Assalamu'alaikum,,, Salam Hormat

Terima kasih atas kunjungan anda ke blog saya. Semoga bermanfaat. Semua tulisan ini hasil saya pribadi, atau diambil dari tulisan lain yang tercantum pada rujukannya. Bila mengutip baik secara langsung maupun tidak, sebagian atau keseluruhan, diharapkan Mencantumkan sumber tulisan dan penulisnya pada daftar pustaka/catatan kaki sebagai bahan rujukannya.
atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih

Selasa, 29 Juni 2010

Cirebon Punya Raja Baru


CIREBON - Raja Adipati Arief Natadiningrat resmi menjai Sultan Sepuh Cirebon XIV. Jumenengan (penobatan) dilaksanakan bersamaan dengan peringatan 40 hari wafatnya ayahanda Arief, Sultan Sepuh XIII, Raja Adipati Maulana Pakudiningrat.

Jumenengan yang berlangsung di ruang panembahan Keraton Kasepuhan Cirebon dihadiri raja-raja se-Nusantara, pejabat, ulama, keluarga, dan para sesepuh. Hadir dalam kesempatan itu antara lain Wakil Gubernur Jawa Barat Dede Yusuf, Ketua DPD RI Irman Gusman dan sejumlah pejabat lain.

Penobatan ditandai dengan penyematan sebuah keris warisan leluhur yang biasa digunakan Sunan Gunungjati sebagai bentuk resmi jumenengan sebagai Sultan Sepuh XIV. Penyematan keris di pinggul tersebut dilakukan oleh Sultan sendiri.

Usai penobatan, Sultan Sepuh yang baru memberikan pidato awal jumeneng antara lain memberikan kilas balik sejarah Keraton Kasepuhan sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sultan Sepuh bersama sejumlah tamu juga melepas 14 burung merpati sebagai pesan perdamaian dan menanam 14 jenis pohon langka di lingkungan keraton sebagai bentuk kepedulain terhadap lingkungan.

“Penganugerahan harkat dan martabat Sultan kepada saya, merupakan amanah yang tidak ringan untuk menjalankannya. Untuk itu, kami mohon doa restu dan dukungan dari seluruh lapisan masyarakat dalam menjalankan amanah ini demi kemaslahatan umat dan masyarakat Cirebon pada khususnya dan untuk bangsa dan negara pada umumnya,” ujar Raja Adipati Arief Natadiningrat usai mengikuti tradisi jumeneng naik tahta, Rabu (9/6/2010).

Setelah resmi menjabat Sultan Sepuh, Arief berencana melakukan revitalisasi di lingkungan keraton dan meneruskan kebijakan Sultan Sepuh XIII, bersilaturahmi kepada para wargi keraton, para ulama, para raja se-nusantara, termasuk sejumlah pejabat negara luar yang pernah menjalin kerja sama dengan Keraton Kasepuhan.

Sementara itu, Wakil Gubernur Jabar, Dede Yusuf berharap Kesultanan Kasepuhan Cirebon dibawah kepemimpinan Raja Adipati Arief Natadiningrat mampu menempatkan Cirebon sebagai bagian penting dalam percaturan politik dan perdagangan baik nasional maupun global.

“Kebetulan Sultan Sepuh yang baru ini orangnya cukup aktif dan punya network, baik di daerah maupun pusat. Mudah-mudahan di bawah kepemimpinan beliau Citra Cirebon akan terangkat. Kami juga mendukung dan mendorong agar keraton-keraton di Cirebon menjadi daya tarik bagi wisatawan di Jawa Barat," kata Dede.
http://news.okezone.com/read/2010/06/09/340/341340/cirebon-punya-raja-baru
Edisi Kamis, 10 Juni 2010

PRA Arif Natadiningrat Resmi Jadi Sultan Sepuh XIV Cirebon


CIREBON-: Pangeran Raja Adipati (PRA) Arif Natadiningrat resmi menjadi Sultan Kasepuhan XIV. Pelantikan tersebut dilakukan dalam jumenengan di Keraton Kasepuhan, Cirebon, Jawa Barat, Rabu (9/6).

Berdasarkan pantauan, upacara jumenengan dilakukan di Bangsal Panembahan yang dihadiri oleh raja-raja dari Nusantara seperti Raja Samu-Samu dari Nusa Laut, Maluku; Raja Denpasar IX dari Kerajaan Badung; Raja Kesultanan Skala Brak, Lampung; dan berbagai kerajaan lainnya di Nusantara. Wakil Gubernur Jawa Barat (Jabar) Dede Yusuf serta angggota DPD RI pun turut hadir dalam upacara tersebut.

Prosesi jumenengan dimulai dengan membuka kain berwarna cokelat yang membungkus keris peninggalan Sunan Gunung Jati. Keris itu kemudian diselipkan di pinggang sebelah kiri Arif. Usai ritual itu, resmilah Arif menjadi Sultan Keraton Kasepuhan Cirebon yang bergelar Sultan Sepuh XIV.

Dalam sambutannya, Sultan Sepuh XIV mengungkapkan acara jumenengan bertepatan dengan 40 hari wafatnya ayahanda tercinta, Sultan Sepuh XIII. "Kami semua merasa sangat kehilangan sosok seorang ayahanda, suami, dan eyang yang menjadi panutan bagi kami semua," katanya.

http://www.mediaindonesia.com/read/2010/06/10/147995/123/101/PRA-Arif-Natadiningrat-Resmi-Jadi-Sultan-Sepuh-XIV-Cirebon
Kamis, 10 Juni 2010

Pangeran Arif Sah Menjadi Sultan Baru


PANGERAN Raja Adipati Arif Natadiningrat dilantik menjadi Sultan XIV Kasepuhan Cirebon, Jawa Barat, kemarin. Pelantikan yang dikemas dalam upacara jumenengan itu dihadiri sejumlah raja dari Nusantara.

Di antara mereka tampak Raja Samu-Samu dari Nusa Laut, Maluku, Raja IX Denpasar dari Kerajaan Badung, dan Raja Kesultanan Skala Brak Lampung. Wakil Gubernur Jabar Dede Yusuf serta anggota DPD RI juga hadir.

Jumenengan
dilakukan dengan membuka kain cokelat, pembungkus keris peninggalan Sunan Gunung Jati. Keris itu kemudian diselipkan ke pinggang Arif di sebelah kiri. Sang pangeran pun resmi menjadi Sultan Keraton Kasepuhan Cirebon yang bergelar Sultan Sepuh XIV.

Sultan Sepuh XIV mengatakan sesuai dengan adat, jumenengan digelar bertepatan dengan 40 hari wafat ayahandanya, Sultan Sepuh XIII. "Saat ini Sultan sangat berperan untuk merevitalisasi dan melestarikan nilai-nilai luhur budaya Cirebon."

http://www.mediaindonesia.com/read/2010/06/10/148022/76/20/Pangeran-Arif-Sah-Jadi-Sultan
Kamis, 10 Juni 2010

Pengukuhan Sultan Sepuh XIV: Rombongan Sultan Edward Syah Pernong Paling Meriah


CIREBON, TRIBUN - Upacara pengukuhan Pangeran Raja Adipati (PRA) Arief Natadiningrat sebagai Sultan Sepuh XIV Keraton Kasepuhan Cirebon berlangsung cukup khidmat. Sejumlah tamu undangan yang terdiri dari raja-raja se-Nusantara turut menjadi saksi dikukuhkannya putra pertama Sultan Sepuh XIII itu menjadi Sultan Sepuh XIV.

Di antara raja yang hadir, Rabu (9/6) siang di Bangsal Panembahan, Komplek Keraton Kasepuhan adalah Kepala Kepolisian Wilayah Kota Besar (Kapolwiltabes) Semarang. Kombes Rata PenuhEdward Syah Perong. Namun tentu saja, ia datang buakn sebagai Kapolwiltabes, melainkan sebagai raja atau sultan dari Kesultanan Skala Brak, Lampung.

Didampingi istrinya, raja dengan sebutan Sultan Pangeran Raja Selalau Pemuka Agung, ini datang didampingi istri tercinta. Selain itu, sejumlah abdi dan penari juga turut mengiring kedatangan Edward di Komplek Keraton Kasepuhan.

Bahkan saat turun dari mobil, Edward yang mengenakan pakaian kebesaran Kesultanan Skala Brak langsung diiringi para penari dan abdi. Seolah mengikuti irama, para penari itu pun berlenggak-lenggok membawakan beberapa gerakan tari.

Di tangan para penari, terlihat ada kipas dari bulu ayam. Kipas itulah yang dijadikan hiasan sekaligus untuk mempercantik keluwesan tangan para penari.

Selain diiringi penari, kedatangan Edward juga dilengkapi dengan sejumlah alat upacar adat. Contoh yang paling kasat mata adalah payung agung. Payung berwarna kuning keemasan itu tidak pernah luput memayungi Edward.

Menurut adat Kesultanan Skala Brak, payung agung melambangkan keagungan dan kebesaran Sai Batin (sebutan untuk sultan atau raja setempat, Red) sebagai pengayom masyarakat.

Payung agung biasa menyertai Sai Batin dalam upacara kebesaran, termasuk undangan kerajaan. Tak heran jika pada saat menghadiri pengukuhan Sultan Sepuh XIV, kemarin, payung agung itu setia menyertai.

Selain raja dari Kesultanan Skala Brak, hadir juga belasan raja dari kerjaan atau kesultanan se-Nusantara. Di antaranya raja Badung, Bali, Yang Mulia Ida Cokorda Agung Ngurah Jambe Pamecutan, raja Keraton Surakarta Hadiningrat, dan lain-lain.

Tidak ketinggalan, pengamat raja dan sultan Nusantara, Ray Sahetapi juga turut hadir. Bahkan dia termasuk ke dalam tamu undangan VIP Sultan Sepuh XIV.

Karena Sultan Sepuh XIV pernah menjadi anggota DPD RI, sejumlah pimpinan dan anggota DPD juga turut hadir. Di antaranya Ketua DPD RI Irman Gusman, Wakil Ketua Kanjeng Ratu Hemas, dan anggota dari Jawa Barat seperti KH Sofyan Yahya dan Prof M Surya.

Sementara dari Pemerintah Provisni Jawa Barat, ada Wakil Gubernur Dede Yusuf. Dari Kota Cirebon, Wakil Wali Kota Sunaryo HW, dan dari Kabupaten Cirebon hanya perwakilannya. Selain itu, Bupati Karawang Dadang S Muchtar juga ikut menyaksikan prosesi upacara pengukuhan.

Upacara pengukuhan dimulai pukul 14.00 di Bangsal Panembahan Komplek Keraton Kasepuhan. Sebelum dikukuhkan, PRA Arief Natadiningrat tidak duduk di bangsal, dia berada di luar bangsal. Sementara yang di bangsal hanya keluarga, kerabat, para raja dan undangan VIP lainnya.

Barulah beberapa menit kemudian, PRA Arif Natadiningrat memasuki Bangsal Panembahan. Dengan mengenakan pakaian kebesaran, dia berdiri menghada para wargi, abdi dalem dan masyarakat luas yang duduk di Jinem Pangrawit. Sementara para tamu VIP berada duduk lesehan di kiri-kanan Sultan Sepuh berdiri.

Prosesi pengukuhan pun dimulai, setelah seorang abdi menyerahkan keris peninggalan Sunan Gunung Jati kepada PRA Arief Natadiningrat. Kersi yang dibungkus kain kuning keemasan itu pun dibuka, dan dipasangkan di pinggang PRA Arief Natadiningrat. Pemasangan keris dilakukan sendiri.

Dengan dipasangkannya keris, maka PRA Arief Natadiningrat pun resmi menjadi Sultan Sepuh XIV, menggantikan almarhum Sultan Sepuh Pakuningrat.

Sultan Sepuh pun langsung menyampaikan pidato pertamanya di hadapan keluarga, kerabat dan wargi keraton, serta undangan lainnya. Dalam pidatonya, Sultan Sepuh menyinggung soal ajaran yang diusung Keraton Kasepuhan sebagai pewaris ajaran Sunan Gunung Jati.

"Dalam akhir hayatnya, Sunan Gunung Jati berpesan, 'Ingsun titip tajug lan fakir miskin'. Pesan tersebut sangat membumi, dan itu yang akan kami teruskan," ujar Sultan Sepuh.

Pesan tersebut, kata Sultan Sepuh, mengandung dua aspek terpenting dalam kehidupan manusia, yakni keseimbangan vertikal (dengan Tuhan) dan horizontal (dengan sesama). "Tajug yang artinya langgar atau masjid kecil berarti hubungan vertikal, sementara fakir miskin adalah hubungan kita dengan sesama," ucapnya.

Dalam pidato pertamanya, Sultan Sepuh XIV juga membacakan sejarah dan silsilah keberadaan Keraton Kasepuhan yang beridiri sejak 1946 lalu.

Seusai pidato, upacara diisi dengan pelepasan 14 burung merpati. Pelepasan itu disertai juga oleh para raja dan tamu VIP. Setelah itu, barulah penanaman 14 pohon dewandaru di Taman Dewandaru Keraton Kasepuhan.

Sementara Wakil Gubernur Dede Yusuf di sela-sela penanaman pohon mengucapkan selamat kepada Sultan Sepuh XIV. Dia juga mengharapkan ada perbaikan yang dilakukan Sulatn Sepuh XIV sehingga Keraton Kasepuhan semakin termasyhur di seantero Nusantara.

"Tapi saya optimistis beliau bisa melakukan itu. Pengalaman beliau di bidang politik sudah cukup, begitu juga dengan networking-nya," kata Dede Yusuf.

Ucapan selamat juga disampaikan para raja dan sultan yang hadir. Seperti Yang Mulia Ida Cokorda Agung NGurah Jambe Pamecutan dari Badung, Bali. "Selamat untuk Sultan Sepuh XIV, semoga bisa melanjutkan cita-cita para pendidi keraton terdahulu," ucapnya.

Upacara diakhiri dengan salawatan dan doa bersama. Sementara malam harinya, Sultan dan keluarga melakukan resepsi untuk para raja se-Nusantara. Kabarnya, dalam pertemuan tertutup itu pun, akan dibahas soal rencana Festival Keraton Nusantara 2010 di Palembang, yang akan digelar akhir tahun ini.*


http://www.tribunjabar.co.id/read/artikel/23210/rombongan-sultan-edward-syah-pernong-paling-meriah




Pengukuhan Sultan

Pelantikan Sultan Kasepuhan






Senin, 28 Juni 2010

Di manakah Keberadaan Pemerintah dan Negara?*




Oleh: Bambang Wibiono

Saat ini rakyat Indonesia kembali dilanda musibah yang besar. Di saat berjuta rakyat kita yang hidup dalam sebuah penderitaan—yang untuk dibayangkan saja kita tak sanggup—pemerintah SBY-Boediono kembali mengeluarkan kebijakan yang sangat menyakitkan hati rakyat, khususnya rakyat kecil. Belum sempat rakyat kita mampu menyesuaikan diri dengan keadaan mahal dan langkanya harga kebutuhan pokok, kini akan ditambah lagi dengan kenaikan harga tarif dasar listrik.

Jaman modern seperti ini, listrik sudah menjadi kebutuhan dasar setiap masyarakat. Dahulu, Indonesia pernah mencetuskan konsep modernisasi yang diagung-agungkan oleh bangsa barat. Kemajuan teknologi dengan sendirinya mengharuskan adanya ketersediaan sumber energi, diantaranya adalah listrik.

Akhir-akhir ini, kita sudah terbiasa dengan pemadaman listrik secara bergilir. Banyak pelaku usaha yang merasa rugi atas kebijakan ini. Tetapi, apakah pemerintah pernah berpikir mengenai kerugian sebagian besar penduduk negeri ini yang miskin? Dengan entengnya pemerintah mengkampanyekan hemat energi dan hemat listrik. Apakah anjuran itu berlaku juga bagi kediaman para pejabat negara? Apakah kebijakan itu berlaku juga pada kantor-kantor pemerintah di pusat, atau kantor-kantor swasta milik perusahaan raksasa di negeri ini? Kemungkinan besar itu tidak berlaku.

Ternyata kemerdekaan tidak menjamin bahwa keamanan, kenyamanan dan ketentraman akan didapat. Ternyata reformasi tidak seperti yang diarapkan oleh kita semua. Ternyata kolonialisme dan imperialisme tidak hanya terjadi pada jaman tradisional, namun dia bisa datang menyesuaikan diri pada jaman modern saat ini. Bahkan wajah imperialisme ditutupi oleh ‘kebaikan’ yang dinamakan dengan pembangunan dan pertumbuhan.

Setiap detik kita dengar jerit tangis manusia-manusia tak berdosa yang tak kuat menahan cobaan hidup. Setiap hari selalu ada orang yang tak bisa makan karena tidak ada yang dimakan. Tiap hari pula kita melihat tindak kriminal akibat masalah makan. Setiap hari selalu ada orang yang mati akibat tidak adanya biaya untuk berobat dan tidak ada yang mau peduli. Cobaan yang demikian luar bisanya yang selalu menimpa mereka-mereka yang tidak pernah tahu apa salahnya. Mereka semua tidak pernah berharap dan tidak pernah mau mendapat cobaan yang demikian berat yang hanya untuk dibayangkan saja sudah tak sanggup. Tetapi di sisi lain negeri ini masih pula kita dengar suara terbahak orang yang sedang menikmati indahnya hidup, masih kita dengar dengkuran orang yang tidur akibat kekenyangan, masih pula kita dengan suara orang bersenandung dalam gemerlap pesta meriah.

Aubade penderitaan hidup inilah yang setiap detik, setiap jam, dan setiap hari kita dengar, dan kita lihat lewat media. Seakan hidup tak pernah adil dan berpihak pada mereka yang memang tak sanggup menghadapi hidup. Roda kehidupan seperti enggan untuk berputar meski hanya untuk sesaat untuk membalik semua keadaan, bahkan untuk sedikit condong saja pun tak mau. Apakah roda kehidupan ini telah lelah dimakan jaman sehingga tak mampu berputar? Atau roda kehidupan memang tak mampu menahan bebannya setiap saat untuk berputar? Entahlah…tetapi itulah kenyataannya. Kehidupan ini seperti berhenti pada satu titik. Masih adakah keadilan untuk mereka?

Setiap saat selalu didengungkan keadilan. Setiap saat selalu bicara kepentingan rakyat kecil. Setiap saat selalu bicara soal kemakmuran dan kesejahteraan. Semua celotehan yang tak berguna itu tak banyak membantu. Semua itu hanyalah layaknya nyanyian burung berkicau di pagi hari yang indah dan menyejukan bagi yang mendengar. Tetapi, ketika kita sadar akan kenyataan, kita akan mulai mual, muak, benci akan hidup. Hiburan sesaat itu tak banyak membantu.

Demokrasi yang dijanjikan akan membawa perubahan dan kemajuan bangsa dan negara, sampai saat ini hanya sebatas mitos yang biasa kita dengar lewat nenek moyang kita. Welfare state yang menjadi tujuan negara kita, hanya gombal. Semua itu bohong!!. Rakyat sudah benci pada pemerintah dan negara ini. Rakyat sudah bosan dengan pemerintah. Keberadaan pemerintah, pemerintahan, dan negara sudah tidak ada signifikansinya lagi. Dia hanya sebatas simbol bagi penderitaan rakyat kecil, yang hanya akan semakin menyakitkan jika menyebutnya.

Sejenak kita bangga akan kesuksesan kita menjalankan demokrasi yang paling demokratis sejak tumbangnya orde baru. Negara kita mendapat penghargaan karena menjalankan sistem pemilu yang demokratis lewat pilihan langsungnya. Semua negara di dunia mengacungkan jempol mereka atas prestasi itu. Tapi, pernahkah kita berpikir apa arti itu semua? Buat apa demokrasi, jika dia tak mampu menyampaikan keluhan. Buat apa demokrasi, jika masalah rakyat tak kunjung diatasi?. Buat apa rakyat bebas berteriak jika tak ditanggapi?. Semua itu hanya buang-buang energi saja! Persetan dengan demokrasi!! Mungkin itulah ungkapan yang ada di benak sebagian besar rakyat Indonesia.

Demokrasi kita telah disalah artikan oleh segelintir orang yang tak bertanggungjawab. Demokrasi kita hanya melahirkan kelompok-kelompok baru penindaas rakyat kecil atas nama demokrasi. Atas nama dukungan rakyat, mereka bertindak semaunya. Mereka memohon dukungan rakyat, tetapi setelahnya mereka mencampakan rakyat seperti mencampakan sampah yang tak berarti meski mereka meneteskan air mata darah sekalipun.

Masih ingatkah kawan-kawan sekalian, ketika pemerintah berjanji tidak akan menaikkan harga BBM? Namun apa buktinya? SBY menyatakan bahwa ini adalah opsi terakhir untuk menyelamatkan APBN kita. Apakah kita tahu ke mana aliran dana APBN kita? Mungkin sebagian besar hanya dinikmati oleh segelintir orang saja. Malah lebih menyakitkan lagi SBY menyatakan bahwa sebenarnya ekonomi Indonesia mulai mebaik dan mengalami pertumbuhan. Bagaimana bisa di saat banyak rakyat miskin yang semakin menderita, bertambahnya pengangguran, dan semkin meningkatnya angka putus sekolah, ekonomi kita dianggap mengalami kemajuan/pertumbuhan.

Mempertanyakan eksistensi lembaga negara

Negara lahir karena adanya kebutuhan orang akan rasa aman, dan sejahtera. Rakyat membentuk sebuah negara atas dasar komitmen mereka untuk hidup bersama dalam naungan lembaga yang mengatur mereka semua demi terciptanya kesejatereaan yang merata. Tetapi apa yang terjadi pada negara Indonesia kita tercinta? Negara tak mampu mengakomodir keinginan rakyatnya—walau hanya sebatas rasa aman—apalagi kesejahteraan. Mereka seperti tertindas di negeri sendiri. Mereka dieksploitasi hanya untuk melanggengkan sistem yang ada dan untuk menyejahterakan kaum kapitalis asing.

Kenaikan harga-harga kebutuhan pokok, tarif dasar listrik, menjadi bukti ketidakberdayaan negara dalam memberikan rasa aman bagi rakyatnya. Bertapa tidak, setiap saat kita selalu dibayangi oleh ketakutan akan tidak mampunya kita untuk memenuhi kebutuhan yang paling primer. Meski peluh telah mengering, tulang telah remuk berkeping-keping, air mata telah habis, kulit telah hangus terbakar, tenaga telah menguap, namun tetap saja tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan. Semua daya dan upaya telah dikerahkan demi bertahan hidup.

Ditengah kondisi seperti ini, pemerintah malah menganjurkan untuk hidup bersahaja alias berhemat. Sungguh lucu memang. Mereka tidak pernah tahu-menahu begitu bersahajanya rakyat kecil melalui hidupnya sehari-hari. Bahkan hidup rakyat kecil sudah melebihi batas kewajaran dalam bersahaja. Pernyataan pemerintah seperti itu lebih pantas ditujukan kepada para pejabat pemerintahan, konglomerat, yang setiap harinya hanya menghambur-hamburkan uang.

Dimana rasa kemanusiaan mereka, ketika di sekitarnya masih ada jerit tangis kelaparan? Di mana moral mereka ketika masih ada yang sulit untuk tidur. Di mana hati mereka ketika ada yang membutuhkan pengobatan?? Lantas di manakah peran negara sebagai lembaga yang mengayomi rakyatnya, yang seharusnya memeberikan jaminan bagi rakyatnya untuk dapat merasakan hidup aman, tentram, dan sejahtera? Masih adakah negara itu di sini? Jika para pemimpin negeri ini tak sanggup memberikan apa yang diharapkan oleh rakyatnya, dia sudah tak pantas lagi memimpin negeri ini.

Sepertinya sistem di negara ini sudah tidak relevan lagi bagi kehidupan rakyatnya. Bahkan mungkin lembaga pemerintahan atau negara sudah tidak dibutuhkan lagi bagi kelangsungan hidup. Mestikah kita membubarkan lembaga negara yang selama ini hanya menyisakan kepedihan bagi yang di dalamnya?. Jika memang mungkin itu terjadi, maka benarlah apa yang dikatakan oleh para filsuf dahulu bahwa negara itu akan dengan sendirinya hilang ketika rakyat sudah tidak membutuhkannya lagi. Sebab negara ada, atas dasar kepentingan bersama dan demi tercapainya tujuan besama. Itu artinya negara ada hanya ketika dibutuhkan. Apakah kondisi seperti ini yang akan terjadi pada Indonesia tercinta. Hanya waktu yang akan menjawabnya.


*Tulisan ini dimuat dalam http://www.pbhmi.net

“Dilema Pembangunan Politik”


oleh: Bambang Wibiono

Seiring dengan berkembangnya jaman dan terjadinya dikotomi antara Negara dunia pertama dan Negara dunia ketiga atau Negara berkembang, pembangunan merupakan suatu hal yang menaraik untuk dikaji. Pembangunan khususnya pembangunan politik seolah suatu hal yang mutlak bagi Negara dunia ketiga. Begitu banyak pendekatan yang dapat digunakan dalam kajian pembangunan politik.

Perubahan diartikan sebagai berubahnya suatu keadaan social yang ada tanpa melihat baik atau buruknya keadaan. Yang terpenting adalah adanya perbedaan keadaan antara keadaan yang lalu dengan keadaan sekarang. Sedangkan pembangunan sendiri dapat diartikan sebagai usaha perubahan yang memiliki tujuan yang sistematis untuk dapat dicapai.

Untuk dapat memahami pembangunan politik, sedikitnya ada tiga perspektif yang dapat digunakan. Pertama, perspektif deterministik atau evolusioner yang melihat pembangunan politik berdasarkan fakta sejarah dari masyarakat dan berusaha mencapai masa depan berdasarkan konsekuensi logis dari proses perubahan yang ada. Pandangan ini didukung oleh pemikiran Marx yang melihat sejarah manusia sebagai sejarah pertentangan kelas antara kelas pemilik modal dan kelas proletar. Dalam pandangan Marx, pembangunan politik adalah sebuah proses historis yang harus menghasilkan pemerintahan proletariat.

Kedua, teori normativ atau preskriptif yang lebih memfokuskan pada tujuan akhir yang harus dicapai sesuai dengan apa yang dipikirkan. Menurut pandangan ini ada empat ukuran untuk dapat menilai pembangunan politik, yaitu efisiensi, persamaan, demokrasi, dan keamanan.

Pendekatan yang ketiga adalah teori deskriptif atau analitis. Pendekatan ini lebih memusatkan pada pendeskripsian dan menganalisis perbedaan politik yang saat ini ada antara Negara dunia pertama dan Negara dunia ketiga. Pendekatan ini berupaya menganalisis mengapa perbedaan keadaan politik antara Negara dunia pertama dan dunia ketiga bias terjadi sangat mencolok.

Ada lima faktor yang dapat digunakan untuk dapat melihat sejauh mana keberhasilan sebuah rejim politik untuk mengendalikan dan memobilisasi rakyatnya agar dapat mencapai tujuan dari pembangunan politik. Faktor itu adalah 1. faktor nilai dan kecakapan elite dominan, 2. kapasitas institusional dari rejim untuk mengendalikan dan memobilisasi sumber daya manusia dan materialnya, 3. nilai sikap, perilaku, dan cirri cultural lainnya dari masyarakat, 4. lingkungan regional dan internasional.

Pembangunan politik dan pembangunan ekonomi

Saat ini paradigma pembangunan politik mengacu pada sebuah pembangunan ekonomi atau modernisasi. Berdasarkan pendekatan deskriptif analitis, menganggap bahwa perbedaan antara Negara dunia pertama atau Negara maju dengan Negara dunia ketiga atau Negara berkembang dalam hal pembangunan politik adalah dikarenakan Negara maju lebih stabil, tingkat kemakmuran yang tinggi dan merata, sehingga dapat dengan mudah dalam hal pembangunan politik.

Modernisasi dan globalisasi merupakan isu yang sedang beredar saat ini. Para penganut paham modernisasi menyatakan bahwa untuk dapat mencapai kemajuan suatu bangsa, khususnya bagi Negara dunia ketiga adalah dengan cara modernisasi dan mau membuka diri terhadap dunia luar secara bebas. Isu ini seolah menjadi senjata bagi Negara maju untuk melakukan ekspansi kepada Negara berkembang dan Negara miskin, baik itu ekspansi sumberdaya maupun ekspansi ideologi.

Menurut Mansour Fakih (2006), teori pembangunan dan globalisasi yang begitu diagung-agungkan oleh negara maju telah gagal dalam mewujudkan tujuannya bagi negara di Asia. Negara NIC (Newly Industrial Countries) yang menjadi percontohan telah hancur dan tidak bisa bertahan diterpa oleh badai krisis multidimensi yang melanda dunia. Revolusipun bukan suatu langkah yang tepat dalam pembangunan politik. Karena menurut Irma Adelman (dalam Fakih, 2006: 66), 40-60 % penduduk di negara miskin menjadi semakin buruk. Yang diperlukan adalah human resource development untuk mencapai pertumbuhan dengan pemerataan. Dengan pembangunan sumberdaya manusia diharapkan akan dapat menumbuhkan kesadaran dan daya kritis masyarakat terhadap proses pembangunan politik.

Demokrasi menjadi ideologi yang ‘wajib’ bagi negara berkembang. Demokrasi yang dikembangkan adalah dengan demokrasi yang membuka peluang segala kebebasan. Pembangunan politikpun diarahkan pada penerapan demokrasi ala barat. Padahal demokrasi belum tentu relevan bagi sebagian negara dikarenakan kondisi masyarakat yang belum memungkinkan.

Dalam semua upaya pembaruan politik, pertanyaan mengenai siapa subyek atau pelaku politik muncul dengan sendirinya. Neoliberalisme melancarkan kritik mengenai peran pemerintah dalam kehidupan sosial dan ekonomi. Menurut Giddens, keberadaan pemerintah sebagai elit adalah untuk menyediakan sarana perwakilann kepentingan yang beragam, menciptakan forum untuk rekonsiliasi kepentingan, menciptakan dan melindungi ruang publik untuk mengntrol segala kebijakan pemerintah, memenuhi kebutuhan masyarakat, mengatur pasar untuk publik, menjaga keamanan, mengembangkan sumber daya manusia, menopang sistem hukum (2000: 54).

Dengan pencapaian ini akan dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat pada institusi dan para pemimpinnya. Dan dengan demikian akan dapat memperbesar dukungan dan kedudukan pemerintah semakin legitimate. Sehingga pemerintah dapat dengan mudah dalam melaksanakan pembangunan baik sosial, politik, maupun ekonomi.

Bagaimanapun pendekatan yang ada dan telah diungkap oleh Monte Palmer ini masih banyak kelemahan. Dari semua pendekatan dari mulai deterministik sampai deskriptif analitis terdapat kelemahan. Pendekatan deskriptif analitis yang digunakan oleh penulis hanya terpaku pada fenomena saat ini dan tidak berusaha melihat tujuan akhir dari proses pembangunan. Pendekatan ini tidak mempedulikan keadaan masyarakat yang menderita dan tertindas. Pada intinya semua teori hanya bersifat penggambaran tanpa ada tindakan praksis. Seperti yang dikatakan Marx berdasarkan pandangan Hegel bahwa kebanyakan para filsuf hanyalah menafsirkan dunia, namun tidak pernah bertindak. Segala sesuatu tidak akan pernah tercapai jika tanpa disertai tindakan konkrit. Begitu juga dengan sebuah pembangunan politik yang tidak akan berjalan tanpa ada usaha untuk merubahnya.

Pustaka

Fakih, Mansour. 2006, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Cetakan ke-IV, Insist Press dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Giddens, Anthony. 2000, The Third Way: Jalan Ketiga Pembaruan Demokrasi Sosial, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Rabu, 23 Juni 2010

Peristiwa Madiun bag. 2/5

Kabinet Hatta Dan Penyingkiran Golongan Kiri.

26 Januari 1948 terbentuklah Front Demokrasi Rakyat (FDR), yang terdiri dari PKI, Partai Sosialis, PBI, Pesindo dan SOBSI. Amir Sjarifoeddin terpilih menjadi salah seorang pimpinannya. FDR menuntut kabinet presidentil Hatta dirobah menjadi kabinet parlementer., menentang program “rasionalisasi dan rekonstruksi” Angkatan Bersenjata. FDR tetap berusaha menggalang persatuan nasional.

12 Februari 1948, Soetan Sjahrir dan golongannya memisahkan diri dari Partai Sosialis, keluar dari “Sayap Kiri”dan mendirikan Partai Sosialis Indonesia (PSI) Dalam Peraturan Dasarnya fasal 1 tercantum: Asas-tujuan: “PSI berdasarkan faham sosialis yang disandarkan pada ajaran ilmu pengetahuan Marx-Engels, menuju masyarakat sosialis yang berdasarkan kerakyatan”. PSI menentang diktatur proletariat yang dipraktekkan di URSS dan negara-negara sosialis lainnya, menentang sistim kenegaraan URSS.. Sosialisme kerakyatan yang dimaksudkan PSI adalah “sosialisme yang menjunjung tinggi derajat kemanusiaan, dengan mengakui dan menjunjung persamaan derajat tiap manusia orang seorang.

Penghargaan pada pribadi orang seorang didalam pikiran serta didalam pelaksanaan sosialisme. Penghargaan pribadi manusia serta pandangan yang demikian ini, yang sebenarnya menjadi inti ajaran dari segala pencipta sosialisme yang besar-besar, seperti Marx-Engles dsb. Sosialisme semestinya tiadalah lain daripada penyempurnaan dari segala cita-cita kerakyatan, yaitu kemerdekaan serta kedewasaan kemanusiaan yang sebenarnya. Pada mana seharusnya tiap manusia sungguh merdeka, untuk menyumbangkan kehidupannya serta segala kesanggupan yang ada pada dirinya masing-masing. Sosialisme mestilah berhasil menciptakan keadaan pada mana hal-hal jasmani tiada lagi menjadi halangan untuk kemajuan serta perkembangan segala kesanggupan tiap manusia kepada kebajikan dan keindahan"”

Ditinjau dari bidang teori, pandangan ini telah mencampakkan ajaran klas dan perjuangan klas yang merupakan salah satu batu alas ajaran-ajaran Marx dan Engels, telah menempatkan pribadi perseorangan sebagai yang utama dan bukannya kolektivitas sebagai yang utama dalam membangun sosialisme. Ini jelas bukan ajaran Marxisme, tapi adalah liberalisme, yang menjadi “way of life” Amerika. Di bidang politik, PSI bukannya menempatkan URSS sebagai sahabat, tapi menyamakannya dengan Amerika Serikat sebagai kubu yang menjadi lawannya. Bahkan menentang diktatur proletariat yang dipraktekkan di URSS. Dan dalam politik praktis jadi bersahabat dengan Amerika Serikat, memusuhi URSS. Dengan demikian, PSI telah menempatkan diri sebagai unsur yang dibutuhkan Amerika Serikat dalam melaksanakan “the policy of containment”, membendung meluasnya pengaruh URSS, membendung komunisme di Indonesia, melancarkan PERANG DINGIN di Asia.

Begitu terbentuk, PSI menyatakan mendukung kabinet Hatta, dan dengan keras menuduh Partai Sosialis “telah menyeleweng dari prinsip-prisnip semula”, “tidak mempunyai pimpinan yang stabil”, “telah memecah belah kekuatan nasional dan mengambil posisi yang tidak tepat terhadap kabinet Hatta”..Terjadinya perpecahan dalam Partai Sosialis, tidak terlepas dari pengaruh menajamnya kontradiksi dalam gerakan sosialisme internasional.

PERANG DINGIN telah mempertajamnya, hingga terjadi perpecahan dalam kerjasama antara kekuatan komunis dan sosialis di Eropa. Barat Bertentangan dengan Partai-Partai Komunis, Partai-Partai sosialis Eropa Barat mengambil sikap mendukung Plan Marshall yang dilancarkan Amerika Serikat untuk membendung pengaruh URSS, membendung komunisme di Eropa. Kaum sosial demokrat, yaitu Partai-Partai sosialis mengedepankan semboyan “jalan ketiga”, yaitu tidak ikut URSS dan tidak ikut Amerika.

Demikian tajamnya pertentangan ini sampai merasuk ke dalam Kominform, yaitu badan kerjasama Partai-Partai Komunis dan Partai Pekerja Eropa Timur, URSS, Perancis dan Itali di bidang informasi. Liga Komunis Yugoslavia dipecat dari Kominform. Yugoslavia menempuh jalan tidak ikut URSS dan tidak ikut Amerika. Dan Yugoslavia tidak menentang Plan Marshall, malah mendapat bantuan dari Amerika Serikat. Hal yang serupa terjadi di Indonesia dengan lahirnya PSI dibawah pimpinan Sjahrir. Semenjak kabinet pertama RI, dalam pemerintah terdapat kerjasama Menteri-Menteri komunis dan sosialis sampai kabinet Amir Sjarifoeddin. Kerjasama ini berobah dan memuncak jadi pecah semenjak lahirnya PSI. Bertolak belakang dengan politik PKI, politik “netral” atau “jalan ketiga” yang ditempuh PSI adalah sama dengan yang ditempuh kaum sosial demokrat Eropa Barat yang dalam prakteknya adalah memusuhi URSS dan bersahabat dengan Amerika Serikat. Dengan demikian, Amerika Serikat berhasil mendapatkan kekuatan lagi untuk melancarkan “the policy of containment”nya di Indonesia. Ini mempunyai jengkauan jauh ke depan untuk masa yang panjang. Kaum sosialis kanan menjadi salah satu tiang penyangga kekuatan komunisto-fobi dan pengaruh Amerika di Indonesia.

“11 Maret 1948 Menteri Seberang Lautan Belanda Jonkman sudah menyarankan kepada Letnan Gubernur Jenderal Van Mook, supaya masalah membasmi komunisme dikemukakan kepada pimpinan Republik Indonesia untuk mendapatkan dukungan dari wakil Amerika Serikat dalam KTN..”
Pada waktu itu, Van Mook menjawab, bahwa pengaruh komunis di Republik belumlah cukup kuat untuk membenarkan pembicaraan menyangkut hal ini.. Dengan terjadinya persetujuan Suripno mengenai pengakuan URSS atas Republik Indonesia, maka hubungan antara Republik Indonesia dengan kekuasaan negara komunis sudah menjadi lebih menonjol.

Dalam keadaan Van Mook belum diizinkan Pemerintah Belanda untuk menjalankan “aksi polisionil” yang kedua – karena ini menyangkut Pemilihan Umum di Belanda dalam bulan Juli --, maka Van Mook memutuskan, bahwa perundingan selanjutnya dibawah pimpinan KTN sudah tak berguna, dan 3 Juni dia menyatakan kepada KTN bahwa akan menempuh berunding langsung dengan Perdana Menteri Hatta.

4 Juni 1948, Van Mook menulis surat kepada Hatta, mengundangnya untuk melakukan perundingan langsung. Hatta menjawab 8 Juni 1948, menyatakan bersedia bertemu dengan Van Mook secara informal, tapi pembicaraan dibawah pimpinan KTN tidak boleh dihapuskan.. Berlangsung tiga kali pertemuan antara Van Mook dan Hatta.

Dalam pertemuan yang berlangsung tanggal 16-17 dan 23 Juni 1948, Van Mook meminta agar Hatta menjauhkan pemerintahnya dari persetujuan dengan URSS yang telah dicapai oleh Suripno.. Hatta menjawab, bahwa pemerintahnya tidak akan meratifikasi peretujuan ini, tapi tak akan mengumumkannya secara terbuka, karena takut akan mendapat kesan tidak baik dari Uni Soviet dan pemerintah-pemerintah komunis lainnya.

Dalam bulan Agustus 1948 tersebar berita tentang berkobarnya pemberontakan bersenjata komunis di Malaya. Pemerintah Inggeris dan Amerika berbeda pandangan dalam hal menghadapi masalah ancaman komunis. Inggeris sudah membayangkan akan terjadinya “perebutan kekuasaan oleh komunis” di Indonesia.

“Pejabat Kementerian Luarnegeri Inggeris seperti Dening mendesak Pemerintah Belanda supaya mencapai persetujuan dengan Pemerintah Hatta, sebelum terjadinya perebutan kekuasaan oleh kaum komunis. Pemerintah RI yang dipimpin komunis pasti akan membatalkan Persetujuan-Persetujuan Linggarjati dan Renville. Jika ini terjadi, Pemerintah Belanda supaya menjalankan aksi militer terhadap Republik Indonesia. Sebaliknya, jika tercapai persetujuan dengan Pemerintah Hatta sebelum kaum komunis merebut kekuasaan, ini akan menyebabkan Pemerintah Belanda berdiri di fihak Pemerintah Republik melawan kaum komunis.”.

Dimata penguasa Inggeris, ancaman perebutan kekuasaan oleh kaum komunis adalah satu kesempatan untuk mendessak Belanda buat mencapai persetujuan dengan Indonesia.
“Dalam pada itu, bagi Amerika Serikat, obat mujarab bagi penyelesaian situasi Indonesia adalah memperkuat tangan Hatta yang moderat melawan kaum komunis”

Di kalangan penguasa Inggeris dan Amerika telah mateng fikiran tentang perebutan kekuasaan oleh kaum komunis di Indonesia, sebelum terjadinya “Peristiwa Madiun”. Tangan-tangan merekalah yang mengendalikan perkembangan situasi, hingga menjadi kenyataan dalam berita tentang apa yang dikatakan “pemberontakan komunis di Madiun” itu. Inilah realisasi “the policy of containment” di Indonesia.

20 Mei 1948, FDR bersama Masjumi, dan PNI memperingati hari “Kebangunan Nasional”. Kegiatan ini diteruskan dengan usaha untuk menyusun bersama suatu “Program Nasional”. Penyusunan Program Nasional dilakukan oleh sebuah Panitia yang terdiri dari: Mr. A.M.Tambunan (Parkindo), Sujono Hadinoto (PNI), Amir Sjarifoedin (Partai Sosialis), D.N.Aidit (PKI), Setiajit (PBI) M.Saleh Suhaidi (Masjumi) dan Maruto Nitimihardjo (Partai Rakyat). Mr. A.M.Tambunan menjadi Ketuanya. Amir Sjarifoeddin memegang peranan penting dalam rapat-rapat Panitia. Amir Sjarifoeddin menekankan agar dasar negara diambil saja “Pancasila”, “para petani harus memiliki tanah sendiri, oleh karena itu, setiap petani yang tidak memiliki tanah harus diberikan tanah kepadanya”.

Tugas Panitia selesai tanggal 23 Juni 1948. 27 Juni 1948 diadakan pertemuan dengan Pemerintah dan wakil partai-partai untuk membicarakan Program Nasional yang telah dihasilkan Panitia. Pemerintah menerima baik rumusan Program Nasional. Dalam Program Nasional antara lain dirumuskan:”industri-industri vital harus dinasionalisasi tanpa ganti rugi, harus disusun undang-undang agraria yang baru dengan menekankan pemilikan perseorangan atas tanah tanpa sisa-sisa kekuasaan feodal”.

10 Juni 1948, Critchley, Australia, dan Du Bois, pengganti Frank Graham, wakil Amerika, mengajukan suatu “usul kompromi” untuk mendamaikan Republik dengan Belanda, dimana ditetapkan antara lain, bahwa akan dibentuk suatu pemerintah federal sementara, bahwa Angkatan Perang harus dikurangi, bahwa Republik akan menyerahkan kedaulatannya kepada pemerintah federal sementara dll.

16 Juni 1948, dilangsungkan pertemuan informil antara Hatta dan Van Mook.

17 Juni 1948, Pemerintah Hatta mengeluarkan komunike yang menyatakan bahwa “usul Australia-Amerika dianggap oleh pemerintah Republik sebagai suatu hal yang baik”

Juli 1948, Sekretariat Pusat FDR mengeluarkan sebuah rencana kampanye, memberikan petunjuk bagaimana kampanye untuk terbentuknya suatu pemerintah front nasional dijalankan dengan sebaik-baiknya. Rencana kampanye yang dikirimkan ke daerah-daerah dengan melalui pos itu, kemudian dipalsu, antara lain oleh harian MURBA, Solo, dimana ditambahkan seolah-olah rencana kampanye itu memuat soal “penggedoran, pencurian, pembunuhan, dll.” Pemalsuan ini, baik oleh Sekretariat FDR Surakarta maupun oleh sekretariat pusat FDR diadukan sebagai perkara kepada polisi, untuk diusut dan diadili. Tetapi pihak kepolisian maupun kejaksaan tidak mengurus pengaduan itu. Dokumen FDR ini juga diumumkan dalam semua harian di Jogjakarta, Juli 1948.

2 Juli 1948, Komandan Divisi IV, Divisi Panembahan Senopati, kolonel Sutarto, dibunuh dengan tembakan pistol.
“…Amerika berkali-kali menyebut kolonel Sutarto dan jelas menamakannya sebagai musuh No. 1”

Sejalan dengan ofensif PERANG DINGIN yang dikobarkan Amerika Serikat di Eropa dengan Plan Marshall, persiapan-persiapan pembentukan Pakta Militer NATO, membangun “jembatan udara” ke Berlin Barat, Amerika Serikat memperkuat petugasnya untuk menghadapi perkembangan Indonesia dalam rangka melaksanakan “the policy of containment”.

Di Asia.. Amerika Serikat menngganti wakilnya dalam KTN dengan Merle H.Cochran. Disamping itu, G.Hopkins (penasihat politik luar negeri dari Presiden Truman), John Coast, Campbell, dan 5 “diplomat” lainnya, yang bertugas melaksanakan “the policy of containment” di Asia Tenggara, dipindahkan dari New Delhi dan Bangkok ke Jogjakarta. “Dalam perjalanannya ke Indonesia, Merle H.Cochran mampir di Belanda, mengadakan pertemuan dengan Perdana Menteri Beel dan Menteri Luarnegeri Van Boetzelaer serta Menteri Urusan Seberang Lautan, Jonkman. Dalam pertemuan ini dibicarakan masalah bahaya komunis dan aksi-aksi subversi”.

Amerika khawatir dan telah mengambil langkah-langkah untuk mengatasi akan meluasnya pengaruh URSS ke Indonesia.

Sesudah menghadiri Festival Pemuda dan Pelajar Sedunia, memenuhi instruksi Presiden Sukarno dalam bulan Januari 1948, Suripno yang mendapat mandat, melakukan perundingan-perundingan di Praha mengenai pengakuan atas Republik Indonesia. Perundingan juga dilakukan dengan wakil Pemerintah URSS. Tercapai persetujuan, bahwa URSS mengakui Republik Indonesia dan akan membuka hubungan Konsulat. Pengakuan ini tidak diratifikasi oleh Pemerintah Amir Sjarifoeddin, karena waktu itu berlangsung perundingan-perundingan dengan Belanda yang menyangkut masalah pengakuan de jure Indonesia yang dipersengketakan.

Dalam Persetujuan Renville terdapat formulasi, yang menurut interpretasi Belanda, Republik Indonesia dilarang melakukan hubungan luarnegeri dengan bebas.

26 Mei 1948, Pemerintah URSS mengumumkan, bahwa telah meratifikasi persetujuan pengakuan atas Republik Indonesia dan akan membuka hubungan Konsulat. Bagi Pemerintah Hatta timbul masalah: membuka hubungan diplomatik dengan URSS atau tidak. Dengan mengakui, bahwa Republik Indonesia berada di daerah pengaruh Amerika Serikat, secara resmi, politik luarnegeri Hatta adalah menempatkan URSS dan Amerika Serikat dalam kedudukan setara, dan tidak memihak salah satu. Dalam paktek, Amerika telah menempatkan perwakilannya, bahkan campur tangan langsung menengahi pertikaian Indonesia Belanda.

Tanpa mengambil keputusan mengenai pembukaan hubungan diplomatik dengan URSS, Hatta memanggil kembali Suripno pulang.

Pada pertengahan Februari 1948, Pemerintah Hatta mengeluarkan rencana Rasionalisasi dan Rekonstruksi angkatan perang, yang pada hakekatnya dan prakteknya ditujukan untuk:
  1. Menyingkirkan unsur-unsur revolusioner dan progresif dalam kalangan militer.
  2. Menempatkan sebanyak-banyaknya perwira-perwira yang dapat diterima oleh Belanda, supaya dalam perundingan mengenai militer dengan Belanda tidak mengalami kesulitan dan memudahkan pemasukan tentara federal kedalam Angkatan Perang RIS.
Pertengahan Februari 1948, kolonel A.H.Nasution datang di Jogya sebagai komandan Divisi Siliwangi yang hijrah dari Jawa Barat. Dengan datangnya pasukan hijrah ke daerah pusat pemerintah Republik, maka terjadi perobahan imbangan kekuatan antara pasukan yang pro dan kontra rasionalisasi yang direncanakan Pemerintah Hatta.

Siliwangi menjadi pasukan elite yang mendukung pelaksanaan program rasionalisasi. Dan Nasution datang dengan membawa konsep struktur baru kekuatan bersenjata Indonesia dengan mengurangi kekuatan bersenjata teritorial menjadi tiga divisi di pusat daerah Republik Indonesia, ditambah dengan satu kesatuan cadangan yang mobil, termasuk divisi Siliwangi.

Kekuatan bersenjata yang sebelumnya dipersenjatai dalam perbandingan satu senjata untuk tiga orang, dirobah menjadi tiap orang memegang senjata hingga mampu memiliki daya tempur offensif. Dengan demikian, TNI Masyarakat – kelanjutan dari Badan Perjuangan – harus didemobilisasi. Demikian pula pasukan-pasukan reguler yang tidak memenuhi syarat-syarat disiplin militer harus didemobilisasi. Reorganisasi ini menimbulkan pertentangan tajam, karena menyangkut perpindahan dan penggantian kedudukan kepemimpinan dalam pasukan.

Pergesekan terjadi di kalangan para perwira yang tergabung dalam kelompok-kelompok pasukan bersenjata. Karena divisi Siliwangi mendapat kedudukan yang istimewa, yaitu status elite dari Pemerintah Pusat, maka timbullah iri hati antar pasukan. Banyak yang menggerutu, merasakan kesatuan-kesatuan yang berasal dari Jawa dianggap sebagai pasukan kelas dua.

Ini adalah suatu langkah untuk melaksanakan rencana bersama dengan Belanda, buat pembentukan satu Tentara Federal yang baru. 4 Mei 1948 diumumkan satu dekrit Presiden mengenai rencana ini. Timbullah protes keras dari kalangan kekuatan bersenjata. 30 Komandan batalyon menemui Presiden pada tanggal 1 Juni 1948 untuk menuntut pencabutan dekrit ini. Sejumlah Panglima Divisi, terutama kolonel Sungkono dari Kediri dan kolonel Sutarto dari Surakarta menolak untuk menyerahkan kedudukannya.dalam rangka rasionalisasi. Rasionalisasi jadi bagaikan terbentur, karena Panglima Besar Sudirman mengeluarkan surat edaran kepada semua panglima, memerintahkan untuk menghentikan rasionalisasi, berhubung dengan meningkatnya ancaman dari fihak Belanda.

Amerika Serikat merasa kurang puas dengan program Rasionalisasi dan Rekonstruksi; karena dianggapnya terlalu lambat, dan dengan segera menempuh usaha yang kasar, sebagaimana yang sudah dilakukannya di Eropa, Tiongkok, Birma, India dan lain-lain, yaitu dengan aktif mencampuri secara langsung soal dalam negeri Indonesia. Pada tanggal 21 Juli 1948 diselenggarakanlah konferensi Sarangan., yaitu pertemuan antara dua orang Amerika, tuan Gerard Hopkins, penasehat urusan politik luarnegeri dari presiden Truman, dan Cochran, wakil Amerika pada Komisi Jasa-jasa Baik PBB dengan enam orang Indonesia: presiden Sukarno, Mohamad Hatta, Natsir, Sukiman, Sukamto dan Roem”.

Konferensi Sarangan yang rahasia itu telah menelorkan putusan yang bernama “Red Drive Proposals” (Usul-Usul Pembasmian Kaum Merah). Dengan Kaum Merah tidak hanya dimaksudkan kaum komunis, tetapi semua aliran dan elemen yang anti-imperialis. Tentang biaya untuk menjalankan “Red Drive Proposals” yang sudah disetujui kedua belah fihak itu, Pemerintah Indonesia menerima uang dari State Department (Kementerian Luarnegeri Amerika Serikat) sebanyak 56.000.000 dollar, yang diterima langsung dari Biro Konsultasi Amerika Serikat di Bangkok. Singkatnya, “Red Drive Proposals” adalah rencana yang diajukan kepada Pemerintah RI oleh petugas Pemerintah Amerika Serikat untuk membasmi gerakan demokrasi rakyat anti-imperialis. 18). Semenjak itu, ajakan-ajakan PKI untuk bekerjasama dengan Masjumi selalu ditolak. Dan Masjumi secara terbuka mengumumkan politik anti-komunisnya, serta dengan giat melancarkan propaganda anti-komunis.

“Red Drive Proposals” dipraktekkan dengan bermacam-macam provokasi. Tiap-tiap kejadian yang buruk dilemparkan kepada FDR atau kepada PKI. Secara provokatif gedung-gedung Pesindo, Partai Sosialis dan Sarbupri (Sarikat Buruh Perkebunan Republik Indonesia) di Sragen, Nganjuk, Tulungagung diduduki secara paksa oleh tentara. Pemogokan kaum buruh Delanggu yang menuntut sedikit perbaikan nasib ditindas dengan kekuatan senjata. Kesatuan Mobrig Bojonegoro yang dipimpin oleh Asmaun, anggota Partai Sosialis, dilucuti dan Asmaunnya sendiri dipindah ke Jogjakarta. Pemerintah mengirim R.Sukamto, Kepala Polisi Republik Indonesia ke Amerika. Untuk keperluan melakukan “pembersihan”, pihak pimpinan kepolisian minta bantuan Panglima Besar Sudirman, tapi ditolak dan oleh beliau diminta supaya pembersihan bersifat umum dan jangan hanya ditujukan kepada orang-orang kiri saja.

Serikat-Serikat buruh dipecah-belah dengan didirikannya Serikat Buruh Islam Indonesia, Serikat Buruh Nasional, Serikat Buruh Merdeka, Serikat Buruh Merah-Putih. Dewan Pimpinan Pemuda daerah-daerah dengan sengaja dikacau oleh “Gerakan Membangun dan Patuh Rakyat” yang dibiayai Pemerintah dan dipimpin oleh Pamong Praja. “Gerakan Membangun dan Patuh Rakyat” ini persis mencontoh “Gerakan Hidup Baru” di zaman Jepang.

Program Rasionalisasi dan Rekonstruksi Pemerintah Hatta mendapat perlawanan dimana-mana. Di Jawa Timur 20.000 pemuda berdemonstrasi menentang rasionalisasi yang didasarkan penetapan Presiden No 13 yang tidak adil. Juga di Solo prajurit-prajurit dari kesatuan Panembahan Senopati (Divisi IV) sebanyak 5.000 orang pada peringatan Hari Kebangunan Nasional 20 Mei 1948 mengadakan demonstrasi menolak rencana Rasionalisasi dan Rekonstruksi.

Pemalsuan dokumen FDR berlangsung untuk memfitnah, bahwa FDR dan PKI mempersiapkan pemberontakan. 7 April 1948, suratkabar Murba menyiarkan dokumen palsu FDR, yang dinyatakan sebagai dokumen rahasia FDR mengenai usaha untuk menyabot Republik Indonesia. Dalam dokumen palsu FDR yang disebarkan itu dinyatakan bahwa: akan dilakukan aksi-aksi:
  • Rapat-rapat besar dan tertutup dengan mengadakan berbagai demonstrasi,
  • Mengadakan pemogokan-pemogokan,
  • Mengadakan kekacauan dengan menganjurkan perampokan dan penculikan,
  • Perampasan kekuasaan”.
Dokumen palsu inilah yang dijadikan dasar alasan Perdana Menteri Hatta, dalam pedatonya di depan Badan Pekerja KNIP tanggal 20 September 1948, menyatakan “PKI merebut kekuasaan di Madiun”. Sekretariat Pusat FDR sudah memberi bantahan dengan pengumuman di beberapa suratkabar di Jogja ketika mengetahui adanya dokumen palsu FDR yang disebarkan. Juga telah mengadukan masalah ini kepada fihak kepolisian di Solo. Program FDR telah disebarkan oleh Sekretariat Pusat FDR kepada FDR-FDR Daerah melalui pos, jadi tidak ada sifat kerahasiaannya.

3 Juli 1948 berlangsung teror pembunuhan terhadap kolonel Sutarto, Komandan Divisi IV. Sutarto adalah pengikut setia dari gerakan demokrasi rakyat, dan bersimpati sekali terhadap PKI. Tidaklah mungkin, FDR menteror dan membunuh seorang perwira penting yang memihak FDR. Sutarto adalah perwira yang dengan tegas menentang program Rasionalisasi dan Rekonstruksi. Sikapnya ini sangat merugikan pelaksanaan Program kabinet Hatta.

Pertentangan di kalangan kekuatan bersenjata kian menajam, sebagai akibat rasionalisasi program Pemerntah Hatta. Divisi Siliwangi menjadi kekuatan inti dalam melaksanakan program rasionalisasi itu. Awal Juni 1948, dengan mendapat restu Pemerintah Hatta, atas inisiatif Partai Buruh Merdeka, dan sejumlah organisasi yang pro Tan Malaka, didirikanlah organisasi politk Gerakan Rakyat Revolusioner (GRR). GRR secara terbuka menentang FDR. Tak lama sesudah pembentukan GRR, Pemerintah Hatta membebaskan para tahanan Peristiwa Juli 1946, -- Peristiwa penculikan Perdana Menteri Sjahrir dan Amir--.

Pada kesempatan peringatan ultah Hari Kemerdekaan, 17-8-1948, Pemerintah Hatta memberikan amnesti umum bagi semua yang dipenjarakan karena Peristiwa 3 Juli 1946. Maka dibebaskanlah tokoh-tokoh Front Perdjuangan: Muhammad Yamin, jenderal mayor Sudarsono, Achmad Soebardjo,, Iwa Kusumasumantri, Budiarto Martoatmodjo dll. 20). Disamping kekuatan Majumi dan PSI, kekuatan anti-komunis, anti-PKI, anti-FDR bertambah lagi dengan kekuatan pendukung golongan Tan Malaka.

5 Agustus 1948, Dr Muwardi dari Solo, dari Barisan Banteng dan Gerakan Revolusi Rakyat (GRR) dipanggil Pemerintah untuk didengar keterangannya mengenai FDR, terutama mengenai kekuatan FDR.”Dr Muwardi mendapat biaya 3 juta ORI (Uang Republik Indonesia) untuk memancing suatu insiden militer, supaya kemudian pemerintah mempunyai alasan legal bertindak”.

(bersambung bagian 3…….)

Peristiwa Madiun bagi.1/5

Dipublikasikan di situs Indomarxist pada tanggal 7 Mei 2000.

“PERISTIWA MADIUN”, PKI KORBAN PERDANA

PERANG DINGIN.

Amerika Serikat Dan Konflik Indonesia-Belanda

Belanda, Inggeris, Perancis dan Amerika Serikat berusaha keras menguasai Asia Tenggara sehabis Perang Dunia kedua. Tapi kebangkitan kekuatan rakyat, dan munculnya Partai-Partai Komunis di Indocina, Malaya, Birma, Indonesia dan Filipina merupakan tantangan berbahaya bagi kekuasaan pembela kolonialisme.

Amerika dengan tegas menempuh politik “the policy of containment” – politik pembendungan komunisme --. Truman dan Churchill memprakarsai politik anti-komunis ini, seusai Perang Dunia.

Di Asia, Amerika mula-mula mengambil sikap bekerjasama dengan dan membantu Belanda, Perancis dan Inggeris untuk mempertahankan kolonialisme, mencegah munculnya pemerintah nasional. Pemerintah-pemerintah nasional yang muncul dari perlawanan melawan kolonialisme, tentu menempuh politik anti kolonialisme, anti imperialisme. Ini memberi jalan bagi meluasnya pengaruh komunisme. Amerika Serikat tak mengingini hal ini..

Peranan Amerika Serikat jadi meningkat dalam pertarungan politik di Indonesia menghadapi konflik bersenjata Indonesia lawan Belanda semenjak tahun-tahun pertama revolusi Agustus 1945. Dalam konflik ini, sikap Amerika Serikat sangat jelas memihak dan membantu Belanda. Peralatan dan senjata yang dipakai pasukan Belanda masih memasang tanda-tanda militer Amerika Serikat, seperti truk-truk, tank-tank, pesawat terbang. Bahkan sampai bulan Januari 1949, sejumlah anggota pasukan Brigade Marine Belanda memakai pakaian yang bertulisan “US Marine” di kantong baju mereka.

Amerika Serikat juga memberi bantuan keuangan untuk berlangsungnya usaha Belanda menguasai kembali Indonesia. Sebuah laporan CIA bertanggal 14 November 1947 menyatakan: “Di Indonesia dan Indocina, para penduduk setempat sudah meraba, bahwa usaha-usaha Perancis dan Belanda untuk kembali berkuasa adalah berlangsung dengan bantuan Amerika Serikat. Keresahan penduduk akan bertambah dengan meningkatnya kemampuan Perancis dan Belanda di Asia Tenggara berkat pelaksanaan bantuan Plan Marshall”. “Pada akhir 1947, ketika perekonomian Belanda dan Perancis mulai pulih, pengaruh komunis di kedua negeri itu mulai menurun. Tapi pada waktu itu, kaum komunis akan mencapai kemenangan di Tiongkok, maka menghadapi perkembangan ini Amerika Serikat menjadi kian khawatir akan perluasan pengaruh komunisme di Asia – tidak saja di Jepang, tetapi juga daerah-daerah pemberontakan anti-kolonialis – terutama di Indonesia dan Vietnam. Maka Pemerintah Truman ketika itu mendukung kembalinya kekuasaan kolonial untuk menangkal meluasnya komunisme.”

Politik Amerika membantu kaum kolonial Belanda dan Perancis adalah dengan harapan: supaya kedua kekuasaan kolonial ini bisa menangkal perkembangan pengaruh komunisme. Politik ini berobah, setelah melihat adanya kemungkinan terbentuknya pemerintahan nasional yang anti komunis di Indonesia dan Vietnam.

Di Vietnam, Amerika jadi mendukung Pemerintah korup Vietnam Selatan. Amerika juga sudah memperhitungkan, bahwa Belanda tak akan berhasil menundukkan perlawanan anti-kolonial rakyat Indonesia. Yang penting bagi Amerika adalah: membantu lahirnya pemerintah yang anti-komunis. Dengan demikian, "the policy of containment" dilaksanakan dengan menggunakan kekuatan dalam negeri yang bersangkutan. Kaum komunis Vietnam dihadapkan pada kekuatan anti-komunis Vietnam. Demikian pula Indonesia.

Sesudah jatuhnya kabinet Sjahrir, 30 Juni 1947, Presiden Sukarno menugaskan team formatur yang terdiri dari Amir Sjarifoeddin (Partai Sosialis), A.K.Gani (PNI), Sukiman (Masjumi) dan Setiajit (PBI) untuk membentuk kabinet. Karena tuntutan Masjumi untuk menduduki kursi Perdana Menteri, Kementerian Dalam Negeri dan dua kursi Kementerian lainnya ditolak oleh para anggota team formatur, gagallah pembentukan kabinet. Maka mandat diserahkan kembali pada Presiden. Dan Presiden menunjuk lagi Amir Sjarifoeddin, A.K.Gani dan Setiajit untuk jadi team formatur. 3 Juli 1947 terbentuklah kabinet Amir yang pertama tanpa Masjumi, tapi mengikutkan PSII.

Amerika Serikat mencatat, bahwa walaupun Perdana Menteri Indonesia adalah Amir Sjarifoeddin yang komunis, dan sejumlah Menteri dalam kabinetnya terdapat tokoh-tokoh komunis, tapi di lain fihak terdapat oposisi berupa kekuatan anti-komunis yang sedang kian tumbuh di Indonesia. Partai Islam Masjumi dan golongan Sosialis dibawah pimpinan Soetan Sjahrir serta kekuatan yang dipimpin Tan Malaka adalah kekuatan-kekuatan yang tidak bersimpati dengan Uni Soviet, bahkan anti PKI. Dengan demikian, sudah ada syarat-syarat untuk menghadapkan kaum komunis Indonesia dengan kekuatan anti-komunis Indonesia sendiri. Amerika tinggal memainkan peranan memberi arah perkembangan situasi, yang mengabdi pada pelaksanaan “the policy of containment”.

Sebagai Partai Islam, Masjumi adalah sangat tegas sejak semula anti komunis, anti URSS, anti Marxisme, anti Leninisme, anti sosialisme dan pro Amerika Serikat. Masjumi menjadikan Islam, agama sebagai dasar untuk menentang komunisme. Dengan demikian, Amerika mendapatkan sekutu atau teman sehaluan di kalangan Islam dengan inti Masjumi dalam melaksanakan “the policy of containment”nya di Indonesia.

Sesungguhnya, Kabinet Amir merupakan kabinet koalisi nasional yang kuat, yang terdiri dari Partai Sosialis 6 kursi, PNI 7 kursi, PSII 3 kursi, Non Partai 5 kursi, PBI 4 kursi, Parkindo, PKRI, PKI, SOBSI, golongan pemuda dan golongan Tionghoa masing-masing 1 kursi.. Program politik luarnegeri kabinet Amir adalah:

  1. Mempertahankan pengakuan de facto Negara Republik Indonesia,
  2. Berusaha sekuat-kuatnya melaksanakan secara damai Persetujuan Linggarjati,
  3. Berusaha agar Indonesia secepat mungkin harus ikut serta dalam persoalan hidup internasional sesuai dengan kepentingan kedudukannya dalam dunia.

Pemerintah Amir segera mengadakan kontak diplomatik dengan Belanda. Dalam penyelesaian pertikaian Indonesia-Belanda ini, Perdana Menteri Amir sangat percaya kepada bantuan Pemerintah Amerika Serikat. Dalam pedatonya 6 Juli 1947, dia menyerukan agar seluruh pengaruh Amerika dipergunakan untuk memelihara perdamaian di Indonesia. Kabinet Amir percaya, bahwa Amerika sendiri mempunyai kepentingan di Indonesia, yaitu Amerika menganggap keamanan di Indonesia sebagai faktor penting untuk stabilitas politik dan ekonomi dunia. Sesungguhnya, Amerika takut, kalau-kalau pengaruh komunis makin meluas di Asia Tenggara.

Dalam langkah-langkah diplomatik yang diambil Pemerintah Amir, telah diberikan konsesi yang sangat banyak kepada Belanda, kecuali dengan tegas menolak usul gendarmerie bersama. Sikap Pemerintah Amir menolak gendarmerie bersama ini didukung oleh Badan Pekerja KNIP. Dalam keadaan perundingan sedang masih berjalan, 21 Juli 1947 Belanda menggunakan kekuatan pasukannya yang dipersenjatai dengan bantuan Amerika, menyerang daerah Republik Indonesia, dari darat, laut dan udara. Pertempuran berkobar di semua front. Di Jakarta, Belanda menduduki Kantor-Kantor Republik Indonesia, menangkap anggota-anggota delegasi yang berunding dengan Belanda, yaitu wakil Perdana Menteri A.K.Gani, Menteri Muda Luarnegeri Tamzil, Walikota Jakarta Suwirjo, Sekretaris Kabinet Ali Budiardjo.

Indonesia dilanda perang kolonial, yang terkenal dengan agresi pertama Belanda terhadap Republik Indonesia. Menghadapi berlangsungnya pertempuran di Indonesia itu, di PBB, bulan Agustus 1947, Amerika Serikat mengusulkan pembentukan Komisi Tiga Negara (KTN) -- komisi jasa-jasa baik – sebagai perantara. Terbentuklah Komisi yang terdiri dari wakil-wakil Amerika Serikat, Australia dan Belgia. Indonesia memilih Australia, Belanda memilih Belgia dan Amerika yang menjadi Ketua Komisi dipilih oleh Australia dan Belgia. Yang jadi Ketua Komisi adalah Frank Porter Graham, yang sejak semula bersikap menekan pimpinan Republik Indonesia, agar memberi bermacam konsesi kepada Belanda. Dengan demikian, Amerika telah langsung memainkan peranan menentukan dalam penyelesaian konflik Indonesia Belanda. Pelaksanaan “the policy of containment” – politik membendung komunisme – yang menjadi benang merah politik luarnegeri Amerika sehabis Perang Dunia kedua segera merasuk ke Indonesia.

Untuk memperkuat dukungan menghadapi perundingan dengan Belanda, yang akan diselenggarakan lagi dengan pengawasan KTN, Perdana Menteri Amir mengajak lagi Masjumi masuk kabinet. Masjumi menerima tanpa mengajukan tuntutan apapun. Maka terjadilah reshuffle kabinet hingga susunannya menjadi: Partai Sosialis 7 kursi, PNI 8 kursi, PSII 3 kursi, Masjumi 5 kursi, PBI 4 kursi, PKI 1 kursi, PKRI 1 kursi, Parkindo 1 kursi, Non Partai 4 kursi, SOBSI 1 kursi, golongan Tionghoa 1 kursi, dan golongan pemuda 1 kursi. Perundingan dilangsungkan di kapal Amerika Serikat USS Renville, di Teluk Jakarta. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Perdana Menteri Amir Sjarifoeddin. Wakil Ketua: Ali Sastroamidjojo; anggota-anggota: Soetan Sjahrir, Dr Tjoa Siek Ien, Mr Nasroen, Ir Djuanda; anggota cadangan: Setiadjit; Penasihat 31 orang. Didalamnya terdapat wakil-wakil Masjumi dan PNI. Delegasi Belanda dipimpin oleh Abdulkadir Wirjoatmodjo; Wakil Ketua: H.L.K.F. van Vredenburgh; tujuh anggota; dua orang sekretaris dan tiga pembantu.

Dalam proses perundingan, Belanda tetap menjalankan aksi-aksi militernya. Sementara itu Belanda mulai membentuk Negara Sumatera Timur, Negara Jawa Barat, Negara Jawa Timur. Daerah-daerah ini adalah daerah kedaulatan Republik Indonesia. Ini merupakan pelanggaran atas kedaulatan Republik Indonesia..

Karena merasa kuat di bidang militer, Belanda bersikeras dalam perundingan. Bahkan mengancam dengan ultimatum, agar Indonesia menerima 12 prinsip politik yang diusulkannya. Menghadapi sikap Belanda ini, KTN di bawah Frank Graham menambahkan 6 pokok tambahan sebagai jalan kompromi agar Indonesia menerima usul Belanda. Didalamnya termasuk rencana pelaksanaan pemungutan suara, berupa plebisit. Dalam keadaan terdesak oleh batas waktu ultimatum Belanda, rombongan KTN datang ke Jogya menemui pimpinan tertinggi Republik Indonesia. Untuk berlangsungnya pertemuan itu, Perdana Menteri Amir terbang ke Singapura menjemput Soetan Sjahrir, kemudian ke Pekanbaru menjemput Wakil Presiden Hatta. Maka KTN ditemui oleh Presiden Soekarno, Wakil Presiden Hatta, Perdana Menteri Amir Sjarifoeddin serta Soetan Sjahrir dan Haji Agoes Salim. Dicapai saling pengertian, bahwa pada akhirnya akan diselenggarakan pemungutan suara sebagai penyelesaian terakhir sengketa Indonesia – Belanda.

Para politisi Indonesia yang mengutamakan menempuh jalan diplomasi, merasa 6 pokok tambahan dari KTN itu dapat menguntungkan Republik, yaitu punya harapan dengan rencana plebisit. Dalam keadaan Indonesian di- ultimatum dengan ancaman serangan militer Belanda, Frank Graham menyatakan, bahwa Amerika Serikat tidak dapat menekan Belanda agar tidak menggunakan kekerasan, tetapi dapat menekan untuk memastikan berlangsungnya plebisit nantinya. Karena itu, Bung Karno tampil dengan semboyan baru: “From the bullet to the ballot”. Berkat saling pengertian ini, maka 17 Januari 1948, tercapai Persetujuan Renville., yang ditandatangani oleh Perdana Menteri Amir Sjarifoeddin. Menurut catatan L. Fischer, pembantu Menlu Dean Rusk mengenai urusan PBB, Belanda akhirnya baru menerima 6 pokok tambahan dari KTN sesudah Menlu Amerika George Marshall “secara terang-terangan menyatakan kepada Belanda, pandangan pribadinya”, bahwa dia takut akan berlanjutnya ketidak-stabilan, dan sikap bersikeras “hanyalah bisa membawa Indonesia ke bawah komunisme”.

Dari sini jelaslah, bahwa masalah penyelesaian konflik Indonesia-Belanda, ditinjau Amerika dari pandangan bahaya menghadapi meluasnya pengaruh komunisme. Inilah titik-tolak realisasi “the policy of containment” dalam praktek. Dengan demikian, PERANG DINGIN telah merasuk ke Indonesia.

Presiden Soekarno, Wakil Presiden Moh Hatta, Panglima Besar Sudirman menerima Persetujuan Renville ini. Presiden Sukarno menyatakan: “Meskipun perjanjian penghentian permusuhan ini seakan-akan merugikan Republik, tetapi akan dapat membuka kemungkinan-kemungkinan yang akan menguntungkan Republik. Jika kita dapat mencapai cita-cita kita dengan melalui jalan damai, buat apa kita harus berperang ?” Tapi dengan tidak diduga-duga, Masjumi menolak Persetujuan Renville dan menarik semua Menterinya dari kabinet. Ini disusul oleh PNI dengan sikap yang sama. Pimpinan Masjumi antara lain menyatakan, bahwa

  1. Situasi Republik sangat tidak stabil,
  2. Kabinet yang sekarang harus secara radikal dirobah.

Ketua fraksi Masjumi dalam KNIP dalam konferensi pers menyatakan, bahwa Persetujuan Renville itu adalah masalah kedua; yang pertama adalah masalah mengganti kabinet. 15 Januari 1948, Masjumi menarik Menteri-Menterinya dari kabinet, karena tidak setuju dengan “gencatan senjata dan prinsip-prinsip politik yang diterima oleh Pemerintah Amir”. Mundurnya Masjumi dari kabinet diikuti dengan demonstrasi pemuda Islam GPII di Jogyakarta, yang menuntut pengunduran Amir Sjarifoeddin sebagai Perdana Menteri., menuntut pembentukan kabinet presidentil dan menolak Amir jadi Perdana Menteri. Amir Sjarifoeddin sangat kecewa mengenai sikap Masjumi ini, karena wakil Partai ini ikut dalam proses perundingan. 23 Januari 1948 Amir menyerahkan mandat kepada Presiden. Dan Presiden menugaskan Wakil Presiden Hatta untuk membentuk kabinet.

(bersambung……)

Persidangan dan Rapat DPR


Tahun Sidang

Pengaturan Tahun Sidang terdapat dalam Pasal 69 Tata Tertib DPR. Tahun Sidang dibagi dalam empat masa persidangan. Masa persidangan meliputi masa sidang dan masa reses. Masa sidang adalah masa DPR melakukan kegiatan, terutama di dalam gedung DPR. Sementara masa reses adalah masa DPR melakukan kegiatan di luar masa sidang, terutama di luar gedung DPR untuk melaksanakan kunjungan kerja, baik yang dilakukan oleh anggota secara perseorangan maupun secara berkelompok.

Tahun Sidang DPR dimulai pada 16 Agustus dan diakhiri pada 15 Agustus tahun berikutnya. Apabila 16 Agustus jatuh pada hari libur, pembukaan Tahun Sidang dilakukan pada hari kerja sebelumnya.

Pada hari permulaan Tahun Sidang, acara pokoknya adalah Pidato Kenegaraan Presiden dalam Rapat Paripurna. Apabila Presiden berhalangan, Pidato Kenegaraan disampaikan oleh Wakil Presiden.

Masa Persidangan, jadwal, dan acara persidangan ditetapkan oleh Bamus dengan memperhatikan ketepatan waktu pemba hasan RUU tentang APBN beserta Nota Keuangannya dan RUU tentang Perubahan APBN.

Jenis-jenis Rapat DPR

Ada enam jenis rapat dalam kegiatan DPR. Masing-masing mempunyai tujuan, ruang lingkup dan jangkauannya sendiri. Rapat-rapat tersebut adalah rapat paripurna (rapur), rapat paripurna luar biasa, rapat kerja, rapat dengar pendapat, rapat dengar pendapat umum, serta rapat masing-masing alat kelengkapan DPR. Jenis-jenis rapat tersebut pengaturannya juga terdapat dalam tata tertib DPR.

  1. Rapat paripurna (Rapur) adalah rapat seluruh anggota yang dipimpin oleh Pimpinan DPR dan merupakan forum tertinggi dalam melaksanakan tugas dan wewenang DPR.
  2. Rapat paripurna luar biasa adalah rapat paripurna yang diadakan dalam masa reses atas permintaan Presiden dengan persetujuan Pimpinan DPR, dikehendaki oleh Pimpinan DPR dengan persetujuan Badan Musyawarah, atau diusulkan oleh sekurang-kurangnya 10 orang Anggota dengan persetujuan Badan Musyawarah.
  3. Rapat kerja adalah rapat antara Komisi, Gabungan Komisi, Badan Legislasi, Panitia Anggaran, atau Panitia Khusus, dengan Pemerintah (dalam hal ini Presiden atau Menteri/pimpinan lembaga setingkat Menteri yang ditunjuk untuk mewakilinya) atas undangan Pimpinan DPR. Rapat ini dipimpin oleh pimpinan Komisi, pimpinan Rapat Gabungan Komisi, pimpinan Badan Legislasi, pimpinan Panitia Anggaran atau pimpinan Panitia Khusus.
  4. Rapat dengar pendapat adalah rapat antara Sub komisi, Komisi, beberapa Komisi dalam Rapat Gabungan Komisi, Badan Legislasi, atau Panitia Khusus dengan pejabat pemerintah yang mewakili Instansinya, baik atas undangan Pimpinan DPR maupun atas permintaan pejabat pemerintah yang bersangkutan. Rapat ini dipimpin oleh pimpinan Komisi, pimpinan Rapat Gabungan Komisi, pimpinan Badan Legislasi, atau pimpinan Panitia Khusus.
  5. Rapat dengar pendapat umum adalah rapat antara Sub Komisi, Komisi, beberapa Komisi dalam Rapat Gabungan Komisi, Badan Legislasi, atau Panitia Khusus dengan perseorangan, kelompok, organisasi atau badan swasta, baik atas undangan Pimpinan DPR maupun atas permintaan yang bersangkutan. Rapat ini dipimpin oleh pimpinan Komisi, pimpinan Rapat Gabungan Komisi, pimpinan Badan Legislasi, atau pimpinan Panitia Khusus.

Setiap alat kelengkapan DPR mempunyai jenis rapat tersendiri (misalya Rapat Komis, Rapat BURT, Rapat Bamus) yang diikuti oleh anggota alat kelengkapan DPR yang bersangkutan dan dipimpin oleh masing-masing pimpinan alat kelengkapan tersebut.

Sifat Rapat DPR

Rapat-rapat yang dilakukan di DPR pada dasarnya bersifat terbuka, kecuali apabila rapat yang bersangkutan atau Badan Musyawarah memutuskan rapat tersebut bersifat tertutup. Bisa dimungkinkan juga rapat terbuka yang sedang berlangsung diusulkan untuk dinyatakan tertutup baik oleh Ketua Fraksi atau salah satu Fraksi atau Pemerintah. Sipat rapat-rapat tersebut, terbuka atau tertutup, diatur dalam pasal 90 – 93 Tata Tertib DPR.

Ada beberapa rapat di DPR yang secara tegas dinyatakan tertutup. Misalnya rapat Pimpinan DPR, Pimpinan Alat Kelengkapan DPR, rapat BURT, rapat Dewan Kehormatan, dan rapat Penitia Kerja yang bersifat tertutup, dan tidak dimungkinkan untuk diubah menjadi rapat terbuka. Juga ada beberapa jenis rapat yang pada dasarnya bersifat tertutup, kecuali dinyatakan terbuka, antara lain rapat Bamus dan rapat BKSAP. Sedangkan rapat Fraksi dapat bersifat terbuka atau tertutup, tergantung pada fraksi yang bersangkutan.

Pada ketentuan tentang jenis rapat dalam tata tertib DPR tidak ditemukan kriteria untuk menentukan sifat terbuka atau tertutupnya suatu rapat, serta prosedur untuk mengubah sifat tersebut setelah rapat berlangsung. Selain itu juga tidak ada kriteria untuk menentukan rahasia atau tidaknya pembicaraan dan hasil dari suatu rapat tertutup. Yang ada hanya ketentuan bahwa suatu hasil pembicaraan bersifat rahasia dan tidak dapat diumumkan apabila dinyatakan secara tegas (diputuskan oleh rapat).


Tata Cara Rapat

Dalam tata cara rapat yang diatur oleh tatib DPR tidak ada kewajiban untuk meng hadiri rapat, yang ada adalah pengaturan tentang kewajiban tentang menandatangani daftar hadir.

Tata Cara Permusyawaratan

Dalam tata cara permusyawaratan, ketua rapat menjaga agar rapat berjalan sesuai dengan ketentuan dalam peraturan tata tertib DPR. Ketua Rapat hanya berbicara selaku pimpinan rapat untuk menjelaskan masalah yang menjadi pembicaraan, menunjukkan duduk persoalan yang sebenarnya, mengembalikan pembicaraan kepada pokok persoalan, dan menyimpulkan pembicaraan anggota rapat. Apabila ketua rapat hendak berbicara selaku anggota rapat, untuk sementara pimpinan rapat diserahkan kepada anggota pimpinan yang lain.

Setiap waktu dapat diberikan kesempatan kepada anggota rapat melakukan interupsi untuk meminta penjelasan tentang duduk persoalan sebenarnya mengenai masalah yang sedang dibicarakan, menjelaskan soal yang di dalam pembicaraan menyangkut diri dan/atau tugasnya, mengajukan usul prosedur mengenai soal yang sedang dibicarakan, atau mengajukan usul agar rapat ditunda untuk sementara.


Tata Cara Pengambilan Keputusan

a. Kuorum

Pengambilan keputusan adalah proses penyelesaian akhir suatu masalah yang dibicarakan dalam setiap jenis rapat DPR. Semua jenis rapat DPR dapat mengambil keputusan berupa persetujuan atau penolakan. Pengambilan keputusan dalam rapat DPR pada dasarnya diusahakan sejauh mungkin dengan cara musyawarah untuk mencapai mufakat, bila tidak terpenuhi maka keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak.

Setiap rapat DPR dapat mengambil keputusan apabila tercapai kuorum, yaitu di hadiri oleh lebih dari separuh jumlah anggota rapat yang terdiri atas lebih dari separuh unsur Fraksi. Apabila kuorum tidak tercapai, rapat ditunda sebanyak-banyaknya dua kali dengan tenggang waktu masing-masing tidak lebih dari 24 jam.

Setelah dua kali penundaan ternyata kuorum belum juga tercapai, maka cara penyelesaiannya diserahkan kepada Badan Musyawarah, jika hal itu dalam Rapat Komisi, Rapat Gabungan Komisi, Rapat Badan Legislasi, Rapat BURT, Rapat BKSAP, Rapat Panitia Anggaran, Rapat Dewan Kehormatan, atau Rapat Panitia Khusus. Jika terjadi dalam rapat Badan Musyawarah maka pimpinan Badan Musyawarah harus memperhatikan pendapat Pimpinan Fraksi. Setiap keputusan rapat DPR, baik berdasarkan mufakat maupun berdasarkan suara terbanyak, mengikat semua pihak yang terkait.

b. Keputusan Berdasarkan Mufakat

Pengambilan keputusan berdasarkan mufakat dilakukan setelah kepada anggota rapat yang hadi r diberikan kesempatan untuk mengemukakan pendapat serta saran, yang kemu dian dipandang cukup untuk diterima oleh rapat sebagai sumbangan pendapat dan pemikiran bagi penyelesaian masalah yang sedang dimusyawarahkan.

Untuk dapat mengambil keputusan berdasar mufakat, ketua rapat atau panitia yang ditunjuk menyiapkan rancangan keputusan yang mencerminkan pendapat dalam rapat. Keputusan berdasarkan mufakat adalah sah apabila diambil dalam rapat yang di hadiri oleh anggota dan unsur Fraksi (kuorum) dan disetujui oleh semua yang hadir.

c. Keputusan Berdasarkan Suara Terbanyak

Keputusan berdasarkan suara terbanyak diambil apabila keputusan berdasarkan mufakat sudah tidak terpenuhi karena adanya pendirian sebagian Anggota rapat yang tidak dapat dipertemukan lagi dengan pendirian anggota rapat yang lain.

Pengambilan keputusan berdasarkan suara terbanyak dapat dilakukan secara terbuka atau secara rahasia. Pengambilan keputusan berdasarkan suara terbanyak secara terbuka dilakukan apabila menyangkut kebijakan. Pengambilan keputusan berdasarkan suara terbanyak secara rahasia dilakukan apabila menyangkut orang atau masalah lain yang dipandang perlu.

Keputusan berdasarkan suara terbanyak adalah sah apabila diambil dalam rapat yang di hadiri oleh anggota dan unsur Fraksi (kuorum) dan disetujui oleh lebih dari separuh jumlah Anggota yang hadir.

Apabila sifat masalah yang dihadapi tidak tercapai dengan satu kali pemungutan suara, ketua rapat mengusahakan agar diperoleh jalan keluar yang disepakati atau melaksanakan pemungutan suara secara berjenjang. Pemungutan suara secara berjenjang, dilakukan untuk memperoleh dua pilihan berdasarkan peringkat jumlah perolehan suara terbanyak. Apabila telah diperoleh dua pilihan, pemungutan suara selanjutnya dilakukan sehingga disetujui oleh lebih dari separuh jumlah Anggota yang hadir.

Pemberian suara secara terbuka untuk menyatakan setuju, menolak, atau tidak menyatakan pilihan (abstain) dilakukan oleh anggota rapat yang hadir dengan cara lisan, mengangkat tangan, berdiri, tertulis, atau dengan cara lain yang disepakati oleh anggota rapat. Penghitungan suara dilakukan dengan menghitung secara langsung tiap-tiap anggota rapat.

Anggota yang meninggalkan sidang (walk out) dianggap telah hadir dan tidak mempengaruhi sahnya keputusan.

Masa sidang yang ditetapkan oleh Bamus tidak selalu sama dari tahun ke tahun. Hanya saja ada prakiraan waktu yang menjadi patokan untuk setiap tahunnya. Contohnya pada tahun 1999-2000, masa sindang I dimulai 16 Agustus sampai dengan 30 September 1999. Masa persidangan II di mulai 1 November sampai 19 Januari 2000. Masa persidangan III dimulai 20 Januari sampai 12 Mei 2000. Masa persidangan IV dimulai 15 Mei sampai 15 Agustus 2000. Sedangkan pada tahun 2000-2001, masa persidangan I dimulai 16 Agustus 2000 sampai 29 September 2000. Masa persidangan II dimulai 2 Oktober sampai 12 Januari 2001. Masa persidangan III dimulai 15 Januari 2001 sampai 21 April 2001. Masa persidangan III dimulai 25 April sampai 15 Januari 2001.

Dalam masa sidang 1999-2000 DPR melakukan 48 kali Rapat Paripurna, sedangkan pada tahun sidang 2000-2001 DPR melakukan 75 kali Rapat Paripurna.

Untuk Komisi, rapat kerja dengan pemerintah dilakukan dengan pasangan kerja masing-masing komisi. Pada tiap masa persidangan, biasanya dilakukan satu kali rapat kerja dengan pasangan kerja masing-masing komisi, walaupun tidak tertutup kemungkinan dilakukan lebih dari satu kali.

Tatib hanya menyatakan rapat terbuka adalah rapat yang selain di hadi ri oleh anggota, juga dapat di hadi ri oleh bukan anggota, baik yang diundang maupun yang tidak diundang. Rapat tertutup adalah rapat yang hanya boleh di hadiri oleh anggota dan mereka yang diundang.

Pasal 94 ayat (1) Tata tertib DPR. Persoalan ini sempat dikritik tajam dalam pemberitaan Majalah Tempo No. 05/XXX/ 1-7 April 2002. Majalh tersebut memberitakan bahwa dalam rapat paripurna pengesahan Undang-undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang hanya di hadi ri oleh 49 orang, sementara yang menandatangani daftar hadir sejumlah 309 orang (lihat box: Dewan PerwakilanTanda Tangan) .