Assalamu'alaikum,,, Salam Hormat

Terima kasih atas kunjungan anda ke blog saya. Semoga bermanfaat. Semua tulisan ini hasil saya pribadi, atau diambil dari tulisan lain yang tercantum pada rujukannya. Bila mengutip baik secara langsung maupun tidak, sebagian atau keseluruhan, diharapkan Mencantumkan sumber tulisan dan penulisnya pada daftar pustaka/catatan kaki sebagai bahan rujukannya.
atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih

Senin, 08 Mei 2017

Kehancuran Politik, dan Tanggungjawab Intelektual


Oleh: Bambang Wibiono
Banyak pandangan bahwa politik merupakan suatu yang sarat dengan permusuhan, pertentangan, dan perebutan kekuasaan. Tidak dapat disalahkan memang pendapat tersebut. Sah-sah saja jika orang mempersepsikan politik dengan perebutan kekuasaan yang sarat permusuhan.

Jika dikaji secara teori, ada beberapa pendekatan yang dapat membenarkan pandangan tersebut. Berdasarkan pendekatan kelembagaan, politik berorientasi pada hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara. Ini mengarah pada sebuah otoritas sebuah lembaga negara dalam mengatur masyarakatnya. Pendekatan kekuasaan mengartikan politik sebagai kegiatan mencari, dan mempertahankan kekuasaan. Yang terakhir adalah pendekatan konflik. Menurut pendapat ini, usaha untuk mempengaruhi proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan, tak lain sebagai upaya untuk memperoleh dan atau mempertahankan nilai. Untuk mendapatkan atau mempertahankannya sering terjadi perbedaan pendapat atau konflik. Jadi pada dasarnya politik adalah konflik.

Dari kesemua pandangan tersebut, mengindikasikan bahwa politik selalu mengarah pada persaingan yang berujung pada permusuhan. Tak heran jika ada yang menafsirkan bahwa politik adalah kotor.

Moralitas Politik
Dalam prakteknya, tindakan-tindakan politik sering, atau bahkan sebuah keniscayaan mengarah pada tindakan immoral. Seringkali tindakan yang meyimpang dari kaidah moralitas dianggap suatu yang lumrah dan bahkan ‘dibenarkan’ dalam politik. Yang lebih parah adalah praktek immoralitas ini tampil dalam satu wajah yang “lebih luhur”. Bahwa immoralitas itu dilakukan bukan untuk kepentingan pribadi, tapi demi kepentingan publik. Para aktor politik/pejabat pemerintah  sering berbohong atau melakukan tindakan represif demi kepentingan keamanan nasional. Praktek-praktek penyimpangan atau immoral oleh Dennis F. Thompson (2000), menyebutnya sebagai ‘tangan-tangan kotor demokrasi’.

Noam Chomsky yang mengadopsi pemikiran George Orwell, melihat gejala ini sebagai gejala korupsi bahasa. Korupsi bahasa ini digunakan untuk sebuah kepentingan kontrol politik. Kita pernah mendengar istilah-istilah yang sering digunakan pada jaman orde baru, misalnya “demi stabilitas nasional”, “demi keamanan nasional”, yang sebenarnya tujuannya adalah untuk melegitimasi tindakan pemerintah dalam “membunuh” lawan politik atau yang berani menentang atau setidaknya yang berani protes terhadap pemerintah.

Dalam sebuah sistem demokrasi, sebuah tindakan immoral, asalkan atas persetujuan warga negara/publik dianggap tidak melanggar atau dianggap benar. Bahkan jika pemerintah tidak menuruti keinginan publik, itu yang dianggap salah dan melanggar proses demokrasi.

Permasalahan ini menimbulkan sebuah pertentangan atau konflik antara dua moralitas. Yang satu adalah moralitas kehidupan pada umumnya, dan di sisi lain adalah moralitas yang cocok dengan kehidupan politik.
Dalam perdebatan ini, suatu yang dianggap baik oleh kaidah umum, terkadang dianggap buruk oleh kaidah lainnya (moralitas politik). Menurut pandangan ini, moralitas politik sepenuhnya membenarkan immoralitas dari tindakan Negara yang diperlukan untuk mengamankan tujuan Negara. Sebuah pendekatan ilmu politik sudah dijadikan legitimasi untuk mempertahankan kekuasaan dengan ‘menghalalkan’ segala cara. Dengan dalih teori ini, para aktor mendeklarasikan “inilah politik” yang berbicara tentang perebutan kekuasaan. Untuk mencari kekuasaan dan otoritas, etika politik menjadi sebuah kewajaran. Demi kekuasaan, moralitas dicemooh sebagai suatu yang munafik.

Runtuhnya teori sistem politik
Menurut Budi Hardiman (Kompas, 28/11/2007), kekuasaan rejim otoriter merupakan sistem semiotis yang ingin meniru sistem organis (kuasi-organis). Rejim berusaha untuk dapat mengendalikan keadaan dengan cara model sistem biologis yang memangsa komponen asing dalam lingkungannya sebagai gangguan untuk mencapai otonominya dan kelangsungan kekuasaannya.

Sistem politik merupakan hubungan antara instrumen input, konversi, out put, dan lingkungan baik lokal maupun internasional. Input dihasilkan dari sebuah pertarungan kekuatan antara tuntutan dan dukungan.
Jika input merupakan ‘bahan bakar’ untuk menjalankan sistem, dengan logika ini, maka rekayasa sosial maupun rekayasa politik ‘dihalalkan’ dalam politik. Sebab bila keadaan tanpa adanya partisipasi berupa tuntutan/dukungan, serta masyarakat cenderung pasif, pemerintah bisa dicap sebagai pemerintah yang otoriter atau tidak demokratis yang tidak memberikan peluang pada rakyatnya untuk berpartisipasi.

Jika memang demikian keadaan sebuah politik, maka inilah sebuah kahancuran ilmu politik. Karena ilmu politik tak mampu membumi dalam sebuah realitas dan tak mampu menjelaskan realitas yang ada. Ketika sistem tidak mampu mereduksi kompleksitas, maka dia telah gagal membentuk batas antara sistem dengan lingkungan. Begitupun dengan demokrasi, ia akan hanya sebagai sebuah demokrasi seremonial.

Peran intelektual adalah untuk mengungkap kebohongan pemerintah, menganalisa tindakan menurut sebab dan motifnya, serta seringkali tujuannya yang tersembunyi. Namun yang terlihat saat ini adalah para intelektual terkesan sebagai ‘rejim pelindung’ bagi pemerintah dalam menjalankan kekuasaannya. Lantas dimanakah tanggung jawab seorang intelektual?

Sekarang ilmu politik hanyalah sebuah angan-angan sang filsuf, karena pada kenyataannya dia tak ada atau setidaknya telah mengalami distorsi. Boleh dikatakan saat ini politik telah ‘dibunuh’ oleh aktornya sendiri. Oleh karena itu kitalah yang berkewajiban menghidupkan kembali ilmu politik dari ‘kematian’nya.

Dinamika Hegemonic Party System

Dinamika Hegemonic Party System Masa Orde baru
Oleh: Bambang Wibiono  
Pada jaman orde baru iklim demokrasi di Indonesia tidak terlihat. Itu dapat dilihat dengan indikasi adanya dominasi salah satu Partai politik yang pada awalnya tidak mau disebut partai politik. Namun secara teori dan konsep partai politik itu sendiri, Golkar dikategorikan sebagai Partai politik. Karena Golkar merupakan organisasi peserta Pemilu. Golkar berhasil dalam memenangkan Pemilu pada tahun 1971, dan sejak saat itu hingga tahun 1998 Golkar mampu bertahan sebagai pemenang. Golkar berhasil memenangkan pemilu dengan suara mutlak. Sehingga  dalam lembaga legislatif sangat didominasi oleh Golkar. Birokrasi sedemikian rupa dapat dipolitisasi. Sehingga birokrasi selalu memihak pada Golkar.
Kebangkitan Golkar sebagai partai yang hegemoni berawal dari buruknya keadaan pada masa orde lama.banyak studi yang menyatakan padda tahun 1965 inflasi yang terjaddi mencapai 650%. Kekacaauan politik dan ekonomi yang mencapai puncaknya dengan tragedi G30S yang merupakan alasan kejatuhan pemerintahan Soekarno. Dengan kejadian tersebut ABRI khususnya Angkatan Darat mendapat alaasan dan dukungan dari masyaarakat untuk menghancurkan PKI dan juga sekaligus lengsernya Soekarno.  
Kemenangan Golkar diawali dengan adanya pengerucutan partai-partai politik yang ada sebelumnya. Partai yang berbasis agama di kumpulkan dalam wadah PPP (Partai Persatuan Pembangunan). Sedangkan partai yang lain di masukkan dalam PDI (Partai Demokrasi Indonesia). Ini bisa dilihat sebagai sebuah bentuk pengekangan dari demokrasi itu sendiri. Pada dasarnya demokrasi menghendaki adanya kebebasan dan terbukanya peluang bagi kelompok ataupun individu, sekalupin berdasarkan ikatan primordial untuk mengartikulasikan kepentingannya. Sedangkan integrasi menghendaki penyatuan kelompok yang berakibat pada pembatasan hak-hak demokrasi. Disadari atau tidak orde baru terjebak pada pola pikir demikian. Dalam kelanjutannya pemilihan ketua umum maupun pengurus di tingkat pusat maupun daerah, pemerintah turut campur tangan. Ini dimaksudkan untuk memperkuat pemerintah, sehingga orang-orang yang tidak pro dengan pemerintah tidak akan dibiarkan “hidup” dan memegang peran penting dalam partai. Alhasil selama kurang lebih 32 tahun orde baru mampu bertahan.
Selain itu UU partai politik yang ada saat itu pun tidak memeperbolehkan adanya partai yang lain. Di sini ada pembatasan jumlah partai, yaitu dua partai dan satu golongan karya. Namun partai-partai di luar Golkar hanya sebagai ornamen atau sekedar “penggembira” dalam pesta demokrasi agar pemerintahan pada waktu itu tidak disebut sebagai pemerintahan yang otoriter dan tidak demokratis. Untuk melanggengkan kekuasaan Golkar di pemerintahan, pemerintah sedapat mungkin melakukan politisasi dan sejumlah pembodohan politik masyarakat. Masyarakat tidak dibiarkan tahu mengenai pemerintah. Rakyat dibuai oleh janji pembangunan yang bisa membawa kesejahteraan. Yang kritis atau memprotes pemerintah akan dicap sebagai orang yang tidak mendukung pembangunan dan kesejahteraan dan bahkan dicap sebagai perbuatan atau tindakan subfersif, karena sebagai penyimpangan dan melawan ideologi Pancasila.  
Mekanisme Stick and Carrot
Orde baru pun melakukan penguatan pemerintahan lewat militer. Masa orde baru, militer sangat berfungsi sekali dalam menjaga stabilitas negara. Tetapi ini hanya semata-mata untuk menjaga kelanggengan Pemerintah yang sedang berkuasa. Karena memang kelahiran Golkar sebagai partai pemerintah tidak dapat dilepaskan dari peran militer. Dapat dikatakan bahwa Golkar identik dengan militer dan Soeharto sebagai Presiden merupakan ‘pentolan’ militer. Sampai pada masa kejayaannya militer memasuki sendi-sendi kehidupan pemerintahan atau yang disebut pengkaryaan militer.Jabatan-jabatan strategis dalam pemerintahan baik pusat maupun daerah diisi oleh kalangan militer khususnya Angkatan Darat.
Pemerintahan Indonesia yang dipimpin oleh Soeharto yang sudah berjalan semenjak 1968, dibangun atas dasar mekanisme carrot and stick (Afan Gaffar, 1999: 148). Dengan demikian diperoleh stabilitas politik atau pemerintahan yang mantap dan kuat. Pemerintahan orde baru berkeyakinan bahwa dengan pembangunan di bidang ekonomi yang menjadi prioritas program kerja akan membawa pada kesejahteraan dan dijauhkan dari kemiskinan serta keterbelakangan. Inilah yang disebutcarrot. Karena kemiskinan dan keterbelakangan merupakan ladang subur bagi komunisme yang sangat ditakutkan oleh rejim orde baru. Dengan dibuainya masyarakat oleh pembangunan ekonomi, maka akan melemahkan partisipasi masyarakat untuk mengkritik atau mengurusi pemerintahan. Faktor kebijakan itulah yang membuat politik masa orde baru terlihat hebat dalam menentukan arah pembangunan  secara keseluruhan. Dengan demikian kebijakan politik dapat merubah dan menjadikan suatu kekuasaan yang diabsyahkan atau dilegitimaasi sehingga menghaasilkan kewenangan atau autority (Iman Sulaiman, 2005).
Stabilitas politik dilakukan dengan cara pendekatan keamanan yang ketat.  Itu bisa dilihat dengan dibentuknya lembaga seperti Opsus, Bakin, Kopkamtibyang sangat represif. Di dalam lingkunngan Departemen dalam Negeri ada lembaga Dirjen Sospol dan Ditsospolyang berperan dalam masalah pengaturan partai politik. Sehingga gerak Parpol dapat dikontrol oleh pemerintah. Inilah yang diartikan dengan “stick” yang digunakan pemerintah untuk memukul mereka yang kritis, oposisi, dan menentang terhadap pemerintah. Media massa yang berani menentang pemerintah akan dibredel dan dicabut ijin usaha penerbitannya. Sehingga berita yang sering terdengar hanyalah ‘kebaikan’ dari pemerintah.
Dengan berdasarkan persatuan dan kesatuan menjadi prasyarat  bagi pembangunan ekonomi maka ‘kran demokarasi’ ditangani secara intensif. Dengan alasan demokrasi yang terlalu terbuka dapat menimbulkan kegaduhan dan terlalu banyak interupsi dan protes terhadap program-program pemerintah yang dapat menghambat program pemerintah, maka pemerintah menggunakan cara-cara yang represif. Dengan integrasi yang terkendali,maka pemerintah dapat dengan leluasa menjalankan progaram pembangunan ekonominya.
Langkah-langkah pembangunan integrasi bangsa itu menurut Moh. Mahfud MD adalah: pertama, pembuatan UU tentang Pemilu dan UU tentang Susduk MPR/DPR/DPRD. Dengan aturan tersebut membuka peluang bagi eksekutif untuk meletakkan tangannya di legislatif melalui pengangkatan dan lembaga recall.DPR/MPR dikuasai oleh orang-orang Golkar ddan sanak famili dari pejabat tinggi. Sehingga menyebabkan lemahnya peran legislatif sebagai pengontrol kinerja pemerintah (eksekutif). Akibatnya legislatif sangat pasif. Inisiatif dalam membuat rancangan kebijakan selalu datang dari eksekutif dan legislatif berperan hanya sebagai “stempel” untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang yang diajukan eksekutif. Diskusi dalam gedung dewan hampir tidak pernah terjadi. Yang ada hanyalah “paduan suara” yang menyatakan setuju.
Kedua,domistikasi partai-partai kuat dan penguatan partai pemerintah. Ini terjadi sesaat setelah lengsernya kepemimpinan Soekarno.
Ketiga, penyederhanaan sistem kepartaian seperti yang sudah dijelaskan di atas.
Keempat, penetapan P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Ini dimaksudkan agar tidak terjadi penafsiran yang berbeda-beda.
Dan yang kelima, penetapan Pancasila sebagai satu-satunya asas (1999: 209-211).
Selain menggunakan mekanisme penekanan, untuk meraih simpati, pemerintah memberikan “rewards” kepada kelompok, lembaga atau individu yang memperlihatkan sikap akomodatif dan mendukung pemrintah. Misalkan bagi Lurah, Camat, atau Bupati/Walikota akan dipilih kembali untuk memimpin atau bahkan akan dinaikkan jabatannya jika mampu memenangkan Golkar dalam Pemilu dengan suara mutlak di daerahnya.
Dalam pengisian jabatan pemerintahan, ode baru melakukan emaskulasi partai politik. Ini dilakukan dengan cara menyaring pemimpin partai atau adanya intervensi pemerintah dalam menentukan kebijakan partai non Golkar. Dengan cara demikian akan diperoleh pemimpin partai yang kooperatif atau dapat bekerjasama dengan pemerintah (Golkar).
Dalam hal perannya sebagai partai politik yang seharusnya memberikan pendidikan politk bagi masyarakat, Golkar malah melakukan depolitisasi massa. Artinya adanya penghilangan kekuatan politik massa yang dilakukan secara sistematis atau dikenal dengan istilah floating mass atau kebijakkan massa mengambang. Adanya politisasi birokrasi juga dalam rangka depolitisasi massa. Ini dimaksudkan untuk melemahkan partai-partai politik. Agenda depolitisasi massa diawali dengan dicanangkannya monoloyalitas bagi semua PNS (Pegawai Negeri Sipil) dan pegawai perusahaan negara untuk menukung partai pemerintah yaitu Golkar. Jika diketahui tidak mendukung Golkar, maka pekerjaan atau jabatannya akan terancam.
Dalam konteks ini banyak kalangan ilmuwan politik yang menilai pemerintahan orde baru sebagai Bureaucratic Polity (Karl D. Jackson dalam Afan Gaffar, 1999). Golkar seolah sudah melembaga dan menyatu dengan tubuh pemerintahan. Birokraasi dijadikan sebuah instrumen politik bagi pemerintah dalam memobilisasi massa. Adapun bentuknya bisa memberi dukungan suara langsung kepada Golkar setiap kali Pemilu. Birokrasi juga terlibat secara langsung dalam proses pemenangan Golkar di Pemilu lewat panitia penyelenggaraan Pemilu. Ini merupakan jalan bagi penyelewengan suara pemilih dalam Pemilu. Sebenarnya inti kekuatan Golkar sebagai partai yang hegemoni adalah terletak pada figur seorang pemimpinnya serta dukungan militer seperti pada awal kebangkitannya yang dipelopori oleh kalangan militer khususnya Angkatan Darat. Tanpa itu semua maka Golkar akan rapuh. Karena mekanisme yang digunakan adalah stick sebagai pengatur stabilitas dan carrotsebagai pembuai rakyat pada “kesejahteraan” yang dihasilkan dari program pembangunan.
Menjelang akhir kekuasaannya, mulai terbongkar bangunan pembodohan yang selama ini ditutup rapih. Agenda pembangunan ekonomi yang didengungkan selama ini lewat Pelita-nya hanyalah pembohongan publik. Begitu rapuhnya ekonomi Indonesia saat itu. Terbukti Indonesia tak mampu untuk menghindari badai krisis ekonomi yang melanda yang menyebabkan kemiskinan di mana-mana. Begitupun dengan membengkaknya hutang luar negeri Indonesia yang sebenarnya sudah terjadi sejak dahulu. Saat itu media tidak mampu lagi untuk menutupi semuanya karena sudah menjadi rahasia umum.
Dengan krisis tersebut membuat hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Sehingga arus demonstrasi besar-besaran menentang pemerintah tak dapat dielakkan lagi. Individu atau kelompok yang selama ini ditekan tidak dapat membendung lagi kekecewaannya sehingga terakumulasi pada tahun 1998. Karena hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah orde baru itu, maka kekuasaan Soeharto tak dapat dipertahankan lagi. Padahal sebelumnya Golkar mengalami kemenangan Pemilu. Tapi semua itu hancur dalam hitungan waktu yang singkat. Ternyata “kekenyangan” ekonomi tidak akan membuat rakyat menjadi apatis atau acuh tak acuh untuk beraspirasi terhadap kepentingan politik, sehingga dapat menjamin stabilitas politik. Begitu juga sebaliknya stabilitas politik tidak akan tercipta jika ekonomi tidak bisa mensejahterakan rakyat (Iman Sulaiman, S., 2005).
Dengan lengsernya kepemimpinan Soeharto sebagai tokoh sentral, maka kekuasaan Golkar sebagai partai hegemoni telah runtuh. Keruntuhan itu didukung dengan dilepasnya dwi fungsi dan profesionalisme ABRI. Dengan profesionalisme, ABRI/TNI tidak lagi mengurusi politik, TNI “dibarak-kan” kembali. Jabatan kepala daerah yang selama ini dipegang oleh TNI, kini mulai diberikan pada sipil. Akhirnya TNI AD sulit untuk mengontrol masyarakat untuk mendukung Golkar lagi.
Dengan fenomena ini diharapkan untuk kedepan tidak akan terjadi lagi di negara kita. Cukuplah pengalaman 32 tahun menjadi pelajaran yang sangat berarti untuk kembali membangun sistem politik dan kepartaian yang baik dan lebih dsemokratis dan fair. 
 Daftar Pustaka
Gaffar, Afan. 1999, Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Iman Sulaiman, Adhi. 2005, “Refleksi Pembangunan Politik Orde Reformasi Dalam Konteks Institusionalisasi Politik”, Swara Politika: Jurnal Politik dan PembangunanVol. 6 No. 1 April 2005, Diterbitkan oleh Laboratorium Ilmu Politik FISIP Unsoed, Purwokerto.
Intan Naomi, Omi. 1996, Anjing-Anjing Penjaga Pers di Rumah Orde Baru, Penerbit Gorong-Gorong Budaya, Jakarta.
Mahfud MD, Moh. 1999, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Penerbit Gama Media atas kerjasama dengan Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Foundation , Yogyakarta.
Suryadi Budi. 2006, Kerangka Analisis Sistem Politik Indonesia, IRCiSoD, Yogyakarta.