntralisasi/otonomi desa, maka dengan melihat kondisi partisipasi politik masyarakat petani di Desa Kawungcarang perlu adanya upaya perbaikan dengan cara:
1. Perlu dilaksanakannya prinsip good governance seperti akuntabilitas, dan transparansi dengan cara meningkatkan profesionalisme kinerja aparat pemerintah desa, sehingga memperoleh kepercayaan dari masyarakat sebagai stakeholder.
2. Pihak pemerintah desa harus berperan aktif dalam memelihara dan mengembangkan basis-basis demokrasi lokal seperti forum-forum warga seperti pertemuan RT, rembug desa, salapanan; serta berupaya memajukan kelompok-kelompok masyarakat sebagai institusi alternatif masyarakat untuk menyuarakan aspirasinya.
3. Memberikan penyadaran kepada masyarakat bahwa mereka adalah stakeholder yang utama dalam menciptakan otonomi desa yang demokratis sesuai dengan kultur masyarakat, sehigga akan menumbuhkan partisipasi masyarakat untuk ikut serta berperan dalam pembangunan desa serta mengontrol jalannya pemerintahan di tingkat desa.

Daftar Pustaka

Annual Report 2001-2002, “Desentralisasi dan Demokrasi Lokal”, IRE Press, Yogyakarta.

Cresswell, Jhon W. 1996, Research Design: Qualitative and Quantitative Approach, Penerbit KIK Press, Jakarta.

CSIS. 2001, Laporan Penelitian Kemampuan Politik Lokal untuk Pelaksanaan Otonomi Daerah, Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Jakarta.

Hardiman, Budi F. 2006, ”Ruang Publik Politis: Komunikasi Politis dalam Masyarakat Majemuk”, http://duniaesai.com/komunikasi/kom1.htm, yang diakses tanggal 13 April 2007, bersumber dari Kompas Cyber Media.

Huda, Ni’matul. 2005, Otonomi Daerah: Filosofi, Sejarah Perkembangan, dan Problematika, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Krina P., 2003. “Indikator & Alat Ukur Prinsip Akuntabilitas, Transparansi & Partisipasi”, Sekretariat Good Public Governance Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Jakarta - Agustus 2003.

Pohan, Max H. 2000, “Mewujudkan Tata Pemerintahan Lokal yang Baik (Local Good Governance) dalam Era Otonomi Daerah”, Makalah yang disampaikan pada Musyawarah Besar Pembangunan Musi Banyuasin ketiga, Sekayu, 29 September-1 Oktober 2000.

Rozaki, Abdur, dkk. 2005, Prakarsa Desentralisasi dan Otonomi Desa, Cetakan ke-2, IRE Press (Institute for Research and Empowerment), Yogyakarta.

Syaukani, dkk. 2004, Otonomi Derah dalam Negara Kesatuan, Kerjasama antara Pustaka Pelajar dan Pusat Pengkajian Etika Politik dan Pemerintahan (PUSKAP), Yogyakarta.