Assalamu'alaikum,,, Salam Hormat

Terima kasih atas kunjungan anda ke blog saya. Semoga bermanfaat. Semua tulisan ini hasil saya pribadi, atau diambil dari tulisan lain yang tercantum pada rujukannya. Bila mengutip baik secara langsung maupun tidak, sebagian atau keseluruhan, diharapkan Mencantumkan sumber tulisan dan penulisnya pada daftar pustaka/catatan kaki sebagai bahan rujukannya.
atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih

Sabtu, 30 Agustus 2014

Perempuan Bukan Koruptor


Indonesia masih memperlakukan perempuan secara diskriminatif. Ketika satu orang perempuan menjadi tersangka korupsi, seolah-olah seluruh perempuan adalah koruptor.

Disadari atau tidak, kenyataannya memang demikian. Media menjadi salah satu tersangka yang melakukan diskriminasi, tidak hanya itu media juga mengeksploitasi perempuan sedemikian rupa sampai tidak tersisa. Eksploitasi tersebut menyebabkan lahirnya opini publik yang memandang perempuan dengan lebih buruk. Kehadiran mereka di dunia politik semakin dicemooh. Bukannya memperbaiki politik justru memperburuknya.

Beberapa Kasus 
Terdapat beberapa perempuan yang divonis hukuman penjara karena terbukti menjadi pelaku korupsi. Sebut saja nama Miranda Gultom, Hartati Murdaya, dan Angelina Sondakh. Tiga nama ini terbukti melakukan praktik suap atau menerima suap untuk kasus yang berbeda-beda.

Kasus korupsi yang menyeret nama Miranda Gultom berkaitan dengan Nunun Nurbaeti yang adalah istri mantan wakapolri, Adang Daradjatun. Nunun selaku Komisaris PT Wahana Eka Sejati terbukti telah memberikan hadiah cek kepada anggota komisi IX DPR RI terkait dengan pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia yang dimenangkan Miranda Gultom.

Kasus korupsi yang melibatkan perempuan juga tidak terhenti hanya pada nama-nama tersebut. Nama Neneng Sri Wahyuni selaku istri mantan bendahara Partai Demokrat, Nazarudin, Wa Ode Nurhayati serta Mindo Rosalinan Manulang merupakan berbagai nama lain yang mencuat dalam pemberitaan mengenai korupsi dalam 1 tahun terakhir.

Terungkapnya kasus korupsi yang dilakukan oleh Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ternyata juga menyeret nama seorang mahasiswi. Rumor yang beredar menyatakan bahwa Maharani merupakan bagian dari gratifikasi seks yang dilakukan untuk Lutfhi Hasan Ishaq.

Sosok Rani juga mengingatkan kita pada kasus Antasari. Kasus Antasari yang merupakan tersangka pembunuhan direktur BUMN juga menyeret nama Rani Juliani yang merupakan caddy di sebuah lapangan golf di daerah Tangerang. Banyak rumor yang beredar terkait kasus tersebut.

Ada yang menyebutkan bahwa pembunuhan tersebut murni karena kisah cinta segitiga terlarang antara Antasari, Rani, dan Nasrudin. Ada juga yang menyatakan bahwa hubungan terlarang tersebut digunakan untuk menjatuhkan Antasari yang pada saat itu menjabat sebagai ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan ia mengetahui kasus korupsi yang terjadi di dalam kantor Rajawali Nusantara Indonesia.

Perempuan Sebagai Agen Anti Korupsi ? 
Melihat berbagai fakta tersebut kemudian muncul pertanyaan, apa kaitan antara perempuan dan korupsi?

Penelitian mengenai hubungan antara perempuan dan korupsi dimulai pada tahun 1999 oleh World Bank. Penelitian yang dilakukan oleh David Dollar, Raymond Fisman, dan Roberta Gatti menemukan adanya korelasi positif antara jumlah perempuan di lembaga legislatif dan lembaga publik dengan tingkat korupsi di sebuah negara (Dollar, Fisman, Gatti, 1999 ).

Kajian ini kemudian menghasilkan teori bahwa peningkatan perempuan di lembaga legislatif dan dunia publik akan menurunkan tingkat korupsi. Rekomendasi yang dihasilkan adalah perempuan merupakan kelompok yang dapat menghasilkan pemerintahan yang jujur dan bersih sehingga diperlukan peningkatan jumlah perempuan dalam dunia publik.

Atas rekomendasi ini, sejak tahun 1998, banyak negara yang kemudian mendorong perempuan untuk terlibat lebih di dunia publik dengan tujuan untuk menghadirkan elemen kejujuran dalam kegiatan-kegiatan publik. Kondisi ini tidak hanya berlaku untuk lembaga legislatif, tetapi juga pada dunia publik secara umum. Diyakini bahwa makin banyak jumlah perempuan di dunia publik maka akan semakin rendah praktek korupsi yang terjadi.  

Hasil kajian ini mendapatkan bantahan dari Anne Maria Goetz (Goetz, 2007). Pertama, definisi korupsi yang digunakan dalam penelitian. Menurut Goetz, korupsi adalah sebuah kejahatan bersama. Menurutnya sulit untuk mengukur sebuah tindakan korupsi dan sulit juga untuk mendefinisikan arti dari korupsi tersebut. Goetz mempertanyakan mengenai tindakan korupsi tanpa uang dan penyuapan, semisal melakukan kecurangan dalam Pemilu.

Kedua, penelitian-penelitian tersebut dipandang memiliki celah yang tidak tergambar dalam penelitian. Celah tersebut adalah kesempatan bagi seseorang untuk dapat melakukan praktek-praktek korupsi. Diyakini oleh Goetz bahwa perempuan lebih sedikit yang melakukan praktik korupsi karena tidak dilibatkan dalam sistem dan perilaku korup tersebut. Perempuan lebih sedikit yang korupsi dikarenakan memiliki akses yang terbatas dibandingkan laki-laki dan bukan dikarenakan secara psikologis perempuan lebih memiliki sifat penyayang dibandingkan laki-laki.

Penelitian yang dilakukan oleh Maaria Seppanen and Pekka Virtanen (Seppanen dan Virtanen, 2008) juga membuktikan bahwa peningkatan jumlah perempuan dalam dunia publik tidak menyelesaikan praktik korupsi yang ada.

Dikaitkan dengan kasus yang terjadi di Indonesia, maka Goetz membuktikan teorinya tersebut. Perempuan bukanlah agen anti korupsi. Perempuan terbukti sebagai pelaku korupsi.  Perempuan terbukti melakukan korupsi dalam kesempatan yang ada. Tidak ada perbedaan antara pelaku korupsi laki-laki dan perempuan.

Perempuan Sebagai Objek 
Anggapan ‘tidak sepantasnya perempuan melakukan korupsi’ kemudian melahirkan eksploitasi. Perempuan menjadi objek pemberitaan media.

Pemberitan terkait dengan perempuan yang terseret praktik korupsi menjadi sangat berlebihan. Melebar menjadi kehidupan pribadinya, hubungannya dengan sang suami, merek perhiasan dan baju yang ia kenakan saat sidang, berapa banyak uang yang ia habiskan untuk belanja, dan lain sebagainya.

Cemoohan yang dilontarkan kepada mereka juga lebih bertubi-tubi dibandingkan dengan koruptor laki-laki. Salah satunya adalah mempertanyakan kualitas perempuan yang bekerja di dunia politik. Ini tentunya sangat diskriminatif karena pertanyaan serupa tidak pernah dilontarkan kepada laki-laki.  

Penulis melihat bahwa pandangan perempuan sebagai kelompok yang ‘bersih’ justru memberikan beban berlebih pada perempuan. Hal ini juga sesuai dengan pandangan Goetz yang melihat bahwa kehadiran perempuan dalam dunia politik sebagai agen anti korupsi merupakan argumentasi yang salah dan justru membebani perempuan.

Di sisi lain perempuan sebagai objek seks juga tampak. Kasus 2 Rani menunjukkan hal ini. Mereka dipandang sebagai objek yang dapat dibayar dengan uang. Harta, tahta, dan wanita.

Kondisi ini sesuai dengan pandangan Simone de Beauvoir (seorang feminis eksistensialisme) yang melihat adanya subordinasi antara laki-laki dan perempuan, dimana laki-laki merupakan subjek sedangkan perempuan merupakan objek yang selalu terikat pada laki-laki. Perempuan mengalami diskriminasi akibat perempuan dianggap sebagai the other atau liyan (yang lain) sedangkan laki-laki dianggap sebagai laki-laki (Tong, 1998). 

Ketidakseimbangan hubungan antara laki-laki dan perempuan yang kemudian memudahkan terjadinya objektivikasi perempuan. Harus dipahami bahwa korupsi bisa dilakukan oleh siapa saja tanpa melihat jenis kelamin. Kekuasaan dan kesempatan merupakan latar belakang utama dari praktik korupsi. Tidak perlu kaget berlebih apabila perempuan terbukti sebagai pelaku korupsi.

Selain itu pemahaman bahwa perempuan merupakan kelompok yang heterogen harus ditingkatkan. Perempuan dengan latar belakang pengusaha dan istri elit partai tentunya berbeda dengan perempuan yang merupakan seorang mahasiswi. Pola pikir yang melihat perempuan sebagai kelompok yang homogen sangat diskriminatif dan menghilangkan kenyataan bahwa setiap perempuan memiliki latar belakang yang berbeda. Satu orang perempuan terbukti sebagai koruptor, tidak berarti seluruh perempuan adalah koruptor.

Pemberantasan korupsi seharusnya menjadi kerja bersama semua pihak dan tidak hanya dibebankan kepada perempuan. (Nindita Paramastuti)


Referensi 

Dollar, David. Raymod Fisman. Roberta Gatti. Are Women Really the ‘Fairer’ Sex? Corruption and Women in Government. The World Bank, 1999. Policy Research Report on Gender and Development Working Paper Series No.4.

Goetz, Anne Maria. Political Cleaners: Women as The New Anti Corruption Force?. USA: Blackwell Publishing, 2007. Development and Change.

Seppanen, Maaria dan Pekka Virtanen. Corruption, Poverty and Gender With Case Studies of Nicaragua and Tanzania. Helsinki : Ministry of Foreign Affairs of Finland, 2008.

Tong, Rosemarie Putnam. Feminist Thought Pengantar Paling Komprehensif kepada Arus Utama Pemikiran Feminis. Terjemahan. Aquarini Priyatna Prabasmoro. Colorado: West View Press, 1998. 



sumber: http://www.politik.lipi.go.id/in/kolom/jender-and-politik/800-perempuan-bukan-koruptor-.html

Rabu, 16 Juli 2014

Pertarungan Pilpres 2014: Mewaspadai "Perang Saudara"

Oleh: Bambang Wibiono, S.IP*

Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) kali ini sangat luar biasa menyedot perhatian publik. Dalam sejarah Pemilu sejak orde baru, mungkin inilah pemilu yang dianggap mampu menggerakkan partisipasi politik masyarakat yang cukup luar biasa. Pertarungan gagasan dan kampanye politik begitu menarik dan menjadi perbincangan hampir di semua kalangan masyarakat Indonesia. 

Setelah sebelumnya melaksanakan Pemilu legislatif, terpetakanlah kekuatan masing-masing pasangan calon. Berikut gambaran peta kekuatan politik masing-masing pasangan calon presiden baik Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK yang dikutip dari news.liputan6.com.


Terlihat bahwa mesin politik pasangan Prabowo-Hatta didukung oleh partai dengan perolehan suara yang cukup besar. Berbeda dengan kubu Jokowi yang hanya didukung sedikit partai dan ramping. Meski demikian, hasil pertarungan politik semakin menarik saat kampanye, debat capres, bahkan setelah pencoblosan. Beberapa hasil survey menyebutkan kemenangan berpihak pada kubu Jokowi-JK yang didukung oleh PDIP, PKB, Nasdem, Hanura, dan PKPI. Meski dianggap koalisi ramping, tetapi ternyata mesin politik ini mampu mengangkat perolehan suara pasangan mantan Walikota Solo tersebut. Berikut beberapa hasil quick count yang dilansir dari beberapa lembaga survey.


Selain itu, berdasarkan hasil perolehan suara di Sumatra, Jokowi-JK pun memperoleh kemenangan telak. Pasangan Prabowo-Hatta hanya memperoleh kemenangan di Aceh, Lampung, dan Sumatra Barat. Bahkan di Sumatra Barat, pasangan yang diusung oleh tim Garuda merah ini memperoleh kemenangan telak sebesar 77,58%. Berikut data perolehan suara Pilpres di Sumatra.

Sumber: http://news.liputan6.com/read/2077814/infografis-pertarungan-daud-lawan-goliath


Sebagian besar lembaga survey menyebut pasangan Jokowi-JK unggul dari hasil quick count yang mereka lakukan. Namun demikian, ada beberapa lembaga survey yang justru memperlihatkan hasil sebaliknya. Inilah yang memicu kekisruhan pasca Pilpres 9 Juli beberapa waktu lalu. Parahnya lagi, masing-masing kubu mengklaim dan mendeklarasikan kemenangannya sebagai calon Presiden RI selanjutnya. 

Kondisi ini diperparah oleh peran media yang telah tergiring menjadi media partisan. Akibatnya pemberitaan menjadi tidak berimbang dan cenderung menyudutkan dan mengunggulkan salah satu kubu. 

Waspada "Perang Saudara"

Hal paling penting untuk diantisipasi adalah kemungkinan timbulnya konflik horizontal bahkan konflik vertikal setelah KPU sebagai lembaga resmi yang akan mengumumkan hasil perhitungan suara. Hari pencoblosan saja baru selesai, masing-masing kubu sudah merayakan kemenangannya. Bahkan, masing-masing mengklaim lembaga survey yang memenangkannya yang paling benar. 

Jika kondisinya demikian, ada kekhawatiran akan timbulnya "perang saudara" jika KPU mengumumkan hasil perolehan suara. Jika kubu Jokowi kalah, ada isu yang beredar di media bahwa pendukungnya akan mengamuk sebab hasil KPU dianggap tidak benar. Begitupun sebaliknya. 

Ada tiga hal yang menyebabkan kekisruhan dan potensi konflik pasca Pilpres ini. Pertama, lembaga survey yang menampilkan hasil quick count yang berbeda-beda dianggap biang keladinya. Hasil yang berbeda jauh ini menimbulkan kegamangan dikalangan masyarakat. Sulit menentukan siapa yang benar. Sampai akhirnya ada tuntutan sejumlah pihak untuk mengaudit lembaga survey tersebut. 

Kedua, media partisan yang turut menghangatkan suasana. Masing-masing media berusaha mempengaruhi opini publik dengan pegangan data hasil lembaga survey yang memenangkan jagoannya. Berita-berita pun dihadirkan sedemikian rupa kepada khalayak agar semakin mengukuhkan posisi jagoannya.

Ketiga, sikap para pendukung masing-masing kubu yang cenderung saling menjatuhkan dan mengejek. Situasi ini dapat dilihat dengan gamblang di beberapa media sosial seperti facebook dan twitter. Tak jarang komentar-komentar mereka berujung pada pertengkaran. Bayangkan apa jadinya bila mereka bertemu muka di dunia nyata. Terlebih saat KPU mengumumkan pemenangnya nanti pada tanggal 22 Juli mendatang. Tentu pendukung kubu yang kalah akan tidak terima, dan inilah yang perlu diwaspadai secara serius, khususnya kepada para pihak yang bertanggungjawab. 

Langkah Antisipatif

Beberapa langkah yang bisa diupayakan untuk mencegah konflik ini adalah perlu sikap legowo masing-masing calon pesiden dan wakil presiden. Mereka perlu membuat pernyataan-pernyataan yang bersahabat di depan publik atau media sehingga mampu meredam emosi para pendukungnya. Mendeklarasikan atau membuat pernyataan kemenangan sebelum ada pengumuman resmi KPU kiranya bukan langkah yang bijak. Jangan sampai muncul pernyataan diantara para elit politik yang terkesan sombong, menjatuhkan lawan, dan pernyataan lain yang bisa memicu konflik. 

Saling menghargai dan menghormati satu sama lain dan duduk bersama untuk memikirkan Indonesia kedepan dirasa cukup bijak. Sebab, bagaimanapun, kontestasi telah usai. Tinggal yang perlu dipikirkan adalah, siapapun yang menang perlu memikirkan langkah strategis apa yang bisa diupayakan bersama untuk membangun bangsa di pemerintahan selanjutnya.

Selain itu, Pemerintah, dalam hal ini SBY selaku Presiden yang sah harus segera bertindak sebagai mediator bagi kedua belah pihak. Penengah ini diperlukan untuk "mendamaikan" dan mencairkan suasana pasca pertarungan. 

Media sebagai corong informasi masyarakat harus bertindak obyektif sesuai etika jurnalistik. Selama ini ada stereotype bahwa TV One adalah televisinya kubu Prabowo, sedangkan MetroTv dianggap televisinya kubu Jokowi. Sebab kedua televisi ini yang sangat terlihat jelas mendukung masing-masing calon dalam pemberitaannya. Anggapan ini harus hilang. Masing-masing media harus berimbang dalam menyajikan informasi dan tidak menjatuhkan pihak lain. Dengan demikian, masyarakat tidak akan terpancing secara emosional ketika melihat berita. 

Di level bawah, pemerintah daerah dan juga tokoh masyarakat harus mampu menciptakan suasana harmonis dan merangkul semua kalangan. Hal ini dilakukan agar bibit konflik dapat segera diidentifikasi dan dicegah. Sebab bagaimanapun, tokoh masyarakat dirasa akan mudah didengar dan diikuti oleh masyarakat, sebab merekalah yang dekat dan bersentuhan langsung dengan masyarakat.

Sekiranya beberapa langkah sederhana itulah yang perlu diupayakan segera. Meski sederhana, namun percayalah, jika itu diupayakan, maka konflik atau perang saudara akibat pilpres kali ini bisa dicegah.


* Penulis adalah alumni Jurusan Ilmu Politik, FISIP Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto dan pemerhati masalah sosial politik.

Jumat, 04 Juli 2014

Peta Konflik Pilpres 2014


Oleh: Bambang Wibiono[1]


Konstelasi politik jelang pilpres 9 Juli 2014 semakin runyam. Ada beberapa indikator yang bisa dipetakan sebagai sumber atau potensi konflik. Pertama, pilpres kali ini hanya menyisakan dua pasangan calon presiden dan wakil presiden. Tentu ini menimbulkan pertarungan politik yang lebih tajam.

Tidak seperti pemilu sebelum-sebelumnya yang terdapat lebih dari dua pasangan calon, membuat massa dukungan terfragmentasi sedemikian rupa, sehingga konflik tidak begitu tajam. Dengan hanya ada dua pasangan calon, menimbulkan situasi head to head antar pendukung. Semua partai politik yang lolos electoral threshold dan parliamentary threshold pun tentu akan terpecah menjadi dua kubu, kecuali Partai Demokrat yang belum menentukan sikap yang jelas. Perhatian masyarakat lainnya selaku swing voters tentu akan lebih terfokus, dan bukan mustahil kalau mereka akan mudah terpengaruh dan kemudian mendukung salah satu calon.

Kedua, kondisi seperti ini sangat dipengaruhi media massa yang mereproduksi makna sedemikian rupa. Media massa sebagai salah satu pilar demokrasi yang seharusnya sebagai jembatan informasi yang netral kepada khalayak, kini ikut-ikutan terfragmentasi pada kubu yang berkontestasi. Media massa kini menjadi partisan politik. Hal ini menimbulkan informasi atau berita yang disampaikan tentu tidak netral dan mengandung unsur kampanye dukungan.

Penyebabnya mudah dilihat. Pemilik perusahaan media televisi yang ada di Indonesia tak lain adalah orang-orang partai. Sebut saja seperti TV One dan jaringan Viva News-nya merupakan milik Aburizal Bakrie yang semua tahu kalau dia pentolan Partai Golkar dan mendukung kubu Prabowo-Hatta. MetroTv tak lain adalah milik Surya Paloh yang juga pendiri Partai Nasdem yang kini berada di belakang pasangan Jokowi-JK. Selain itu ada MNC Grup milik Hari Tanoe yang merupakan sempalan dari Nasdem dan lari ke kubu Hanura kemudian kini berbalik ke gerbong Prabowo. Alhasil, media partisan ini berlomba-lomba memproduksi makna guna mempengaruhi opini publik mengenai masing-masing pasangan capres-cawapres.

Ketiga, partisan dari kalangan agama yang terseret dalam pusaran politik turut memperkeruh keadaan. Terlebih lagi, isu SARA, termasuk soal keagamaan ini sengaja diangkat ke permukaan oleh salah satu kubu untuk melemahkan lawan politiknya. Tujuannya tak lain adalah untuk menarik dukungan dari kalangan umat Islam yang merupakan agama mayoritas di Indonesia dan menghancurkan elektabilitas lawan.

Dukungan dari partai berbasis agama pun terpecah ke dalam dua kubu. Masing-masing mencoba menarik “jamaahnya” untuk mendukung calon presiden yang dijagokan. Kalangan Nahdliyin yang dianggap massa fanatik dan mayoritas menjadi objek tarik-menarik antar kubu. Masing-masing mengklaim mendapat dukungan dari massa Nahdatul Ulama ini.

Isu agama ini sangat sensitif dan sangat berpotensi menyulut konflik horizontal yang sangat tajam. Lihat saja kasus konflik diantara massa NU saat Pemilu 1999 yang terjadi di Jepara. Saat itu PPP dan PKB masing-masing mengklaim bahwa NU sebagai basisnya. Selain itu, isu agama dan ayat-ayat Al-Qur’an digunakan sebagai alat politik untuk menjatuhkan lawan. Tak dapat dihindari, bentrokan pun terjadi dan menimbulkan banyak korban.

Rasanya, pengalaman konflik atas dasar isu agama sudah tidak kehabisan referensi bagi masyarakat Indonesia. Seharusnya ini dijadikan pelajaran bagi elit politik agar dapat berpolitik dengan cantik tanpa merugikan para pendukungnya di tingkat grassroot.

Peta konflik yang sudah dijelaskan tersebut sebaiknya bisa disikapi para tim sukses agar tidak memecah belah bangsa. Partai politik, media massa, dan lembaga politik lainnya perlu membangun konflik yang sehat. Sebab dalam politik, konflik itu keniscayaan. Namun kedewasaan dan penyikapan yang diperlukan masing-masing elemen dan stakeholder. Jika dapat dikelola dengan baik, konflik yang terbangun pun akan bisa mendorong kedewasaan politik di alam demokrasi ini. Dalam jangka panjang, siapapun pemenangnya, tentu konflik positif yang bisa terbangun akan mampu mendorong kemajuan bangsa dan pemerintahan yang terbentuk.






[1] Penulis adalah alumni Jurusan Ilmu Politik, FISIP Universitas Jenderal Soedirman dan mantan wartawan SatelitPost Pantura

Rabu, 05 Februari 2014

Alor: Sebuah Peta yang Terlupa

Oleh: Bambang Wibiono
Otonomi daerah diupayakan dengan maksud mendistribusikan kewenangan pusat kepada daerah dalam hal pengelolaan sumberdaya yang dimiliki, pelayanan publik, dan pengaturan kehidupan sosial, politik dan ekonomi. Namun dengan otonomi daerah tidak berarti pemerintah pusat lepas tangan dengan kondisi di daerah. Kenyataannya bahwa pelaksanaan otonomi daerah belum berdampak bagi kemajuan dan kesejahteraan di daerah secara merata, khususnya di daerah-daerah terluar dari Indonesia. Wilayah Indonesia Timur biasanya merupakan daerah yang paling tertinggal dibanding daerah lain di Indonesia. Distribusi ekonomi belum merata hingga pelosok-pelosok negeri.
Tulisan ini ingin membahas dan menampilkan potret kehidupan sosial ekonomi di salah satu daerah terluar dari Indonesia, yaitu Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur. Tulisan ini bukanlah hasil penelitian yang komprehensif, namun lebih kepada penjelasan deskriptif tentang sebagian besar kehidupan masyarakat di Alor yang penulis lihat dan alami ketika melakukan kunjungan dan survey di beberapa kecamatan di Kabupaten Alor. Boleh dibilang ini lebih sekedar catatan hasil perjalanan. Dengan sedikit pengetahuan yang penulis miliki, data dan fakta yang terlihat akan dibahas dengan perspektif penulis, namun bukan bermaksud mengeneralisasikan.
Alor, sebuah mutiara yang terpendam di laut
Sungguh menyedihkan memang, menjadi bagian Indonesia namun serasa dikucilkan. Pembangunan dan perubahan sosial ekonomi terkonsentrasi pada daerah-daerah metropolitan saja, khususnya Jawa-sentris. Mari berhitung tentang berapa daerah kabupaten/kota di luar Jawa yang mengalami perkembangan secara ekonomi? Ada berapa provinsi yang pembangunan infrastrukturnya memadai dengan kemudahan akses?
Banyak orang yang enggan jika harus mendapatkan penempatan kerja di wilayah luar Indonesia seperti NTT, khususnya bagi orang Jawa. Yang ada di benak kita ketika berbicara Nusa Tenggara Timur adalah wilayah yang jauh dari peradaban, udik orang-orangnya, terbelakang, miskin, sulit akses komunikasi dan transportasi, dan seabrek permasalahan infrastruktur lainnya. Tidak dapat disalahkan memang pendapat tersebut. Memang itulah kenyataan di sebagian besar wilayah NTT. Begitu juga dengan Kabupaten Alor. 
Kabupaten Alor terletak di sebuah pulau yang terpisah dari gugusan pulau Nusa Tenggara Timur. Untuk mencapainya harus menggunakan perahu feri atau pesawat perintis yang jadwal pemberangkatannya pun terbatas. Setelah menginjakkan kaki di tanah Alor, akan disuguhkan pada suasana gersang dan hawa yang panas, bahkan jika pada musim kemarau, akan terasa panas yang luar biasa. Namun di tengah kondisi yang gersang dan panas tersebut, Alor menyuguhkan pada kita panorama laut dan pantai yang luar biasa menakjubkan. Pemandangan itu sudah dapat dilihat semenjak kita masih berada di atas pesawat dengan ketinggian beberapa ratus meter di atas permukaan laut. Laut yang bersih, jernih dengan terumbu karang yang indah serta pantai-pantai dengan pasir putih yang halus menghiasi hampir seluruh lautan di Alor. Siapa sangka daerah yang jauh seperti Alor menyimpan potensi laut yang mempesona? Jika mampu dikelola dengan baik, potensi ini mampu mendatangkan keuntungan ekonomi yang besar dari segi pariwisata melebihi Bali. Sayangnya pemerintah daerah di sana belum memandang potensi ini sebagai peluang. Di era otonomi daerah ini, pemerintah daerah harus mampu menggali potensi wilayahnya dan menangkap setiap peluang yang ada untuk kemajuan daerah dan kesejahteraan masyarakatnya. 

Sulitnya akses

Kendala utama yang ada di wilayah Alor adalah sulitnya akses, baik itu transportasi, maupun komunikasi. Banyak wilayah di Alor yang sulit dijangkau dengan kendaraan. Bahkan banyak diantaranya yang sama sekali tidak dapat dilalui dengan sepeda motor sekalipun saat musim hujan. Ini diperparah dengan sulitnya akses komunikasi karena tidak adanya ketersediaan listrik. Hampir seluruh desa di Alor tidak ada listrik. Kalaupun ada biasanya menggunakan genset milik desa sebagai sumber listrik, namun itu pun waktu penggunaannya sangat terbatas, rata-rata sekitar jam 6 sore sampai jam 11 malam saja. Alhasil, masyarakat desa di Alor hidup dalam kegelapan, kegelapan yang sesungguhnya.
Permasalahan ini yang membuat arus komunikasi dan koordinasi antar desa, antar wilayah di Alor sulit terjadi. Tak jarang undangan rapat penting bagi pejabat di desa, atau perangkat desa terlambat diketahui sehingga tidak bisa menghadirinya. Undangan baru mereka terima dari kurir pada hari bersamaan acara atau bahkan undangan diterima setelah beberapa hari dari acara yang seharusnya. 
Kendala berikutnya, waktu rapat atau acara penting di kecamatan atau kabupaten yang hanya sekitar 2-3 jam bisa menghabiskan 1 hari atau bahkan 2 hari pulang-pergi. Ini dikarenakan untuk menempuh ke ibukota kecamatan atau ibu kota kabupaten harus berjalan kaki berjam-jam, bahkan bisa sampai menghabiskan 12 jam perjalanan dari desa tertentu ke ibu kota kabupaten dengan berjalan kaki. Warga di Alor sudah terbiasa dengan berjalan kaki sehingga berjalan menempuh berkilo-kilo meter sudah tidak dikeluhkannya lagi. 

Kendala lainnya adalah sulitnya akses komunikasi lewat telepon. Satu-satunya yang memungkinkan adalah komunikasi menggunakan jaringan seluler atau lewat HP. Itu pun tidak semua desa atau kecamatan ada jaringan. Jaringan yang bisa digunakan di Alor hanya menggunakan Telkomsel, namun terbatasnya pemancar dan tower penguat sinyal, jadi tidak bisa menjangkau seluruh desa. Karena sulitnya sinyal, tak heran ada istilah-istilah aneh yang dikenal warga di plosok-plosok desa terkait dengan sinyal ini. Ada yang namanya pohon sinyal, tiang sinyal, rumah sinyal, dsb. Ini dikarenakan sinyal hanya bisa di dapat di tempat-tempat tersebut saja. Jadi, jika warga ingin berkomunikasi mengirim SMS atau telepon harus ke tempat-tempat itu. Kadang pada malam hari banyak orang berkumpul di bawah pohon hanya untuk menelpon atau SMS-an. Anehnya lagi, sinyal hanya bisa diterima untuk mengirim atau menerima SMS hanya pada posisi tertentu saja. Jika bergeser atau berubah posisi saja, sinyal akan lenyap. Karena sulitnya jaringan seluler ini, tak heran banyak masyarakat yang memiliki handphone namun bukan untuk keperluan komunikasi, tetapi hanya untuk hiburan dan mainan.
Budaya dan Karakter Orang Alor
Dari sisi budaya dan karakternya, orang Alor memiliki sifat dan karakter yang keras. Itu terlihat dari cara bicaranya, suaranya, serta gerak-gerak tubuh ketika berkomunikasi. Jadi jika kita berasal dari Jawa yang cenderung lebih halus dalam bertutur kata akan memandang orang alor sangat keras dan kasar. Bahkan ketika mereka berbicara terkesan sedang bertengkar atau berdebat seru, padahal mungkin sedang biasa saja. Orang sana juga memiliki sifat yang terbuka dan terus terang apa adanya dan tidak segan dan malu untuk mengakui kebodohannya, ketidak-tahuannya, dan ketidaksukaannya kepada orang lain.
Satu hal positif yang dimiliki masyarakat Alor adalah jiwa menolongnya sangat tinggi, apalagi terhadap orang asing yang tidak dikenal. Jika mereka ingin menolong, akan diusahakan sampai tuntas. Pernah suatu ketika berkunjung ke suatu desa dan hendak mencari salah seorang warga yang entah di mana rumahnya, tiba-tiba ada warga yang telah mengamati sejak saya datang ke desa itu. Dia menghampiri dan menawarkan diri untuk singgah di rumahnya yang sangat sederhana, bahkan boleh dibilang belum layak untuk dibilang rumah. Dia menyuguhkan minum dan semua makanan yang dia punya di rumah itu sebelum bertanya tentang maksud kedatangan saya di desa itu. Mungkin karena melihat wajah dan lelah serta tas bawaan yang berat di punggung saya yang membuat dia membiarkan saya istirahat sejenak. Setelah itu ia menanyakan tujuan kedatangan saya ke desa itu. Setelah saya jelaskan bahwa ingin mencari beberapa warga yang tinggal di desa itu, ia beranjak sebentar entah ke mana. Setelah kembali, ia mengajak berbincang-bincang tentang apa saja sampai saya mulai gelisah dengan tugas saya di desa tersebut. Melihat kegelisahan itu, dia bilang bahwa tidak perlu khawatir jika orang-orang yang saya cari sudah dihubungi semua. Bahka warga yang sedang tidak di desa pun sudah dipanggilnya untuk pulang. Ia mengantar saya ke rumah warga satu-persatu sampai larut malam. Hal seperti ini selalu saya alami tiap masuk ke desa-desa di Alor. Ketika mereka benar-benar tidak dapat menolong, maka mereka akan mencari orang lain dan memerintahkannya untuk membantu apa saja yang saya perlukan.

Situasi yang mungkin jarang sekali dijumpai di tanah Jawa, apalagi di kota-kota besar. Bukan bermaksud mendiskreditkan Jawa dan non-Jawa, namun kenyataan bahwa orang Jawa yang katanya ramah, santun, sopan, unggah-ungguh, ternyata kini hampir tidak terlihat lagi. Mungkin telah tergerus oleh budaya hedonis, konsumtif, metropolis, dan seabrek hal yang berbau modern. Coba silahkan bertanya ketika kita tersesat di kota besar, ada berapa banyak orang yang benar-benar peduli untuk membantu kita menunjukkan jalan? Bahkan tak jarang mereka malah menyesatkan kita.

Masyarakat yang tradisional, udik, katrok, menurut saya lebih “modern” dari segi nilai sosial kemanusiaannya, dan mentalnya. Saat ini kita seharusnya tak perlu lagi membuat dokotomi tentang tradisional-modern, desa-kota, terbelakang-maju dari tampilan fisik baik secara kedaerahan maupun personal. Yang penting adalah soal value atau nilai yang dianut dan dipraktekkan oleh masyarakatnya. Dengan demikian kita tak akan melupakan nasionalisme dalam peta nusantara yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Tak ada lagi peta yang terlupa seperti Alor dengan keindahan alam dan budaya masyarakatnya.

(bersambung)...