Assalamu'alaikum,,, Salam Hormat

Terima kasih atas kunjungan anda ke blog saya. Semoga bermanfaat. Semua tulisan ini hasil saya pribadi, atau diambil dari tulisan lain yang tercantum pada rujukannya. Bila mengutip baik secara langsung maupun tidak, sebagian atau keseluruhan, diharapkan Mencantumkan sumber tulisan dan penulisnya pada daftar pustaka/catatan kaki sebagai bahan rujukannya.
atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih

Senin, 24 Mei 2010

Mempertanyakan Demokrasi dalam Demokrat

oleh : Bambang Wibiono


Perhelatan akbar dalam tubuh Partai Demokrat yang digelar pada Tanggal 21-23 Mei 2010 bertujuan untuk mencari pemimpin baru yang diharapkan akan membawa perubahan dan kemajuan dalam tubuh Partai Demokrat sendiri dan membawa angin perubahan pada kondisi bangsa dan negara ini. Dengan menggaungkan asas demokrasi, partai Demokrat lahir sebagai partai baru dalam konstelasi perpolitikan tanah air. Namun apakah asas demokrasi ini menjadi ruh dari partai berbendera biru dan berlambang bintang itu??


Mari kita telisik semua ini dalam Kongres II Partai Demokrat yang digelar di Padalarang, Bandung. Ada dua poin utama yang perlu dicermati dalam menganalisa demokratisasi dalam tubuh Demokrat. Dalam sidang pertama yaitu pembahasan draft tata tertib, sebagian peserta menginginkan pemilihan ketua umum didahulukan ketimbang pembahasan AD/ART. Seharusnya dalam mekanisme demokrasi, mungkin ini sah-sah saja. Namun permasalahnnya, usulan ini sangat bersifat politis. AD/ART adalah landasan dasar dari organisasi, dan seharusnya ini menjadi prioritas dalam pembahasan sebelum kemudian melakukan pemilihan. Jika mekanisme pemilihan didahulukan, semangat perubahan dan perbaikan di tubuh Partai Demokrat melalui pembahasan AD/ART akan menjadi seolah formalitas.


Persoalan kedua ialah mekanisme pemilihan yang sangat tidak demokratis. Dalam aturan yang disepakati, dari ketiga calon yang akan bertarung harus ada yang mencapai suara 50%+1 untuk dapat memenangkan pemilihan. Namun bila itu tidak dapat dicapai, maka harus diadakan pemilihan putaran kedua. Sampai taraf ini, masih berjalan normal dan demokratis. Namun yang membuat aneh adalah pada opsi terakhir. Ada kesepakatan di antara peserta kongres bahwa jika mekanisme yang sudah dijalankan belum juga memperoleh hasil, maka pilihan terakhir adalah menggunakan hak feto dari Dewan Pembina Partai Demokrat, yaitu keputusan Susilo Bambang Yudhoyono yang akan menentukan siapa yang berhak menjadi ketua umum.


Dalam logika demokrasi, jelas ini bukanlah langkah yang demokratis, bahkan ini sudah mengabaikan nilai demokrasi itu sendiri. Rupanya Partai yang didirikan SBY ini mengadopsi gaya demokrasi ala Amerika yang mengenal hak feto seperti yang diterapkan pada Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Nama "demokrat" hanya simbol saja, namun dalam pelaksanaannya masih tidak mencerminkan demokrasi.


Terlepas dari hasil Kongres yang menyatakan Anas Urbaningrum terpilih sebagai Ketua Umum Partai Demokrat periode 2010-2015 tanpa penunjukkan dari SBY, namun patut disayangkan dalam prosesnya ada pemikiran yang tidak demokratis. Meskipun SBY tidak boleh ada di ruangan selama Kongres atau selama pemilihan berlangsung demi menjaga netralitas, namun tetap saja tidak akan ada netralitas. Yang ada adalah subyektifitas seorang SBY untuk memilih siapa yang berhak menjadi ketua.


Hal itu lah yang perlu menjadi catatan Partai Demokrat kedepan. Jangan sampai pemikiran atau cara-cara yang tidak demokratis ditempuh dalam setiap kebijakan internal partai. Percuma kalian berteriak lantang atas nama demokrasi, namun demokrasi kalian adalah BUSUK..!!!

Mewaspadai Demokrasi Semu



Pemilu Legislatif 9 April lalu menyisakan banyak masalah. Setiap orang memiliki komentar negatif, bahkan opini pun cepat terbangun bahwa Pemilu Legislatif 2009 adalah pemilu terburuk sepanjang perjalanan sejarah demokrasi di Indonesia.

Banyaknya persoalan itu bisa menghipnosis kita untuk lalai berpikir hal yang lebih substantif perihal outputyang dihasilkan pemilu legislatif yang baru saja berlalu. Munculnya beberapa nama dan wajah baru yang kemungkinan lebih mendominasi posisi di lembaga legislatif (DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota) memberikan kekhawatiran baru. Mungkinkah mereka mampu menjalankan fungsinya secara tepat dalam mengadvokasi kepentingan rakyat lima tahun ke depan?

Walaupun secara normatif, pascareformasi, pemilu (pileg, pilpres, dan pilkada) telah dilaksanakan secara langsung dan memberikan sejumlah harapan baru pada saat yang bersamaan pemilu juga memiliki peluang untuk jatuh dalam perangkap electoralism. Padahal, salah satu faktor kunci yang menentukan keberhasilan memperoleh manfaat dari sistem pemilu adalah kemampuan menghindari jebakan demokrasi electoral.

Karena kurang lebih sembilan tahun belakangan ini, konsep demokrasi electoral--sebagai konsep yang menekankan pada pertarungan kompetitif dalam memperoleh suara rakyat--merupakan konsep yang sangat populer. Prinsip-prinsip demokrasi electoraltidak hanya diyakini dalam dunia akademik, tapi sudah menjadi rujukan utama dalam praktek politik dan pemerintahan di Indonesia.

Setidaknya hal itu terlihat jelas dalam kerangka paradigmatik yang menjiwai politik regulasi nasional maupun tindakan-tindakan politik yang dilakukan oleh rezim pasca-Soeharto, mulai rezim Habibie sampai dengan SBY.

Seperti pada umumnya penganut pendekatan electoral, para akademisi dan praktisi politik dewasa ini merumuskan demokrasi sebagai pengaturan kelembagaan untuk mencapai keputusan-keputusan politik, di mana individu-individu, melalui perjuangan memperebutkan suara rakyat pemilih, memperoleh kekuasaan untuk membuat keputusan sehingga dalam merumuskan makna demokrasi, mereka selalu merujuk pada tiga hal yang paling elementer; partisipasi, kompetisi dan liberalisasi.

Partisipasi politik, salah satu isu krusial dalam pemilu adalah persoalan partisipasi politik. Karena apa? Partisipasi warga negara dalam pemilu memiliki kontribusi bagi pengembangan kualitas demokrasi kalau para partisipan memiliki kesadaran kritis dalam menggunakan hak-haknya.

Dalam isu kompetisi politik ada problematika yang sedang dan mungkin muncul dalam pemilu jika penyelenggara tidak kompeten dan credible, diragukan netralitasnya, birokrasi juga secara diam-diam melakukan keberpihakan, pembiayaan pemilu yang tidak adil dan tidak seimbang, dan political equality(persamaan kesempatan dalam berkompetisi).

Dalam demensi kebebesan sipil ada dua hal yang bisa menjadi problem krusial. Pertama, munculnya ketakutan pemilih untuk menggunakan hak pilihnya karena penggunaan cara-cara kekerasan; premanisme, intimidasi secara fisik dan teror. Kedua, munculnya ketakutan dari pemilih untuk menggunakkan hak pilihnya karena menguatnya penggunaan wacana antipluralisme--di mana orang takut memilih pilihan yang berbeda. Atau hilangnya hak pilih karena sengaja dihilangkan.

Secara prosedural, ketiga hal pokok itu (partisipasi, kompetisi, dan liberalisasi), dilembagakan dalam pemilihan umum dan lembaga perwakilan. Pemilu merupakan arena kompetisi untuk menentukan pejabat-pejabat publik di eksekutif maupun legislatif. Partai politik dan parlemen merupakan dua institusi politik utama yang menjadi wadah artikulasi dan agregasi kepentingan publik.

Demokrasi Semu

Penekanan yang berlebihan pada electoralismmenimbulkan beberapa konsekuensi. Pertama, demokrasi seolah-olah sudah selesai untuk dibicarakan ketika sistem pemilihan yang menjamin partisipasi dan kompetisi politik secara formal sudah terbangun.

Banyak kalangan sudah berpuas diri ketika sistem pemilihan legislatif, presiden, gubernur dan bupati/wali kota berhasil terumuskan dalam agenda policy reform. Padahal, sistem pemilihan itu tidak akan berarti apa-apa bagi demokrasi jika sistem itu justru menjadi "topeng" atau bahkan dibajak kekuatan-kekuatan antidemokrasi.

Kedua, konsep-konsep demokrasi elektoral berisiko menimbulkan apa yang disebut Tery Karl dengan "kekeliruan electoralism". Kekeliruan electoralismini terjadi ketika konsep itu mengistimewakan pemilu di atas dimensi-dimensi lain, dan mengabaikan kemungkinan yang bisa ditimbulkan pemilu multi partai dalam menyisihkan hak sebagian masyarakat tertentu untuk bersaing memperebutkan kekuasaan atau meningkatkan dan membela kepentingannya atau menciptakan arena-arena pembuatan kebijakan penting yang berada di luar kendali para pejabat terpilih.

Ketiga, optimisme yang menggebu dari konsep demokrasi electoraldalam menciptakan kepastian-kepastian membuat konsep ini mengabaikan faktor-faktor di luar dimensi pemilu dan partai politik, seperti budaya politik dan legitimasi demokrasi. Budaya politik menyangkut pola keyakinan, nilai-nilai, ide-ide, sentimen, dan sikap-sikap suatu masyarakat tentang sistem politik negeri mereka dan peran setiap individu dalam sistem tersebut.

Keempat, demokrasi electoralcenderung formalis dan prosedural sehingga gagal untuk menjelaskan kemunculan bentuk-bentuk partisipasi dan kompetisi semu (ertzast). Mungkin saja terlihat ada perluasan partisipasi massa, tapi partisipasi yang terjadi lebih dalam kerangka mobilisasi.

Demikian pula dengan kompetisi politik, secara formal menurut kriteria demokrasi elektoral, pemilu multipartai sudah dilakukan secara bebas dan reguler, tapi secara substansi kompetisi itu dilakukan dalam manifestasi kultural yang sama sekali berbeda.

Demokrasi electoralmenjadi gagap dalam menjelaskan peranan para botoh dan perilaku mistis dari sebagian elite politik yang tengah melakukan kompetisi politik. Electoralternyata bukan satu-satunya ukuran dalam melihat demokrasi bekerja, akan tetapi ada banyak variabel lokal dan kultural yang menjadi penentu keberhasilan jalannya demokrasi. Misalnya, penelitian yang dilakukan J. Mardimin dalam kompetisi politik di perdesaan Jawa, menunjukan ada tiga hal yang dianggap sebagai modal utama bagi seorang calon perangkat desa untuk memenangkan pemilihan; dukun, duit, dan dukungan. Yang dalam Pemilu Legislatif 9 April yang lalu nyaris kita temui hampir di setiap daerah.

Akhirnya, keempat kritik yang ditujukan pada demokrasi electoralbukan sesuatu yang berlebihan. Karena pengabaian terhadap dimensi liberalisasi, budaya politik dan legitimasi demokrasi ini menimbulkan kosekuensi terbangunnya model demokrasi semu (pseudo-democracy). Juan Linz mendefinisikan demokrasi semu sebagai sebuah kecenderungan di mana "keberadaan lembaga-lembaga politik demokratis secara formal, seperti pemilu multipartai menyebabkan dominasi kekuatan otoriter menjadi tidak kasat mata".

Dalam tipologi yang berbeda demokrasi semu berawal dari konsensus di antara para pemain politik untuk menggunakan prosedural dan institusi demokrasi secara formal, tapi substansi permainan berada di luar skenario yang diinginkan penganjur demokrasi electoral. Dengan demikian, masyarakat kehilangan kontrol pada substansi maupun proses perumusan kebijakan publik.

Akhirnya, kita hanya bisa berdoa semoga pilihan kita pada Pemilu 2009 ini adalah pilihan yang benar. Sebab, jika yang kita pilih ternyata hanyalah orang yang populer dengan lawakannya, dengan kekonyolan tanpa dibarengi kemampuan legislasi, penganggaran dan pengawasan--meminjam istilah orang bijak--bisa jadi itulah gambaran bangsa ini secara keseluruhan, dan akhirnya kita tidak mendapatkan apa-apa dari pesta demokrasi tahun 2009 ini, selain dari lawakan politik yang tidak lucu

Membangun Karakter Bangsa Menuju Indonesia Bermartabat *

oleh : Bambang Wibiono




Carut-marut persoalan bangsa di negeri ini seolah menjadi aubade yang mengiringi pejalanan waktu. Fenomena degradasi moral dari pemimpin negeri ini turut mewarnai hari demi hari. Mulai dari kasus korupsi, pelecehan seksual, tindakan asusila, judi, narkoba, dan kasus lainnya adalah sebagian fenomena yang turut andil dalam menghancurkan martabat bangsa. Belum lagi kasus selebriti yang terjerat kasus narkoba, penganiayaan, dan kasus porno aksi. Sedangkan di tengah realitas masyarakat miskin, merebaknya kriminalitas, pengangguran, pengemis, perdagangan anak, dan pelacuran adalah persoalan lainnya.

Apa makna di balik sejumlah kasus buram tersebut? Bangsa ini baik secara kolektif maupun individual, menunjukkan indikasi mengalami pelemahan karakter sebagai bangsa yang bermartabat mulia, selain karena lemahnya sistem. Bangsa ini telah kehilangan rasa malu dan marwah kehormatan, padahal selama ini mengaku memiliki tradisi besar (the great tradition) sebagai bangsa Timur yang dibangga-banggakan. Bangsa ini secara khusus tengah kehilangan martabat moral dan spiritual atau akhlak sebagai bangsa yang religius atau beragama sebagaimana melekat dalam kepribadian bangsa.

Terdapat pola umum dari sejumlah peristiwa tersebut, yakni tidak adanya atau lemahnya jati diri selaku komunitas atau warga bangsa yang memiliki karakter yang kuat dan berstandar moralitas yang kokoh. Bangsa yang mudah terjebak pada godaan, toleran pada penyimpangan, tidak kokoh pendirian, tidak atau kurang memiliki harga diri manakala dihinakan atau terjerumus pada kesalahan, sekaligus tebal muka dan ajimumpung yang membuat diri jatuh. Bangsa yang kehilangan fondasi moral dan spiritual sehingga dengan mudah melakukan tindakan-tindakan yang keliru, salah, dan nista. Bangsa yang kehilangan pedoman sehingga tak lagi mampu membedakan secara jelas tentang nilai benar dan salah, baik dan buruk, serta pantas dan tidak pantas.

Di hadapan bangsa-bangsa lain, bangsa Indonesia seolah kehilangan martabat. Pulau dan hak-hak cipta anak bangsanya dijarah, bahkan tanpa proteksi politik dan kehormatan sebagaimana layaknya bangsa yang bermartabat. Sudut-sudut negerinya diobrak-abrik oleh terorisme dan politik terorisme dunia internasional, nyaris dengan mengikuti seluruh irama politik adidaya tanpa daya kritis dan sikap berdaulat. Budaya-budaya “populis” yang cenderung bersifat liberal, pragmatis, dan konsumtif menggerogoti bangsa ini, bahkan pada generasi muda kita.

Globalisasi, menyebabkan arus informasi dapat dengan mudah menyebar ke seluruh penjuru dunia. Dan ini berarti memudahkan penyebaran budaya. Selama ini budaya yang berkiblat pada dunia barat sengaja dihembuskan pada Negara-negara lain untuk memudahkan liberalisasi di bidang ekonomi. Masyarakat digiring pada sebuah budaya konsumerisme karena ini akan dapat menjadi penopang pemasaran barang produksi dan jasa yang ditawarkan Negara-negara kapitalis.

Mengabaikan aspek lokalitas sebagai modal sosial

Sistem yang diterapkan di Negara kita telah memarjinalkan aspek-aspek lokalitas. Ini sebagai imbas dari arus globalisasi. Budaya-budaya lokal yang ada tergerus oleh budaya “populis” yang disebarkan melalui akses informasi. Masyarakat lokal enggan menampilkan sosok lokalitasnya dengan seperangkat nilai, norma dan bahasa yang melekat di dalamnya.

Globalisasi, selain menciptakan sebuah masyarakat dan tatanan global tanpa ada batas-batas Negara, tetapi juga di dalamnya mengandung pertentangan yang mengakibatkan glokalisasi. Dalam ranah budaya, masyarakat cenderung memperkuat basis nilai-nilai lokalnya sebagai ciri khasnya. Nilai-nilai yang dianut pada budaya yang ada di Indonesia sebagai karakter bangsa dapat dijadikan counter hegemoni budaya ”populis”.

Sudah saatnya bangsa dan negara ini bangkit dari keterpurukan moral dan spiritual untuk kemudian menjadi bangsa yang berkarakter mulia. Boleh miskin secara materi, tetapi jangan miskin harga diri dan kehormatan. Jangan biarkan anak-anak bangsa ini menjadi pemulung dan tukang menengadahkan tangan ke pihak lain. Jangan jadi bangsa "inlander", ujar Bung Karno.

Di sinilah tugas negara, kekuatan-kekuatan masyarakat (civil society), dan para elite serta mahasiswa sebagai generasi penerus dan kader intelektual. Bagaimana secara bersama-sama membangun kembali karakter bangsa Indonesia. Di masa lalu Sukarno pernah menggelorakan program nasional "nation and character building" dan gerakan berdikari.

Dari mana memulai? Pendidikan merupakan langkah paling sistematik dan berjangka panjang untuk menjadi media utama membangun karakter bangsa, yang dilakukan secara simultan. Pendidikan merupakan media internalisasi nilai-nilai kebangsaan yang paling strategis. Dimulai dari pendidikan di lingkungan keluarga, masyarakat, dan lembaga-lembaga pendidikan formal dengan langkah-langkah yang sistematik yang muatan utamanya nilai-nilai luhur kebangsaan.

Tanamkan kembali kebanggaan sebagai anak bangsa yang bermartabat, berdaulat, dan berkepribadian mulia. Pendidikan agama, akhlak atau budi pekerti, dan pendidikan kewargaan dirancang-bangun secara lebih sistematik dan komprehensif. Langkah lain ialah penanaman nilai-nilai kepribadian bangsa melalui pranata-pranata sosial di masyarakat dengan berbagai pendekatan yang bersifat kultural. Melalui kegiatan pengajian, karang taruna, remaja masjid, dan kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan lainnya ditanamkan nilai-nilai akhlak atau kepribadian bangsa yang utama. Modal-modal sosial ini yang dapat dijadikan modal dalam membangun sebuah karakter bangsa yang luhur yang pernah melekat pada bangsa kita.



* Tulisan ini dibuat dalam menyambut hari kebangkitan nasional