Assalamu'alaikum,,, Salam Hormat

Terima kasih atas kunjungan anda ke blog saya. Semoga bermanfaat. Semua tulisan ini hasil saya pribadi, atau diambil dari tulisan lain yang tercantum pada rujukannya. Bila mengutip baik secara langsung maupun tidak, sebagian atau keseluruhan, diharapkan Mencantumkan sumber tulisan dan penulisnya pada daftar pustaka/catatan kaki sebagai bahan rujukannya.
atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih

Selasa, 27 Juli 2010

Pemikiran Nurcholis Madjid

Pada awal abad ke-20 di sebagian kalangan intelektual muslim terpelajar timbul kesadaran untuk membawa ummat islam kepada tingkat kemajuan sebagaimana yang pernah dicapainya di abad klasik, dan sekaligus mampu menghadapi tantangan modernisasi. Berbagai penyebab yang membawa kemunduran ummat islam telah dikaji secara seksama dan berbagai solusi untuk mengatasinya juga telah dikemukakan.

Berbagai solusi tersebut terkadang membawa pro dan kontra dikalangan masyarakat islam, terutama dari kalangan islam tradisionalis. Nurcholis Madjid adalah salah seorang tokoh pembaharu yang banyak ditentang oleh kalangan tradisionalis. Gagasannya tentang sekularisasi dalam islam, serta pernyataan tentang “Islam Yes, Partai Islam No” hingga kini banyak diperbincangkan orang . demikian pula kesadarannya untuk menggunakan institusi pendidikan untuk menyosialisasikan gagasan dan pemikirannya itu pula telah ia lakukan. Gagasannya tentang pembaharuan pesantren adalah merupakan bagian dari cita-cita modernisasinya.

Nurcholis Madjid sangatlah fenomenal dikalangan cendekiawan muslim indonesia. Sangat penting untuk dikaji lebih dalam tentang gagasannya yang orisinil. Dengan gagasannya tergugahlah masyarakat muslim indonesia yang sarat dengan dogma budaya. Dan bahkan memungkinkan untuk menelaah lebih lanjut pemikiran yang berkisar politik dari Nurcholis Madjid.

Pemikiran yang progresif dan dapat berguna bagi khalayak orang banyak sangatlah diperlukan. Itu demi semata-mata untuk kemajuan dalam komunitas tersebut. Namun, permasalahan dalam masyarakat sangatlah kompleks sehingga terdapat kelompok tertentu yang menginginkan perubahan. Salah satu tokoh yang ngetop dalam Islam adalah Nurcholis Madjid yang terkenal dengan model pembaharuannya. Namun, dari beberapa pemikiran Cak Nur yang jadi masalah adalah bagaimana pemikiran politik Nurcholis Madjid bila dibenturkan budaya berpolitik yang dilakukan oleh Nabi Muhammad? Bila Cak Nur menekankan agar umat islam dalam berpolitik secara kultural lalu bagaimana prilaku nabi waktu memimpin kota madinah yang notabene negara kecil yang heterogen ataupun plural tidak jauh berbeda dengan Indonesia.

Riwayat Hidup Nurcholis Madjid

Nurcholis Madjid lahir pada tanggal 17 Maret 1939 bertepatan dengan 26 Muharram 1358 H. di Jombang, Jawa Timur, dari keluarga kalangan pesantren yang taat menjalankan agama. Pendidikannya dimulai dari sekolah rakyat di Mojoanyar pada pagi hari, sedangkan sore hari ia sekolah di Madrasah Ibtidaiyah di Mojoanyar. Setelah menamatkan pendidikan dasar dan Ibtidaiyah, ia melanjutkan belajar di pesantren Darul Ulum di Rejoso, Jombang. Setelah itu, ia melanjutkan pendidikannya di Kulliyatul Muallimin al-Islamiyah (KMI) Pesantren Darussalam di Gontor Ponorogo.

Setamat dari Gontor ia melanjutkan studi pada institut agama islam kini Universitas Negri Islam (UIN) Syaraf Hidayatullah Jakarta, pada Fakultas Adab, Jurusan Sastra Arab dan tamat pada tahun 1968. pendidikan selanjutnya ia lakukan di Universitas Cicago, Illinois, Amerika Serikat dan berhasil meraih gelar doktor dalam bidang Islamic Though (Pemikiran Islam) pada tahun 1984.

Semasa jadi mahasiswa, Nurcholis Madjid banyak melakukan kegiatan di berbagai organisasi. Ia pernah menjadi ketua umum Himpunan mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ciputat pada tahun 60-an. Kemudian menjadi Ketua Umum Pengurus Besar HMI selama pereode 1966-1969 dan 1969-1971. selain itu, ia juga pernah menjadi Presiden pertama Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara (PEMIAT) tahun 1967-1969, sebagai Wakil Sekretaris Jendral Internasional Islamic Federation of Student Organization (IIFSO) pada tahun 1969-1971.

Setamat dari IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Nurcholis Madjid bekerja sebagai dosen di almamaternya, mulai tahun 1972 sampai 1976. setelah berhasil meraih gelar Doktor pada tahun 1985, ia diotugaskan memberikan kuliah tentang filsafat di Fakultas Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Selain itu, sejak tahun 1978 ia bekerja sebagai peneliti pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Bersama tugas-tugasnya itu, ia pernah berkesempatan menjadi dosen tamu pada Universitas McGill, Montreal, Canada. Pada tahun 1990 di dampingi oleh istrinya yang mengikuti program Eisenhower Fellowship.

Pemikiran Nurcholis Madjid

Dalam bukunya Jalaluddin Rahmat yang mengutip dari Gusdur (Abdurrahman Wahid) mengatakan bahwa: “Nurcholis Madjid merupakan “Mafia McGill” yang menjadi agen pencerahan”, yang bersifat serba terbuka kepada “hal-hal baru”. Selain itu, ia disebut sebagai pendekar Cicago. Nurcholis Madjid berangkat dari keterbukaan sikap yang ditunjukkan peradaban islam yang di puncak kejayaannya sekitar sepuluh abad yang lalu. Keterbukaan islam yang mampu menyerap yang terbaik, dari manapun datangnya. Proses penyerapan itu, menjadikan agama islam menjadikan agama yang sarat dengan nilai universal yang dianut manusia secara tidak berkeputusan.

Karena itu, Nurcholis Madjid selalu menekankan pentingnya mencari persamaan diantara semua agama. Sikap memisahkan diri dari universalitas peradaban manusia hanya akan menyempitkan islam sendiri, sebagai cara hidup bagian cukup besar dari ummat manusia. Inklusivitas islam haruslah dipertahankan kalau vitalitas agama terakhir itu ingin dapat dilestarikan. Sebab, keharusan mengembangkan inklusivitas islam itu, dalam pandangan Nurcholis Madjid hanya dapat terwujud dalam lembaga politik islam. Terkenal sekali semboyan Nurcholis: “Islam Yes Partai Politik Islam No”.

Nurcholis Madjid juga terkenal sebagai penulis yang sangat produktif diantara karya-karyanya adalah: a). Khazanah Intelektual Islam, Islam dan Kemordenenan dan Keindonesiaan, Islam Doktrin dan Peradaban, Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemotrdenan, Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, Islam Agama Peradaban Membangun Makna dan Relevannsi Doktrin Islam Dalam Sejarah, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, masyarakat Relegius, Kaki Langit Peradaban Islam, Tradisi Islam Peran dan Fungsinya Dalam Pembangunan di Indonesia, Dialog Keterbukaan Artikulasi Nilai Islam Dalam Wacana Politik Kontemporer, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, Islam Doktrin dan Peradaban.

Begitu banyak sekali hasil kontemplasi Cak Nur dalam khazanah keilmuan. Membaca pemikiran Cak nur yang terdapat dalam buku Cita-cita Politik Islam Era Reformasi. Pemikirasn Cak Nur memang sangat relevan dengan keadaan sosial para pelaku politik, terutama para prilaku para elit politik. Dalam bukunya yang lain, yang berjudul “Islam Doktrin dan Peradaban”, Cak Nur terkesan mengenyampingkan Partai Islam. Pemikiran Cak Nur dalam kancah politik perlu dikritisi lagi. Meskipun Cak Nur menyadur prilaku etika politik yang dilakukan oleh nabi dan sahabat, namun itu hanya sebatas nilai-nilainya saja. Sehingga disini pemikiran politik Cak Nur sangatlah lemah jika dikaitkan dengan politik islam dan pranata-pranata sosial islam lainnya dalam tradisi keilmuan islam merupakan bagian dari syari’ah (al-ahkam al-amaliah). Itu juga karena Cak Nur hanya mengambil sebagian saja baik dari waktu maupun segi cakupannya. Piagam madinah yang sering disebut Cak Nur sebagai Nuktah-Nuktah kesepakatan antar golongan untuk mewujudkan politik bersama.

Sementara itu, aspek yang dikemukakan Cak Nur hanya dari segi nilai-nilai dan etikanya saja, padahal yang dominan pada masa Madinah justru legislasi dalam bentuk syari’ah, yang menjadikan sebagian prinsip-prinsip dalam piagam Madinah itu berlaku lagi, seperti persamaan (penuh) diantara kelompok-kelompok masyarakat karena kelompok Yahudi kemudian menjadi dzimmi (non-muslim yang mendapatkan perlindungan), yang hak dan kewajibannya sama dengan muslim.

Cak Nur kecewa dengan partai-partai islam yang dianggapnya strukturalis, lgalistik dan formalistik. Sehingga Cak Nur mendeklarasikan pada perjuangan kulturasi nilai-nilai ke-islaman dalam sosio kultural masyarakat, bukan ke wilayah “partai islam”. Disamping itu, yang perlu dikritisi dari statemen Cak Nur adalah; “Sebagai agama, islam tidak akan kalah…orang islam lebih efektif menjadi oposisi sambil belajar untuk menjadi berkuasa”. Dengan begitu Cak Nur telah mengingkari adanya partai Islam secara struktural.

Di lain pihak dia mendukung adanya Partai Golkar karena kaitannya alumni HMI yang duduk di kursi DPR akan hilang. Padahal bila kita menengok sejarah politik rasul, rasul telah menjalankan politik secara kultural maupun struktural. Sehingga dapat dikatakan bahwa. Kalau memang islam diartikan sebagai nilai kultural semata, akan dikemanakan identitas islam tersebut?. Padahal agama Islam sebagai agama yang sempurna, yang mengatur setiap aspek kehidupan, semenjak awal mula, para ulama dan para ahli hukum Islam (Faqih) telah merinci agama islam sebagai berikut:
- Aqidah: keimanan atau keyakinan
- Syari’at: ibadah
- Akhlaq: prilaku manusia terhadap tuhan maupun sesamanya.

Dapat dikatakan pada zaman nabi adalah “Islam Yes Politik Islam Yes”. Dari pemikiran Nurcholis Madjid tentang politik diatas, sangat kurang relevan dengan konsep politik yang dilakukan oleh Nabi Muhammad. Itu dapat dilihat dari latar belakang sejarah, yaitu sebagai negara yang heterogen, negara Madinah sama dengan Indonesia. Meskipun diberlakukan sistem politik secara struktural dan kultural kenyataannya banyak golongan yang menerima. Sehingga perjuangan ummat islam dalam menanamkan nilai-nilai keislaman adalah dengan partai islam. Padahal sudah jelas-jelas secara syari’at ummat islam disuruh membentuk pemerintahan secara kultural. Yaitu kata Sulthon dalam QS. An-Nisa’, Al-Mulk QS. Al-Baqarah.

Disamping itu Cak Nur kelihatan tidak berani mengatakan “partai islam yes” karena waktu itu takut dengan kekuasaan Soeharto. Yang pada tahun 70-an cengkramannya sangat terasa. Apalagi statemennya yang mengatakan bahwa kekalahan Partai Islam adalah karena simbol islam ini sangat tidak beralasan seharusnya yang dikritik adalah ummat islam yang berpolitik bukan masalah simbol.

Dalam tradisi ke-ilmu-an islam, pemikiran politik, itu tidak terlepas dari siyasah syari’ah (pengaturan negara) dan ilmu Siyasah syari’ah (ilmu tentang pengaturan agama) yang juga disebut sebagai fiqh siyasah. Artinya tidak mungkin membahas pemikiran politik islam secara komprehensif tanpa menyinggung aspek syari’ah.

Pemikiran Cak Nur juga kehilangan greget “ideologisnya”, karena sejalan dengan santrinisasi dalam masyarakat indonesia, mereka pun berusaha melaksanakan ajaran-ajaran islam secara komprehensif. Hal ini, tentu membutuhkan adanya kebijakan negara atau peraturan perundang-undangan yang mendukung. Dalam kondisi demikian ini, aspirasi umat baik dari segi subatansi atau cara untuk memperjuangkan aspirasi mereka. Tidak hanya bersifat kultural, melainkan juga bersifat struktural.

Munculnya kembali partai-partai islam pada era reformasi baik yang dengan tegas memakai asaas islam maupun tidak, menunjukkan ke4cendrungan aspirasui ini. Orientasi ini, memang tidak pernah pudar dalam masyarakat islam di manapun berada, karena secara doktriner islam memang tidak bisa dipisahkan dengan persoalan kenegaraan. Dalam bukunya Din Syamsudin,” agama dan negara memiliki hubungan timbal balik yang saling membutuhkan, keduanya berbeda, tidak menyatu tapi saling memerlukan”. Maka dari itu Islam dilihat sebagai satu sistem kehidupan yang lengkap, meliputi sistem spiritual, sistem moral, sistem politik, sistem ekonomi dan sistem ekonomi.

Dari beberapa uraian di atas dapat diambil sebuah implikasi bahwa ide Cak Nur tentang ummat islam lebih efektif menjadi oposisi sambil belajar untuk menjadi berkuasa adalah sangat kurang relevan dengan prilaku politik yang telah dilaksanakan oleh nabi. Di kota Madinah, selain menjalankan nilai-nilai islam secara kultural, nabi juga menjalankan islam secara struktural. Keadaan sosiologis di kota Madinah tidak jauh beda dengan Indonesia, yaitu masyarakatnya sama-sama heterogen. Banyak perbedaan suku maupun budaya di Madinah. Namun, kennyataannya Nabi mampu membawa islam secara kultural maupun struktural.

Selain itu, yang dijadikan bahan perhatian adalah bukan masalah partai membawa nama islam, namun bagaimana ummat islam membuktikan bahwa partai islam merupakan representasi dari etika perpolitikan nabi. Bagaimana mungkin ummat islam belajar kalau tidak secara struktural. Meskipun waktu itu partai islam gagal. Dengan kegagalan itu diharapkan partai islam mampu instrospeksi diri agar lebih berhati-hati dan waspada dalam berpolitik.

Sungguh kecongkakan dan kesombongan intelektual bila pemakalah menganggap pemaparan dalam makalah ini sempurna atau bersifat final. Oleh karena itu, pemakalah berharap kepada semua pihak yang membaca makalah ini berkenan memberikan kritik yang konstruktif ataupun mendekonstruksi substansi maupun metodologi bila memang diperlukan. Demikian pemaparan tentang ”Pemikiran Nurcholis Madjid Tentang Prilaku Politik Islam Indonesia Relevansinya Prilaku Politik Nabi Muhammad”. Tentunya dalam pemaparan makalah kami ini masih banyak kekurangan baik dari segi substansi materi maupun segi metodologi. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dalam kancah intelektual.Amiin.


Sekilas Pemikiran Natsir


Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang mengajak kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.(QS : Ali Imran:104

Sejarah seolah olah telah melupakan mantan Menteri Penerangan, mantan Perdana Menteri Republik Indonesia dan mantan Ketua Umum Partaai Politik Islam Masyumi, Mohammad Natsir (1908-1993). Apa jasa Natsir terhadap bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia, bagaimana model politiknya dan manfaat menelusuri kehidupan M.Natsir bagai tidak penting lagi.

Siapa Mohammad Natsir ?

Mohammad Natsir adalah seorang negarawan Muslim, Ulama intelektual, pembaharu dan politisi Muslim Indonesia yang pengaruhnya melintasi lima benua. M.Natsir lahir pada tanggal 17 Juli 1908 di Alahan Panjang Sumatera Barat suku Chaniago dengan gelar Datuk Sinaro Panjang dan wafat pada hari Sabtu tanggal 6 Februari 1993 pukul 12.10 WIB di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta dalam usia 85 tahun.

Natsir memulai pendidikan sejak usia delapan tahun yaitu saat memasuki HIS (Hollands Inloudse School) yang didirikan oleh H.Abdullah Ahmad tahun 1915 di Padang. Di sekolah ini Natsir hanya beberapa bulan karena dipindahkan oleh ayahnya ke HIS pemerintah di kota Solok dan disinilah ia mulai berinteraksi dengan sistem kolonial. Lulus HIS tahun 1923, ia melanjutkan ke MULO (Middle bare Uitgebreid Larfer Onder Weys) di Padang.

Di sini ia menjadi aktivis Pandu dari Joung Islamiten Bond (JIB) cabang Padang. Tahun 1927 ia lulus dan pindah ke Bandung untuk melanjutkan ke AMS (Algemme Middlebare School) ia banyak belajar ilmu pengetahuan dari barat dan mempelajari filsafat Romawi, Yunani dan Eropa. Pada usia 21 tahun Natsir sudah menguasai bahasa Belanda, Arab, Perancis, Inggris dan Latin.

Percikan Pemikiran M.Natsir : Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan.

Natsir dikenal sebagai tokoh yang memiliki pemikiran sangat tinggi terhadap pendidikan. Setamat AMS, meskipun terbuka peluang baginya untuk melanjutkan pendidikan dengan bea siswa dari Pemerintah Belanda ke Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta atau Sekolah Tinggi Ekonomi di Belanda, Natsir memilih berkiprah di dunia pendidikan dengan mendirikan Sekolah Pendidikan Islam (Pendis).

Bagi Natsir, pendidikan merupakan persoalan yang sangat penting. Maju mundurnya suatu bangsa bergantung kepada pelajaran dan pendidikan yang berlaku dalam bangsa tersebut. Ia berpendapat; tak ada satupun bangsa yang terbelakang menjadi maju melainkan sesudah mengadakan perbaikan pendidikan. Bangsa Jepang menurutnya tidak akan maju manakala mereka tidak pernah membuka pintu untuk orang-orang pintar dan ahli-ahli dari negara lain yang akan memberikan ilmu pengetahuan kepada pemuda-pemuda mereka disamping mengirim pemuda-pemudanya ke luar negeri untuk mencari ilmu dan pendidikan. Lebih khusus Natsir berpendapat; pendidikan harus didasari oleh Tauhid yang tersimpul dalam dua kalimat syahadat, tujuannya adalah mendidik anak-anak agar sanggup memenuhi syarat-syarat penghidupan manusia yaitu drajat yang setinggi-tingginya sesuai dengan keyakinan kaum Muslimin.

M.Natsir berpendapat, Islam bukanlah semata-mata suatu agama, tapi adalah suatu pandangan hidup yang meliputi soal-soal politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan. Karena Islam, menurutnya adalah agama yang sangat menghormati akal manusia dan menyuruh agar manusia menyelidiki keadaan alam dan berguru kepada alam.

Islam mewajibkan umatnya baik laki-laki maupun perempuan untuk menuntut ilmu dan menghormati mereka yang punya ilmu. Islam melarang orang untuk bertaqlid buta. Islam menggembirakan pemeluknya supaya selalu berusaha, membuat inisiatif dalam hal keduniaan yang memberi manfaat bagi masyarakat banyak.

Sebagai ulama intelektual, Natsir meninggalkan warisan antara lain Fiqhud da’wah, Capita Selecta, dan kebudayaan Islam. Selain itu M. Natsir juga dikenal sebagi seorang guru bangsa, Pendidik umat, mujahid dakwah, dan seorang alim ( ulama intelektual ).

NATSIR dan NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA ( NKRI )

Sebagai negarawan, Natsir dikenang karena jasanya memulihkan Republik Indonesia menjadi Negara Kesatuan dengan “membubarkan” Republik Indonesia Serikat ( RIS ) hasil Konferensi Meja Bundar (KMB).

Gagasan cerdas Natsir memulihkan NKRI melalui MOSI INTEGRAL, dilakukan Natsir melalui pendekatan yang sangat manusiawi kepada fraksi – fraksi yang paling kiri sampai paling kanan, tanpa satu orang atau satu kelompokpun yang merasa kehilangan muka. Natsir telah membubarkan RIS dan memulihkan NKRI dengan cara – cara yang sangat bermartabat.

Kebesaran Natsir melintasi lima benua sampai akhir hayatnya, Natsir bukan saja Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, tetapi juga Wakil Presiden Muktamar Alam Islam, dan anggota Majelis Ta’sisi Rabithah Alam Islami. Beliau adalah sosok ulama politisi terdepan, dan seorang negarawan terkemuka.

MODEL POLITIK MOHAMMAD NATSIR

Menurut Natsir, dalam perjuangan politik, orang harus pandai – pandai menimbang – nimbang sesuatu. selain harus ada prinsip yang harus dipegang teguh, terdapat pula ruang untuk berkompromi atas dasar saling memberi dan menerima.

Keanekaragaman dalam masyarakat menurutnya merupakan sunnatullah. Kemajemukan baik dari segi etnik, agama maupun aliran politik tidaklah menjadi halangan untuk membangun kerjasama yang harmonis atas kepentingan besama. Masyarakat yang majemuk menurut natsir memerlukan kalimatun sawa yakni titik temu bersama.

Baginya politik adalah sebuah seni yang memerlukan kehalusan, keindahan tersendiri. Kita harus mencapai sasaran tanpa lawan – lawan merasa terkalahkan, politik haruslah ditundukan pada etika yang tinggi. Dengan cara itu keinginan untuk berkuasa sendiri dan menghabisi orang – orang yang tak sepaham dengan menghalalkan segala cara harus dihindari.

POLITIK LUAR NEGERI BEBAS-AKTIF KABINET NATSIR

M.Natsir adalah pribadi yang sederhana. Jauh dari kecintaan terhadap harta benda. bahkan ketika menjadi menteri penerangan beliau pergi ke kantor dengan menaiki sepeda ( ngontel ) dan memakai baju dengan tambalan.

Dibalik kesederhanaannya, M. Natsir merupakan sosok manusia yang memiliki ide cemerlang dalam bidang politik yang sampai saat ini masih belum tergantikan, yaitu pemikirannya tentang kebijakan luar negri Indonesia yang bebas aktif. Istilah ini dimunculkan Natsir saat beliau menjadi Perdana menteri.

Ketika ditanya oleh parlemen mengenai politik luar negeri bebas yang akan dikembangkannya, Natsir menjelaskan bukan politik bebas yang pasif, tetapi politik bebas yang aktif. Banyak orang lupa, politik luar negeri bebas aktif adalah politik luar negeri Natsir, yang masih terus dipakai oleh berbagai kabinet, jauh sesudah natsir tidak lagi menjadi perdana menteri. Politik luar negeri bebas aktif Kabinet Natsir berbeda dengan mengayuh diantara dua karangannya Mohammad Hatta yang lebih dekat kepada Politik luar negeri yang netral.


Jumat, 23 Juli 2010

Kelas Pekerja dan Negara di negara berkembang


Oleh: Bambang Wibiono


Dalam pengalaman industrialisasi di tiap-tiap negara akan berbeda-beda terhadap hubungan negara, modal, dan kelas pekerja. Kehadiran gerakan kelas pekerja akan memeberikan dampak tersendiri bagi proses pembangunan yang hendak dicapai oleh sebuah negara. Dan hal ini pun akan berdampak pula pada model kerangka sosial dan politik.

Saat ini pembangunan ekonomi sangat ditentukan sekali oleh kekuatan pasar. Pasar merupakan kekuatan yang tidak bisa dinafikan begitu saja. Pandangan ini terutama terpengaruh oleh pandangan ekonomi neoklasik. Berbagai teori digunakan untuk mencapai sebuah modernisasi dan pembangunan.

Lalu dimanakah posisi kelas pekerja dalam proses pembangunan dan modernisasi ?. Apakah keberadaan kelas pekerja mampu memberikan andil besar terhadap perkembangan modernisasi atau malah menghambat modernisasi atau pembangunan. Dimanakah peran pemerintah seharusnya dalam proses pembangunan. Apakah peran pemerintah harus mengadopsi konsep Laissez-faire yang perlunya lepas campur tangan pemerintah terhadap kegiatan ekonomi. Dan ekonomi akan dipercayakan pada pasar atau persaingan bebas. Itu semua adalah pertanyaan yang hendak dicari jawabannya dalam analisis bab ini. Dengan mengambil contoh kasus di Indonesia penulis hendak mencari tau bagaimana hubungan antara, negara, kelas pekerja, dan pemilik modal. Sebuah pendekatan struktural dan juga sedikit mengarah pada pandangan Marxian yang hendak digunakan oleh penulisnya dalam analisis ini. Dia melihat bagaimana peran negara dalam menciptakan hubungan indusrtrial, antara kelas pekerja, pemlik modal, dan negara itu sendiri dalam proses pembangunan dan modernisasi.

Dalam hal penggunaan demokrasi di sebuah negara, ternyata penerapan variasi demokrasi di sebuah negara pun turut menentukan arah perkembangan modernisasi dan pembangunan. Dalam pandangan demokrasi sosial, gerakan kaum pekerja yang bersifat persatuan/serikat dianggap bukan menjadi masalah besar dalam proses pembangunan. Suatu pendekatan bahwa dimana lebih menekankan bentuk wujud kekuatan kelas, peran negara, dan pemilihan waktu industrialisasi menentukan hasil politik dari industrialisasi, dan dapat menciptakan sebuah konteks di mana kelas pekerja dan pergerakan kelas pekerja itu muncul.

Sedangkan dalam pandangan demokrasi liberal seperti diungkapkan oleh Barrington Moore’s (1966), bahwa kaum borjuis memiliki peran penting dalam proses pembangunan demokrasi, sedangkan kehadiran kekuatan kelas pekerja yang didasarkan pada siapa yang berkuasa dalam eksploitasi kaum petani, dianggap menghambat ke arah pembangunan demokrasi.

Bagaimana dalam kasus Indonesia? Kenyataannya dalam kasus di Indonesia sistem perekonomian pemerintah lebih terkesan pro-liberalisme, sehingga sikap pemerintah menjadi ambigu. Kebijakan yang menyerahkan perekonomian kepada mekanisme pasar dapat berakibat melemahnya jaminan terhadap hak-hak tenaga kerja. Ketika negara meminimalisasi campur tangan dirinya hingga tingkat paling minimum dan mengandalkan mekanisme pasar untuk memenuhi kebutuhan publik maka negara lebih diarahkan sebagai regulator. Konsekuensinya perekonomian secara absolut dikuasai oleh segelintir kaum kapitalis (pemilik modal) termasuk dalam pengambilan kebijakan yang berpengaruh bagi tenaga kerjanya. Seperti diungkapkan oleh Coen Husain Pontoh (2003), bahwa pasar bebas secara alamiah cenderung menjadi tidak bebas, karena mereka menghasilkan perusahaan-perusahaan yang sangat sukses yang bertumbuh semakin besar hingga akhirnya menjadi monopoli, atau sejenisnya.

Dampak lain yang ditimbulkannya adalah struktur ekonomi mengalami konsentrasi distribusi aset tidak merata. Mekanisme pasar bebas berakibat pada gagalnya negara menjamin setiap warga negaranya. Termasuk dalam hal ini jaminan di bidang pekerjaan.

Ketika negara hanya mengandalkan mekasnisme pasar maka yang dimenangkan adalah para pemilik modal. Hal ini berakibat pada makin terjepitnya mereka yang lemah baik secara akses maupun dalam hal kepemilikan. Pasar bebas hanya akan menjadikan segelintir orang saja yang mampu menikmati kesejahteraan, dan keberadaan buruh akhirnya mampu dimonopoli oleh mereka yang mampu memberikan pekerjaan.

Keberadaan lapangan kerja yang terbatas dan jumlah angkatan kerja yang semakin meningkat makin menguatkan posisi pemilik modal. Sekedar gambaran, jumlah angkatan kerja pada Tahun 2005 mencapai 104,02 juta orang. Belum lagi angkatan kerja baru yang mencapai 2 – 2,5 juta, sementara jumlah pengangguran terbuka sebanyak 10,53 juta. Tambahan lapangan kerja diperkirakan hanya 1,5 juta. Itu apabila pertumbuhan ekonomi mencapai 5,5%.

Sebagaimana tertuang dalam konsideran UU No. 13 Tahun 2003 bahwa perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan usaha. Semangat yang terkandung di dalam UU No 13 Tahun 2003 adalah sebuah tugas terpenting bagi negara yang kembali ditegaskan di dalam Pasal 2 angka (4) sub (c) dan (d) dan Pasal 41 angka (1) dan (2) yaitu jaminan apakah peraturan tersebut dapat berfungsi dan sampai sejauh mana implementasi dari undang-undang tersebut demi tegaknya kesejahteraan buruh/pekerja bersama keluarganya sehingga pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan sangat penting untuk dilakukan demi terwujudnya tujuan masyarakat sejahtera.

Sejauh ini dalam implementasi dari UU tersebut di Indonesia lebih berpihak pada kaum pengusaha, itu terbukti banyaknya kesus tentang penetapan UMK/UMR (Upah Minimum Kabupaten/Upah Minimum Regional) yang dirasa tidak rasional dengan kebutuhan hidup yang harus dipenuhi. Penetapan itu terkadang tidak mengikutsertakan serikat pekerja


Pustaka

Komnas HAM. 2005, Hak Atas Pekerja; Masalah Pengangguran dan Solusinya ditinjau dari Perspektif Hak Asasi Manusia, Cetakan ke 1, Komnas HAM, Jakarta.

Pontoh, Coen Husain. 2003, Akhir Globalisasi, dari Perdebatan Teori Menuju Gerakan Massa, C-Books, Jakarta.

Suara Pembaruan Daily, “Revisi UU Ketenagakerjaan Berpihak Pada Pengusaha” http://www.suarapembaruan.com/News/2006/03/23/Utama/ut01.htm

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

Selasa, 06 Juli 2010

KONSEP KEKUASAAN DALAM BUDAYA JAWA


Oleh : Bambang Wibiono

Setiap masyarakat, maupun setiap bangsa pasti memiliki konsep tentang kekuasaan (power). Hal ini disebabkan, karena kekuasaan erat kaitannya dengan masalah kepemimpinan, dan bahkan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Konsep kekuasaan antara masyarakat (bangsa) yang satu dengan masyarakat (bangsa) yang lain sudah barang tentu berbeda-beda. Perbedaan ini tidak lain, disebabkan oleh perbedaan latar belakang sosial-budaya dan pandangan hidupnya.

Dalam masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa dan pandangan hidup, dengan sendirinya terdapat bermacam persepsi mengenai kekuasaan. Oleh karena itu, sebelum kita memasuki analisis mengenai konsep kekuasaan Jawa, ada baiknya kita membicarakan terlebih dahulu beberapa aspek dan sifat kekuasaan secara umum; serta menelaah hubungannya dengan beberapa konsep yang sangat erat kaitan dengannya. Hal ini perlu, karena di antara konsep ilmu politik, yang banyak dibahas dan dipermasalahkan, adalah kekuasaan. Hal ini disebabkan karena konsep ini bersifat sangat mendasar dalam ilmu sosial pada umumnya, dan ilmu politik pada khususnya. Malahan, pada suatu ketika, politik (politics) diangggap tidak lain dari masalah kekuasaan belaka. Sekalipun pandangan ini telah lama ditinggalkan, akan tetapi kekuasaan tetap merupakan gejala yang sangat sentral dalam ilmu politik (Budiardjo, 1984: 9).

A. Pengertian Kekuasaan

Ada beberapa pengertian yang diberikan oleh para ilmuwan mengenai definisi kekuasaan. Perbedaan pengertian ini, sesungguhnya dipengaruhi oleh “sikap jiwa pribadi” dari pembahas yang bersangkutan (Soemardji, 1984: 30).

Ada suatu kelompok pendapat yang mengartikan kekuasaan itu sebagai suatu dominasi (dominance), dan ada yang pada hakekatnya bersifat “paksaan” (coercion). Sebgai contoh, misalnya pendapat Strausz-Hupe, yang merumuskan kekuasaan sebagai “kemampuan untuk memaksakan kemauan kepada orang lain”. Pendapat senada dikemukakan oleh C. Wright Mills, yang mengatakan: “Kekuasaaan itu adalah dominasi, yaitu kemampuan untuk melaksanakan kemauan kendatipun orang lain menentang”. D emikian pula Harold D. Laswell menganggapnya, “tidak lain dan tidak bukan adalah penggunaan paksaan yang kuat” (Ibid.: 31).

Suatu pengertian yang lain tentang kekuasaan terlihat dalam karangan-karangan Talcott Parsons, Robert S. Lynd, dan Marion Levy, Jr. Untuk kelompok yang kedua ini, pengertian pokok dari kekuasaan adalah “pengawasan” (control). Akan tetapi fungsinya atau sifatnya tidaklah harus selalu merupakan paksaan. Untuk Parsons umpamanya, kekuasaan adalah “pemilikan fasilitas untuk mengawasi”. Akan tetapi keperluannya ialah untuk “pelaksanaan fungsi dalam dan untuk masyarakat sebagai suatu sistem”, untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ataupun akan ditentukan secara mengikat oleh umum. Dengan perkataan lain, persoal an pokok untuk kelompok paham terakhir ini, ialah “legitimasi” (legitimacy) atau “pembenaran” dari “dasar” kekuasaan. Sebagaimana dirumuskan oleh Parsons: “legitimasi dari pengawasan demikian itu mempunyai arti yang penting untuk kedudukan kekuasaan dalam masyarakat dalam hubungannya dengan sistem tujuan-tujuannya” (Ibid.: 32).

Sekalipun ada banyak pandangan yang berbeda mengenai kekuasaan, akan tetapi agaknya ada satu inti yang terlihat dalam semua perumusan itu, yaitu bahwa kekuasaan dianggap sebagai kemampuan pelaku untuk mempengaruhi orang lain sedemikian rupa, sehingga tingkah laku terakhir menjadi sesuai dengan keinginan dari pelaku yang mempunyai kekuasaan.

B. Kekuasaan dalam Budaya Jawa

Sependapat dengan Anderson, kalau kita mempelajari kepustakaan Jawa klasik dan tingkah-laku politik Jawa dewasa ini; maka kita akan mengetahui, bahwa salah satu kunci untuk memahami teori politik Jawa mungkin adalah tafsiran secara tradisional tentang apa yang dinamakan kekuasaan oleh ilmu sosial. Hal ini disebabkan karena konsepsi Jawa berbeda secara radikal dari konsepsi yang telah berkembang di Barat sejak Zaman Pertengahan. Dari perbedaan inilah sudah logis timbul pandangan-pandangan yang berbeda pula mengenai cara-cara berjalannya politik dan sejarah.

Menurut Sartono, konsep kekuasaan atau otoritas kharismatik di dalam masyrakat Indonesia pada umumnya, dan masyarakat Jawa pada khususnya, mempunyai denotasi pengertian kesaktian. Namun berbeda dengan penjelasan Ben Anderson, dalam uraiannya soal konsep kekuasaan Jawa perlu di utarakan di sini, bahwa konsep Jawa mengenai kek uasaan berdimensi empat sesuai dengan konsep pewayangan: sakti-mandraguna, mukti-wibawa. Mandraguna menunjukkan kepada kecakapan, kemampuan, ataupun ketrampilan dalam satu atau beberapa bidang, seperti olah senjata, kesenian, pengetahuan, dan sebagainya. Mukti lebih berhubungan dengan kedudukan yang penuh dengan kesejahteraan. Wibawa berarti kedudukan terpandang (prestise) yang membawa pengaruh besar (Kartodirdjo, 1984: viii).

C. Penerapan Konsep Kekuasan Jawa pada Masa Pemerintahan Raja-Raja Mataram

Sebelum masuknya Hindu ke Indonesia, dalam masyarakat Indonesia, khususnya Jawa, sudah dikenal adanya hirarki sosial. Mereka beranggapan, bahwa dalam hubungan sosial terdapat stratifikasi sosial dan sifatnya kosmis-klasifikatoris hirarkis. Nilai-nilai kesatuan dan harmoni dilengkapi dengan hirarki. Manusia secara kodrati tidak sederajat.

Semua hubungan sosial secara hirarkis diatur oleh nuansa-nuansa halus perbedaan kedudukan. Hirarki sosial semacam ini semakin dipertegas lagi setelah masuknya agama Hindu ke Indonesia. Agama Hindu mengaja rkan bahwa strata sosial seseorang tidaklah sama. Ketidaksamaan ini disebabkan karena seseorang dilahirkan dari asal keturunan yang berbeda. Perbedaan ini berlangsung terus-menerus, sehingga seseorang akan hidup dan mati dalam strata sosialnya, yang dalam agama Hindu disebut kasta.

Selain memperkenalkan hirarki sosial yang semakin tegas, Agama Hindu juga memperkenalkan dewa-dewa sebagai penguasa tertinggi yang harus dihormati dan sekaligus dipuja. Dengan sendirinya, raja sebagai kepala pemerintahan harus pula menghormati dewa - dewanya.

Adanya kekuasaan pemerintahan dan kekuasaan keagamaan semacam ini, sudah tentu dianggap memperlemah kedudukan raja. Oleh karena itu dengan berbagai cara, raja berusaha memperkuat kedudukanya. Cara yang ditempuh, adalah dengan pendek atan yang bersifat “legitimasi”. Melalui para pendeta, pujangga, maupun pegawai istana yang ahli dibidangnya, dibuatlah hikayat, pantun, mitos, babad, silsilah, serta lain-lainnya, yang pada dasarnya berisi penjelasan guna melegitimasikan kekuasaan raja. Salah satu di antaranya adanya ajaran, bahwa para raja adalah keturunan, penjelmaan, atau pengantara dewa-dewa (konsep dewa-raja).

Eratnya atribut kekuasaan dengan atribut keagamaan menunjukkan adanya ikatan yang selalu terdapat diantaranya; sejarah cenderung memutuskan ikatan ini, namun tidak berhasil. Tulisan para sejarawan dan antropolog tentang kekuasaan tertinggi yang disatukan dengan pribadi raja, ritus dan upacara pelantikan raja, peraturan-peraturan yang mempertahankan jarak antara raja dan rakyatnya, dan akhirnya pernyataan legitimasi merupakan bukti yang sangat terang ketidakmungkinan hancurnya hubungan tersebut.

Kesakralan kekuasaan juga terungkap dalam perasaan-perasaan yang mengikat rakyat pada rajanya; misalnya suatu penghormatan atau kepatuhan total yang tidak dapat diterangkan oleh akal budi, atau rasa takut untuk tidak patuh yang mengandung sifat pelanggaran terhadap hal sakral.

Bagi masyarakat Jawa, khususnya yang menganut mistik, para raja dianggap termasuk unsur-unsur mistik di bumi ini yang amat penuh kuasa, yang mewadahi kekuatan kosmis. Kekuasaan duniawi mereka, adalah pertanda wahyu, berkat adikodrati, dan eratnya hubungan mereka dengan sumber-sumber kekuatan asali dianggap memancarkan kekuatan magis yang berasal dari pribadi raja, memberkati dan menjamin kesejahteraan para warga.

Kraton dibangun dengan mencontoh gambaran kosmos, melambangkan kedudukan raja di dunia ini selaku pusat semesta (Manggeng, 2004: 42). Nama-nama dari dua raja yang masih dapat ditemukan di Jawa, yakni Paku Buwono di Solo dan Paku Alam di Yogyakarta, yang sama-sama berarti ”poros dunia”.

Usaha raja-raja Mataram di dalam melegitimasikan kekuasaannya, bahwa dia bukan hanya sebagai pimpinan pemerin tahan, tetapi juga sebagai pimpinan keagamaan dapat kita lihat dari gelar Pangeran Mangkubumi yang menggunakan gelar kerajaan “Kanjeng Sultan Hamengkubuwana Senapati Ing Al aga Ngabdurrah man Sayidin Panatagama Kalipatullah”, yang secara singkat hanya gelar ketiga yang selalu disebut-disebut dalam babad,yaitu Hamengkubuwana. Kerajaannya diberi nama Ngayogyakarta Adiningrat.

Dari gelar dan nama kerajaannya, jelas sultan Hamengkubuwana I mengidentifikasikan dirinya dengan Wisnu, sebab Hamengkubuwana berarti “Yang Memelihara Dunia”, jadi Wisnu. Ngayogyakarta Adiningrat berarti “Ayodya Yang Makmur, Yang Indah di Dunia”. Ayodya adalah nama ibukota kerajaan Rama, dan Rama adalah inkarnasi Wisnu. Dalam babad-babad, Sultan Hamengkubuwana sering dikatakan sebagai Wisnu yang sedang turun ke bumi.

Gelar Ngabdurrahman Sayidin Panatagama Kalipatullah” berarti, bahwa Pangeran Mangkubumi juga seorang pimpinan dan pelindung agama Islam. Gelar yang bersifat Hinduistis dan Islam ini, jelas dimaksudkan agar dia diakui dan dihormati sebagai pimpinan agama Hindu dan sekaligus sebagai pimpinan agama Islam. Hal ini bisa dimengerti, bahwa pada masa itu masyarakat Jawa yang semula menganut agama Hindu, sudah banyak pula yang menganut kepercayaan baru, yakni agama Islam. Di samping itu gelar “Senapati Ing Alaga” , menunjukkan bahwa dia juga sebagai seorang panglima perang, yang mahir dalam bidang peperangan.

Legitimasi kekuasaan ini juga dapat kita lihat dari silsilah raja-raja Mataram yang menunjukkan keunggulan trah, karena dari pihak ibu, Senapati sebagai pendiri dinasti, adalah keturunan para “wali”. Sementara itu dari pihak ayah, dia adalah keturunan raja Majapahit. Dengan demikian orang mendapat kesan, bahwa dinasti Mataram memang berhak dan layak memerintah kerajaan. Dalam penyusunan silsilah ini, besarlah peranan pujangga kerajaan sebagai penulis babad.

Lagipula, menurut tradisi lama Jawa, penguasa mengumpulkan di sekeliling dirinya benda atau orang apapun yang dianggap mempunyai atau mengandung kekuasaan. Kratonnya tidak saja dipenuhi oleh koleksi benda-benda pusaka tradisional, seperti keris, tombak, alat-alat musik suci, kereta, dan benda-benda keramat lainnya, tetapi juga oleh berbagai macam manusia luar biasa seperti orang bulai (albino), pelawak, orang kerdil, dan ahli nujum. Oleh karena tinggal bersama di dalam keraton dengan penguasa itu, maka kek uasaan atau kekuatan yang dimiliki benda-benda atau orang itu diserap dan ditambahkan pada kekuasaan penguasa. Kalau benda itu atau orang itu hilang dengan cara bagaimanapun juga, maka ini dianggap berkurangnya kekuasan raja, dan sering dianggap sebagai peratanda datangnya kehancuran dinasti yang sedang berkuasa.

Secara singkat, kekuasaan raja yang besar dapat ditandai oleh:

1. luas wilayah kerajaannya;

2. luasnya daerah atau kerajaan taklukan dan berbagai barang persembahan yang disampaikan oleh para raja taklukan;

3. kesetian para bupati dan punggawa lainnya dalam menunaikan tugas kerajaan dan kehadiran mereka dalam paseban yang diselenggarakan pada hari-hari tertentu;

4. kebesaran dan kemeriahan upacara kerajaan dan banyaknya pusaka serta perlengkapan upacara yang nampak dalam upacara itu;

5. besarnya tentara dengan segala jenis perlengkapannya;

6. kekayaan, gelar-gelar yang disandang dan kemashurannya;

7. seluruh kekuasaan menjadi satu ditangannya, tanpa ada yang menyamai dan menandingi.

Dalam konsep kekuasaan Jawa, kekuasaan yang besar tadi harus diimbangi dengan kewajiban yang dirumuskan dalam kalimat ”berbudi bawa leksana, ambeg adil para marta” (budi luhur mulia dan bertindak adil terhadap sesamanya). Raja yang dikatakan baik, adal ah raja yang menjalankan kekuasaanya dalam keseimbangan antara wewenangnya yang besar dengan kewajiban yang besar pula. Kekuasaan yang besar di satu pihak dan kewajiban yang seimbang di lain pihak, merupakan inti konsep kekuasaan

PENUTUP

Konsep kekuasaan Jawa, dalam beberapa hal memiliki ciri-ciri yang sama dengan hampir kebanyakan konsep kekuasaan dalam masyarakat tradisional, yakni konsep dewa-raja. Konsep ini pada dasarnya dimaksudkan, bahwa raja sebagai kepala pemerintahan dan sekaligus kepala keagamaan/pimpinan spritual. Perbedaanya, bahwa konsep kekuasaan Jawa khususnya Mataram, mencakupi kekuasaan yang bersifat religius (keagamaan) dari kepercayaan yang pernah ada.

Adanya konsep kekuasaan, bahwa raja adalah seorang yang sakti dan kesaktian adalah salah satu kepercayaan yang biasa dianut oleh masyarakat primitif.setelah masuknya Hindu ke Indonesia, khususnya Jawa, seorang raja mengidentifikasikan dirinya sebagai dewa, keturunan dewa, maupun penjelaman dewa, sebagai salah satu cara yang ditempuh guna melegitimasikan kekuasaan ya. Ketika agama Islam masuk ke Indonesia dan menjadi salah satu agama yang mempunyai penganut sangat besar, para raja juga berusaha memanfaatkan pengaruh keagamaan ini guna memperkokoh kedudukannya, dengan mengambil garis keturunan (silsilah) dari nabi-nabi yang sesuai dengan kepercayaan agama Islam; ataupun mengambil garis keturunan dari wali-wali penyebar agama Islam.

Mengingat masyarakat Jawa merupakan mayoritas di Indonesia, pengaruh konsep kekuasaan Jawa tentunya juga mempengaruhi konsep kekuasaaan masyarakat lainnya di Indonesia. Adanya kenyataan bahwa elit politik di Indonesia umumnya berasal dari suku bangsa Jawa, maka tidak disangkal lagi bahwa kehidupan pemerintahan ataupun kenegaraan di Indonesia diwarnai oleh budaya Jawa dengan berbagai ciri feodalismenya.

Daftar Pustaka

Budiharjo, Miriam. 1984, “Konsep Kekuasaan & Tinjauan Kepustakaan”, dalam Miriam Budiharjo (ed.), Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa, Sinar Harapan, Jakarta.

Soemardji, Soelaiman. 1984, ”Cara -cara Pendekatan Terhadap Kekuasaan Sebagai Suatu Gejala Sosial”, dalam Miriam Budihard jo (ed.), Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wi bawa, Sinar Harapan, Jakarta.

Kartodirdjo, Sartono (ed.). 1984, Kepemimpinan dalam Dimensi Sosial, LP3ES, Jakarta.

Manggeng, Marthen. 2004, “Kepemimpinan Tradisional: Antara Kenangan dan Impian”, INTIM - Jurnal STT Intim Makassar Edisi No. 7 - Semester Ganjil 2004, hal. 41-46.

Komunisme dan Pancasila


Oleh G Moedjanto


Pada pemerintahan Gus Dur, pernah dilontarkan gagasan untuk mencabut Tap XXV/MPRS/1966 tentang larangan atas penyebaran paham dan organisasi komunis di Indonesia.

Saya mencoba untuk menjelaskan bagaimana kedudukan paham komunis berhadapan dengan paham negara Pancasila. Untuk itu saya ajak pembaca mengawali dengan mencermati ciri-ciri pokok ajaran komunisme, kemudian ajaran Pancasila, Pancasila lawan komunisme, pentingnya studi tentang komunisme, dan bagaimana kita menyikapi komunisme.

Ciri pokok ajaran komunisme

Adapun ciri pokok pertama ajaran komunisme adalah sifatnya yang ateis, tidak mengimani Allah. Orang komunis menganggap Tuhan tidak ada, kalau ia berpikir Tuhan tidak ada. Akan tetapi, kalau ia berpikir Tuhan ada, jadilah Tuhan ada. Maka, keberadaan Tuhan terserah kepada manusia.

Ciri pokok kedua adalah sifatnya yang kurang menghargai manusia sebagai individu. Manusia itu seperti mesin. Kalau sudah tua, rusak, jadilah ia rongsokan tidak berguna seperti rongsokan mesin. Komunisme juga kurang menghargai individu, terbukti dari ajarannya yang tidak memperbolehkan ia menguasai alat-alat produksi.

Komunisme mengajarkan teori perjuangan (pertentangan) kelas, misalnya proletariat melawan tuan tanah dan kapitalis. Pemerintah komunis di Rusia pada zaman Lenin pernah mengadakan pembersihan kaum kapitalis (1919-1921). Stalin pada tahun 1927, mengadakan pembersihan kaum feodal atau tuan tanah.

Salah satu doktrin komunis adalah the permanent atau continuous revolution (revolusi terus-menerus). Revolusi itu menjalar ke seluruh dunia. Maka, komunisme sering disebut go international.

Komunisme memang memprogramkan tercapainya masyarakat yang makmur, masyarakat komunis tanpa kelas, semua orang sama. Namun, untuk menuju ke sana, ada fase diktator proletariat yang bertentangan dengan demokrasi. Salah satu pekerjaan diktator proletariat adalah membersihkan kelas-kelas lawan komunisme, khususnya tuan-tuan tanah dan kapitalis.

Dalam dunia politik, komunisme menganut sistem politik satu partai, yaitu partai komunis. Maka, ada Partai Komunis Uni Soviet, Partai Komunis Cina, PKI, dan Partai Komunis Vietnam, yang merupakan satu-satunya partai di negara bersangkutan. Jadi, di negara komunis tidak ada partai oposisi.

Jadi, komunisme itu pada dasarnya tidak menghormati HAM.

Ajaran Pancasila

Bagaimana halnya dengan Pancasila? Pancasila mengajarkan manusia untuk mengimani Allah, pencipta alam raya beserta isinya. Hidup manusia tergantung pada Allah. Ada juga kepercayaan tentang sangkan paraning dumadi (asal dan tujuan manusia). Orang meninggal ditanggapi dengan pernyataan dari Allah kembali kepada Allah, atau kembali ke rumah Bapa.

Pancasila mengajarkan penghargaan atas manusia sebagai pribadi. Manusia dihormati karena kodratnya sebagai manusia. Manusia adalah makhluk yang berbudaya. Padanya terdapat budi yang luhur, yang bersedia memperlakukan orang lain dengan kasih sayang.

Pancasila, yang terdiri atas lima sila itu jelas menghormati HAM, yakni dari kebebasan beragama dan beribadah, kemanusiaan yang adil dan beradab, persaudaraan sesama bangsa, demokrasi dengan musyawarah, dan akhirnya keadilan sosial.

Pancasila mengajarkan cinta bangsa dan tanah air. Namun, hal itu diimbangi dengan cinta sesama manusia. Jadi, cinta bangsa dan tanah air itu ada dalam kerangka keluarga besar umat manusia. Maka, benarlah kata orang bahwa human kind is one (kemanusiaan itu satu).

Demokrasi Pancasila mengajarkan prinsip musyawarah dalam pengambilan keputusan, meski mungkin harus dengan pemungutan suara, karena tidak tercapainya mufakat.

Dalam usaha meningkatkan keadilan sosial, Pancasila bukan saja memperbolehkan, tetapi malahan mendorong, individu berperan secara proaktif dalam proses produksi. Maka, banyak perusahaan yang dimiliki oleh individu didirikan.

Pancasila tidak hanya mengajarkan kebahagiaan material, tetapi juga batin. Jadi, memburu mutu kehidupan yang berimbang: kebahagiaan dan ketenteraman lahir batin.

Pancasila lawan komunisme

Dengan mencermati ciri-ciri itu sudah dengan sendirinya tampak adanya pertentangan antara dasar filsafat dan ideologi Pancasila dengan komunisme. Jadi, antara Pancasila dan komunisme tidak mungkin dipersekutukan. Itu ibaratnya minyak dan air. Atau kucing dan anjing, yang tidak mungkin ditaruh dalam satu sangkar, karena pasti bertarung.

Namun, andaikata pemerintah akan memperbolehkan adanya `komunisme di Indonesia dengan mencabut Tap XXV/MPRS/1966, itu hanya sampai taraf hidup berdampingan di atas landasan dasar filsafat dan ideologi Pancasila.

Pengalaman sejarah menunjukkan, PKI pernah mengalami dan menerima Pancasila sebagai dasar filsafat dan ideologi negara, kemudian mbalelo (berkhianat). Pemerintah, pada tahun 1960-1965 meminta PKI agar memasukkan Pancasila ke dalam anggaran dasarnya. Karena itu, keberadaannya diakui. Bung Karno percaya, PKI mau menerima Pancasila secara lahir batin, sehingga ia berani mengajarkan prinsip persatuan Nasakom. Peristiwa G30S/PKI mengesankan PKI menipu presiden, para pembesar RI, dan rakyat yang bukan komunis.

Studi tentang komunisme

Kalau orang Indonesia sekarang ditanya mengapa saudara menentang komunisme, kemungkinan tidak dapat menjawab, kecuali mengatakan hal-hal klise, seperti komunisme itu ateistis, anti-ketuhanan. Atau, mungkin takut berbeda pendapat, padahal ia harus menyanyikan lagu yang sama, nyanyian "Anti-komunisme". Jadilah orang Indonesia naif karena menentang komunisme tanpa memahami perihal komunisme.

Supaya kita tidak naif, komunisme perlu dipelajari. Ia bukan momok (makhluk menakutkan, tetapi tidak berwujud). Sekolah-sekolah, setidaknya mulai SMU/SMK, perlu mengenalinya, bukan untuk menganutnya, tetapi untuk menolaknya secara sadar. Dengan mengenalinya kita justru memperkuat kedudukan Pancasila sebagai dasar filsafat negara. Dengan mengenalinya, kita tidak lagi dapat ditipu oleh orang-orang atau gerakan-gerakan komunis.

Jangan takut jangan terima

Ada trauma (ketakutan besar) terhadap PKI karena anggapan akan keganasannya dalam pemberontakan tahun 1948 dan 1965. Benarkah rakyat takut? Ataukah elite sosial-politik yang takut? Atau rakyat tanpa memahaminya dibuat takut oleh elite sosial-politik? Jika kita mengenali komunisme dengan baik, lengkap dengan kekuatan dan kelemahannya, kita tidak perlu takut berhadapan dengan komunisme. Pemahaman kita tentang komunisme akan menjadi suatu modal penting untuk menolak komunisme. Jadi jangan takut kepada komunisme, sekaligus jangan menerima komunisme.

Modal penting lain untuk menentang komunisme adalah kemakmuran rakyat. Komunisme memang sangat menarik rakyat jelata yang miskin. Hal itu bukan saja terlihat dan terasa dari propaganda ajarannya, tetapi juga karena tindakan-tindakan nyata untuk mencukupi kebutuhan material mereka.

Ambilah contoh RRC. Rakyat Cina berjumlah lebih dari 1,1 milyar. Kita tak pernah dengar kelaparan dan ketelanjangan di Cina. Karena komunisme di sana mampu memenuhi janji memakmurkan rayat; komunisme di Cina laku. Namun, supaya tetap laku, komunisme Cina mengalami liberalisasi. Secara fisik dapat mencermati busana pemimpin RRC sekarang, bukan jas tutup lagi seperti Mao Zedong dan Chou En Lai, melainkan jas buka seperti Bill Clinton atau Antony Blair.

Dalam bidang ajaran, RRC juga mengadakan liberalisasi, seperti merebaknya kebebasan beragama dan beribadah. Jadi komunisme asli tidak ada lagi.

Nah, selama negara dapat memakmurkan rakyat, rakyat/kita tak perlu takut akan bahaya laten komunisme. Sebaliknya, kita bahkan harus mampu menjinakkan komunisme menjadi "makhluk" baru yang bersahabat dengan kita yang bukan peng anut komunisme. Dunia kita bukan dunianya Stalin atau Leonid Breznev, bukan juga Mao Zedong dan Chou En Lai, bukan juga zamannya Musa dan Aidit, tetapi sudah zaman detente (pendekatan). Globalisasi tidak hanya menyangkut negara kapitalis, tetapi juga negara komunis dan negara non blok. Globalisasi itu membawa reformasi. Komunisme di Indonesia, kalau TAP XXV jadi dicabut, harus direformasi juga. Ia bukan saja menghormati HAM, tetapi lahir batin harus menjunjung tinggi Pancasila.

Semoga uraian ini menambah wawasan perihal komunisme dan bagaimana kita yang berpegang pada paham negara Pancasila menyikapi komunisme.


*) G Moedjanto, Sejarawan dan Dosen di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0004/12/OPINI/komu04.htm

Matinya Ilmu Politik

Matinya Ilmu Politik

Oleh: Bambang Wibiono


Banyak pandangan bahwa politik merupakan suatu kajian atau ilmu yang sarat dengan permusuhan, pertentangan, dan perebutan kekuasaan. Tidak dapat disalahkan memang pendapat tersebut, tetapi juga tidak sepenuhnya benar juga anggapan itu. Sah-sah saja jika orang mempersepsikan politik dengan perebutan kekuasaan yang sarat permusuhan. Jika dikaji secara teori, ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan. Pendekatan yang pertama adalah pendekatan klasik yang memandang politik sebagai sebuah asosiasi dari masyarakat (warga negara) yang membicarakan dan menyelenggarakannya segala sesuatu yang menyangkut kebaikan bersama.

Pendekatan yang kedua adalah kelembagaan yang lebih berorientasi pada hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara. Ini mengarah pada sebuah otoritas sebuah lembaga negara dalam mengatur masyarakatnya. Berikutnya adalah pendekatan kekuasaan yang mengartikan politk sebagai kegiatan mencari, dan mempertahankan kekuasaan.

Keempat, pendekatan fungsionalisme yang memandang politik sebagai kegiatan merumuskan dan melaksanakan kebijakan. Lasswell menyebutkan bahwa politik adalah

persoalan siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana. Dan yang kelima adalah pendekatan konflik. Menurut pendapat ini usaha untuk mempengaruhi proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan tak lain sebagai upaya untuk memperoleh dan atau mempertahankan nilai. Untuk mendapatkan atau mempertahankannya sering terjadi perbedaan pendapat atau konflik. Jadi pada dasarnya politik adalah konflik.

Dari kesemua pandangan tersebut mengindikasikan bahwa politik selalu mengarah pada persaingan yang berujung pada permusuhan. Tak heran jika ada yang menafsirkan bahwa politk adalah kotor.

Runtuhnya teori sistem politik

Berbicara mengenai politk, maka tidak bisa dilepaskan dari sistem politik karena berbicara politk berarti juga berbicara sistem politik. Dunia politk dinilai sebagai sebuah

dunia yang rumit, komplek untuk dipelajari dan dianalisis secara sederhana. Namun dunia komplek tersebut dapat disederhanakan dalam sistem politik David Easton yang menawarkan suatu gagasan konsep teori sistem.

Easton mngungkapkan bahwa sistem politik sebuah rangkaian kerja sebuah instrumen yang saling berkaitan satu sama lain tentunya dalam hal ini adalah politik. Sistem politik yang digambarkan adalah terdiri dari instrumen input, konversi, out put, dan lingkungan baik lokal maupun internasional. Berbicara politik adalah berbicara masalah kebijakan sebagai produk politik. Maka untuk mencapai itu diperlukan sebuah proses dimulai dari input (berupa tuntutan dan dukungan), yang diteruskan dalam konversi untuk dicarikan alternatif kebijakannya, setelah itu baru keluarlah sebuah kebijakan. Namun ini tidak berakhir di sini. Kegiatan ini akan terus berjalan. Dari implementasi kebijakan itu kemudian dilakukan evaluasi untuk diperbaiki. Dalam menghasilkan sebuah kebijakanpun tidak bisa terlepas dari faktor lingkungan masyarakat lokal maupun internasional. Artinya kebijakan yang dihasilkan tentunya tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat.

Sedangkan lingkungan internasional berkaitan dengan politik internasional yang yang ada. Bahkan boleh dikatakan kepentingan politik internasional biasanya berkaitan erat dengan kepentingan ekonomi global sangat berpengaruh atas kebijakan yang dihasilkan. Input dihasilkan dari sebuah pertarungan kekuatan antara tuntutan dan dukungan. Aspek

yang ada dalam input ada sosialisasi politik, komunikasi politik, artikulasi kepentingan, agregasi kepentingan, rekruitmen politik yang semuanya ini berperan dalam terciptanya sebuah kebijakan.

Pertanyaan yang kemudian timbul apakah tanpa adanya input sistem itu tak dapat berjalan? Jika input merupakan ‘bahan bakar’ untuk menjalankan sistem tersebut, maka rekayasa sosial maupun rekayasa politik di’halalkan’ dalam politik. Pemerintah merekayasa keadaan agar tercipta sebuah dukungan atau tuntutan, yang nantinya pemerintah sendiri yang akan menyelesaikan masalahnya karena memang pemerintahlah yang mencipta. Sebab bila keadaan tanpa adanya partisipasi berupa tuntutan atau masyarakat cenderung pasif, pemerintah bisa dicap sebagai pemerintah yang otoriter atau tidak demokratis yang tidak memberikan peluang pada rakyatnya untuk berpartisipasi. Atau dapat juga rekayasa itu sengaja diciptakan oleh lawan politiknya untuk menjatuhkan kekuasaan.

Dengan demikian diharapkan pihaknya nanti dapat duduk pada jabatan elit dengan mengambil perhatian rakyat dengan cara menyelesaikan masalah yang ada yang sebenarnya sengaja diciptakan oleh pihaknya. Inilah sebuah kejahatan politik yang sangat keji. Sebuah pendekatan ilmu politik sudah dijadikan legitimasi untuk merebut kekuasaan dengan ‘menghalalkan’ segala cara. Dengan dalih teori ini para aktor mendeklarasikan “inilah politik” yang berbicara tentang perebutan kekuasaan.

Untuk mencari kekuasaan dan otoritas, etika politik menjadi sebuah kewajaran. Demi kekuasaan, moralitas dicemooh sebagai suatu yang munafik. Kehidupan kekuasaan selalu akan bertemu dengan masalah tersebut. Tak salah jika politik dinilai sebuah porno pilitik yang selalu menampilkan ke-‘vulgar’an dalam etika berprilaku politik. Bukan hanya dalam dunia entertainment atau mode saja yang terdapat istilah porno, ternyata politikpun tak kalah demikian.

Bila saat ini ada UU yang mengatur masalah pornografi dan pornoaksi, maka sebaiknya perlu juga ada UU Porno Politik. Karena politik sudah dijangkiti oleh pornoaksi. Jika demikian dan memang demikian keadaan sebuah politik, maka inilah sebuah kahancuran ilmu politik. Karena ilmu politik tak mampu membumi dalam sebuah realitas dan tak mampu menjelaskan realitas yang ada. Karena teori adalah hasil dari sebuah penelitian empiris. Namun sesungguhnya ilmu adalah sesuatu yang suci yang patut dijunujung tinggi.

Tetapi sekarang ilmu tersebut hanyalah sebuah angan-angan sang filsuf, karena pada kenyataannya dia tak ada atau setidaknya telah mengalami distorsi. Boleh dikatakan saat ini politik telah ‘dibunuh’ oleh aktornya sendiri. Oleh karena itu kitalah yang berkewajiban menghidupkan kembali ilmu politik dari ‘kematian’nya.