Assalamu'alaikum,,, Salam Hormat

Terima kasih atas kunjungan anda ke blog saya. Semoga bermanfaat. Semua tulisan ini hasil saya pribadi, atau diambil dari tulisan lain yang tercantum pada rujukannya. Bila mengutip baik secara langsung maupun tidak, sebagian atau keseluruhan, diharapkan Mencantumkan sumber tulisan dan penulisnya pada daftar pustaka/catatan kaki sebagai bahan rujukannya.
atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih

Minggu, 30 Oktober 2011

Pelanggaran Pemilu & Mekanisme Penyelesaiannya

Pelanggaran Pemilu & Mekanisme Penyelesaiannya

 

A.  Ancaman Pelanggaran Terhadap Proses Demokratisasi
logo-pemiluSECARA umum demokrasi diartikan sebagai pemerintahan yang berasal dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Salah satu prinsip demokrasi yang penting adalah adanya Pemilu yang bebas sebagai perwujudan nyata kedaulatan rakyat atas keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara. Kenyataan menunjukkan bahwa membumikan ide yang mulia tersebut tidaklah semudah mengucapkannya.

Ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi agar pemilu benar-benar menghasilkan pemerintahan yang demokratis secara substantif dan bukan sekedar prosesi ritual. Prasyarat tersebut antara lain adalah : tersedianya aturan main yang jelas dan adil bagi semua peserta, adanya penyelenggara yang independen dan tidak diskriminatif, pelaksanaan aturan yang konsisten, dan adanya sanksi yang adil kepada semua pihak. Tahapan penyelenggaraan pemilu 2009 telah diawali dengan permasalahan hukum seperti penyerahan data kependudukan atau Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) oleh Pemerintah kepada KPU yang tidak lengkap dan proses pembentukan struktur KPU di daerah yang tidak sesuai jadwal, keterlambatan pembuatan beberapa aturan, kesalahan pengumuman DCT dan pengumuman DPT yang belum final.

Selain itu, sengketa mengenai hasil perolehan suara dalam Pilkada Maluku Utara telah menyeret KPU ke dalam sengketa kewenangan. KPU bersengketa dengan KPU Propinsi Malut dan berlanjut dengan Pemerintah – dalam hal ini Departemen Dalam Negeri. Beberapa pelanggaran tersebut muncul karena peraturan perundang-undangan yang ada masih belum lengkap, multi tafsir, bahkan ada yang tidak sinkron.

Adanya persoalan menyangkut aturan ini berkibat pada penanganan pelanggaran yang inkonsisten atau justru mendorong pembiaran atas pelanggaran karena peraturan yang ada tidak cukup menjangkau. Demi untuk mewujudkan penyelenggaraan pemilu yang berkualitas dan memiliki integritas tinggi maka perlu dilakukan penyempurnaan terhadap aturan yang telah ada melalui penambahan aturan, penegasan maksud dan sinkronisasi antar peraturan perundang-undangan yang ada salah satu diantaranya adalah melalui pembuatan instrumen-instrumen komplain atas terjadinya pelanggaran pemilu yang lengkap, mudah diakses, terbuka, dan adil. Lebih penting lagi adalah memastikan bahwa aturan main yang ditetapkan tersebut dijalankan secara konsisten.

Tersedianya aturan yang konkrit dan implementatif penting untuk menjamin kepastian dan keadilan hukum sehingga pemilu memiliki landasan legalitas dan legitimasi yang kuat sehingga pemerintahan yang dihasilkan melalui pemilu tetap mendapatkan dukungan masyarakat luas. Untuk itu maka segala pelanggaran yang terjadi dalam proses pelaksanaan pemilu harus diselesaikan secara adil, terbuka dan konsisten.

B. Pelanggaran Pemilu 2009
Terjadinya pelanggaran dalam pelaksanaan pemilu 2009 sudah tidak terhindarkan. Pelanggaran dapat terjadi karena adanya unsur kesengajaan maupun karena kelalaian. Pelanggaran pemilu dapat dilakukan oleh banyak pihak bahkan dapat dikatakan semua orang memiliki potensi untuk menjadi pelaku pelanggaran pemilu. Sebagai upaya antisipasi, UU 10 Tahun 2008 tentang Pemiliham Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU Pemilu) mengaturnya pada setiap tahapan dalam bentuk kewajiban, dan larangan dengan tambahan ancaman atau sanksi. Potensi pelaku pelanggaran pemilu dalam UU pemilu antara lain:
1. Penyelenggara Pemilu yang meliputi anggota KPU, KPU Propinsi, KPU Kabupaten/Kota, anggota Bawaslu, Panwaslu Propinsi, Panwaslu Kabupaten Kota, Panwas Kecamatan, jajaran sekretariat dan petugas pelaksana lapangan lainnya;
2. Peserta pemilu yaitu pengurus partai politik, calon anggota DPR, DPD, DPRD, tim kampanye;
3. Pejabat tertentu seperti PNS, anggota TNI, anggota Polri, pengurus BUMN/BUMD, Gubernur/pimpinan Bank Indonesia, Perangkat Desa, dan badan lain lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara;
4. Profesi Media cetak/elektronik, pelaksana pengadaan barang, distributor;
5. Pemantau dalam negeri maupun asing;
6. Masyarakat Pemilih, pelaksana survey/hitungan cepat, dan umum yang disebut sebagai “setiap orang”.

Meski banyak sekali bentuk pelanggaran yang dapat terjadi dalam pemilu, tetapi secara garis besar UU Pemilu membaginya berdasarkan kategori jenis pelanggaran pemilu menjadi:
(1) pelanggaran administrasi pemilu;
(2) pelanggaran pidana pemilu; dan
(3) perselisihan hasil pemilu.

(1) Pelanggaran Administrasi Pasal 248 UU Pemilu mendefinisikan perbuatan yang termasuk dalam pelanggaran administrasi adalah pelanggaran terhadap ketentuan UU Pemilu yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana pemilu dan ketentuan lain yang diatur dalam Peraturan KPU. Dengan demikian maka semua jenis pelanggaran, kecuali yang telah ditetapkan sebagai tindak pidana, termasuk dalam kategori pelanggaran administrasi. Contoh pelanggaran administratif tersebut misalnya: tidak memenuhi syarat-syarat untuk menjadi peserta pemilu, menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah dan tempat pendidikan untuk berkampanye, tidak melaporkan rekening awal dana kampanye, pemantau pemilu melanggar kewajiban dan larangan.

(2) Tindak Pidana Pemilu Pasal 252 UU Pemilu mengatur tentang tindak pidana pemilu sebagai pelanggaran pemilu yang mengandung unsur pidana. Pelanggaran ini merupakan tindakan yang dalam UU Pemilu diancam dengan sanksi pidana. Sebagai contoh tindak pidana pemilu antara lain adalah sengaja menghilangkan hak pilih orang lain, menghalangi orang lain memberikan hak suara dan merubah hasil suara. Seperti tindak pidana pada umumnya, maka proses penyelesaian tindak pidana pemilu dilakukan oleh lembaga penegak hukum yang ada yaitu kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan.

(3) Perselisihan Hasil Pemilu Yang dimaksud dengan perselisihan hasil pemilu menurut pasal 258 UU Pemilu adalah perselisihan antara KPU dan peserta pemilu mengenai penetapan jumlah perolehan suara hasil pemilu secara nasional. Perselisihan tentang hasil suara sebagaimana dimaksud hanya terhadap perbedaan penghitungan perolehan hasil suara yang dapat memengaruhi perolehan kursi peserta pemilu. Sesuai dengan amanat Konstitusi yang dijabarkan dalam UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, maka perselisihan mengenai hasil perolehan suara diselesaikan melalui peradilan konstitusi di MK. Satu jenis pelanggaran yang menurut UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu (UU KPU) menjadi salah satu kewenangan Panwaslu Kabupaten/Kota untuk menyelesaikannya adalah pelanggaran pemilu yang bersifat sengketa. Sengketa adalah perbenturan dua kepentingan, kepentingan dan kewajiban hukum, atau antara kewajiban hukum dengan kewajiban hukum (konflik) yang dalam konteks pemilu dapat terjadi antara peserta dengan penyelenggara maupun antara peserta dengan peserta. Pada pemilu 2004, tata cara penyelesaian terhadap jenis pelanggaran ini diatur dalam satu pasal tersendiri (pasal 129 UU 12/2003).

Terhadap sengketa pemilu ini yaitu perselisihan pemilu selain yang menyangkut perolehan hasil suara, UU 10/2008 tidak mengatur mekanisme penyelesaiannya. Sengketa juga dapat terjadi antara KPU dengan peserta pemilu atau pihak lain yang timbul akibat dikeluarkannya suatu Peraturan dan Keputusan KPU. Kebijakan tersebut, karena menyangkut banyak pihak, dapat dinilai merugikan kepentingan pihak lain seperti peserta pemilu (parpol dan perorangan), media/pers, lembaga pemantau, pemilih maupun masyarakat.

Berbeda dengan UU 12/2003, yang menegaskan bahwa Keputusan KPU bersifat final dan mengikat, dalam UU KPU dan UU Pemilu tidak ada ketentuan yang menegaskan bahwa Keputusan KPU bersifat final dan mengikat. Dengan demikian maka Keputusan KPU yang dianggap merugikan terbuka kemungkinan untuk dirubah. Persoalannya, UU Pemilu juga tidak memberikan “ruang khusus” untuk menyelesaikan ketidakpuasan tersebut.

Contoh KASUS yang telah nyata ada adalah :
1) sengketa antara calon peserta pemilu dengan KPU menyangkut Keputusan KPU tentang Penetapan Partai Politik Peserta Pemilu. Keputusan KPU tersebut dianggap merugikan salah satu atau beberapa calon peserta pemilu.
2) sengketa antara partai politik peserta pemilu dengan anggota atau orang lain mengenai pendaftaran calon legislatif. Pencalonan oleh partai politik tertentu dianggap tidak sesuai dengan atau tanpa seijin yang bersangkutan.

C. Tata Cara Penyelesaian Pelanggaran
Meski jenis pelanggaran bermacam-macam, tetapi tata cara penyelesaian yang diatur dalam UU hanya mengenai pelanggaran pidana. Pelanggaran administrasi diatur lebih lanjut melalui Peraturan KPU dan selisih hasil perolehan suara telah diatur dalam UU MK.

Batas Waktu Penanganan Pelanggaran Pemilu

1. Mekanisme Pelaporan Penyelesaian pelanggaran pemilu diatur dalam UU Pemilu BAB XX. Secara umum, pelanggaran diselesaikan melalui Bawaslu dan Panwaslu sesuai dengan tingkatannya sebagai lembaga yang memiliki kewenangan melakukan pengawasan terhadap setiap tahapan pelaksanaan pemilu. Dalam proses pengawasan tersebut, Bawaslu dapat menerima laporan, melakukan kajian atas laporan dan temuan adanya dugaan pelanggaran, dan meneruskan temuan dan laporan dimaksud kepada institusi yang berwenang. Selain berdasarkan temuan Bawaslu, pelanggaran dapat dilaporkan oleh anggota masyarakat yang mempunyai hak pilih, pemantau pemilu dan peserta pemilu kepada Bawaslu, Panwaslu Propinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota paling lambat 3 hari sejak terjadinya pelanggaran pemilu.

Bawaslu memiliki waktu selama 3 hari untuk melakukan kajian atas laporan atau temuan terjadinya pelanggaran. Apabila Bawaslu menganggap laporan belum cukup lengkap dan memerlukan informasi tambahan, maka Bawaslu dapat meminta keterangan kepada pelapor dengan perpanjangan waktu selama 5 hari.

Berdasarkan kajian tersebut, Bawaslu dapat mengambil kesimpulan apakah temuan dan laporan merupakan tindak pelanggaran pemilu atau bukan.
Dalam hal laporan atau temuan tersebut dianggap sebagai pelanggaran, maka Bawaslu membedakannya menjadi:
1) pelanggaran pemilu yang bersifat administratif ; dan
2) pelanggaran yang mengandung unsur pidana.

Bawaslu meneruskan hasil kajian tersebut kepada instansi yang berwenang untuk diselesaikan. Aturan mengenai tata cara pelaporan pelanggaran pemilu diatur dalam ketentuan pasal 247 UU 10/2008 yang diperkuat dalam Peraturan Bawaslu No.05 /2008.
2. Mekanisme penyelesaian pelanggaran administrasi Pelanggaran pemilu yang bersifat administrasi menjadi kewenangan KPU untuk menyelesaikannya. UU membatasi waktu bagi KPU untuk menyelesaikan pelanggaran administrasi tersebut dalam waktu 7 hari sejak diterimanya dugaan laporan pelanggaran dari Bawaslu. Sesuai dengan sifatnya, maka sanksi terhadap pelanggaran administrasi hendaknya berupa sanksi administrasi. Sanksi tersebut dapat berbentuk teguran, pembatalan kegiatan, penonaktifan dan pemberhentian bagi pelaksana pemilu.

Aturan lebih lanjut tentang tata cara penyelesaian pelanggaran administrasi dibuat dalam peraturan KPU. Peraturan KPU mengenai hal tersebut sampai saat ini belum ada. Meski kewenangan menyelesaikan pelanggaran administrasi menjadi domain KPU, KPU Propinsi, dan KPU Kabupaten/Kota sebagaimana diatur dalam ketentuan UU Pemilu pasal 248-251, tetapi UU Pemilu juga memberikan tugas dan wewenang kepada Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Propinsi dan Bawaslu untuk menyelesaikan temuan dan laporan pelanggaran terhadap ketentuan kampanye yang tidak mengandung unsur pidana (lihat UU 10/2008 pasal 113 ayat (2), pasal 118 ayat (2), dan 123 ayat (2).

Terhadap pelanggaran yang menyangkut masalah perilaku yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu seperti anggota KPU, KPU Propinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan jajaran sekretariatnya, maka Peraturan KPU tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilu dapat diberlakukan. Hal yang sama juga berlaku bagi anggota Bawaslu, Panwaslu Propinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, dan jajaran sekretariatnya, yang terikat dengan Kode Etik Pengawas Pemilu.

3. Mekanisme Penyelesaian Pelanggaran Pidana Pemilu.

3.1. Proses Penyidikan. Sebenarnya penanganan tindak pidana pemilu tidak berbeda dengan penanganan tindak pidana pada umumnya yaitu melalui kepolisian kepada kejaksaan dan bermuara di pengadilan. Secara umum perbuatan tindak pidana yang diatur dalam UU Pemilu juga terdapat dalam KUHP. Tata cara penyelesaian juga mengacu kepada KUHAP. Dengan asas lex specialist derogat lex generali maka aturan dalam UU Pemilu lebih utama. Apabila terdapat aturan yang sama maka ketentuan yang diatur KUHP dan KUHAP menjadi tidak berlaku.

Mengacu kepada pasal 247 angka (9) UU Pemilu, temuan dan laporan tentang dugaan pelanggaran pemilu yang mengandung unsur pidana, setelah dilakukan kajian dan didukung dengan data permulaan yang cukup, diteruskan oleh Bawaslu kepada penyidik Kepolisian. Proses penyidikan dilakukan oleh penyidik polri dalam jangka waktu selama-lamanya 14 hari terhitung sejak diterimanya laporan dari Bawaslu. Kepolisian mengartikan 14 hari tersebut termasuk hari libur. Hal ini mengacu kepada KUHAP yang mengartikan hari adalah 1 x 24 jam dan 1 bulan adalah 30 hari.

Guna mengatasi kendala waktu dan kesulitan penanganan pada hari libur, pihak kepolisian telah membentuk tim kerja yang akan menangani tindak pidana pemilu. Setiap tim beranggotakan antara 4-5 orang. TIM PENYIDIK TINDAK PIDANA PEMILU POLRI BARESKRIM: 7 TIM (4 Dalam Negeri + 3 Luar Negeri), POLDA: 5 TIM, POLWIL: 3 TIM, POLRES: 10 TIM.

Dengan adanya tim kerja tersebut maka penyidikan akan dilakukan bersama-sama. Setelah menerima laporan pelanggaran dari Bawaslu, penyidik segera melakukan penelitian terhadap:
1) kelengkapan administrasi laporan yang meliputi : keabsahan laporan (format, stempel, tanggal, penomoran, penanda tangan, cap/stempel), kompetensi Bawaslu terhadap jenis pelanggaran, dan kejelasan penulisan; dan
2) materi/laporan yang antara lain : kejelasan indentitas (nama dan alamat) pelapor, saksi dan tersangka, tempat kejadian perkara, uraian kejadian/pelanggaran, waktu laporan.

Berdasarkan indentitas tersebut, penyidik melakukan pemanggilan terhadap saksi dalam waktu 3 hari dengan kemungkinan untuk memeriksa saksi sebelum 3 hari tersebut yang dapat dilakukan di tempat tinggal saksi. 14 hari sejak diterimanya lapaoran dari Bawaslu, pihak penyidik harus menyampaikan hasil penyidikan beserta berkas perkara kepada penuntut umum (PU).

3.2. Proses Penuntutan. UU Pemilu tidak mengatur secara khusus tentang penuntut umum dalam penanganan pidana pemilu. Melalui Surat Keputusan (September 2008) Jaksa Agung telah menunjuk jaksa khusus pemilu di seluruh Indonesia (31 Kejaksaan Tinggi, 272 kejaksaan Negeri, dan 91 Cabang Kejaksaan Negeri). Masing-masing Kejaksaan Negeri dan Cabang Kejaksaan Negeri ditugaskan 2 orang jaksa khusus untuk menangani pidana pemilu tanpa menangani kasus lain di luar pidana pemilu.

Di tingkat Kejaksaan Agung ditugaskan 12 orang jaksa yang dipimpin Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum) untuk menangani perkara pemilu di pusat dan Luar Negeri. Penugasan ini dituangkan dalam Keputusan Jaksa Agung No. 125/2008.

Jika hasil penyidikan dianggap belum lengkap, maka dalam waktu paling lama 3 hari penuntut umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik kepolisian disertai dengan petunjuk untuk melengkapi berkas bersangkutan. Perbaikan berkas oleh penyidik maksimal 3 hari untuk kemudian dikembalikan kepada PU. Maksimal 5 hari sejak berkas diterima, PU melimpahkan berkas perkara kepada pengadilan. Karena sejak awal penanganan kasus di kepolisian pihak kejaksaan sudah dilibatkan untuk mengawal proses penyidikan maka duduk perkara sudah dapat diketahui sejak Bawaslu melimpahkan perkara ke penyidik.

Dengan demikian maka PU dapat mempersiapkan rencana awal penuntutan/matrik yang memuat unsur-unsur tindak pidana dan fakta-fakta perbuatan. Pada saat tersangka dan barang bukti dikirim/diterima dari kepolisian maka surat dakwaan sudah dapat disusun pada hari itu juga. Karena itu masalah limitasi waktu tidak menjadi kendala. Untuk memudahkan proses pemeriksaan terhadap adanya dugaan pelanggaran pidana pemilu, Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksaan telah membuat kesepahaman bersama dan telah membentuk sentra penegakan hukum terpadu (Gakumdu). Adanya Gakumdu memungkinkan pemeriksaan perkara pendahuluan melalui gelar perkara.

3.3. Proses Persidangan. Tindak lanjut dari penanganan dugaan pelanggaran pidana pemilu oleh Kejaksaan adalah pengadilan dalam yuridiksi peradilan umum. Mengingat bahwa pemilu berjalan cepat, maka proses penanganan pelanggaran menggunakan proses perkara yang cepat (speed trial).

Hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara pidana pemilu menggunakan KUHAP sebagai pedoman beracara kecuali yang diatur secara berbeda dalam UU Pemilu. Perbedaan tersebut terutama menyangkut masalah waktu yang lebih singkat dan upaya hukum yang hanya sampai banding di Pengadilan Tinggi.

Tujuh hari sejak berkas perkara diterima Pengadilan Negeri memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana pemilu. Batasan waktu ini akan berimbas kepada beberapa prosedur yang harus dilalui seperti pemanggilan saksi dan pemeriksaan khususnya di daerah yang secara geografis banyak kendala. Untuk itu maka UU memerintahkan agar penanganan pidana pemilu di pengadilan ditangani oleh hakim khusus yang diatur lebih lanjut melalui Peraturan MA (Perma).

PERMA No. 03/2008 menegaskan bahwa Hakim khusus sebagaimana dimaksud berjumlah antara 3 – 5 orang hakim dengan kriteria telah bekerja selama 3 tahun. MA juga telah mengeluarkan Surat Edaran No. 07/A/2008 yang memerintahkan kepada Pengadilan Tinggi untuk segera mempersiapkan/menunjuk hakim khusus yang menangani tindak pidana pemilu.

Dalam hal terjadi penolakan terhadap putusan PN tersebut, para pihak memiliki kesempatan untuk melakukan banding ke Pengadilan Tinggi. Permohonan banding terhadap putusan tersebut diajukan paling lama 3 hari setelah putusan dibacakan.PN melimpahkan berkas perkara permohonan banding kepada PT paling lama 3 hari sejak permohonan banding diterima.

PT memiliki kesempatan untuk memeriksa dan memutus permohonan banding sebagaimana dimaksud paling lama 7 (tujuh) hari setelah permohonan banding diterima. Putusan banding tersebut merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat sehingga tidak dapat diajukan upaya hukum lain.

3.4. Proses Pelaksanaan Putusan. Tiga hari setelah putusan pengadilan dibacakan, PN/PT harus telah menyampaikan putusan tersebut kepada PU. Putusan sebagaimana dimaksud harus dilaksanakan paling lambat 3 hari setelah putusan diterima jaksa. Jika perkara pelanggaran pidana pemilu menurut UU Pemilu dipandang dapat mempengaruhi perolehan suara peserta pemilu maka putusan pengadilan atas perkara tersebut harus sudah selesai paling lama 5 hari sebelum KPU menetapkan hasil pemilu secara nasional.

Khusus terhadap putusan yang berpengaruh terhadap perolehan suara ini, KPU, KPU Propinsi dan KPU Kabupaten/Kota dan peserta harus sudah menerima salinan putusan pengadilan pada hari putusan dibacakan. KPU berkewajiban untuk menindaklanjuti putusan sebagaimana dimaksud. Demikian pengecualian hukum beracara untuk menyelesaikan tindak pidana pemilu menurut UU 10/2008 yang diatur berbeda dengan KUHAP. Sesuai dengan sifatnya yang cepat, maka proses penyelesaian pelanggaran pidana pemilu paling lama 53 hari sejak terjadinya pelanggaran sampai dengan pelaksanaan putusan oleh jaksa.
Pengaturan ini jauh lebih cepat jika dibandingkan dengan UU 12/2003 yang memakan waktu 121 hari.

4. Perselisihan Hasil Perolehan Suara
 Sesuai dengan Konstitusi yang dijabarkan dalam ketentuan UU 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi, perselisahan tentang hasil perolehan suara pemilu diselesaikan melalui MK.

Tata cara penyelesaian perselisihan perolehan hasil suara pemilu 2009 telah diatur dalam PMK No. 14/2008 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Permohonan diajukan oleh peserta pemilu paling lambat 3 x 24 jam sejak KPU mengumumkan penetapan perolehan suara hasil pemilu secara nasional. Pengajuan permohonan disertai dengan alat bukti pendukung seperti sertifikat hasil penghitungan suara, sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan setiap jenjang, berita acara penghitungan beserta berkas pernyataan keberatan peserta, serta dokumen tertulis lainnya. Apabila kelengkapan dan syarat permohonan dianggap tidak cukup, panitera MK memberitahukan kepada pemohon untuk diperbaiki dalam tenggat 1 x 24 jam. Apabila dalam waktu tersebut perbaikan kelengkapan dan syarat tidak dilakukan, maka permohonan tidak dapat diregistrasi. Tiga hari kerja sejak permohonan tercatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi panitera mengirimkan permohonan kepada KPU. Dalam permohonan tersebut disertakan juga permintaan keterangan tertulis KPU yang dilengkapi dengan bukti-bukti hasil penghitungan suara yang diperselisihkan. Keterangan tertulis tersebut haraus sudah diterima MK paling lambat 1 hari sebelum hari persidangan. Mahkamah menetapkan hari sidang pertama dala mwaktu 7 hari kerja sejak permohonan diregistrasi. Penetapan hari sidang pertama diberitahukan kepada pemohon dan KPU paling lambat 3 (tiga) hari sebelum hari persidangan.

Pemeriksaan permohonan dibagi menjadi :
1) pemeriksaan pendahuluan untuk memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi permohonan. Panel Hakim yang terdiri atas 3 orang hakim konstitusi wajib memberi nasihat kepada pemohon untuk melengkapi dan/atau memperbaiki permohonan apabila terdapat kekurangan paling lambat 1 x 24 jam.
2) pemeriksaan persidangan yang dilakukan untuk memeriksa kewenangan MK, kedudukan pemohon, pokok permohonan, keterangan KPU dan alat bukti oleh Panel Hakim dan/atau Pleno Hakim dalam sidang yang terbuka untuk umum. Putusan MK dijatuhkan paling lambat 30 hari kerja sejak permohonan dicatat dalam buku registrasi perkara konstitusi. Putusan MK bersifat final dan selanjtunya disampaikan kepada pemohon, KPU dan Presiden serta dapat disampaikan kepada pihak terkait. KPU, KPU Propinsi dan KPU Kabupaten/Kota wajib menindaklanjuti Putusan tersebut.

D. Beberapa Permasalahan

a) Waktu Terjadinya Pelanggaran. Laporan pelanggaran pemilu oleh peserta pemilu, pemantau dan pemilih harus disampaikan kepada Bawaslu paling lama 3 hari sejak terjadinya pelanggaran. Dalam konteks hukum pidana, waktu kejadian perkara (tempus delicti) terhitung sejak suatu tindak pidana atau kejadian dilakukan oleh si pelaku dan bukan pada saat selesainya suatu perbuatan atau timbulnya dampak/akibat hukum.

Ketentuan ini secara sengaja telah menutup celah bagi proses hukum terhadap pelanggaran pemilu yang tidak terjadi di ruang terbuka. Sebagai contoh pemberian atau penerimaan dana kampanye yang melebihi jumlah yang telah ditentukan tetapi dilakukan melalui transfer rekening antar bank pada hari jumat malam. Karena membutuhkan proses administrasi dan terkendala hari libur maka dana baru diterima setelah 3 hari. Secara konseptual terjadinya pelanggaran adalah hari jumat sehingga pelanggaran tidak dapat diproses.

b) Penanganan Laporan. Peraturan Bawaslu No. 05 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pelaporan Pelanggaran Pemilu DPR, DPD, dan DPRD tidak memberikan rincian lebih jauh dibandingkan dengan apa yang telah diatur dalam UU Pemilu. Beberapa format laporan sebagai lampiran dari Peraturan dimaksud lebih menunjukkan bahwa Peraturan mengarah kepada petunjuk teknis dan pedoman Bawaslu tentang penerimaan laporan pelanggaran pemilu. Bawaslu perlu mengatur lebih detail tentang tata cara penanganan laporan/temuan pelanggaran terkait dengan dokumen bukti indentitas, informasi/keterangan yang cukup, jenis alat bukti minimal, materi pelanggaran, dan standar laporan dan berkas yang akan diteruskan kepada penyidik.

c) Tata Cara Penyelesaian Pelanggaran Administrasi. Sampai saat ini KPU belum menerbitkan Peraturan tentang Tata Cara Penyelesaian Pelanggaran Administrasi yang diamanatkan UU 10/2008. Belum adanya aturan mengenai masalah ini akan mengakibatkan penanganan pelanggaran administrasi yang berbeda antara kasus satu dengan yang lain bergantung kepada kemauan KPU sehingga tidak memberikan kepastian hukum dan dapat mencederai rasa keadilan.

Karena itu KPU harus segera membuat aturan tersebut sesegera mungkin sebagai pedoman bagi semua pihak yang terlibat dan berkepentingan dengan penyelenggaraan pemilu. Peraturan tentang tata cara penyelesaian pelanggaran administrasi setidaknya mengatur mengenai kategorisasi tingkat pelanggaran, pemanggilan pelaku, pembuktian, adanya kesempatan pelaku untuk membela diri, jenis sanksi yang dapat dijatuhkan berdasar tingkat pelanggaran atau kesalahan, proses pelaksanaan sanksi, dan ketersediaan waktu yang cukup dan pasti.

d) Penegasan wewenang dan tanggung jawab penyelesaian pelanggaran administrasi. Terjadi kerancuan pengaturan dalam ketentuan UU Pemilu antara pasal 248-251 dengan pasal 113 ayat (2), pasal 118 ayat (2), dan 123 ayat (2) serta UU KPU pasal 78 ayat (1) huruf c. Beberapa ketentuan yang bertolak belakang ini menyebabkan ketidakpastian proses penanganan pelanggaran pemilu yang tidak mengandung unsur pidana.

Dikuatirkan KPU dan Bawaslu saling melepaskan tanggung jawab untuk menangani pelanggaran tersebut. Perlu ada kesepakatan antara KPU dan Bawaslu mengenai pembagian tugas dan wewenang penyelesaian pelanggaran administrasi. Wewenang Panwaslu Kabupaten/Kota untuk menangani pelanggaran administrasi pada tahap kampanye apakah merupakan suatu pengecualian, atau disepakati untuk dikesampingkan karena bertentangan dengan asas kepastian dan keadilan. Kalau dianggap pengecualian, maka bagaimana tata cara penyelesaiannya.

e) Pengertian ”hari”. UU Pemilu tidak meberikan definisi dan penjelasan mengenai “hari” untuk menangani pelanggaran pemilu. Yang dimaksud apakah hanya hari kerja atau termasuk hari libur dan yang diliburkan (cuti bersama). Akibatnya terjadi perbedaan pemahaman antar instansi penegak hukum pemilu. Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksaan telah bersepakat bahwa yang dimaksud dengan hari adalah 1 x 24 jam (termasuk di dalamnya hari libur) tetapi MA dan MK menegaskan bahwa hari adalah hari kerja. KPU, meski beberapa tahapan penyelenggaraan pemilu juga dibatasi dengan hari, tidak mengatur mengenai hal tersebut. Tidak adanya pengertian yang sama mengenai masalah ini akan berpotensi mengganggu proses penanganan pelanggaran khususnya menyangkut batas waktu (daluarsa).

f) Tindakan terhadap TNI. UU 12/2003 pasal 132 dengan tegas menyatakan bahwa tindakan kepolisian terhadap pejabat negara seperti anggota DPR, DPD, DPRD, dan PNS harus dengan ijin khusus sebagaiman diatur dalam UU 13/1970 tidak berlaku. Ketentuan ini tidak terdapat dalam UU 10/2008, sehingga keputusan Kepolisian dan Kejaksaan untuk memeriksa anggota legislatif dan PNS tanpa ijin tersebut memiliki resiko hukum tersendiri. Selain itu, UU Pemilu juga tidak mengatur keterlibatan POM TNI untuk memeriksa kasus yang menyangkut anggota TNI sementara penyidik Kepolisian merasa tidak memiliki wewenang untuk memeriksa anggota TNI.

g) Gakkumdu. Pembuatan nota kesepahaman antara Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksaan dan kesepakatan pembentukan Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakumdu) belum menjawab kebutuhan terhadap kecepatan penanganan perkara. Pasal 12 MOU menyangkut proses pengembalian berkas perkara dari PU kepada Penyidik untuk diperbaiki dimungkinkan terjadi 2 kali masing-masing 3 hari. Kesepakatan ini dapat dianggap bertentangan ketentuan pasal 253 UU Pemilu yang memberikan kesempatan pengembalian/perbaikan berkas dari PU ke Penyidik hanya satu kali (3 hari). Pengulangan ini akan mengakibatkan perkara yang sampai ke PU telah melampaui tenggat waktu dari yang telah ditentukan dalam UU Pemilu.

h) Banding. Proses penanganan banding atas putusan PN dilakukan dalam waktu 7 hari yang terhitung “sejak permohonan banding diterima”. Sementara proses pelimpahan berkas perkara banding dari PN ke PT dapat dilakukan paling lama 3 hari yang dihitung sejak “permohonan banding diterima”. Adanya titik hitung yang sama untuk dua persoalan yang berkelanjutan mengakibatkan waktu pemeriksaan di tingkat banding berkurang menjadi 4 hari. Dengan pemeriksaan yang sangat singkat dikhawatirkan PT tidak cukup waktu untuk menangani perkara.

i) Jumlah aparat. Khusus untuk menangani perkara pemilu Kejaksaan telah menugaskan 2 orang jaksa sementara PN dan PT harus menyediakan hakim khusus 3 – 5 orang sebagaimana diatur dalam Perma No. 03 tahun 2008 dan SEMA 07/A/2008. Jumlah aparat tersebut dapat menyebabkan proses penanganan perkara terbengkalai apabila terjadi penumpukan perkara pada tahapan tertentu karena batasan waktu yang singkat dalam penanganannya termasuk apabila pelanggaran terjadi di wilayah yang memiliki kendala geografis.

j) Jenis Pidana dan Hukum Acara Pemeriksaan. KUHP membedakan tindak pidana sebagai pelanggaran (tindak pidana yang ancaman hukumannya kurang dari 12 bulan ) dan kejahatan (ancaman hukumannya 12 bulan ke atas).

Dalam KUHAP pelanggaran menggunakan hukum acara singkat dan kejahatan dengan hukum acara biasa. tetapi UU 10/2008 tidak membedakannya. Tidak ada penjelasan acara apa yang akan digunakan untuk mengadili, apakah pelimpahan dengan menggunakan acara pemeriksaan singkat atau dengan pemeriksaan biasa. Karena menyangkut tanggung jawab dari perkara inklusif perkara dan barang bukti. Apabila acara pemeriksaan singkat maka meski berkas perkara telah dilimpahkan tetapi tanggungjawab tersangka tetap ada pada jaksa sampai proses persidangan. Tetapi apabila menggunakan acara pemeriksaan biasa, maka sejak pelimpahan berkas tanggung jawab terhadap barang bukti dan tersangka menjadi tanggung jawab pengadilan.
Selain itu sanksi pidana pemilu berbentuk kumulatif dengan rentang perbedaan yang cukup tinggi sehingga dapat memunculkan disparitas putusan.

k) Pelaksanaan Putusan. UU memerintahkan 3 hari sejak putusan PN/PT dijatuhkan maka harus segera dilaksanakan oleh jaksa selaku eksekutor. Permasalahannya untuk melakukan eksekusi mengharuskan jaksa memperoleh salinan putusan dari pegadilan. Kalau dalam waktu 3 hari salinan putusan belum disampaikan apakah eksekusi tetap dapat dilaksanakan? Karena terhadap tersangka jaksa tidak dapat melakukan penahanan seperti pasal 21 KUHAP. Selain itu perlu juga ditegaskan mengenai bentuk salinan putusan dimaksud, apakah salinan putusan yang diketik, kutipan atau petikan putusan?

l) Sengketa Putusan KPU. UU KPU dan UU Pemilu tidak menegaskan bahwa Keputusan KPU bersifat final dan mengikat. Padahal Keputusan KPU berpotensi menimbulkan sengketa. Namun begitu UU juga tidak mengatur mekanisme untuk menyelesaikan sengketa tersebut. Sementara mekanisme gugatan melalui PTUN sulit dilakukan. Pasal 2 huruf g UU PTUN (UU 5/1986 yang telah dirubah dengan UU No. 9/2004) menegaskan ”tidak termasuk ke dalam pengertian Keputusuan TUN adalah Keputusan KPU baik di Pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilu”. Sekalipun yang dicantumkan secara eksplisit dalam ketentuan pasal tersebut adalah mengenai hasil pemilu, tetapi SEMA No. 8/2005 tentang Petunjuk Teknis Sengketa Pilkada mengartikan hasil pemilu ”meliputi juga keputusan-keputusan lain yang terkait dengan pemilu”. Selain itu, dalam berbagai Yurisprudensi MA, telah digariskan bahwa keputusan yang berkaitan dan termasuk dalam ruang lingkup politik dalam kasus pemilihan tidak menjadi kewenangan PTUN untuk memeriksa dan mengadilinya. Untuk mengisi kekosongan hukum dan menghindari penafsiran menyimpang tersebut maka SEMA No. 8/2005 sebaiknya dicabut.

Alternatif Penyelesaian Sengketa Pemilu

Alternatif (I): Gugatan, permintaan pihak yang merasa dirugikan kepada PTUN untuk membatalkan suatu Keputusan.
Alternatif (II): Konsiliasi, mempertemukan pihak-pihak yg bersengketa untuk mencapai suatu kesepakatan.
Alternatif (III): Mediasi, memberi tawaran alternatif kepada pihak-pihak yang bersengketa tetapi tidak mengikat.
Alternatif (IV): Arbitrase, pembuatan satu keputusan untuk menyelesaikan persengketaan yang harus dipatuhi oleh pihak-pihak yang bersengketa.

E. Rekomendasi
Secara umum UU Pemilu telah memberikan pedoman untuk menyelesaikan pelanggaran yang terjadi. Pengaturan penyelesaian pelanggaran pemilu dengan batasan waktu yang singkat bertujuan untuk mendorong penyelesaian kasus yang disesuaikan dengan tahapan pelaksanaan pemilu sehingga ada jaminan bahwa pemilu diselenggarakan secara bersih. Persoalannya beberapa ketentuan tidak cukup mampu untuk menindak terjadinya pelanggaran pemilu apalagi mencegahnya. Hal ini karena ketentuan UU Pemilu belum lengkap, multitafsir dan beberapa diantaranya kontradiksi.
Upaya mengatasi permasalahan tersebut dapat dilakukan melalui pembuatan peraturan tertentu sebagaimana diamanatkan UU Pemilu, kesepakatan bersama antara KPU – Bawaslu dan lembaga penegak hukum mengenai tata cara penanganan pelanggaran, serta meningkatkan kapasitas aparat di masing-masing lembaga mengenai aturan perundang-undangan pemilu. Penanganan pelanggaran secara jujur dan adil merupakan bukti adanya perlindungan kedaulatan rakyat dari tindakan-tindakan yang dapat mencederai proses dan hasil pemilu. Adalah kewajiban bagi pengawas, penyelenggara dan aparat penegak hukum untuk memastikan bahwa semua pelanggaran pemilu yang terjadi dapat diselesaikan secara adil dan konsisten.


Sumber: www.reformasihukum.org/file/kajian/PelanggaranPemilu.rtf

Sabtu, 22 Oktober 2011

Soal Pencurian Pulsa

Ternyata mental pencuri pada orang-orang di negeri ini sudah menjamur. Tidak hanya kalangan bawah, namun juga kalangan atas yang berdasi dan bermobil mewah. Tentu kita masih ingat peristiwa-peristiwa pencurian yang dilakukan rakyat kecil yang berakhir pada hilangnya nyawa atau cacat akibat diamuk masa. Berita-berita menyebutkan bahwa mereka tewas, terkapar, cacat, dan sebagainya, itu karena pencurian yang nilainya tidak seberapa. Ada yang gara-gara mencuri ayam tetangga atau mencuri dompet yang nominalnya tidak seberapa, namun harus berurusan dengan amuk masa, dan berujung pada kematian. Ironis..!!

Kita sejenak melihat pencurian besar-besaran yang dilakukan para pejabat negara kita yang telah merampok uang rakyat dari mulai puluhan juta hingga triliyun. Ternyata kasus pencurian pun cilakukan oleh para pengusaha-pengusaha di negeri kita. Kasus terbaru yang hangat diperbincangkan adalah kasus pencurian pulsa oleh content provider melalui operator seluler. 

Sepintas pulsa yang dicuri dari handphone kita tidak seberapa jumlahnya. Mulai dari Rp500 dan tidak sampai Rp 5000. Sebagian besar dari kita mungkin mengikhlaskan saja jumlah pulsa yang tersedot tidak jelas itu. Hal ini dimungkinkan, pertama,  masyarakat tidak mengetahui harus berbuat apa dan mengadu ke mana. Kedua, nominal yang dicuri jumlahnya tidak seberapa, sehingga akan lebih merepotkan dan menghabiskan banyak biaya jika harus mengadu cuma gara-gara uang 500-2500 rupiah. Bangsa ini terlalu baik hati.

Jika kita mau berpikir, mereka adalah pedagang yang berorientasi mencari untung. Uang sejumlah 500 rupiah adalah nominal yang sangat besar untuk sebuah keuntungan. Pengguna handphone di Indonesia saat ini sudah meluas. Mari kita hitung seandainya satu operator seluler memiliki  5 juta pelanggan saja, maka keuntungan dari pencurian 500 rupiah adalah Rp 2.500.000.000. Umumnya pencurian ini dilakukan tidak hanya sekali, namun berjalan rutin setiap pelanggan mengisi pulsa atau bahkan setiap beberapa hari sekali selama pulsa di handphone pelanggan masih ada. Seandainya penyedotan dilakukan seminggu sekali, maka keuntungan yang didapat selama sebulan mencapai Rp 10.000.000.000. 

Bayangkan saja jika penyedotan pulsa oleh operator atau content provider sebesar Rp. 2000, dan ditambah lagi jumlah pelanggan sebuah operator ada yang mencapai 25 juta. Saat ini menurut data Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YL KI), tidak kurang dari 200 juta nomor Ponsel yang aktif di Indonesia. Dapat dibayangkan Rp1.000 saja pulsa yang “tercuri” dari satu SMS (pesan singkat) konsumen, sudah menghasilkan keuntungan bagi provider sebanyak Rp 200 miliar. Wah, jumlah yang fantastis bukan?! 

Keuntungan yang diperoleh sebanyak itu hanya dilakukan tanpa susah payah melakukan iklan atau promosi langsung ke lapangan yang membuang energi dan biaya. Dengan cara mengirimkan sms ke semua nomor pelanggan, dan dalam sekejap uang pun mengalir deras ke kantong mereka.

Copet Pedagang

Mereka yang melakukan pencurian itu sama saja dengan copet. Coba kita merenung, apa yang akan kita lakukan ketika uang disaku kita yang cuma 2 ribu rupiah dicopet orang? Tentu kita akan berteriak dan mengejar copet itu. Setelah orang-orang disekitar kita juga mengetahui ada copet, mereka pun akan menunjukkan solidaritasnya untuk ikut mengejar dan menghajarnya. Padahal jumlah yang dia curi hanya sebesar 2 ribu atau sekitar 50 ribu. Tapi apa yang kita lakukan ketika setiap minggu pulsa kita dicuri 2 ribu rupiah secara rutin??  

Mereka juga sama-sama copet. Hanya saja teknologi dan metode yang digunakan berbeda. Lantas apa kita hanya akan berdiam diri setelah jumlah uang yang berhasil dicuri sedemikian besarnya. Seandainya saja jumlah itu semua digunakan untuk mengentaskan kemiskinan, membantu biaya pendidikan bagi anak bangsa yang tidak mampu sekolah? sejahteralah bangsa ini.

Kamis, 20 Oktober 2011

Peristiwa Madiun bag. 2


Kabinet Hatta Dan Penyingkiran Golongan Kiri.
  
26 Januari 1948 terbentuklah Front Demokrasi Rakyat (FDR), yang terdiri dari PKI, Partai Sosialis, PBI, Pesindo dan SOBSI. Amir Sjarifoeddin terpilih menjadi salah seorang pimpinannya. FDR menuntut kabinet presidentil Hatta dirobah menjadi kabinet parlementer., menentang program “rasionalisasi dan rekonstruksi” Angkatan Bersenjata. FDR tetap berusaha menggalang persatuan nasional.

12 Februari 1948, Soetan Sjahrir dan golongannya memisahkan diri dari Partai Sosialis, keluar dari “Sayap Kiri”dan mendirikan Partai Sosialis Indonesia (PSI) Dalam Peraturan Dasarnya fasal 1 tercantum:   Asas-tujuan: “PSI berdasarkan faham sosialis yang disandarkan pada ajaran ilmu pengetahuan Marx-Engels, menuju masyarakat sosialis yang berdasarkan kerakyatan”. PSI menentang diktatur proletariat yang dipraktekkan di URSS dan negara-negara sosialis lainnya, menentang sistim kenegaraan URSS.. Sosialisme kerakyatan yang dimaksudkan PSI adalah “sosialisme yang menjunjung tinggi derajat kemanusiaan, dengan mengakui dan menjunjung persamaan derajat tiap manusia orang seorang.

Penghargaan pada pribadi orang seorang didalam pikiran serta didalam pelaksanaan sosialisme. Penghargaan pribadi manusia serta pandangan yang demikian ini, yang sebenarnya menjadi inti ajaran dari segala pencipta sosialisme yang besar-besar, seperti Marx-Engles dsb. Sosialisme semestinya tiadalah lain daripada penyempurnaan dari segala cita-cita kerakyatan, yaitu kemerdekaan serta kedewasaan kemanusiaan yang sebenarnya. Pada mana seharusnya tiap manusia sungguh merdeka, untuk menyumbangkan kehidupannya serta segala kesanggupan yang ada pada dirinya masing-masing. Sosialisme mestilah berhasil menciptakan keadaan pada mana hal-hal jasmani tiada lagi menjadi halangan untuk kemajuan serta perkembangan segala kesanggupan tiap manusia kepada kebajikan dan keindahan"”

Ditinjau dari bidang teori, pandangan ini telah mencampakkan ajaran klas dan perjuangan klas yang merupakan salah satu batu alas ajaran-ajaran Marx dan Engels, telah menempatkan pribadi perseorangan sebagai yang utama dan bukannya kolektivitas sebagai yang utama dalam membangun sosialisme. Ini jelas bukan ajaran Marxisme, tapi adalah liberalisme, yang menjadi “way of life” Amerika. Di bidang politik, PSI bukannya menempatkan URSS sebagai sahabat, tapi menyamakannya dengan Amerika Serikat sebagai kubu yang menjadi lawannya. Bahkan menentang diktatur proletariat yang dipraktekkan di URSS. Dan dalam politik praktis jadi bersahabat dengan Amerika Serikat, memusuhi URSS. Dengan demikian, PSI telah menempatkan diri sebagai unsur yang dibutuhkan Amerika Serikat dalam melaksanakan “the policy of containment”, membendung meluasnya pengaruh URSS, membendung komunisme di Indonesia,  melancarkan  PERANG DINGIN  di  Asia.

Begitu terbentuk, PSI menyatakan mendukung kabinet Hatta, dan dengan keras menuduh Partai Sosialis “telah menyeleweng dari prinsip-prisnip semula”, “tidak mempunyai pimpinan yang stabil”, “telah memecah belah kekuatan nasional dan mengambil posisi yang tidak tepat terhadap kabinet Hatta”..Terjadinya perpecahan dalam Partai Sosialis, tidak terlepas dari pengaruh menajamnya kontradiksi dalam gerakan sosialisme internasional.

PERANG DINGIN telah mempertajamnya, hingga terjadi perpecahan dalam kerjasama antara kekuatan komunis dan sosialis di Eropa. Barat Bertentangan dengan Partai-Partai Komunis, Partai-Partai sosialis Eropa Barat mengambil sikap mendukung Plan Marshall yang dilancarkan Amerika Serikat untuk membendung pengaruh URSS, membendung komunisme di Eropa. Kaum sosial demokrat, yaitu Partai-Partai sosialis mengedepankan semboyan “jalan ketiga”, yaitu tidak ikut URSS dan tidak ikut Amerika.

Demikian tajamnya pertentangan ini sampai merasuk ke dalam Kominform, yaitu badan kerjasama Partai-Partai Komunis dan Partai Pekerja Eropa Timur, URSS, Perancis dan Itali di bidang informasi. Liga Komunis Yugoslavia dipecat dari Kominform. Yugoslavia menempuh jalan tidak ikut URSS dan tidak ikut Amerika. Dan Yugoslavia tidak menentang Plan Marshall, malah mendapat bantuan dari Amerika Serikat. Hal yang serupa terjadi di Indonesia dengan lahirnya PSI dibawah pimpinan Sjahrir. Semenjak kabinet pertama RI, dalam pemerintah terdapat kerjasama Menteri-Menteri komunis dan sosialis sampai kabinet Amir Sjarifoeddin. Kerjasama ini berobah dan memuncak jadi pecah semenjak lahirnya PSI. Bertolak belakang dengan politik PKI, politik “netral” atau “jalan ketiga” yang ditempuh PSI adalah sama dengan yang ditempuh kaum sosial demokrat Eropa Barat yang dalam prakteknya adalah memusuhi URSS dan bersahabat dengan Amerika Serikat. Dengan demikian, Amerika Serikat berhasil mendapatkan kekuatan lagi untuk melancarkan “the policy of containment”nya di Indonesia. Ini mempunyai jengkauan jauh ke depan untuk masa yang panjang. Kaum sosialis kanan menjadi salah satu tiang penyangga kekuatan komunisto-fobi dan pengaruh Amerika di Indonesia.

“11 Maret 1948 Menteri Seberang Lautan Belanda Jonkman sudah menyarankan kepada Letnan Gubernur Jenderal Van Mook, supaya masalah membasmi komunisme dikemukakan kepada pimpinan Republik Indonesia untuk mendapatkan dukungan dari wakil Amerika Serikat dalam KTN..” 4). Pada waktu itu, Van Mook menjawab, bahwa pengaruh komunis di  Republik belumlah cukup kuat untuk membenarkan pembicaraan menyangkut hal ini.. Dengan terjadinya persetujuan Suripno mengenai pengakuan URSS atas Republik Indonesia, maka hubungan antara Republik Indonesia dengan kekuasaan negara komunis sudah menjadi lebih menonjol.

Dalam keadaan Van Mook belum diizinkan Pemerintah Belanda untuk menjalankan “aksi polisionil” yang kedua – karena ini menyangkut Pemilihan Umum di Belanda dalam bulan Juli --, maka Van Mook memutuskan, bahwa perundingan selanjutnya dibawah pimpinan KTN sudah tak berguna, dan 3 Juni dia menyatakan kepada KTN bahwa akan menempuh berunding langsung dengan Perdana Menteri Hatta.
4 Juni 1948, Van Mook menulis surat kepada Hatta, mengundangnya untuk melakukan perundingan langsung. Hatta menjawab 8 Juni 1948, menyatakan bersedia bertemu dengan Van Mook  secara informal, tapi pembicaraan dibawah pimpinan KTN tidak boleh dihapuskan.. Berlangsung tiga kali pertemuan antara Van Mook dan Hatta.

Dalam pertemuan yang berlangsung tanggal 16-17 dan 23 Juni 1948, Van Mook meminta agar Hatta menjauhkan pemerintahnya dari persetujuan dengan URSS yang telah dicapai oleh Suripno.. Hatta menjawab, bahwa pemerintahnya tidak akan meratifikasi peretujuan ini, tapi tak akan mengumumkannya secara terbuka, karena takut akan mendapat kesan tidak baik dari Uni Soviet dan pemerintah-pemerintah komunis lainnya.

Dalam bulan Agustus 1948 tersebar berita tentang berkobarnya pemberontakan bersenjata komunis di Malaya. Pemerintah Inggeris dan Amerika berbeda pandangan dalam hal menghadapi masalah ancaman komunis. Inggeris sudah membayangkan akan terjadinya “perebutan kekuasaan oleh komunis” di Indonesia.
“Pejabat Kementerian Luarnegeri Inggeris seperti Dening  mendesak Pemerintah Belanda supaya mencapai persetujuan dengan Pemerintah Hatta, sebelum terjadinya perebutan kekuasaan oleh kaum komunis. Pemerintah RI yang dipimpin komunis pasti akan membatalkan Persetujuan-Persetujuan Linggarjati dan Renville. Jika ini terjadi, Pemerintah Belanda  supaya menjalankan aksi militer terhadap Republik Indonesia. Sebaliknya, jika tercapai persetujuan dengan  Pemerintah Hatta sebelum kaum komunis merebut kekuasaan, ini akan menyebabkan Pemerintah Belanda berdiri di fihak Pemerintah Republik melawan kaum komunis.”.
Dimata penguasa Inggeris, ancaman perebutan kekuasaan oleh kaum komunis adalah satu kesempatan untuk mendessak Belanda buat mencapai persetujuan dengan Indonesia.

“Dalam pada itu, bagi Amerika Serikat, obat mujarab bagi penyelesaian situasi Indonesia adalah memperkuat tangan Hatta yang moderat melawan kaum komunis”.8). Di kalangan penguasa Inggeris dan Amerika telah mateng fikiran tentang perebutan kekuasaan oleh kaum komunis di Indonesia, sebelum terjadinya “Peristiwa Madiun”. Tangan-tangan merekalah yang mengendalikan perkembangan situasi, hingga menjadi kenyataan dalam berita  tentang apa yang dikatakan “pemberontakan komunis di Madiun” itu. Inilah realisasi “the policy of containment” di Indonesia.

20 Mei 1948, FDR bersama Masjumi, dan PNI memperingati hari “Kebangunan Nasional”. Kegiatan ini  diteruskan dengan usaha untuk menyusun bersama suatu “Program Nasional”. Penyusunan Program Nasional dilakukan oleh sebuah Panitia yang terdiri dari: Mr. A.M.Tambunan (Parkindo), Sujono Hadinoto (PNI), Amir Sjarifoedin (Partai Sosialis), D.N.Aidit (PKI), Setiajit (PBI) M.Saleh Suhaidi (Masjumi) dan Maruto Nitimihardjo (Partai Rakyat). Mr. A.M.Tambunan menjadi Ketuanya. Amir Sjarifoeddin memegang peranan penting dalam rapat-rapat Panitia. Amir Sjarifoeddin menekankan agar dasar negara diambil saja “Pancasila”, “para petani harus memiliki tanah sendiri, oleh karena itu, setiap petani yang tidak memiliki tanah harus diberikan tanah kepadanya”.

Tugas Panitia selesai tanggal 23 Juni 1948. 27 Juni 1948 diadakan pertemuan dengan Pemerintah dan wakil partai-partai untuk membicarakan Program Nasional yang telah dihasilkan Panitia. Pemerintah menerima baik rumusan Program Nasional. Dalam Program Nasional antara lain dirumuskan:”industri-industri vital harus dinasionalisasi tanpa ganti rugi, harus disusun undang-undang agraria yang baru dengan menekankan pemilikan perseorangan atas tanah tanpa sisa-sisa kekuasaan feodal”.

10 Juni 1948, Critchley, Australia, dan Du Bois, pengganti Frank Graham, wakil Amerika, mengajukan suatu “usul kompromi” untuk mendamaikan Republik dengan Belanda, dimana ditetapkan antara lain, bahwa akan dibentuk suatu pemerintah federal sementara, bahwa Angkatan Perang harus dikurangi, bahwa Republik akan menyerahkan kedaulatannya kepada pemerintah federal sementara dll.
16 Juni 1948, dilangsungkan pertemuan informil antara Hatta dan Van Mook.
17 Juni 1948, Pemerintah Hatta mengeluarkan komunike yang menyatakan bahwa “usul Australia-Amerika dianggap oleh pemerintah Republik sebagai suatu hal yang baik”

Juli 1948, Sekretariat Pusat FDR mengeluarkan sebuah rencana kampanye, memberikan petunjuk bagaimana kampanye untuk terbentuknya suatu pemerintah front nasional dijalankan dengan sebaik-baiknya. Rencana kampanye yang dikirimkan ke daerah-daerah dengan melalui pos itu, kemudian dipalsu, antara lain oleh harian MURBA, Solo, dimana ditambahkan seolah-olah rencana kampanye itu memuat soal “penggedoran, pencurian, pembunuhan, dll.” Pemalsuan ini, baik oleh Sekretariat FDR Surakarta maupun oleh sekretariat pusat FDR diadukan sebagai perkara kepada polisi, untuk diusut dan diadili. Tetapi pihak kepolisian maupun kejaksaan tidak mengurus pengaduan itu. Dokumen  FDR ini juga diumumkan dalam semua harian di Jogjakarta, Juli 1948.

2 Juli 1948, Komandan Divisi IV, Divisi Panembahan Senopati, kolonel Sutarto, dibunuh dengan tembakan pistol.
“…Amerika berkali-kali menyebut kolonel Sutarto dan jelas menamakannya sebagai musuh No. 1”
Sejalan dengan ofensif PERANG DINGIN yang dikobarkan Amerika Serikat di Eropa dengan Plan Marshall, persiapan-persiapan pembentukan Pakta Militer NATO, membangun “jembatan udara” ke Berlin Barat, Amerika Serikat memperkuat petugasnya untuk menghadapi perkembangan Indonesia dalam rangka melaksanakan “the policy of containment”.di Asia.. Amerika Serikat menngganti wakilnya dalam KTN dengan  Merle H.Cochran. Disamping itu, G.Hopkins (penasihat politik luar negeri dari Presiden Truman),  John Coast, Campbell, dan 5 “diplomat” lainnya, yang bertugas melaksanakan “the policy of containment” di Asia Tenggara, dipindahkan dari New Delhi dan Bangkok ke Jogjakarta. “Dalam perjalanannya ke Indonesia, Merle H.Cochran mampir di Belanda, mengadakan pertemuan dengan Perdana Menteri Beel dan Menteri Luarnegeri Van Boetzelaer serta Menteri Urusan Seberang Lautan, Jonkman. Dalam pertemuan ini dibicarakan masalah  bahaya komunis dan aksi-aksi subversi”.
Amerika khawatir dan telah mengambil langkah-langkah untuk mengatasi akan meluasnya pengaruh URSS ke Indonesia.

Sesudah menghadiri Festival Pemuda dan Pelajar Sedunia,  memenuhi instruksi Presiden Sukarno dalam bulan Januari 1948, Suripno yang mendapat mandat, melakukan perundingan-perundingan di Praha mengenai pengakuan atas Republik Indonesia. Perundingan juga dilakukan dengan wakil Pemerintah URSS. Tercapai persetujuan, bahwa URSS  mengakui Republik Indonesia dan akan membuka hubungan Konsulat. Pengakuan ini tidak diratifikasi oleh Pemerintah Amir Sjarifoeddin, karena waktu itu berlangsung perundingan-perundingan dengan Belanda yang menyangkut masalah pengakuan de jure Indonesia yang dipersengketakan.
Dalam Persetujuan Renville terdapat formulasi, yang menurut interpretasi Belanda, Republik Indonesia dilarang melakukan hubungan luarnegeri dengan bebas.

26 Mei 1948, Pemerintah URSS mengumumkan, bahwa telah meratifikasi persetujuan pengakuan atas Republik Indonesia dan akan membuka hubungan Konsulat. Bagi Pemerintah Hatta timbul masalah: membuka hubungan diplomatik dengan URSS atau tidak. Dengan mengakui, bahwa Republik Indonesia berada di daerah pengaruh Amerika Serikat, secara resmi, politik luarnegeri Hatta adalah menempatkan URSS dan Amerika Serikat dalam kedudukan setara, dan tidak memihak salah satu. Dalam paktek, Amerika telah menempatkan perwakilannya, bahkan campur tangan langsung menengahi pertikaian Indonesia Belanda. Tanpa mengambil keputusan mengenai pembukaan hubungan diplomatik dengan URSS, Hatta memanggil kembali Suripno pulang. 
Pada pertengahan Februari 1948, Pemerintah Hatta mengeluarkan rencana Rasionalisasi dan Rekonstruksi angkatan perang, yang pada hakekatnya dan prakteknya ditujukan untuk:
1.    Menyingkirkan unsur-unsur revolusioner dan progresif dalam kalangan militer.
2.    Menempatkan sebanyak-banyaknya perwira-perwira yang dapat diterima oleh Belanda, supaya dalam perundingan mengenai militer dengan Belanda tidak mengalami kesulitan dan memudahkan pemasukan tentara federal kedalam Angkatan Perang RIS.

Pertengahan Februari 1948, kolonel A.H.Nasution datang di Jogya sebagai komandan Divisi Siliwangi yang hijrah dari Jawa Barat. Dengan datangnya pasukan hijrah ke daerah pusat pemerintah Republik, maka terjadi perobahan imbangan kekuatan antara pasukan yang pro dan kontra rasionalisasi yang direncanakan Pemerintah Hatta.

Siliwangi menjadi pasukan elite yang mendukung pelaksanaan program rasionalisasi. Dan Nasution datang dengan membawa konsep struktur baru kekuatan bersenjata Indonesia dengan mengurangi kekuatan bersenjata teritorial menjadi tiga divisi di pusat daerah Republik Indonesia, ditambah dengan satu kesatuan cadangan yang mobil, termasuk divisi Siliwangi. Kekuatan bersenjata yang sebelumnya dipersenjatai dalam perbandingan satu senjata untuk tiga orang, dirobah menjadi tiap orang memegang senjata hingga mampu memiliki daya tempur offensif. Dengan demikian, TNI Masyarakat – kelanjutan dari Badan Perjuangan – harus didemobilisasi. Demikian pula pasukan-pasukan reguler yang tidak memenuhi syarat-syarat disiplin militer harus didemobilisasi. Reorganisasi ini menimbulkan pertentangan tajam, karena menyangkut perpindahan dan penggantian kedudukan kepemimpinan dalam pasukan.

Pergesekan terjadi di kalangan para perwira yang tergabung dalam kelompok-kelompok pasukan bersenjata. Karena divisi Siliwangi mendapat kedudukan yang istimewa, yaitu status elite dari Pemerintah Pusat, maka timbullah iri hati antar pasukan. Banyak yang menggerutu, merasakan kesatuan-kesatuan yang berasal dari Jawa dianggap sebagai pasukan kelas dua.

Ini adalah suatu langkah untuk melaksanakan rencana bersama dengan Belanda, buat pembentukan satu Tentara Federal yang baru.  4 Mei 1948 diumumkan satu dekrit Presiden mengenai rencana ini. Timbullah protes keras dari kalangan kekuatan bersenjata. 30 Komandan batalyon menemui Presiden pada tanggal 1 Juni 1948 untuk menuntut pencabutan dekrit ini. Sejumlah Panglima Divisi, terutama kolonel Sungkono dari Kediri dan kolonel Sutarto dari Surakarta menolak untuk menyerahkan kedudukannya.dalam rangka rasionalisasi. Rasionalisasi jadi bagaikan terbentur, karena Panglima Besar Sudirman mengeluarkan surat edaran kepada semua panglima, memerintahkan untuk menghentikan rasionalisasi, berhubung dengan meningkatnya ancaman dari fihak Belanda.

Amerika Serikat merasa kurang puas dengan program Rasionalisasi dan Rekonstruksi; karena dianggapnya terlalu lambat, dan dengan segera menempuh usaha yang kasar, sebagaimana yang sudah dilakukannya di Eropa, Tiongkok, Birma, India dan lain-lain, yaitu dengan aktif mencampuri secara langsung soal dalam negeri Indonesia. Pada tanggal 21 Juli 1948 diselenggarakanlah konferensi Sarangan., yaitu pertemuan antara dua orang Amerika, tuan Gerard Hopkins, penasehat urusan politik luarnegeri dari presiden Truman, dan Cochran, wakil Amerika pada Komisi Jasa-jasa Baik PBB dengan enam orang Indonesia: presiden Sukarno, Mohamad Hatta, Natsir, Sukiman, Sukamto dan Roem”.

Konferensi Sarangan yang rahasia itu telah menelorkan putusan yang bernama “Red  Drive Proposals” (Usul-Usul Pembasmian Kaum Merah). Dengan Kaum Merah tidak hanya dimaksudkan kaum komunis, tetapi semua aliran dan elemen yang anti-imperialis. Tentang biaya untuk menjalankan “Red Drive Proposals” yang sudah disetujui kedua belah fihak itu, Pemerintah Indonesia menerima uang dari State Department (Kementerian Luarnegeri Amerika Serikat) sebanyak 56.000.000 dollar, yang diterima langsung dari Biro Konsultasi Amerika Serikat di Bangkok. Singkatnya, “Red Drive Proposals” adalah rencana yang diajukan kepada Pemerintah RI oleh petugas Pemerintah Amerika Serikat untuk membasmi gerakan demokrasi rakyat anti-imperialis. 18). Semenjak itu, ajakan-ajakan PKI untuk bekerjasama dengan Masjumi selalu ditolak. Dan Masjumi secara terbuka mengumumkan politik anti-komunisnya, serta dengan giat melancarkan propaganda anti-komunis.

“Red Drive Proposals” dipraktekkan dengan bermacam-macam provokasi. Tiap-tiap kejadian yang buruk dilemparkan kepada FDR atau kepada PKI. Secara provokatif gedung-gedung Pesindo, Partai Sosialis dan Sarbupri (Sarikat Buruh Perkebunan Republik Indonesia) di Sragen, Nganjuk, Tulungagung diduduki secara paksa oleh tentara. Pemogokan kaum buruh Delanggu yang menuntut sedikit perbaikan nasib ditindas dengan kekuatan senjata. Kesatuan Mobrig Bojonegoro yang dipimpin oleh Asmaun, anggota Partai Sosialis, dilucuti dan Asmaunnya sendiri dipindah ke Jogjakarta. Pemerintah mengirim R.Sukamto, Kepala Polisi Republik Indonesia ke Amerika. Untuk keperluan melakukan “pembersihan”, pihak pimpinan kepolisian minta bantuan Panglima Besar Sudirman, tapi ditolak dan oleh beliau diminta supaya pembersihan bersifat umum dan jangan hanya ditujukan kepada orang-orang kiri saja.

Serikat-Serikat buruh dipecah-belah dengan didirikannya Serikat Buruh Islam Indonesia, Serikat Buruh Nasional, Serikat Buruh Merdeka, Serikat Buruh Merah-Putih. Dewan Pimpinan Pemuda daerah-daerah dengan sengaja dikacau oleh “Gerakan Membangun dan Patuh Rakyat” yang dibiayai Pemerintah dan dipimpin oleh Pamong Praja. “Gerakan Membangun dan Patuh Rakyat” ini persis mencontoh “Gerakan Hidup Baru” di zaman Jepang.

Program Rasionalisasi dan Rekonstruksi Pemerintah Hatta mendapat perlawanan dimana-mana. Di Jawa Timur 20.000 pemuda berdemonstrasi menentang rasionalisasi yang didasarkan penetapan Presiden No 13 yang tidak adil. Juga di Solo prajurit-prajurit dari kesatuan Panembahan Senopati (Divisi IV) sebanyak 5.000 orang pada peringatan Hari Kebangunan Nasional 20 Mei 1948 mengadakan demonstrasi menolak rencana Rasionalisasi dan Rekonstruksi.

Pemalsuan dokumen FDR berlangsung untuk memfitnah, bahwa FDR dan PKI mempersiapkan pemberontakan. 7 April 1948, suratkabar Murba menyiarkan dokumen palsu FDR, yang dinyatakan sebagai dokumen rahasia FDR mengenai usaha untuk menyabot Republik Indonesia. Dalam dokumen palsu FDR yang disebarkan itu dinyatakan bahwa: akan dilakukan aksi-aksi:
a.    Rapat-rapat besar dan tertutup dengan mengadakan berbagai demonstrasi,
b.    Mengadakan pemogokan-pemogokan,
c.    Mengadakan kekacauan dengan menganjurkan perampokan dan penculikan, 
d.    Perampasan kekuasaan”.

Dokumen palsu inilah yang dijadikan dasar alasan Perdana Menteri Hatta, dalam pedatonya di depan Badan Pekerja KNIP tanggal 20 September 1948,  menyatakan “PKI merebut kekuasaan di Madiun”. Sekretariat Pusat FDR sudah memberi bantahan dengan pengumuman di beberapa suratkabar di Jogja ketika mengetahui adanya dokumen palsu FDR yang disebarkan. Juga telah mengadukan masalah ini kepada fihak kepolisian di Solo. Program FDR telah disebarkan oleh Sekretariat Pusat FDR kepada FDR-FDR Daerah melalui pos, jadi tidak ada sifat kerahasiaannya.

3 Juli 1948 berlangsung teror pembunuhan terhadap kolonel Sutarto, Komandan Divisi IV. Sutarto adalah pengikut setia dari gerakan demokrasi rakyat, dan bersimpati sekali terhadap PKI. Tidaklah mungkin, FDR menteror dan membunuh seorang perwira penting yang memihak FDR. Sutarto adalah perwira yang dengan tegas menentang program Rasionalisasi dan Rekonstruksi. Sikapnya ini sangat merugikan pelaksanaan Program kabinet Hatta.

Pertentangan di kalangan kekuatan bersenjata kian menajam, sebagai akibat rasionalisasi program Pemerntah Hatta. Divisi Siliwangi menjadi kekuatan inti dalam melaksanakan program rasionalisasi itu. Awal Juni 1948, dengan mendapat restu Pemerintah Hatta, atas inisiatif Partai Buruh Merdeka, dan sejumlah organisasi yang pro Tan Malaka, didirikanlah organisasi politk Gerakan Rakyat Revolusioner (GRR). GRR secara terbuka menentang FDR. Tak lama sesudah pembentukan GRR, Pemerintah Hatta membebaskan para tahanan Peristiwa Juli 1946, -- Peristiwa penculikan Perdana Menteri Sjahrir dan Amir--. 

Pada kesempatan peringatan ultah Hari Kemerdekaan, 17-8-1948, Pemerintah Hatta memberikan amnesti umum bagi semua yang dipenjarakan karena Peristiwa 3 Juli 1946. Maka dibebaskanlah tokoh-tokoh Front Perdjuangan: Muhammad Yamin, jenderal mayor Sudarsono, Achmad Soebardjo,, Iwa Kusumasumantri, Budiarto Martoatmodjo dll. 20). Disamping kekuatan Majumi dan PSI, kekuatan anti-komunis, anti-PKI, anti-FDR  bertambah lagi dengan kekuatan pendukung golongan Tan Malaka.

5 Agustus 1948, Dr Muwardi dari Solo, dari Barisan Banteng dan Gerakan Revolusi Rakyat (GRR) dipanggil Pemerintah untuk didengar keterangannya mengenai FDR, terutama mengenai kekuatan FDR.”Dr Muwardi mendapat biaya 3 juta ORI (Uang Republik Indonesia) untuk memancing suatu insiden militer, supaya kemudian pemerintah mempunyai alasan legal bertindak”.

(bersambung bagian 3…….)

Peristiwa Madiun bagi.1



Dipublikasikan di situs Indomarxist pada tanggal 7 Mei 2000.
  
“PERISTIWA MADIUN”,  PKI KORBAN PERDANA
PERANG DINGIN.
  

Amerika Serikat Dan Konflik Indonesia-Belanda
Belanda, Inggeris, Perancis dan Amerika Serikat berusaha keras menguasai Asia Tenggara sehabis Perang Dunia kedua. Tapi kebangkitan kekuatan rakyat, dan munculnya Partai-Partai Komunis di Indocina, Malaya, Birma, Indonesia dan Filipina merupakan tantangan berbahaya bagi kekuasaan pembela kolonialisme.

Amerika dengan tegas menempuh politik “the policy of containment” – politik   pembendungan komunisme --. Truman dan Churchill memprakarsai politik anti-komunis ini, seusai Perang Dunia.
Di Asia, Amerika mula-mula mengambil sikap bekerjasama dengan dan membantu Belanda, Perancis dan Inggeris untuk mempertahankan kolonialisme, mencegah munculnya pemerintah nasional. Pemerintah-pemerintah nasional yang muncul dari perlawanan melawan kolonialisme, tentu menempuh politik anti kolonialisme, anti imperialisme. Ini memberi jalan bagi meluasnya pengaruh komunisme. Amerika Serikat tak mengingini hal ini..

Peranan Amerika Serikat jadi meningkat dalam pertarungan politik di Indonesia menghadapi konflik bersenjata Indonesia lawan Belanda semenjak tahun-tahun pertama revolusi Agustus 1945. Dalam konflik ini, sikap Amerika Serikat sangat jelas memihak dan membantu Belanda. Peralatan dan senjata yang dipakai pasukan Belanda masih memasang tanda-tanda militer Amerika Serikat, seperti truk-truk, tank-tank, pesawat terbang. Bahkan sampai bulan Januari 1949, sejumlah anggota pasukan Brigade Marine Belanda memakai pakaian yang bertulisan “US Marine” di kantong baju mereka.

Amerika Serikat juga memberi bantuan keuangan untuk berlangsungnya usaha Belanda menguasai kembali Indonesia. Sebuah laporan CIA bertanggal 14 November 1947 menyatakan: “Di Indonesia dan Indocina, para penduduk setempat sudah meraba, bahwa usaha-usaha Perancis dan Belanda untuk kembali berkuasa adalah berlangsung dengan bantuan Amerika Serikat. Keresahan penduduk akan bertambah dengan meningkatnya kemampuan Perancis dan Belanda di Asia Tenggara berkat pelaksanaan bantuan Plan Marshall”. “Pada akhir 1947, ketika perekonomian Belanda dan Perancis mulai pulih, pengaruh komunis di kedua negeri itu mulai menurun. Tapi pada waktu itu, kaum komunis akan mencapai kemenangan di Tiongkok, maka menghadapi perkembangan ini Amerika Serikat menjadi kian khawatir akan perluasan pengaruh komunisme di Asia – tidak saja di Jepang, tetapi juga daerah-daerah pemberontakan anti-kolonialis – terutama di Indonesia dan Vietnam. Maka Pemerintah Truman ketika itu mendukung kembalinya kekuasaan kolonial untuk menangkal meluasnya komunisme.”

Politik Amerika membantu kaum kolonial Belanda dan Perancis adalah dengan harapan: supaya kedua kekuasaan kolonial ini bisa menangkal perkembangan pengaruh komunisme. Politik ini berobah, setelah melihat adanya kemungkinan terbentuknya pemerintahan nasional yang anti komunis di Indonesia dan Vietnam.

Di Vietnam, Amerika jadi mendukung Pemerintah korup Vietnam Selatan. Amerika juga sudah memperhitungkan, bahwa Belanda tak akan berhasil menundukkan perlawanan anti-kolonial rakyat Indonesia. Yang penting bagi Amerika  adalah: membantu lahirnya pemerintah yang anti-komunis. Dengan demikian, "the policy of containment" dilaksanakan dengan menggunakan kekuatan dalam negeri yang bersangkutan. Kaum komunis Vietnam dihadapkan pada kekuatan anti-komunis Vietnam. Demikian pula Indonesia.

Sesudah jatuhnya kabinet Sjahrir, 30 Juni 1947, Presiden Sukarno menugaskan team formatur yang terdiri dari Amir Sjarifoeddin (Partai Sosialis),  A.K.Gani (PNI),  Sukiman (Masjumi) dan Setiajit (PBI) untuk membentuk kabinet. Karena tuntutan Masjumi untuk menduduki kursi Perdana Menteri, Kementerian Dalam Negeri dan dua kursi Kementerian lainnya ditolak oleh para anggota team formatur, gagallah pembentukan kabinet. Maka mandat diserahkan kembali pada Presiden. Dan Presiden menunjuk lagi Amir Sjarifoeddin, A.K.Gani dan Setiajit untuk jadi team formatur. 3 Juli 1947 terbentuklah kabinet Amir yang pertama tanpa Masjumi, tapi mengikutkan PSII.

Amerika Serikat mencatat, bahwa walaupun Perdana Menteri Indonesia adalah Amir Sjarifoeddin yang komunis, dan sejumlah Menteri dalam kabinetnya terdapat tokoh-tokoh komunis, tapi di lain fihak terdapat oposisi berupa kekuatan anti-komunis yang sedang kian tumbuh di Indonesia. Partai Islam Masjumi dan golongan Sosialis dibawah pimpinan Soetan Sjahrir serta kekuatan yang dipimpin Tan Malaka adalah kekuatan-kekuatan yang tidak bersimpati dengan Uni Soviet, bahkan anti PKI. Dengan demikian, sudah ada syarat-syarat untuk menghadapkan kaum komunis Indonesia dengan kekuatan anti-komunis Indonesia sendiri. Amerika tinggal memainkan peranan memberi arah perkembangan situasi, yang mengabdi pada pelaksanaan “the policy of containment”.

Sebagai Partai Islam, Masjumi adalah sangat tegas sejak semula anti komunis, anti URSS, anti Marxisme, anti Leninisme, anti sosialisme dan pro Amerika Serikat. Masjumi menjadikan Islam, agama sebagai dasar untuk menentang komunisme. Dengan demikian, Amerika mendapatkan sekutu atau teman sehaluan di kalangan Islam dengan inti Masjumi dalam melaksanakan “the policy of containment”nya di Indonesia.

Sesungguhnya, Kabinet Amir merupakan kabinet koalisi nasional yang kuat, yang terdiri dari Partai Sosialis 6 kursi, PNI 7 kursi, PSII 3 kursi, Non Partai 5 kursi, PBI 4 kursi, Parkindo, PKRI, PKI, SOBSI, golongan pemuda dan golongan Tionghoa masing-masing 1 kursi.. Program politik luarnegeri kabinet Amir adalah:
a.    Mempertahankan pengakuan de facto Negara Republik Indonesia,
b.    Berusaha sekuat-kuatnya melaksanakan secara damai Persetujuan Linggarjati,
c.    Berusaha agar Indonesia secepat mungkin harus ikut serta dalam persoalan hidup internasional sesuai dengan kepentingan kedudukannya dalam dunia.

Pemerintah Amir segera mengadakan kontak diplomatik dengan Belanda. Dalam penyelesaian pertikaian Indonesia-Belanda ini, Perdana Menteri Amir sangat percaya kepada bantuan Pemerintah Amerika Serikat. Dalam pedatonya 6 Juli 1947, dia menyerukan agar seluruh pengaruh Amerika dipergunakan untuk memelihara perdamaian di Indonesia. Kabinet Amir percaya, bahwa Amerika sendiri mempunyai kepentingan di Indonesia, yaitu Amerika menganggap keamanan di Indonesia sebagai faktor penting untuk stabilitas politik dan ekonomi dunia. Sesungguhnya, Amerika takut, kalau-kalau pengaruh komunis makin meluas di Asia Tenggara.

Dalam langkah-langkah diplomatik yang diambil Pemerintah Amir, telah diberikan konsesi yang sangat banyak kepada Belanda, kecuali dengan tegas menolak usul gendarmerie bersama. Sikap Pemerintah Amir menolak gendarmerie bersama ini didukung oleh Badan Pekerja KNIP. Dalam keadaan perundingan sedang masih berjalan, 21 Juli 1947 Belanda menggunakan kekuatan pasukannya yang dipersenjatai dengan bantuan Amerika, menyerang daerah Republik Indonesia, dari darat, laut dan udara. Pertempuran berkobar di semua front. Di Jakarta, Belanda menduduki Kantor-Kantor Republik Indonesia, menangkap anggota-anggota delegasi yang berunding dengan Belanda, yaitu wakil Perdana Menteri A.K.Gani, Menteri Muda Luarnegeri Tamzil, Walikota Jakarta Suwirjo, Sekretaris Kabinet Ali Budiardjo.

Indonesia dilanda perang kolonial, yang terkenal dengan agresi pertama Belanda terhadap Republik Indonesia. Menghadapi berlangsungnya pertempuran di Indonesia itu, di PBB, bulan Agustus 1947, Amerika Serikat mengusulkan pembentukan Komisi Tiga Negara (KTN) --  komisi jasa-jasa baik – sebagai perantara. Terbentuklah Komisi yang terdiri dari wakil-wakil Amerika Serikat, Australia dan Belgia. Indonesia memilih Australia, Belanda memilih Belgia dan Amerika yang menjadi Ketua Komisi dipilih oleh Australia dan Belgia. Yang jadi Ketua Komisi adalah Frank Porter Graham, yang sejak semula bersikap menekan pimpinan Republik Indonesia, agar memberi bermacam konsesi kepada Belanda. Dengan demikian, Amerika telah langsung memainkan peranan menentukan dalam penyelesaian konflik Indonesia Belanda. Pelaksanaan “the policy of containment” – politik membendung komunisme – yang menjadi benang merah politik luarnegeri Amerika sehabis Perang Dunia kedua segera merasuk ke Indonesia.

Untuk memperkuat dukungan menghadapi perundingan dengan Belanda, yang akan diselenggarakan lagi dengan pengawasan KTN,  Perdana Menteri Amir mengajak lagi Masjumi masuk kabinet. Masjumi menerima tanpa mengajukan tuntutan apapun. Maka terjadilah reshuffle kabinet hingga susunannya menjadi: Partai Sosialis 7 kursi, PNI 8 kursi, PSII 3 kursi, Masjumi 5 kursi, PBI 4 kursi, PKI 1 kursi, PKRI 1 kursi, Parkindo 1 kursi, Non Partai 4 kursi, SOBSI 1 kursi, golongan Tionghoa 1 kursi, dan golongan pemuda 1 kursi. Perundingan dilangsungkan di kapal Amerika Serikat USS Renville, di Teluk Jakarta. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Perdana Menteri Amir Sjarifoeddin. Wakil Ketua: Ali Sastroamidjojo; anggota-anggota: Soetan Sjahrir, Dr Tjoa Siek Ien, Mr Nasroen, Ir Djuanda; anggota cadangan: Setiadjit; Penasihat 31 orang. Didalamnya terdapat wakil-wakil Masjumi dan PNI.  Delegasi Belanda dipimpin oleh Abdulkadir Wirjoatmodjo; Wakil Ketua: H.L.K.F. van Vredenburgh; tujuh anggota; dua orang sekretaris dan tiga pembantu.

Dalam proses perundingan, Belanda tetap menjalankan aksi-aksi militernya. Sementara itu Belanda mulai membentuk Negara Sumatera Timur, Negara Jawa Barat, Negara Jawa Timur. Daerah-daerah ini adalah daerah kedaulatan Republik Indonesia. Ini merupakan pelanggaran atas kedaulatan Republik Indonesia..
Karena merasa kuat di bidang militer, Belanda bersikeras dalam perundingan. Bahkan mengancam dengan ultimatum, agar Indonesia menerima 12 prinsip politik yang diusulkannya. Menghadapi sikap Belanda ini, KTN di bawah Frank Graham menambahkan 6 pokok tambahan sebagai jalan kompromi agar Indonesia menerima usul Belanda. Didalamnya termasuk rencana pelaksanaan pemungutan suara, berupa plebisit. Dalam keadaan terdesak oleh batas waktu ultimatum Belanda, rombongan KTN datang ke Jogya menemui pimpinan tertinggi Republik Indonesia. Untuk berlangsungnya pertemuan itu, Perdana Menteri Amir terbang ke Singapura menjemput Soetan Sjahrir, kemudian ke Pekanbaru menjemput Wakil Presiden Hatta. Maka KTN ditemui oleh Presiden Soekarno, Wakil Presiden Hatta, Perdana Menteri Amir Sjarifoeddin serta Soetan Sjahrir dan Haji Agoes Salim. Dicapai saling pengertian, bahwa pada akhirnya akan diselenggarakan pemungutan suara sebagai penyelesaian terakhir sengketa Indonesia – Belanda.

Para politisi Indonesia yang mengutamakan menempuh jalan diplomasi, merasa 6 pokok tambahan dari KTN itu dapat menguntungkan Republik, yaitu punya harapan dengan rencana plebisit. Dalam keadaan Indonesian di- ultimatum dengan ancaman serangan militer Belanda, Frank Graham menyatakan, bahwa Amerika Serikat tidak dapat menekan Belanda agar tidak menggunakan kekerasan, tetapi dapat menekan untuk memastikan berlangsungnya plebisit nantinya. Karena itu, Bung Karno tampil dengan semboyan baru: “From the bullet to the ballot”.  Berkat saling pengertian ini, maka  17 Januari 1948,  tercapai Persetujuan Renville., yang ditandatangani oleh Perdana Menteri Amir Sjarifoeddin. Menurut catatan L. Fischer, pembantu Menlu Dean Rusk mengenai urusan PBB, Belanda akhirnya baru menerima 6 pokok tambahan dari KTN  sesudah Menlu Amerika George Marshall “secara terang-terangan menyatakan kepada Belanda,  pandangan pribadinya”, bahwa  dia takut akan berlanjutnya ketidak-stabilan, dan sikap bersikeras “hanyalah bisa membawa Indonesia ke bawah komunisme”.

Dari sini jelaslah, bahwa masalah penyelesaian konflik Indonesia-Belanda, ditinjau Amerika dari pandangan bahaya menghadapi meluasnya pengaruh komunisme. Inilah titik-tolak realisasi “the policy of containment” dalam praktek. Dengan demikian, PERANG DINGIN telah merasuk ke Indonesia. 
Presiden Soekarno, Wakil Presiden Moh Hatta, Panglima Besar Sudirman menerima Persetujuan Renville ini. Presiden Sukarno menyatakan: “Meskipun perjanjian penghentian permusuhan ini seakan-akan merugikan Republik, tetapi akan dapat membuka kemungkinan-kemungkinan yang akan menguntungkan Republik. Jika kita dapat mencapai cita-cita kita dengan melalui jalan damai, buat apa kita harus berperang ?” Tapi dengan tidak diduga-duga, Masjumi menolak Persetujuan Renville dan menarik semua Menterinya dari kabinet. Ini disusul oleh PNI dengan sikap yang sama. Pimpinan Masjumi antara lain menyatakan, bahwa
1.    Situasi Republik sangat tidak stabil,
2.    Kabinet yang sekarang harus secara radikal dirobah.

Ketua fraksi Masjumi dalam KNIP dalam konferensi pers menyatakan, bahwa Persetujuan Renville itu adalah masalah kedua; yang pertama adalah masalah mengganti kabinet. 15 Januari 1948, Masjumi menarik Menteri-Menterinya dari kabinet, karena tidak setuju dengan “gencatan senjata dan prinsip-prinsip politik yang diterima oleh Pemerintah Amir”. Mundurnya Masjumi dari kabinet diikuti dengan demonstrasi pemuda Islam GPII di Jogyakarta, yang menuntut pengunduran Amir Sjarifoeddin sebagai Perdana Menteri., menuntut pembentukan kabinet presidentil dan menolak Amir jadi Perdana Menteri. Amir Sjarifoeddin sangat kecewa mengenai sikap Masjumi ini, karena wakil Partai ini ikut dalam proses perundingan. 23 Januari 1948 Amir menyerahkan mandat kepada Presiden. Dan Presiden menugaskan Wakil Presiden Hatta untuk membentuk kabinet.  
  
 (bersambung……)