Assalamu'alaikum,,, Salam Hormat

Terima kasih atas kunjungan anda ke blog saya. Semoga bermanfaat. Semua tulisan ini hasil saya pribadi, atau diambil dari tulisan lain yang tercantum pada rujukannya. Bila mengutip baik secara langsung maupun tidak, sebagian atau keseluruhan, diharapkan Mencantumkan sumber tulisan dan penulisnya pada daftar pustaka/catatan kaki sebagai bahan rujukannya.
atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih

Minggu, 28 Juni 2009

Konflik Politik dalam Pemilu Legislatif 2009


Pendahuluan

Beberapa waktu lalu bangsa kita melewati sebuah pesta demokrasi bernama Pemilu. Sebuah proses politik yang telah berlangsung secara periodik sejak berdirinya Negara ini. Hangar-bingar dalam menyambut pesta demokrasi itu pun diterjemahkan dalam berbagai tindakan oleh segenap rakyat Indonesia. Ada yang merasa bahwa Pemilu 2009 akan membawa dampak perubahan bagi kemajuan negeri ini. Namun tidak sedikit juga yang merasa pesimis akan terjadi kemajuan dan tercapainya kesejahteraan rakyat.

Berbagai pendapat itu didasari oleh pandangan dan pemahaman masing-masing individu dalam melihat dinamika perpolitikan tanah air. Tak jarang yang menilai dari parameter pemimpin-pemimpin negeri ini yang banyak berprilaku amoral dan hilangnya kepercayaan rakyat terhadap kemampuan pemimpinnya.

Dua periode terakhir Pemilu di Indonesia ini dianggap sebagai Pemilu yang paling demokratis sejak berdirinya republik ini. Hal ini disebabkan pemilu 2004 dan Pemilu 2009 diikuti oleh banyak partai politik. Kran kebebasan berorganisasi dan berpolitik sudah dibuka lebar sejak tumbangnya rejim orde baru yang dinilai represif. Di tambah lagi, pada Pemilu 2004, yaitu pada saat pemilihan presiden dilaksanakan secara langsung.

Begitu juga Pemilu 2009 yang merupakan pemilihan secara langsung baik legislative maupun presiden. Pada Pemilu yang dilaksanakan pada tanggal 9 April kemarin, adalah pemilihan calon-calon legislatif baik di tingkat daerah kabupaten/kota, provinsi, bahkan DPR pusat. Rakyat diberikan kebebasan dalam memilih calon wakil rakyatnya. Ini dimaksudkan agar wakil rakyat yang terpilih adalah benar-benar representasi rakyat, yang pada akhirnya akan lebih bertanggung jawab.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, apakah dengan mekanisme Pemilu 2009 yang secara langsung ini dapat menjamin sebuah iklim kondusif bagi rakyat atau bagi para kontestan itu sendiri? Sebab dalam politik, yang ada adalah sebuah pertarungan merebut dan mempertahankan kekuasaan, terlepas dari alasan apapun, baik untuk kesejahteraan rakyat maupun alasan jabatan atau materi belaka.

Pemilu Legislatif 2009 dalam Tinjauan Konflik

Banyak kalangan pengamat melihat bahwa Pemilu 2009 sangat berpotensi konflik. Misalnya saja, Muladi seperti diberitakan okezone.com yang memprediksi akan terjadi banyak konflik di internal partai politik dan antarpartai politik peserta Pemilu 2009. Hal tersebut dikarenakan banyak orang yang ingin menjadi anggota DPR maupun presiden.

Jika pada pemilu-pemilu sebelumnya konflik terjadi antar partai politk dalam rangka memperebutkan suara, namun pada Pemilu 2009, potensi konflik itu semakin meluas hingga konflik internal partai. Kondisi ini disebabkan oleh pertarungan dan perebutan suara antar calon legislatif dalam satu partai. Sebab mekanisme yang ada ditentukan oleh jumlah suara terbanyak yang diperoleh oleh masing-masing calon legislatif tanpa melihat nomor urut yang biasanya mencerminkan kapabilitas dan kapasitas kader parpol.

Dalam perspektif konflik dijelaskan bahwa sejarah yang kita buat selalu terjadi dalam suasana interaksi dengan orang lain. Manusia adalah mahluk sosial yang keberadaannya diciptakan dalam acuan interaksi sosial. Karena itu beberapa pemikir melihat interaksi sosial sebagai mekanisme yang mengerakan perubahan, terutama menggerakan konflik. Beberapa tokoh seperti, Karl Marx, Vilfredo Pareto melihat jalannya sejarah didorong oleh konflik antar manusia.

Dalam konteks mitologi Yunani, Max Weber menyatakan bahwa perang antar dewa di zaman kuno bukan hanya untuk melindungi kebenaran nilai-nilai kehidupan sehari-hari, tetapi juga keharusan memerangi dewa-dewa lain, sebagai komunitas mereka juga berperang dan dalam peperangan inipun mereka harus membuktikan kemahakuasaan mereka. Hal seperti inilah yang terjadi dalam perpolitikan saat Pemilu 2009. masing masing kontestan, dalam hal ini calon legislatif dalam sebuah partai politik tidak hanya bertarung memperebtkan kekuasaan dengan partai politik di luar mereka, tetapi juga mereka saling bertarung sesama teman dalam satu partai untuk membuktikan kekuatannya dengan menduduki kursi legislatif.

Konflik antar kepentingan diri sendiri dan kepentingan sosial ini didasari oleh salah satu pendapat Charles Darwin yang menyatakan bahwa “Yang kuatlah yang paling beruntung dalam perjuangan mempertahankan hidup.” Ide Darwin diterapkan pada tatanan sosial dalam ideologi sosial Darwinisme yang kemudian diterapkan oleh Herbert Spencer dan WG Summer. Perang antar kelompok dapat disamakan dengan perjuangan untuk mempertahankan hidup dan yang terkuatlah yang menang dalam kehidupan sosial. Kebencian yang besar dan yang melekat antar kelompok, antar ras dan antar orang yang berbeda menyebabkan konflik tak terelakan.

Vilfredo Pareto (dalam Setiawan, 2008) melukiskan sejarah sebagai perjuangan memperebutkan kekuasaan yang tak berkesudahan, kelompok dominan berusaha memelihara dan mempertahankan kedudukannya; kekuatan adalah faktor terpenting dalam mempertahankan stabilitas, kekerasan mungkin diperlukan untuk memulihkan keseimbangan sosial jika keseimbangan itu terganggu. Kekerasan tidak memerlukan pembenaran moral, karena kekerasan mempunyai kualitas pembaharuan membebaskan manusia untuk mengikuti ketentuan tak rasional dari sifat bawaannya sendiri.

Menurut Dahrendorf (1986), konflik sosial mempunyai sumber struktural yakni hubungan kekuasaan yang berlaku dalam struktur organisasi sosial. Dengan kata lain konflik antar kelompok dapat dilihat dari sudut konflik tentang keabsahan hubungan kekuasaan yang ada. Masing-masing pihak mencoba untuk menggugat kekuasaan yang ada. Dalam kasus Pemilu, masing-masing kontestan, baik itu partai politik maupun secara individu berusaha mengkritik penguasa yang saat ini berkuasa. Berbagai “dosa” dan kesalahan pemerintah selama ini dimunculkan kembali untuk menarik dukungan massa.

Dalam perspektif konflik ini, setiap masyarakat, dalam segala hal memperlihatkan ketidaksesuaian dan konflik. Artinya konflik sosial terdapat dimana saja. Setiap unsur dalam masyarakat memberikan kontribusi terhadap perpecahan dan perubahannya.

Charles Watkins (dalam Duverger, 1988) yang memberikan suatu analisis tajam tentang kondisi dan prasyarat terjadinya suatu konflik. Menurutnya, konflik terjadi bila terdapat dua hal. Pertama, konflik bisa terjadi bila sekurang-kurangnya terdapat dua pihak yang secara potensial dan praktis/operasional dapat saling menghambat. Kedua, konflik dapat terjadi bila ada sesuatu sasaran yang sama-sama dikejar oleh kedua pihak, namun hanya salah satu pihak yang akan memungkinkan mencapainya.

Teori Konflik berasumsi bahwa dalam kehidupan sosial terdapat beberapa hal yang ditetapkan sebagai “barang” (goods) yang langka dan dapat dibagi-bagikan, sehingga semakin banyak suatu fihak memperoleh barang tersebut, maka semakin sedikit baranbg itu tersedia bagi orang lain. Kekayaan, kekuasaan, status, dan kekuasaan atas suatu wilayah merupakan contoh mengenai hal ini. Konflik berarti pertentangan mengenai nilai atau tuntutan hak atas kekayaan, kekuasaan, status dan lain-lain yang terjadi antara satu pihak dengan pihak lain, baik sebagai individu maupun kelompok, dengan tujuan untuk menyisihkan salah satu pihak.

Berdasarkan landasan perspektif konflik inilah, Pemilu 2009 merupakan sebuah suasana dan arena konflik kepentingan yang ingin berebut kekuasaan. Masing-masing individu yang bertarung dalam pesta demokrasi itu berusaha untuk menyingkirkan lawan-lawannya tak terkecuali sesama partai. Banyak kasus yang terekam oleh media bahwa masing-masing calon legislatif beserta massa pendukungnya dalam satu partai saling ejek. Ini mengindikasikan adanya konflik di internal partai itu.mekanisme pemilihan langsung ini telah menggeser konflik pada ranah internal. Hasilnya adalah adanya perpecahan partai politik.

Jauh sebelum Pemilu, banyak partai politik yang sudah mulai pecah, diantaranya PKB, PPP, bahkan partai besar seperti Golkar. Begitu juga dengan PAN yang terpecah dengan kemunculan PMB yangsama-sama berbasis Muhammadiyah. Basis massa Nahdliyin terpecah dalam tiga partai yaitu PKB, PPP, dan PKNU.

Melihat konstelasi demikian, konflik semakin diperparah dengan perebutan massa masing-masing calon legislatif tidak hanya antar partai, tetapi juga intern partai. Sebagai contoh di sebuah daerah pernah terjadi ketegangan antara masa calon legislatif yang sedang berkampanye dengan masa calon legislatif lain dari partai yang sama seperti PDIP, PKB. Konflik juga biasanya terjadi antara caleg yang benar-benar dari kader partai dengan caleg dari non partai yang hanya menggunakan partai sebagai batu loncatan untuk memperoleh kekuasaan.

Konflik yang terjadi dalam pesta demokrasi yang dianggap demokratis itu, ternyata di dalamnya melahirkan sebuah friksi atau konflik. Konflik seolah dihalalkan dalam sebuah kompetisi politik. Seperti apa yang diungkapkan oleh Soerjono Soekanto (1985), bahwa ia lebih memandang konflik sebagai upaya yang dihalalkan untuk mencapai tujuan suatu kelompok atau pribadi tertentu daripada hanya sekedar sebagai suatu upaya yang bersifat cara-cara yang lebih halus untuk mencegah tercapainya kepentingan kelompok lain melalui strategi-strategi yang dibuat kelompok saingannya. Dalam pengertian tersebut, artinya konflik didefinisikan sebagai suatu proses sosial di mana orang per orang atau kelompok manusia berusaha untuk memenuhi tujuan hidupnya dengan jalan menentang pihak lawan dengan disertai dengan ancaman atau kekerasan.

Konflik dan kecemburuan semakin mencuat ketika caleg dari non kader lebih digandrungi ketimbang caleg dari kader partai yang telah lama terdidik dan mengabdi untuk partai. Gejala pragmatisme pun menjangkiti hamper semua parpol. Tokoh-tokoh selebritis dimunculkan untuk menarik massa. Tak heran banyak partai yang calon legislatifnya berasal dari kalangan artis atau selebritis yang tidak pernah bergelut dalam pendidikan politik di partai.

Kasus terakhir yang terjadi adalah gugatan salah satu calon legislatif yang kalah kepada calon legislatif lain dalam satu partai. Mereka saling menuduh adanya tindakan kecurangan yang dilakukan karena kekecewaan atas kekalahannya. Dalam pemahaman Margareth M. Poloma, ini dinamakan konflik yang bersifat realistik, yaitu konflik yang berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan-tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan dan dari kemungkinan keuntungan partisipan dan yang ditunjukkan pada objek yang dianggap mengecewakan. Dalam sifat ini, konflik yang timbul pada dasarnya menggambarkan adanya ketidakpuasan terhadap hasil-hasil yang telah dicapai.

Penutup

Dari berbagai kasus konflik yang terjadi seputar Pemilu 2009 yang lebih didominasi konflik intern parpol, ini mengindikasikan bahwa Pemilu 2009 mengakibatkan konflik dan perpecahan di tubuh partai politik. Hal ini didasarkan pada pendapat Duverger (1988) yang memberikan prasyarat terjadinya konflik, salah satunya adalah bila ada sesuatu sasaran yang sama-sama dikejar oleh kedua pihak, namun hanya salah satu pihak yang akan memungkinkan mencapainya. Sasaran yang sama-sama dikejar dalam kasus Pemilu 2009 adalah kursi kekuasaan di legislatif, namun tidak bisa semua calon legislatif yang berkompetisi mendapatkannya. Harus ada “pertarungan” memperebutkan simpati massa.



Daftar Pustaka


Dahrendorf, Ralf. 1986, Konflik dan Konflik Kelas dalam Masyarakat Industri, CV Rajawali, Jakarta.

Duverger, Maurice. 1988. Parpol dan Kelompok Kepentingan, Rajawali Press, Jakarta.
Gumilar, Gumgum. Bahan Ajar Pengantar Sosiologi, Program Studi Ilmu Komunikasi Unikom, tanpa tahun terbit.

Nugroho, Hery dan Ahluwalia. 2008, “Konflik Horisontal Intai Pemilu 2009”, http://www.inilah.com/berita/pemilu-2009/2008/09/22/51003/konflik-horisontal-intai-pemilu/

Setiawan, Agus. 2008, “Perspektif Sosiologi”, http://agussetiaman.wordpress.com/2008/11/25/perspektif-sosiologi/

Soekanto, Soerjono. 1985, Sosiologi Suatu Pengantar, CV. Rajawali. Jakarta
Bantahan Prediksi Kemenangan SBY-Budiono dan Kemungkinan Kemenangan Megawati-Prabowo dalam Putaran Kedua

Pasca pemilu legislatif yang dilaksanakan pada 9 April kemarin, perpolitikan di tanah air semakin memanas dikarenakan akan adanya pemilihan presiden secara langsung. Setelah melalui berbagai lobi-lobi dan komunikasi politik di antara partai-partai politik kontestan Pemilu 2009, muncul tiga pasang nama calon presiden dan wakil presiden yang akan bertarung pada Pilpres mendatang. Tiga pasangan calon itu adalah Susilo Bambang Yudhoyono berdampingan dengan Budiono, Jusuf Kalla dengan Wiranto, serta Megawati dengan Prabowo.

Melihat kontestan pemilu presiden tersebut, mulai banyak kalangan yang mencoba memprediksi siapakah yang akan memenangkan pertarungan dalam pesta demokrasi ini. Kemenangan partai demokrat yang mencapai angka 20% mengungguli partai-partai besar lain yang sudah lama berkiprah di negeri ini seperti PDIP dan Partai Golkar, mengantarkan SBY dalam pertarungan merebutkan kursi presiden. Hal serupa pun dilakukan oleh rival besarnya, yaitu Partai Golkar dan PDIP, yang masing-masing mencalonkan presiden. Berdasarkan pertimbangan perolehan suara pada Pemilu legislatif sebelumnya, dua partai besar rival Demokrat ini ngotot untuk mencalonkan presiden, bukan calon wakil presiden. Kondisi ini terlihat pada lobi-lobi yang dilakukan PDIP dengan Gerindra hingga akhir batas pendaftaran calon presiden dan wakil presiden yang berlangsung alot.

Melihat peta politik pasca penentuan capres-cawapres, koalisi yang terbentuk lebih didominasi oleh pasangan SBY-Budiono. Dengan kemenangan suara Partai Demokrat, didukung oleh PKS serta ditambah lagi dengan koalisi partai-partai kecil lainnya, dalam ukuran kuantitas suara, pasangan ini akan dapat memenangkan Pilpres mendatang. Penilaian ini jika dibandingkan dengan dukungan koalisi pasangan lainnya. Apakah kemenangan Demokrat pada Pemilu legislatif lalu serta dukungan koalisi mampu membawa kemenangan pasangan SBY-Budiono? Adakah peluang pasangan lain untuk menang?

Menurut penilaian saya, kemenangan Pemilu legislatif lalu oleh Partai Demokrat belum menjamin kemenangan Pilpres mendatang. Ada beberapa alasan yang mendasarinya, yaitu pertama, kemenangan PDIP pada Pemilu 2004 saja yang mencapai angka lebih dari 30% tidak mampu membawa Megawati sebagai pemenang. Hal serupa juga dialami oleh Golkar, walaupun pada putaran kedua, suara Golkar dapat beralih pada SBY karena menggandeng Jusuf Kalla sebagai kader Golkar. Meski Partai Demokrat merupakan pemenang Pileg 2009, perolehan suaranya jauh daripada mayoritas absolute.

Kedua, munculnya kritik tajam dari berbagai pihak soal pasangan calon wakil presiden yang digandeng oleh SBY yaitu Budiono yang dinilai adalah “pesanan” dan pro terhadap neoliberalisme. Kondisi ini dapat mempengaruhi pemikiran masyarakat mengenai penilaian terhadap pasangan SBY-Budiono, dan jika tidak ditangani dengan baik akan berdampak pada menurunnya popularitas dan dukungan masyarakat padanya.

Ketiga, koalisi yang dilakukan oleh partai-partai kecil bukan koalisi yang kuat yang akan menambah jumlah perolehan suara. Hal ini dikarenakan partai-partai kecil berkoalisi hanya ingin mencari aman agar tidak tersingkir dari kancah politik Pilpres dan pembentukan kabinet nantinya. Menurut Azyumardi Azra, koalisi ini hanya semacam political expediency, atau situasi politik darurat.1

Selain itu juga koalisi yang dilakukan terdiri dari berbagai aliran ideologis, agama serta aliran keagamaan. Ini dapat menyulitkan dalam mempersatukan koalisi dalam bentuk program-program yang akan dilakukan kedepan. Misalnya saja Muhammadiyah melalui mantan pemimpin puncaknya, Ahmad Syafii Ma’arif telah mewartakan isyarat kepada semua warga agar memihak JK-WIN. Ketua Umum PP Muhammadiyah sendiri, Dien Syamsuddin, diperkirakan memiliki alasan lebih besar untuk bergabung mendukung JK-Win ketimbang dua pasangan lainnya2. Persoalan kondisi perpecahan beberapa kader partai mengenai perbedaan dukungan (misalnya beberapa tokoh PAN yang tidak mendukung pasangan SBY-Budiono) mengindikasikan tidak solidnya dukungan dalam koalisi. Jadi dukungan struktural partai belum tentu mencerminkan dukungan massa di tingkat bawah, dan hal ini menuai angka swing voter karena pilihan calon belum tentu didasarkan pada pilihan partai.

Keempat, walaupun pasangan ini berasal dari Jawa yang merupakan penduduk terbanyak yang memungkinkan mendapat dukungan besar, tetapi sikap memunculkan sentimen primordial yang berlebihan dalam beberapa iklan di media, malah akan menurunkan simpati terlebih lagi di kalangan luar Jawa. Hal ini diperkuat dengan hasil survey yang dilakukan oleh Lingkar Survei Indonesia pada Bulan April 2006 yang menyebutkan di kalangan pemilih suku Jawa, sebanyak 63.5% menyatakan latar belakang suku kurang penting atau tidak penting sama sekali.

Kelima, adalah apatisme masyarakat yang apabila dibiarkan bisa begitu cepat menjurus sinisme kepada setiap hal yang berbau pemerintah (incumbent) atau yang secara umum patut diasosiasikan ke arah itu. Hal ini tidak saja berkembang di kalangan mahasiswa dan intelektual independen, tetapi juga masyarakat biasa. Penyebabnya ialah fenomena politik pasca Pemilu legislatif 2009.

Kelima alasan inilah yang menjadi landasan kecenderungan menurunnya perolehan suara pasangan SBY-Budiono dalam Pilpres 2009. Prediksi yang dilakukan melalui survei oleh Lembaga Survei Nasional (LSN) yang memprediksikan kemenangan SBY-Budiono dalam satu putaran mungkin akan meleset. Berdasarkan survei itu, responden yang memilih pasangan SBY_Budiono sebanyak 88%, dan hanya 10,9% yang menyatakan masih ada kemungkinan berpaling. Sedangkan yang akan memilih Megawati-Prabowo sebesar 76,6%, dan hanya 18,1% yang mengaku masih ada kemungkinan memilih pasangan lain. Sedangkan yang akan memilih JK-Wiranto hanya 56,9%, tetapi dengan catatan adalah bila Pilpres dilaksanakan pada saat itu.3 Artinya masih ada kemungkinan besar perubahan jika masing-masing pasangan tidak mampu menjaga wibawa dan menarik simpati massa.

Kemungkinan kemenangan MegaPro pada putaran kedua

Ada prediksi dari sejumlah pengamat bahwa Pilpres 2009 kemungkinan akan berlangsung dua putaran, karena terdapat tiga pasangan yang muncul untuk bersaing. Prediksi ini juga diungkapkan dalam Media Indonesia.com4. Jika ini terjadi, akan terbuka kemungkinan kemenangan untuk lawan politik SBY yang lolos pada putaran pertama. Ada kemungkinan yang akan lolos pada putaran pertama adalah pasangan SBY-Budiono dan Megawati-Prabowo. Karena melihat kekuatan suara melalui koalisi yang dibentuk masing-masing pasangan, pasangan JK-Wiranto berada pada urutan terendah. Ditambah lagi calon presiden yang diusung oleh Partai Golkar ini bukan berasal dari etnis Jawa, sehingga kemungkinan pemilih yang sebagian besar dari Jawa ini akan cenderung memilih selain pasangan JK-Wiranto. Implikasinya adalah pasangan ini akan tersingkir pada putaran pertama. Selain itu, citra Jusuf Kalla selama memerintah sudah dinilai rendah oleh masyarakat dan lebih menilai keunggulan SBY dalam memerintah.

Jika pasangan JK-Wiranto tersingkir pada putaran pertama, ada peluang tambahan suara bagi pasangan Megawati-Prabowo yang berasal dari partai pendukung pasangan JK-Wiranto. Hal ini disebabkan kedua pasangan ini lebih memiliki kedekatan emosional. Sebab sejak awal Partai Golkar sudah memperlihatkan “permusuhannya” dengan Partai Demokrat sebab merasa dikhianati selama bermitra dengan SBY. Kedekatan tokoh-tokoh kedua partai besar pendukung JK-Wiranto pada kubu PDIP pasca Pemilu legislatif menjadi alasan merapatnya dukungan JK-Wiranto pada pasangan Megawati jika kalah pada putaran pertama. Begitu juga kedekatan ideologi partai pendukungnya seperti Hanura dan Golkar yang beraliran nasionalis menjadi pendukung kemenangan pasangan Megawati-Prabowo pada putaran kedua. Jika menelisik sejarah pendiri Partai Hanura dan Gerindra, mereka berasal dari satu partai yang sama yaitu Golkar, sehingga ini memungkinkan bergabungnya ketiga partai itu untuk mendukung Megawati jika lolos putaran pertama.

Semua yang diungkapkan di sini hanyalah sebuah prediksi semata. Hasilnya tergantung pada masing-masing pasangan calon dalam pencitraan dirinya melalui berbagai pendekatan, sosialisasi, pemaparan visi dan misi yang jelas yang dapat menarik simpati dan dukungan konstituen. Peran media dalam hal pencitraan ini sangat penting. Jangan sampai dalam pencitraan melalui media malah menjatuhkan pamor karena ada sentimen primordial seperti yang dilakukan oleh SBY. Oleh karena itu perlu juga netralitas media dalam menggiring opini publik ke salah satu pasangan calon.

***