Pelanggaran Pemilu & Mekanisme Penyelesaiannya
A. Ancaman Pelanggaran Terhadap Proses Demokratisasi
SECARA
umum demokrasi diartikan sebagai pemerintahan yang berasal dari rakyat
oleh rakyat dan untuk rakyat. Salah satu prinsip demokrasi yang penting
adalah adanya Pemilu yang bebas sebagai perwujudan nyata kedaulatan
rakyat atas keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kenyataan menunjukkan bahwa membumikan ide yang mulia tersebut tidaklah
semudah mengucapkannya.
Ada beberapa prasyarat yang harus
dipenuhi agar pemilu benar-benar menghasilkan pemerintahan yang
demokratis secara substantif dan bukan sekedar prosesi ritual.
Prasyarat tersebut antara lain adalah : tersedianya aturan main yang
jelas dan adil bagi semua peserta, adanya penyelenggara yang independen
dan tidak diskriminatif, pelaksanaan aturan yang konsisten, dan adanya
sanksi yang adil kepada semua pihak. Tahapan penyelenggaraan pemilu
2009 telah diawali dengan permasalahan hukum seperti penyerahan data
kependudukan atau Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) oleh
Pemerintah kepada KPU yang tidak lengkap dan proses pembentukan
struktur KPU di daerah yang tidak sesuai jadwal, keterlambatan
pembuatan beberapa aturan, kesalahan pengumuman DCT dan pengumuman DPT
yang belum final.
Selain itu, sengketa mengenai hasil
perolehan suara dalam Pilkada Maluku Utara telah menyeret KPU ke dalam
sengketa kewenangan. KPU bersengketa dengan KPU Propinsi Malut dan
berlanjut dengan Pemerintah – dalam hal ini Departemen Dalam Negeri.
Beberapa pelanggaran tersebut muncul karena peraturan
perundang-undangan yang ada masih belum lengkap, multi tafsir, bahkan
ada yang tidak sinkron.
Adanya persoalan menyangkut aturan ini
berkibat pada penanganan pelanggaran yang inkonsisten atau justru
mendorong pembiaran atas pelanggaran karena peraturan yang ada tidak
cukup menjangkau. Demi untuk mewujudkan penyelenggaraan pemilu yang
berkualitas dan memiliki integritas tinggi maka perlu dilakukan
penyempurnaan terhadap aturan yang telah ada melalui penambahan aturan,
penegasan maksud dan sinkronisasi antar peraturan perundang-undangan
yang ada salah satu diantaranya adalah melalui pembuatan
instrumen-instrumen komplain atas terjadinya pelanggaran pemilu yang
lengkap, mudah diakses, terbuka, dan adil. Lebih penting lagi adalah
memastikan bahwa aturan main yang ditetapkan tersebut dijalankan secara
konsisten.
Tersedianya aturan yang konkrit dan
implementatif penting untuk menjamin kepastian dan keadilan hukum
sehingga pemilu memiliki landasan legalitas dan legitimasi yang kuat
sehingga pemerintahan yang dihasilkan melalui pemilu tetap mendapatkan
dukungan masyarakat luas. Untuk itu maka segala pelanggaran yang
terjadi dalam proses pelaksanaan pemilu harus diselesaikan secara adil,
terbuka dan konsisten.
B. Pelanggaran Pemilu 2009
Terjadinya pelanggaran dalam pelaksanaan pemilu 2009 sudah tidak
terhindarkan. Pelanggaran dapat terjadi karena adanya unsur kesengajaan
maupun karena kelalaian. Pelanggaran pemilu dapat dilakukan oleh banyak
pihak bahkan dapat dikatakan semua orang memiliki potensi untuk menjadi
pelaku pelanggaran pemilu. Sebagai upaya antisipasi, UU 10 Tahun 2008
tentang Pemiliham Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU Pemilu)
mengaturnya pada setiap tahapan dalam bentuk kewajiban, dan larangan
dengan tambahan ancaman atau sanksi. Potensi pelaku pelanggaran pemilu
dalam UU pemilu antara lain:
1. Penyelenggara Pemilu yang meliputi
anggota KPU, KPU Propinsi, KPU Kabupaten/Kota, anggota Bawaslu,
Panwaslu Propinsi, Panwaslu Kabupaten Kota, Panwas Kecamatan, jajaran
sekretariat dan petugas pelaksana lapangan lainnya;
2. Peserta pemilu yaitu pengurus partai politik, calon anggota DPR, DPD, DPRD, tim kampanye;
3. Pejabat tertentu seperti PNS,
anggota TNI, anggota Polri, pengurus BUMN/BUMD, Gubernur/pimpinan Bank
Indonesia, Perangkat Desa, dan badan lain lain yang anggarannya
bersumber dari keuangan negara;
4. Profesi Media cetak/elektronik, pelaksana pengadaan barang, distributor;
5. Pemantau dalam negeri maupun asing;
6. Masyarakat Pemilih, pelaksana survey/hitungan cepat, dan umum yang disebut sebagai “setiap orang”.
Meski banyak sekali bentuk pelanggaran
yang dapat terjadi dalam pemilu, tetapi secara garis besar UU Pemilu
membaginya berdasarkan kategori jenis pelanggaran pemilu menjadi:
(1) pelanggaran administrasi pemilu;
(2) pelanggaran pidana pemilu; dan
(3) perselisihan hasil pemilu.
(1) Pelanggaran Administrasi Pasal 248
UU Pemilu mendefinisikan perbuatan yang termasuk dalam pelanggaran
administrasi adalah pelanggaran terhadap ketentuan UU Pemilu yang tidak
termasuk dalam ketentuan pidana pemilu dan ketentuan lain yang diatur
dalam Peraturan KPU. Dengan demikian maka semua jenis pelanggaran,
kecuali yang telah ditetapkan sebagai tindak pidana, termasuk dalam
kategori pelanggaran administrasi. Contoh pelanggaran administratif
tersebut misalnya: tidak memenuhi syarat-syarat untuk menjadi peserta
pemilu, menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah dan tempat
pendidikan untuk berkampanye, tidak melaporkan rekening awal dana
kampanye, pemantau pemilu melanggar kewajiban dan larangan.
(2) Tindak Pidana Pemilu Pasal 252 UU
Pemilu mengatur tentang tindak pidana pemilu sebagai pelanggaran pemilu
yang mengandung unsur pidana. Pelanggaran ini merupakan tindakan yang
dalam UU Pemilu diancam dengan sanksi pidana. Sebagai contoh tindak
pidana pemilu antara lain adalah sengaja menghilangkan hak pilih orang
lain, menghalangi orang lain memberikan hak suara dan merubah hasil
suara. Seperti tindak pidana pada umumnya, maka proses penyelesaian
tindak pidana pemilu dilakukan oleh lembaga penegak hukum yang ada
yaitu kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan.
(3) Perselisihan Hasil Pemilu Yang
dimaksud dengan perselisihan hasil pemilu menurut pasal 258 UU Pemilu
adalah perselisihan antara KPU dan peserta pemilu mengenai penetapan
jumlah perolehan suara hasil pemilu secara nasional. Perselisihan
tentang hasil suara sebagaimana dimaksud hanya terhadap perbedaan
penghitungan perolehan hasil suara yang dapat memengaruhi perolehan
kursi peserta pemilu. Sesuai dengan amanat Konstitusi yang dijabarkan
dalam UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, maka
perselisihan mengenai hasil perolehan suara diselesaikan melalui
peradilan konstitusi di MK. Satu jenis pelanggaran yang menurut UU No.
22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu (UU KPU) menjadi salah
satu kewenangan Panwaslu Kabupaten/Kota untuk menyelesaikannya adalah
pelanggaran pemilu yang bersifat sengketa. Sengketa adalah perbenturan
dua kepentingan, kepentingan dan kewajiban hukum, atau antara kewajiban
hukum dengan kewajiban hukum (konflik) yang dalam konteks pemilu dapat
terjadi antara peserta dengan penyelenggara maupun antara peserta
dengan peserta. Pada pemilu 2004, tata cara penyelesaian terhadap jenis
pelanggaran ini diatur dalam satu pasal tersendiri (pasal 129 UU
12/2003).
Terhadap sengketa pemilu ini yaitu
perselisihan pemilu selain yang menyangkut perolehan hasil suara, UU
10/2008 tidak mengatur mekanisme penyelesaiannya. Sengketa juga dapat
terjadi antara KPU dengan peserta pemilu atau pihak lain yang timbul
akibat dikeluarkannya suatu Peraturan dan Keputusan KPU. Kebijakan
tersebut, karena menyangkut banyak pihak, dapat dinilai merugikan
kepentingan pihak lain seperti peserta pemilu (parpol dan perorangan),
media/pers, lembaga pemantau, pemilih maupun masyarakat.
Berbeda dengan UU 12/2003, yang
menegaskan bahwa Keputusan KPU bersifat final dan mengikat, dalam UU
KPU dan UU Pemilu tidak ada ketentuan yang menegaskan bahwa Keputusan
KPU bersifat final dan mengikat. Dengan demikian maka Keputusan KPU
yang dianggap merugikan terbuka kemungkinan untuk dirubah.
Persoalannya, UU Pemilu juga tidak memberikan “ruang khusus” untuk
menyelesaikan ketidakpuasan tersebut.
Contoh KASUS yang telah nyata ada adalah :
1) sengketa antara calon peserta pemilu
dengan KPU menyangkut Keputusan KPU tentang Penetapan Partai Politik
Peserta Pemilu. Keputusan KPU tersebut dianggap merugikan salah satu
atau beberapa calon peserta pemilu.
2) sengketa antara partai politik
peserta pemilu dengan anggota atau orang lain mengenai pendaftaran
calon legislatif. Pencalonan oleh partai politik tertentu dianggap
tidak sesuai dengan atau tanpa seijin yang bersangkutan.
C. Tata Cara Penyelesaian Pelanggaran
Meski jenis pelanggaran bermacam-macam, tetapi tata
cara penyelesaian yang diatur dalam UU hanya mengenai pelanggaran
pidana. Pelanggaran administrasi diatur lebih lanjut melalui Peraturan
KPU dan selisih hasil perolehan suara telah diatur dalam UU MK.
Batas Waktu Penanganan Pelanggaran Pemilu
1. Mekanisme Pelaporan Penyelesaian
pelanggaran pemilu diatur dalam UU Pemilu BAB XX. Secara umum,
pelanggaran diselesaikan melalui Bawaslu dan Panwaslu sesuai dengan
tingkatannya sebagai lembaga yang memiliki kewenangan melakukan
pengawasan terhadap setiap tahapan pelaksanaan pemilu. Dalam proses
pengawasan tersebut, Bawaslu dapat menerima laporan, melakukan kajian
atas laporan dan temuan adanya dugaan pelanggaran, dan meneruskan
temuan dan laporan dimaksud kepada institusi yang berwenang. Selain
berdasarkan temuan Bawaslu, pelanggaran dapat dilaporkan oleh anggota
masyarakat yang mempunyai hak pilih, pemantau pemilu dan peserta pemilu
kepada Bawaslu, Panwaslu Propinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota paling
lambat 3 hari sejak terjadinya pelanggaran pemilu.
Bawaslu memiliki waktu selama 3 hari
untuk melakukan kajian atas laporan atau temuan terjadinya pelanggaran.
Apabila Bawaslu menganggap laporan belum cukup lengkap dan memerlukan
informasi tambahan, maka Bawaslu dapat meminta keterangan kepada
pelapor dengan perpanjangan waktu selama 5 hari.
Berdasarkan kajian tersebut, Bawaslu
dapat mengambil kesimpulan apakah temuan dan laporan merupakan tindak
pelanggaran pemilu atau bukan.
Dalam hal laporan atau temuan tersebut dianggap sebagai pelanggaran, maka Bawaslu membedakannya menjadi:
1) pelanggaran pemilu yang bersifat administratif ; dan
2) pelanggaran yang mengandung unsur pidana.
Bawaslu meneruskan hasil kajian
tersebut kepada instansi yang berwenang untuk diselesaikan. Aturan
mengenai tata cara pelaporan pelanggaran pemilu diatur dalam ketentuan
pasal 247 UU 10/2008 yang diperkuat dalam Peraturan Bawaslu No.05 /2008.
2. Mekanisme penyelesaian pelanggaran
administrasi Pelanggaran pemilu yang bersifat administrasi menjadi
kewenangan KPU untuk menyelesaikannya. UU membatasi waktu bagi KPU
untuk menyelesaikan pelanggaran administrasi tersebut dalam waktu 7
hari sejak diterimanya dugaan laporan pelanggaran dari Bawaslu. Sesuai
dengan sifatnya, maka sanksi terhadap pelanggaran administrasi
hendaknya berupa sanksi administrasi. Sanksi tersebut dapat berbentuk
teguran, pembatalan kegiatan, penonaktifan dan pemberhentian bagi
pelaksana pemilu.
Aturan lebih lanjut tentang tata cara
penyelesaian pelanggaran administrasi dibuat dalam peraturan KPU.
Peraturan KPU mengenai hal tersebut sampai saat ini belum ada. Meski
kewenangan menyelesaikan pelanggaran administrasi menjadi domain KPU,
KPU Propinsi, dan KPU Kabupaten/Kota sebagaimana diatur dalam ketentuan
UU Pemilu pasal 248-251, tetapi UU Pemilu juga memberikan tugas dan
wewenang kepada Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Propinsi dan Bawaslu
untuk menyelesaikan temuan dan laporan pelanggaran terhadap ketentuan
kampanye yang tidak mengandung unsur pidana (lihat UU 10/2008 pasal 113
ayat (2), pasal 118 ayat (2), dan 123 ayat (2).
Terhadap pelanggaran yang menyangkut
masalah perilaku yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu seperti
anggota KPU, KPU Propinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan jajaran
sekretariatnya, maka Peraturan KPU tentang Kode Etik Penyelenggara
Pemilu dapat diberlakukan. Hal yang sama juga berlaku bagi anggota
Bawaslu, Panwaslu Propinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, dan jajaran
sekretariatnya, yang terikat dengan Kode Etik Pengawas Pemilu.
3. Mekanisme Penyelesaian Pelanggaran Pidana Pemilu.
3.1. Proses Penyidikan.
Sebenarnya penanganan tindak pidana pemilu tidak berbeda dengan
penanganan tindak pidana pada umumnya yaitu melalui kepolisian kepada
kejaksaan dan bermuara di pengadilan. Secara umum perbuatan tindak
pidana yang diatur dalam UU Pemilu juga terdapat dalam KUHP. Tata cara
penyelesaian juga mengacu kepada KUHAP. Dengan asas lex specialist derogat lex generali maka
aturan dalam UU Pemilu lebih utama. Apabila terdapat aturan yang sama
maka ketentuan yang diatur KUHP dan KUHAP menjadi tidak berlaku.
Mengacu kepada pasal 247 angka (9) UU
Pemilu, temuan dan laporan tentang dugaan pelanggaran pemilu yang
mengandung unsur pidana, setelah dilakukan kajian dan didukung dengan
data permulaan yang cukup, diteruskan oleh Bawaslu kepada penyidik
Kepolisian. Proses penyidikan dilakukan oleh penyidik polri dalam
jangka waktu selama-lamanya 14 hari terhitung sejak diterimanya laporan
dari Bawaslu. Kepolisian mengartikan 14 hari tersebut termasuk hari
libur. Hal ini mengacu kepada KUHAP yang mengartikan hari adalah 1 x 24
jam dan 1 bulan adalah 30 hari.
Guna mengatasi kendala waktu dan
kesulitan penanganan pada hari libur, pihak kepolisian telah membentuk
tim kerja yang akan menangani tindak pidana pemilu. Setiap tim
beranggotakan antara 4-5 orang. TIM PENYIDIK TINDAK PIDANA PEMILU POLRI
BARESKRIM: 7 TIM (4 Dalam Negeri + 3 Luar Negeri), POLDA: 5 TIM,
POLWIL: 3 TIM, POLRES: 10 TIM.
Dengan adanya tim kerja tersebut maka
penyidikan akan dilakukan bersama-sama. Setelah menerima laporan
pelanggaran dari Bawaslu, penyidik segera melakukan penelitian terhadap:
1) kelengkapan administrasi laporan
yang meliputi : keabsahan laporan (format, stempel, tanggal, penomoran,
penanda tangan, cap/stempel), kompetensi Bawaslu terhadap jenis
pelanggaran, dan kejelasan penulisan; dan
2) materi/laporan yang antara lain :
kejelasan indentitas (nama dan alamat) pelapor, saksi dan tersangka,
tempat kejadian perkara, uraian kejadian/pelanggaran, waktu laporan.
Berdasarkan indentitas tersebut,
penyidik melakukan pemanggilan terhadap saksi dalam waktu 3 hari dengan
kemungkinan untuk memeriksa saksi sebelum 3 hari tersebut yang dapat
dilakukan di tempat tinggal saksi. 14 hari sejak diterimanya lapaoran
dari Bawaslu, pihak penyidik harus menyampaikan hasil penyidikan
beserta berkas perkara kepada penuntut umum (PU).
3.2. Proses Penuntutan.
UU Pemilu tidak mengatur secara khusus tentang penuntut umum dalam
penanganan pidana pemilu. Melalui Surat Keputusan (September 2008)
Jaksa Agung telah menunjuk jaksa khusus pemilu di seluruh Indonesia (31
Kejaksaan Tinggi, 272 kejaksaan Negeri, dan 91 Cabang Kejaksaan
Negeri). Masing-masing Kejaksaan Negeri dan Cabang Kejaksaan Negeri
ditugaskan 2 orang jaksa khusus untuk menangani pidana pemilu tanpa
menangani kasus lain di luar pidana pemilu.
Di tingkat Kejaksaan Agung ditugaskan
12 orang jaksa yang dipimpin Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum)
untuk menangani perkara pemilu di pusat dan Luar Negeri. Penugasan ini
dituangkan dalam Keputusan Jaksa Agung No. 125/2008.
Jika hasil penyidikan dianggap belum
lengkap, maka dalam waktu paling lama 3 hari penuntut umum
mengembalikan berkas perkara kepada penyidik kepolisian disertai dengan
petunjuk untuk melengkapi berkas bersangkutan. Perbaikan berkas oleh
penyidik maksimal 3 hari untuk kemudian dikembalikan kepada PU.
Maksimal 5 hari sejak berkas diterima, PU melimpahkan berkas perkara
kepada pengadilan. Karena sejak awal penanganan kasus di kepolisian
pihak kejaksaan sudah dilibatkan untuk mengawal proses penyidikan maka
duduk perkara sudah dapat diketahui sejak Bawaslu melimpahkan perkara
ke penyidik.
Dengan demikian maka PU dapat
mempersiapkan rencana awal penuntutan/matrik yang memuat unsur-unsur
tindak pidana dan fakta-fakta perbuatan. Pada saat tersangka dan barang
bukti dikirim/diterima dari kepolisian maka surat dakwaan sudah dapat
disusun pada hari itu juga. Karena itu masalah limitasi waktu tidak
menjadi kendala. Untuk memudahkan proses pemeriksaan terhadap adanya
dugaan pelanggaran pidana pemilu, Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksaan
telah membuat kesepahaman bersama dan telah membentuk sentra penegakan
hukum terpadu (Gakumdu). Adanya Gakumdu memungkinkan pemeriksaan
perkara pendahuluan melalui gelar perkara.
3.3. Proses Persidangan.
Tindak lanjut dari penanganan dugaan pelanggaran pidana pemilu oleh
Kejaksaan adalah pengadilan dalam yuridiksi peradilan umum. Mengingat
bahwa pemilu berjalan cepat, maka proses penanganan pelanggaran
menggunakan proses perkara yang cepat (speed trial).
Hakim dalam memeriksa, mengadili dan
memutus perkara pidana pemilu menggunakan KUHAP sebagai pedoman
beracara kecuali yang diatur secara berbeda dalam UU Pemilu. Perbedaan
tersebut terutama menyangkut masalah waktu yang lebih singkat dan upaya
hukum yang hanya sampai banding di Pengadilan Tinggi.
Tujuh hari sejak berkas perkara
diterima Pengadilan Negeri memeriksa, mengadili, dan memutus perkara
pidana pemilu. Batasan waktu ini akan berimbas kepada beberapa prosedur
yang harus dilalui seperti pemanggilan saksi dan pemeriksaan khususnya
di daerah yang secara geografis banyak kendala. Untuk itu maka UU
memerintahkan agar penanganan pidana pemilu di pengadilan ditangani
oleh hakim khusus yang diatur lebih lanjut melalui Peraturan MA (Perma).
PERMA No. 03/2008 menegaskan bahwa
Hakim khusus sebagaimana dimaksud berjumlah antara 3 – 5 orang hakim
dengan kriteria telah bekerja selama 3 tahun. MA juga telah
mengeluarkan Surat Edaran No. 07/A/2008 yang memerintahkan kepada
Pengadilan Tinggi untuk segera mempersiapkan/menunjuk hakim khusus yang
menangani tindak pidana pemilu.
Dalam hal terjadi penolakan terhadap
putusan PN tersebut, para pihak memiliki kesempatan untuk melakukan
banding ke Pengadilan Tinggi. Permohonan banding terhadap putusan
tersebut diajukan paling lama 3 hari setelah putusan dibacakan.PN
melimpahkan berkas perkara permohonan banding kepada PT paling lama 3
hari sejak permohonan banding diterima.
PT memiliki kesempatan untuk memeriksa
dan memutus permohonan banding sebagaimana dimaksud paling lama 7
(tujuh) hari setelah permohonan banding diterima. Putusan banding
tersebut merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat sehingga
tidak dapat diajukan upaya hukum lain.
3.4. Proses Pelaksanaan Putusan.
Tiga hari setelah putusan pengadilan dibacakan, PN/PT harus telah
menyampaikan putusan tersebut kepada PU. Putusan sebagaimana dimaksud
harus dilaksanakan paling lambat 3 hari setelah putusan diterima jaksa.
Jika perkara pelanggaran pidana pemilu menurut UU Pemilu dipandang
dapat mempengaruhi perolehan suara peserta pemilu maka putusan
pengadilan atas perkara tersebut harus sudah selesai paling lama 5 hari
sebelum KPU menetapkan hasil pemilu secara nasional.
Khusus terhadap putusan yang
berpengaruh terhadap perolehan suara ini, KPU, KPU Propinsi dan KPU
Kabupaten/Kota dan peserta harus sudah menerima salinan putusan
pengadilan pada hari putusan dibacakan. KPU berkewajiban untuk
menindaklanjuti putusan sebagaimana dimaksud. Demikian pengecualian
hukum beracara untuk menyelesaikan tindak pidana pemilu menurut UU
10/2008 yang diatur berbeda dengan KUHAP. Sesuai dengan sifatnya yang
cepat, maka proses penyelesaian pelanggaran pidana pemilu paling lama
53 hari sejak terjadinya pelanggaran sampai dengan pelaksanaan putusan
oleh jaksa.
Pengaturan ini jauh lebih cepat jika dibandingkan dengan UU 12/2003 yang memakan waktu 121 hari.
4. Perselisihan Hasil Perolehan Suara
Sesuai dengan Konstitusi yang
dijabarkan dalam ketentuan UU 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi,
perselisahan tentang hasil perolehan suara pemilu diselesaikan melalui
MK.
Tata cara penyelesaian perselisihan
perolehan hasil suara pemilu 2009 telah diatur dalam PMK No. 14/2008
tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilu Anggota DPR,
DPD, dan DPRD. Permohonan diajukan oleh peserta pemilu paling lambat 3
x 24 jam sejak KPU mengumumkan penetapan perolehan suara hasil pemilu
secara nasional. Pengajuan permohonan disertai dengan alat bukti
pendukung seperti sertifikat hasil penghitungan suara, sertifikat
rekapitulasi hasil penghitungan setiap jenjang, berita acara
penghitungan beserta berkas pernyataan keberatan peserta, serta dokumen
tertulis lainnya. Apabila kelengkapan dan syarat permohonan dianggap
tidak cukup, panitera MK memberitahukan kepada pemohon untuk diperbaiki
dalam tenggat 1 x 24 jam. Apabila dalam waktu tersebut perbaikan
kelengkapan dan syarat tidak dilakukan, maka permohonan tidak dapat
diregistrasi. Tiga hari kerja sejak permohonan tercatat dalam Buku
Registrasi Perkara Konstitusi panitera mengirimkan permohonan kepada
KPU. Dalam permohonan tersebut disertakan juga permintaan keterangan
tertulis KPU yang dilengkapi dengan bukti-bukti hasil penghitungan
suara yang diperselisihkan. Keterangan tertulis tersebut haraus sudah
diterima MK paling lambat 1 hari sebelum hari persidangan. Mahkamah
menetapkan hari sidang pertama dala mwaktu 7 hari kerja sejak
permohonan diregistrasi. Penetapan hari sidang pertama diberitahukan
kepada pemohon dan KPU paling lambat 3 (tiga) hari sebelum hari
persidangan.
Pemeriksaan permohonan dibagi menjadi :
1) pemeriksaan pendahuluan untuk
memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi permohonan. Panel Hakim yang
terdiri atas 3 orang hakim konstitusi wajib memberi nasihat kepada
pemohon untuk melengkapi dan/atau memperbaiki permohonan apabila
terdapat kekurangan paling lambat 1 x 24 jam.
2) pemeriksaan persidangan yang
dilakukan untuk memeriksa kewenangan MK, kedudukan pemohon, pokok
permohonan, keterangan KPU dan alat bukti oleh Panel Hakim dan/atau
Pleno Hakim dalam sidang yang terbuka untuk umum. Putusan MK dijatuhkan
paling lambat 30 hari kerja sejak permohonan dicatat dalam buku
registrasi perkara konstitusi. Putusan MK bersifat final dan
selanjtunya disampaikan kepada pemohon, KPU dan Presiden serta dapat
disampaikan kepada pihak terkait. KPU, KPU Propinsi dan KPU
Kabupaten/Kota wajib menindaklanjuti Putusan tersebut.
D. Beberapa Permasalahan
a) Waktu Terjadinya Pelanggaran.
Laporan pelanggaran pemilu oleh peserta pemilu, pemantau dan pemilih
harus disampaikan kepada Bawaslu paling lama 3 hari sejak terjadinya
pelanggaran. Dalam konteks hukum pidana, waktu kejadian perkara (tempus delicti)
terhitung sejak suatu tindak pidana atau kejadian dilakukan oleh si
pelaku dan bukan pada saat selesainya suatu perbuatan atau timbulnya
dampak/akibat hukum.
Ketentuan ini secara sengaja telah
menutup celah bagi proses hukum terhadap pelanggaran pemilu yang tidak
terjadi di ruang terbuka. Sebagai contoh pemberian atau penerimaan dana
kampanye yang melebihi jumlah yang telah ditentukan tetapi dilakukan
melalui transfer rekening antar bank pada hari jumat malam. Karena
membutuhkan proses administrasi dan terkendala hari libur maka dana
baru diterima setelah 3 hari. Secara konseptual terjadinya pelanggaran
adalah hari jumat sehingga pelanggaran tidak dapat diproses.
b) Penanganan Laporan.
Peraturan Bawaslu No. 05 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pelaporan
Pelanggaran Pemilu DPR, DPD, dan DPRD tidak memberikan rincian lebih
jauh dibandingkan dengan apa yang telah diatur dalam UU Pemilu.
Beberapa format laporan sebagai lampiran dari Peraturan dimaksud lebih
menunjukkan bahwa Peraturan mengarah kepada petunjuk teknis dan pedoman
Bawaslu tentang penerimaan laporan pelanggaran pemilu. Bawaslu perlu
mengatur lebih detail tentang tata cara penanganan laporan/temuan
pelanggaran terkait dengan dokumen bukti indentitas,
informasi/keterangan yang cukup, jenis alat bukti minimal, materi
pelanggaran, dan standar laporan dan berkas yang akan diteruskan kepada
penyidik.
c) Tata Cara Penyelesaian Pelanggaran Administrasi.
Sampai saat ini KPU belum menerbitkan Peraturan tentang Tata Cara
Penyelesaian Pelanggaran Administrasi yang diamanatkan UU 10/2008.
Belum adanya aturan mengenai masalah ini akan mengakibatkan penanganan
pelanggaran administrasi yang berbeda antara kasus satu dengan yang
lain bergantung kepada kemauan KPU sehingga tidak memberikan kepastian
hukum dan dapat mencederai rasa keadilan.
Karena itu KPU harus segera membuat
aturan tersebut sesegera mungkin sebagai pedoman bagi semua pihak yang
terlibat dan berkepentingan dengan penyelenggaraan pemilu. Peraturan
tentang tata cara penyelesaian pelanggaran administrasi setidaknya
mengatur mengenai kategorisasi tingkat pelanggaran, pemanggilan pelaku,
pembuktian, adanya kesempatan pelaku untuk membela diri, jenis sanksi
yang dapat dijatuhkan berdasar tingkat pelanggaran atau kesalahan,
proses pelaksanaan sanksi, dan ketersediaan waktu yang cukup dan pasti.
d) Penegasan wewenang dan tanggung jawab penyelesaian pelanggaran administrasi.
Terjadi kerancuan pengaturan dalam ketentuan UU Pemilu antara pasal
248-251 dengan pasal 113 ayat (2), pasal 118 ayat (2), dan 123 ayat (2)
serta UU KPU pasal 78 ayat (1) huruf c. Beberapa ketentuan yang
bertolak belakang ini menyebabkan ketidakpastian proses penanganan
pelanggaran pemilu yang tidak mengandung unsur pidana.
Dikuatirkan KPU dan Bawaslu saling
melepaskan tanggung jawab untuk menangani pelanggaran tersebut. Perlu
ada kesepakatan antara KPU dan Bawaslu mengenai pembagian tugas dan
wewenang penyelesaian pelanggaran administrasi. Wewenang Panwaslu
Kabupaten/Kota untuk menangani pelanggaran administrasi pada tahap
kampanye apakah merupakan suatu pengecualian, atau disepakati untuk
dikesampingkan karena bertentangan dengan asas kepastian dan keadilan.
Kalau dianggap pengecualian, maka bagaimana tata cara penyelesaiannya.
e) Pengertian ”hari”.
UU Pemilu tidak meberikan definisi dan penjelasan mengenai “hari” untuk
menangani pelanggaran pemilu. Yang dimaksud apakah hanya hari kerja
atau termasuk hari libur dan yang diliburkan (cuti bersama). Akibatnya
terjadi perbedaan pemahaman antar instansi penegak hukum pemilu.
Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksaan telah bersepakat bahwa yang dimaksud
dengan hari adalah 1 x 24 jam (termasuk di dalamnya hari libur) tetapi
MA dan MK menegaskan bahwa hari adalah hari kerja. KPU, meski beberapa
tahapan penyelenggaraan pemilu juga dibatasi dengan hari, tidak
mengatur mengenai hal tersebut. Tidak adanya pengertian yang sama
mengenai masalah ini akan berpotensi mengganggu proses penanganan
pelanggaran khususnya menyangkut batas waktu (daluarsa).
f) Tindakan terhadap TNI.
UU 12/2003 pasal 132 dengan tegas menyatakan bahwa tindakan kepolisian
terhadap pejabat negara seperti anggota DPR, DPD, DPRD, dan PNS harus
dengan ijin khusus sebagaiman diatur dalam UU 13/1970 tidak berlaku.
Ketentuan ini tidak terdapat dalam UU 10/2008, sehingga keputusan
Kepolisian dan Kejaksaan untuk memeriksa anggota legislatif dan PNS
tanpa ijin tersebut memiliki resiko hukum tersendiri. Selain itu, UU
Pemilu juga tidak mengatur keterlibatan POM TNI untuk memeriksa kasus
yang menyangkut anggota TNI sementara penyidik Kepolisian merasa tidak
memiliki wewenang untuk memeriksa anggota TNI.
g) Gakkumdu. Pembuatan
nota kesepahaman antara Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksaan dan
kesepakatan pembentukan Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakumdu) belum
menjawab kebutuhan terhadap kecepatan penanganan perkara. Pasal 12 MOU
menyangkut proses pengembalian berkas perkara dari PU kepada Penyidik
untuk diperbaiki dimungkinkan terjadi 2 kali masing-masing 3 hari.
Kesepakatan ini dapat dianggap bertentangan ketentuan pasal 253 UU
Pemilu yang memberikan kesempatan pengembalian/perbaikan berkas dari PU
ke Penyidik hanya satu kali (3 hari). Pengulangan ini akan
mengakibatkan perkara yang sampai ke PU telah melampaui tenggat waktu
dari yang telah ditentukan dalam UU Pemilu.
h) Banding. Proses
penanganan banding atas putusan PN dilakukan dalam waktu 7 hari yang
terhitung “sejak permohonan banding diterima”. Sementara proses
pelimpahan berkas perkara banding dari PN ke PT dapat dilakukan paling
lama 3 hari yang dihitung sejak “permohonan banding diterima”. Adanya
titik hitung yang sama untuk dua persoalan yang berkelanjutan
mengakibatkan waktu pemeriksaan di tingkat banding berkurang menjadi 4
hari. Dengan pemeriksaan yang sangat singkat dikhawatirkan PT tidak
cukup waktu untuk menangani perkara.
i) Jumlah aparat.
Khusus untuk menangani perkara pemilu Kejaksaan telah menugaskan 2
orang jaksa sementara PN dan PT harus menyediakan hakim khusus 3 – 5
orang sebagaimana diatur dalam Perma No. 03 tahun 2008 dan SEMA
07/A/2008. Jumlah aparat tersebut dapat menyebabkan proses penanganan
perkara terbengkalai apabila terjadi penumpukan perkara pada tahapan
tertentu karena batasan waktu yang singkat dalam penanganannya termasuk
apabila pelanggaran terjadi di wilayah yang memiliki kendala geografis.
j) Jenis Pidana dan Hukum Acara Pemeriksaan.
KUHP membedakan tindak pidana sebagai pelanggaran (tindak pidana yang
ancaman hukumannya kurang dari 12 bulan ) dan kejahatan (ancaman
hukumannya 12 bulan ke atas).
Dalam KUHAP pelanggaran menggunakan
hukum acara singkat dan kejahatan dengan hukum acara biasa. tetapi UU
10/2008 tidak membedakannya. Tidak ada penjelasan acara apa yang akan
digunakan untuk mengadili, apakah pelimpahan dengan menggunakan acara
pemeriksaan singkat atau dengan pemeriksaan biasa. Karena menyangkut
tanggung jawab dari perkara inklusif perkara dan barang bukti. Apabila
acara pemeriksaan singkat maka meski berkas perkara telah dilimpahkan
tetapi tanggungjawab tersangka tetap ada pada jaksa sampai proses
persidangan. Tetapi apabila menggunakan acara pemeriksaan biasa, maka
sejak pelimpahan berkas tanggung jawab terhadap barang bukti dan
tersangka menjadi tanggung jawab pengadilan.
Selain itu sanksi pidana pemilu
berbentuk kumulatif dengan rentang perbedaan yang cukup tinggi sehingga
dapat memunculkan disparitas putusan.
k) Pelaksanaan Putusan.
UU memerintahkan 3 hari sejak putusan PN/PT dijatuhkan maka harus
segera dilaksanakan oleh jaksa selaku eksekutor. Permasalahannya untuk
melakukan eksekusi mengharuskan jaksa memperoleh salinan putusan dari
pegadilan. Kalau dalam waktu 3 hari salinan putusan belum disampaikan
apakah eksekusi tetap dapat dilaksanakan? Karena terhadap tersangka
jaksa tidak dapat melakukan penahanan seperti pasal 21 KUHAP. Selain
itu perlu juga ditegaskan mengenai bentuk salinan putusan dimaksud,
apakah salinan putusan yang diketik, kutipan atau petikan putusan?
l) Sengketa Putusan KPU.
UU KPU dan UU Pemilu tidak menegaskan bahwa Keputusan KPU bersifat
final dan mengikat. Padahal Keputusan KPU berpotensi menimbulkan
sengketa. Namun begitu UU juga tidak mengatur mekanisme untuk
menyelesaikan sengketa tersebut. Sementara mekanisme gugatan melalui
PTUN sulit dilakukan. Pasal 2 huruf g UU PTUN (UU 5/1986 yang telah
dirubah dengan UU No. 9/2004) menegaskan ”tidak termasuk ke dalam
pengertian Keputusuan TUN adalah Keputusan KPU baik di Pusat maupun di
daerah mengenai hasil pemilu”. Sekalipun yang dicantumkan secara
eksplisit dalam ketentuan pasal tersebut adalah mengenai hasil pemilu,
tetapi SEMA No. 8/2005 tentang Petunjuk Teknis Sengketa Pilkada
mengartikan hasil pemilu ”meliputi juga keputusan-keputusan lain yang
terkait dengan pemilu”. Selain itu, dalam berbagai Yurisprudensi MA,
telah digariskan bahwa keputusan yang berkaitan dan termasuk dalam
ruang lingkup politik dalam kasus pemilihan tidak menjadi kewenangan
PTUN untuk memeriksa dan mengadilinya. Untuk mengisi kekosongan hukum
dan menghindari penafsiran menyimpang tersebut maka SEMA No. 8/2005
sebaiknya dicabut.
Alternatif Penyelesaian Sengketa Pemilu
Alternatif (I): Gugatan, permintaan pihak yang merasa dirugikan kepada PTUN untuk membatalkan suatu Keputusan.
Alternatif (II): Konsiliasi, mempertemukan pihak-pihak yg bersengketa untuk mencapai suatu kesepakatan.
Alternatif (III): Mediasi, memberi tawaran alternatif kepada pihak-pihak yang bersengketa tetapi tidak mengikat.
Alternatif (IV): Arbitrase, pembuatan satu keputusan untuk menyelesaikan persengketaan yang harus dipatuhi oleh pihak-pihak yang bersengketa.
E. Rekomendasi
Secara umum UU Pemilu telah memberikan
pedoman untuk menyelesaikan pelanggaran yang terjadi. Pengaturan
penyelesaian pelanggaran pemilu dengan batasan waktu yang singkat
bertujuan untuk mendorong penyelesaian kasus yang disesuaikan dengan
tahapan pelaksanaan pemilu sehingga ada jaminan bahwa pemilu
diselenggarakan secara bersih. Persoalannya beberapa ketentuan tidak
cukup mampu untuk menindak terjadinya pelanggaran pemilu apalagi
mencegahnya. Hal ini karena ketentuan UU Pemilu belum lengkap,
multitafsir dan beberapa diantaranya kontradiksi.
Upaya mengatasi permasalahan tersebut
dapat dilakukan melalui pembuatan peraturan tertentu sebagaimana
diamanatkan UU Pemilu, kesepakatan bersama antara KPU – Bawaslu dan
lembaga penegak hukum mengenai tata cara penanganan pelanggaran, serta
meningkatkan kapasitas aparat di masing-masing lembaga mengenai aturan
perundang-undangan pemilu. Penanganan pelanggaran secara jujur dan adil
merupakan bukti adanya perlindungan kedaulatan rakyat dari
tindakan-tindakan yang dapat mencederai proses dan hasil pemilu. Adalah
kewajiban bagi pengawas, penyelenggara dan aparat penegak hukum untuk
memastikan bahwa semua pelanggaran pemilu yang terjadi dapat
diselesaikan secara adil dan konsisten.
Sumber: www.reformasihukum.org/file/kajian/PelanggaranPemilu.rtf