Assalamu'alaikum,,, Salam Hormat

Terima kasih atas kunjungan anda ke blog saya. Semoga bermanfaat. Semua tulisan ini hasil saya pribadi, atau diambil dari tulisan lain yang tercantum pada rujukannya. Bila mengutip baik secara langsung maupun tidak, sebagian atau keseluruhan, diharapkan Mencantumkan sumber tulisan dan penulisnya pada daftar pustaka/catatan kaki sebagai bahan rujukannya.
atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih

Kamis, 20 Oktober 2011

Peristiwa Madiun bag. 2


Kabinet Hatta Dan Penyingkiran Golongan Kiri.
  
26 Januari 1948 terbentuklah Front Demokrasi Rakyat (FDR), yang terdiri dari PKI, Partai Sosialis, PBI, Pesindo dan SOBSI. Amir Sjarifoeddin terpilih menjadi salah seorang pimpinannya. FDR menuntut kabinet presidentil Hatta dirobah menjadi kabinet parlementer., menentang program “rasionalisasi dan rekonstruksi” Angkatan Bersenjata. FDR tetap berusaha menggalang persatuan nasional.

12 Februari 1948, Soetan Sjahrir dan golongannya memisahkan diri dari Partai Sosialis, keluar dari “Sayap Kiri”dan mendirikan Partai Sosialis Indonesia (PSI) Dalam Peraturan Dasarnya fasal 1 tercantum:   Asas-tujuan: “PSI berdasarkan faham sosialis yang disandarkan pada ajaran ilmu pengetahuan Marx-Engels, menuju masyarakat sosialis yang berdasarkan kerakyatan”. PSI menentang diktatur proletariat yang dipraktekkan di URSS dan negara-negara sosialis lainnya, menentang sistim kenegaraan URSS.. Sosialisme kerakyatan yang dimaksudkan PSI adalah “sosialisme yang menjunjung tinggi derajat kemanusiaan, dengan mengakui dan menjunjung persamaan derajat tiap manusia orang seorang.

Penghargaan pada pribadi orang seorang didalam pikiran serta didalam pelaksanaan sosialisme. Penghargaan pribadi manusia serta pandangan yang demikian ini, yang sebenarnya menjadi inti ajaran dari segala pencipta sosialisme yang besar-besar, seperti Marx-Engles dsb. Sosialisme semestinya tiadalah lain daripada penyempurnaan dari segala cita-cita kerakyatan, yaitu kemerdekaan serta kedewasaan kemanusiaan yang sebenarnya. Pada mana seharusnya tiap manusia sungguh merdeka, untuk menyumbangkan kehidupannya serta segala kesanggupan yang ada pada dirinya masing-masing. Sosialisme mestilah berhasil menciptakan keadaan pada mana hal-hal jasmani tiada lagi menjadi halangan untuk kemajuan serta perkembangan segala kesanggupan tiap manusia kepada kebajikan dan keindahan"”

Ditinjau dari bidang teori, pandangan ini telah mencampakkan ajaran klas dan perjuangan klas yang merupakan salah satu batu alas ajaran-ajaran Marx dan Engels, telah menempatkan pribadi perseorangan sebagai yang utama dan bukannya kolektivitas sebagai yang utama dalam membangun sosialisme. Ini jelas bukan ajaran Marxisme, tapi adalah liberalisme, yang menjadi “way of life” Amerika. Di bidang politik, PSI bukannya menempatkan URSS sebagai sahabat, tapi menyamakannya dengan Amerika Serikat sebagai kubu yang menjadi lawannya. Bahkan menentang diktatur proletariat yang dipraktekkan di URSS. Dan dalam politik praktis jadi bersahabat dengan Amerika Serikat, memusuhi URSS. Dengan demikian, PSI telah menempatkan diri sebagai unsur yang dibutuhkan Amerika Serikat dalam melaksanakan “the policy of containment”, membendung meluasnya pengaruh URSS, membendung komunisme di Indonesia,  melancarkan  PERANG DINGIN  di  Asia.

Begitu terbentuk, PSI menyatakan mendukung kabinet Hatta, dan dengan keras menuduh Partai Sosialis “telah menyeleweng dari prinsip-prisnip semula”, “tidak mempunyai pimpinan yang stabil”, “telah memecah belah kekuatan nasional dan mengambil posisi yang tidak tepat terhadap kabinet Hatta”..Terjadinya perpecahan dalam Partai Sosialis, tidak terlepas dari pengaruh menajamnya kontradiksi dalam gerakan sosialisme internasional.

PERANG DINGIN telah mempertajamnya, hingga terjadi perpecahan dalam kerjasama antara kekuatan komunis dan sosialis di Eropa. Barat Bertentangan dengan Partai-Partai Komunis, Partai-Partai sosialis Eropa Barat mengambil sikap mendukung Plan Marshall yang dilancarkan Amerika Serikat untuk membendung pengaruh URSS, membendung komunisme di Eropa. Kaum sosial demokrat, yaitu Partai-Partai sosialis mengedepankan semboyan “jalan ketiga”, yaitu tidak ikut URSS dan tidak ikut Amerika.

Demikian tajamnya pertentangan ini sampai merasuk ke dalam Kominform, yaitu badan kerjasama Partai-Partai Komunis dan Partai Pekerja Eropa Timur, URSS, Perancis dan Itali di bidang informasi. Liga Komunis Yugoslavia dipecat dari Kominform. Yugoslavia menempuh jalan tidak ikut URSS dan tidak ikut Amerika. Dan Yugoslavia tidak menentang Plan Marshall, malah mendapat bantuan dari Amerika Serikat. Hal yang serupa terjadi di Indonesia dengan lahirnya PSI dibawah pimpinan Sjahrir. Semenjak kabinet pertama RI, dalam pemerintah terdapat kerjasama Menteri-Menteri komunis dan sosialis sampai kabinet Amir Sjarifoeddin. Kerjasama ini berobah dan memuncak jadi pecah semenjak lahirnya PSI. Bertolak belakang dengan politik PKI, politik “netral” atau “jalan ketiga” yang ditempuh PSI adalah sama dengan yang ditempuh kaum sosial demokrat Eropa Barat yang dalam prakteknya adalah memusuhi URSS dan bersahabat dengan Amerika Serikat. Dengan demikian, Amerika Serikat berhasil mendapatkan kekuatan lagi untuk melancarkan “the policy of containment”nya di Indonesia. Ini mempunyai jengkauan jauh ke depan untuk masa yang panjang. Kaum sosialis kanan menjadi salah satu tiang penyangga kekuatan komunisto-fobi dan pengaruh Amerika di Indonesia.

“11 Maret 1948 Menteri Seberang Lautan Belanda Jonkman sudah menyarankan kepada Letnan Gubernur Jenderal Van Mook, supaya masalah membasmi komunisme dikemukakan kepada pimpinan Republik Indonesia untuk mendapatkan dukungan dari wakil Amerika Serikat dalam KTN..” 4). Pada waktu itu, Van Mook menjawab, bahwa pengaruh komunis di  Republik belumlah cukup kuat untuk membenarkan pembicaraan menyangkut hal ini.. Dengan terjadinya persetujuan Suripno mengenai pengakuan URSS atas Republik Indonesia, maka hubungan antara Republik Indonesia dengan kekuasaan negara komunis sudah menjadi lebih menonjol.

Dalam keadaan Van Mook belum diizinkan Pemerintah Belanda untuk menjalankan “aksi polisionil” yang kedua – karena ini menyangkut Pemilihan Umum di Belanda dalam bulan Juli --, maka Van Mook memutuskan, bahwa perundingan selanjutnya dibawah pimpinan KTN sudah tak berguna, dan 3 Juni dia menyatakan kepada KTN bahwa akan menempuh berunding langsung dengan Perdana Menteri Hatta.
4 Juni 1948, Van Mook menulis surat kepada Hatta, mengundangnya untuk melakukan perundingan langsung. Hatta menjawab 8 Juni 1948, menyatakan bersedia bertemu dengan Van Mook  secara informal, tapi pembicaraan dibawah pimpinan KTN tidak boleh dihapuskan.. Berlangsung tiga kali pertemuan antara Van Mook dan Hatta.

Dalam pertemuan yang berlangsung tanggal 16-17 dan 23 Juni 1948, Van Mook meminta agar Hatta menjauhkan pemerintahnya dari persetujuan dengan URSS yang telah dicapai oleh Suripno.. Hatta menjawab, bahwa pemerintahnya tidak akan meratifikasi peretujuan ini, tapi tak akan mengumumkannya secara terbuka, karena takut akan mendapat kesan tidak baik dari Uni Soviet dan pemerintah-pemerintah komunis lainnya.

Dalam bulan Agustus 1948 tersebar berita tentang berkobarnya pemberontakan bersenjata komunis di Malaya. Pemerintah Inggeris dan Amerika berbeda pandangan dalam hal menghadapi masalah ancaman komunis. Inggeris sudah membayangkan akan terjadinya “perebutan kekuasaan oleh komunis” di Indonesia.
“Pejabat Kementerian Luarnegeri Inggeris seperti Dening  mendesak Pemerintah Belanda supaya mencapai persetujuan dengan Pemerintah Hatta, sebelum terjadinya perebutan kekuasaan oleh kaum komunis. Pemerintah RI yang dipimpin komunis pasti akan membatalkan Persetujuan-Persetujuan Linggarjati dan Renville. Jika ini terjadi, Pemerintah Belanda  supaya menjalankan aksi militer terhadap Republik Indonesia. Sebaliknya, jika tercapai persetujuan dengan  Pemerintah Hatta sebelum kaum komunis merebut kekuasaan, ini akan menyebabkan Pemerintah Belanda berdiri di fihak Pemerintah Republik melawan kaum komunis.”.
Dimata penguasa Inggeris, ancaman perebutan kekuasaan oleh kaum komunis adalah satu kesempatan untuk mendessak Belanda buat mencapai persetujuan dengan Indonesia.

“Dalam pada itu, bagi Amerika Serikat, obat mujarab bagi penyelesaian situasi Indonesia adalah memperkuat tangan Hatta yang moderat melawan kaum komunis”.8). Di kalangan penguasa Inggeris dan Amerika telah mateng fikiran tentang perebutan kekuasaan oleh kaum komunis di Indonesia, sebelum terjadinya “Peristiwa Madiun”. Tangan-tangan merekalah yang mengendalikan perkembangan situasi, hingga menjadi kenyataan dalam berita  tentang apa yang dikatakan “pemberontakan komunis di Madiun” itu. Inilah realisasi “the policy of containment” di Indonesia.

20 Mei 1948, FDR bersama Masjumi, dan PNI memperingati hari “Kebangunan Nasional”. Kegiatan ini  diteruskan dengan usaha untuk menyusun bersama suatu “Program Nasional”. Penyusunan Program Nasional dilakukan oleh sebuah Panitia yang terdiri dari: Mr. A.M.Tambunan (Parkindo), Sujono Hadinoto (PNI), Amir Sjarifoedin (Partai Sosialis), D.N.Aidit (PKI), Setiajit (PBI) M.Saleh Suhaidi (Masjumi) dan Maruto Nitimihardjo (Partai Rakyat). Mr. A.M.Tambunan menjadi Ketuanya. Amir Sjarifoeddin memegang peranan penting dalam rapat-rapat Panitia. Amir Sjarifoeddin menekankan agar dasar negara diambil saja “Pancasila”, “para petani harus memiliki tanah sendiri, oleh karena itu, setiap petani yang tidak memiliki tanah harus diberikan tanah kepadanya”.

Tugas Panitia selesai tanggal 23 Juni 1948. 27 Juni 1948 diadakan pertemuan dengan Pemerintah dan wakil partai-partai untuk membicarakan Program Nasional yang telah dihasilkan Panitia. Pemerintah menerima baik rumusan Program Nasional. Dalam Program Nasional antara lain dirumuskan:”industri-industri vital harus dinasionalisasi tanpa ganti rugi, harus disusun undang-undang agraria yang baru dengan menekankan pemilikan perseorangan atas tanah tanpa sisa-sisa kekuasaan feodal”.

10 Juni 1948, Critchley, Australia, dan Du Bois, pengganti Frank Graham, wakil Amerika, mengajukan suatu “usul kompromi” untuk mendamaikan Republik dengan Belanda, dimana ditetapkan antara lain, bahwa akan dibentuk suatu pemerintah federal sementara, bahwa Angkatan Perang harus dikurangi, bahwa Republik akan menyerahkan kedaulatannya kepada pemerintah federal sementara dll.
16 Juni 1948, dilangsungkan pertemuan informil antara Hatta dan Van Mook.
17 Juni 1948, Pemerintah Hatta mengeluarkan komunike yang menyatakan bahwa “usul Australia-Amerika dianggap oleh pemerintah Republik sebagai suatu hal yang baik”

Juli 1948, Sekretariat Pusat FDR mengeluarkan sebuah rencana kampanye, memberikan petunjuk bagaimana kampanye untuk terbentuknya suatu pemerintah front nasional dijalankan dengan sebaik-baiknya. Rencana kampanye yang dikirimkan ke daerah-daerah dengan melalui pos itu, kemudian dipalsu, antara lain oleh harian MURBA, Solo, dimana ditambahkan seolah-olah rencana kampanye itu memuat soal “penggedoran, pencurian, pembunuhan, dll.” Pemalsuan ini, baik oleh Sekretariat FDR Surakarta maupun oleh sekretariat pusat FDR diadukan sebagai perkara kepada polisi, untuk diusut dan diadili. Tetapi pihak kepolisian maupun kejaksaan tidak mengurus pengaduan itu. Dokumen  FDR ini juga diumumkan dalam semua harian di Jogjakarta, Juli 1948.

2 Juli 1948, Komandan Divisi IV, Divisi Panembahan Senopati, kolonel Sutarto, dibunuh dengan tembakan pistol.
“…Amerika berkali-kali menyebut kolonel Sutarto dan jelas menamakannya sebagai musuh No. 1”
Sejalan dengan ofensif PERANG DINGIN yang dikobarkan Amerika Serikat di Eropa dengan Plan Marshall, persiapan-persiapan pembentukan Pakta Militer NATO, membangun “jembatan udara” ke Berlin Barat, Amerika Serikat memperkuat petugasnya untuk menghadapi perkembangan Indonesia dalam rangka melaksanakan “the policy of containment”.di Asia.. Amerika Serikat menngganti wakilnya dalam KTN dengan  Merle H.Cochran. Disamping itu, G.Hopkins (penasihat politik luar negeri dari Presiden Truman),  John Coast, Campbell, dan 5 “diplomat” lainnya, yang bertugas melaksanakan “the policy of containment” di Asia Tenggara, dipindahkan dari New Delhi dan Bangkok ke Jogjakarta. “Dalam perjalanannya ke Indonesia, Merle H.Cochran mampir di Belanda, mengadakan pertemuan dengan Perdana Menteri Beel dan Menteri Luarnegeri Van Boetzelaer serta Menteri Urusan Seberang Lautan, Jonkman. Dalam pertemuan ini dibicarakan masalah  bahaya komunis dan aksi-aksi subversi”.
Amerika khawatir dan telah mengambil langkah-langkah untuk mengatasi akan meluasnya pengaruh URSS ke Indonesia.

Sesudah menghadiri Festival Pemuda dan Pelajar Sedunia,  memenuhi instruksi Presiden Sukarno dalam bulan Januari 1948, Suripno yang mendapat mandat, melakukan perundingan-perundingan di Praha mengenai pengakuan atas Republik Indonesia. Perundingan juga dilakukan dengan wakil Pemerintah URSS. Tercapai persetujuan, bahwa URSS  mengakui Republik Indonesia dan akan membuka hubungan Konsulat. Pengakuan ini tidak diratifikasi oleh Pemerintah Amir Sjarifoeddin, karena waktu itu berlangsung perundingan-perundingan dengan Belanda yang menyangkut masalah pengakuan de jure Indonesia yang dipersengketakan.
Dalam Persetujuan Renville terdapat formulasi, yang menurut interpretasi Belanda, Republik Indonesia dilarang melakukan hubungan luarnegeri dengan bebas.

26 Mei 1948, Pemerintah URSS mengumumkan, bahwa telah meratifikasi persetujuan pengakuan atas Republik Indonesia dan akan membuka hubungan Konsulat. Bagi Pemerintah Hatta timbul masalah: membuka hubungan diplomatik dengan URSS atau tidak. Dengan mengakui, bahwa Republik Indonesia berada di daerah pengaruh Amerika Serikat, secara resmi, politik luarnegeri Hatta adalah menempatkan URSS dan Amerika Serikat dalam kedudukan setara, dan tidak memihak salah satu. Dalam paktek, Amerika telah menempatkan perwakilannya, bahkan campur tangan langsung menengahi pertikaian Indonesia Belanda. Tanpa mengambil keputusan mengenai pembukaan hubungan diplomatik dengan URSS, Hatta memanggil kembali Suripno pulang. 
Pada pertengahan Februari 1948, Pemerintah Hatta mengeluarkan rencana Rasionalisasi dan Rekonstruksi angkatan perang, yang pada hakekatnya dan prakteknya ditujukan untuk:
1.    Menyingkirkan unsur-unsur revolusioner dan progresif dalam kalangan militer.
2.    Menempatkan sebanyak-banyaknya perwira-perwira yang dapat diterima oleh Belanda, supaya dalam perundingan mengenai militer dengan Belanda tidak mengalami kesulitan dan memudahkan pemasukan tentara federal kedalam Angkatan Perang RIS.

Pertengahan Februari 1948, kolonel A.H.Nasution datang di Jogya sebagai komandan Divisi Siliwangi yang hijrah dari Jawa Barat. Dengan datangnya pasukan hijrah ke daerah pusat pemerintah Republik, maka terjadi perobahan imbangan kekuatan antara pasukan yang pro dan kontra rasionalisasi yang direncanakan Pemerintah Hatta.

Siliwangi menjadi pasukan elite yang mendukung pelaksanaan program rasionalisasi. Dan Nasution datang dengan membawa konsep struktur baru kekuatan bersenjata Indonesia dengan mengurangi kekuatan bersenjata teritorial menjadi tiga divisi di pusat daerah Republik Indonesia, ditambah dengan satu kesatuan cadangan yang mobil, termasuk divisi Siliwangi. Kekuatan bersenjata yang sebelumnya dipersenjatai dalam perbandingan satu senjata untuk tiga orang, dirobah menjadi tiap orang memegang senjata hingga mampu memiliki daya tempur offensif. Dengan demikian, TNI Masyarakat – kelanjutan dari Badan Perjuangan – harus didemobilisasi. Demikian pula pasukan-pasukan reguler yang tidak memenuhi syarat-syarat disiplin militer harus didemobilisasi. Reorganisasi ini menimbulkan pertentangan tajam, karena menyangkut perpindahan dan penggantian kedudukan kepemimpinan dalam pasukan.

Pergesekan terjadi di kalangan para perwira yang tergabung dalam kelompok-kelompok pasukan bersenjata. Karena divisi Siliwangi mendapat kedudukan yang istimewa, yaitu status elite dari Pemerintah Pusat, maka timbullah iri hati antar pasukan. Banyak yang menggerutu, merasakan kesatuan-kesatuan yang berasal dari Jawa dianggap sebagai pasukan kelas dua.

Ini adalah suatu langkah untuk melaksanakan rencana bersama dengan Belanda, buat pembentukan satu Tentara Federal yang baru.  4 Mei 1948 diumumkan satu dekrit Presiden mengenai rencana ini. Timbullah protes keras dari kalangan kekuatan bersenjata. 30 Komandan batalyon menemui Presiden pada tanggal 1 Juni 1948 untuk menuntut pencabutan dekrit ini. Sejumlah Panglima Divisi, terutama kolonel Sungkono dari Kediri dan kolonel Sutarto dari Surakarta menolak untuk menyerahkan kedudukannya.dalam rangka rasionalisasi. Rasionalisasi jadi bagaikan terbentur, karena Panglima Besar Sudirman mengeluarkan surat edaran kepada semua panglima, memerintahkan untuk menghentikan rasionalisasi, berhubung dengan meningkatnya ancaman dari fihak Belanda.

Amerika Serikat merasa kurang puas dengan program Rasionalisasi dan Rekonstruksi; karena dianggapnya terlalu lambat, dan dengan segera menempuh usaha yang kasar, sebagaimana yang sudah dilakukannya di Eropa, Tiongkok, Birma, India dan lain-lain, yaitu dengan aktif mencampuri secara langsung soal dalam negeri Indonesia. Pada tanggal 21 Juli 1948 diselenggarakanlah konferensi Sarangan., yaitu pertemuan antara dua orang Amerika, tuan Gerard Hopkins, penasehat urusan politik luarnegeri dari presiden Truman, dan Cochran, wakil Amerika pada Komisi Jasa-jasa Baik PBB dengan enam orang Indonesia: presiden Sukarno, Mohamad Hatta, Natsir, Sukiman, Sukamto dan Roem”.

Konferensi Sarangan yang rahasia itu telah menelorkan putusan yang bernama “Red  Drive Proposals” (Usul-Usul Pembasmian Kaum Merah). Dengan Kaum Merah tidak hanya dimaksudkan kaum komunis, tetapi semua aliran dan elemen yang anti-imperialis. Tentang biaya untuk menjalankan “Red Drive Proposals” yang sudah disetujui kedua belah fihak itu, Pemerintah Indonesia menerima uang dari State Department (Kementerian Luarnegeri Amerika Serikat) sebanyak 56.000.000 dollar, yang diterima langsung dari Biro Konsultasi Amerika Serikat di Bangkok. Singkatnya, “Red Drive Proposals” adalah rencana yang diajukan kepada Pemerintah RI oleh petugas Pemerintah Amerika Serikat untuk membasmi gerakan demokrasi rakyat anti-imperialis. 18). Semenjak itu, ajakan-ajakan PKI untuk bekerjasama dengan Masjumi selalu ditolak. Dan Masjumi secara terbuka mengumumkan politik anti-komunisnya, serta dengan giat melancarkan propaganda anti-komunis.

“Red Drive Proposals” dipraktekkan dengan bermacam-macam provokasi. Tiap-tiap kejadian yang buruk dilemparkan kepada FDR atau kepada PKI. Secara provokatif gedung-gedung Pesindo, Partai Sosialis dan Sarbupri (Sarikat Buruh Perkebunan Republik Indonesia) di Sragen, Nganjuk, Tulungagung diduduki secara paksa oleh tentara. Pemogokan kaum buruh Delanggu yang menuntut sedikit perbaikan nasib ditindas dengan kekuatan senjata. Kesatuan Mobrig Bojonegoro yang dipimpin oleh Asmaun, anggota Partai Sosialis, dilucuti dan Asmaunnya sendiri dipindah ke Jogjakarta. Pemerintah mengirim R.Sukamto, Kepala Polisi Republik Indonesia ke Amerika. Untuk keperluan melakukan “pembersihan”, pihak pimpinan kepolisian minta bantuan Panglima Besar Sudirman, tapi ditolak dan oleh beliau diminta supaya pembersihan bersifat umum dan jangan hanya ditujukan kepada orang-orang kiri saja.

Serikat-Serikat buruh dipecah-belah dengan didirikannya Serikat Buruh Islam Indonesia, Serikat Buruh Nasional, Serikat Buruh Merdeka, Serikat Buruh Merah-Putih. Dewan Pimpinan Pemuda daerah-daerah dengan sengaja dikacau oleh “Gerakan Membangun dan Patuh Rakyat” yang dibiayai Pemerintah dan dipimpin oleh Pamong Praja. “Gerakan Membangun dan Patuh Rakyat” ini persis mencontoh “Gerakan Hidup Baru” di zaman Jepang.

Program Rasionalisasi dan Rekonstruksi Pemerintah Hatta mendapat perlawanan dimana-mana. Di Jawa Timur 20.000 pemuda berdemonstrasi menentang rasionalisasi yang didasarkan penetapan Presiden No 13 yang tidak adil. Juga di Solo prajurit-prajurit dari kesatuan Panembahan Senopati (Divisi IV) sebanyak 5.000 orang pada peringatan Hari Kebangunan Nasional 20 Mei 1948 mengadakan demonstrasi menolak rencana Rasionalisasi dan Rekonstruksi.

Pemalsuan dokumen FDR berlangsung untuk memfitnah, bahwa FDR dan PKI mempersiapkan pemberontakan. 7 April 1948, suratkabar Murba menyiarkan dokumen palsu FDR, yang dinyatakan sebagai dokumen rahasia FDR mengenai usaha untuk menyabot Republik Indonesia. Dalam dokumen palsu FDR yang disebarkan itu dinyatakan bahwa: akan dilakukan aksi-aksi:
a.    Rapat-rapat besar dan tertutup dengan mengadakan berbagai demonstrasi,
b.    Mengadakan pemogokan-pemogokan,
c.    Mengadakan kekacauan dengan menganjurkan perampokan dan penculikan, 
d.    Perampasan kekuasaan”.

Dokumen palsu inilah yang dijadikan dasar alasan Perdana Menteri Hatta, dalam pedatonya di depan Badan Pekerja KNIP tanggal 20 September 1948,  menyatakan “PKI merebut kekuasaan di Madiun”. Sekretariat Pusat FDR sudah memberi bantahan dengan pengumuman di beberapa suratkabar di Jogja ketika mengetahui adanya dokumen palsu FDR yang disebarkan. Juga telah mengadukan masalah ini kepada fihak kepolisian di Solo. Program FDR telah disebarkan oleh Sekretariat Pusat FDR kepada FDR-FDR Daerah melalui pos, jadi tidak ada sifat kerahasiaannya.

3 Juli 1948 berlangsung teror pembunuhan terhadap kolonel Sutarto, Komandan Divisi IV. Sutarto adalah pengikut setia dari gerakan demokrasi rakyat, dan bersimpati sekali terhadap PKI. Tidaklah mungkin, FDR menteror dan membunuh seorang perwira penting yang memihak FDR. Sutarto adalah perwira yang dengan tegas menentang program Rasionalisasi dan Rekonstruksi. Sikapnya ini sangat merugikan pelaksanaan Program kabinet Hatta.

Pertentangan di kalangan kekuatan bersenjata kian menajam, sebagai akibat rasionalisasi program Pemerntah Hatta. Divisi Siliwangi menjadi kekuatan inti dalam melaksanakan program rasionalisasi itu. Awal Juni 1948, dengan mendapat restu Pemerintah Hatta, atas inisiatif Partai Buruh Merdeka, dan sejumlah organisasi yang pro Tan Malaka, didirikanlah organisasi politk Gerakan Rakyat Revolusioner (GRR). GRR secara terbuka menentang FDR. Tak lama sesudah pembentukan GRR, Pemerintah Hatta membebaskan para tahanan Peristiwa Juli 1946, -- Peristiwa penculikan Perdana Menteri Sjahrir dan Amir--. 

Pada kesempatan peringatan ultah Hari Kemerdekaan, 17-8-1948, Pemerintah Hatta memberikan amnesti umum bagi semua yang dipenjarakan karena Peristiwa 3 Juli 1946. Maka dibebaskanlah tokoh-tokoh Front Perdjuangan: Muhammad Yamin, jenderal mayor Sudarsono, Achmad Soebardjo,, Iwa Kusumasumantri, Budiarto Martoatmodjo dll. 20). Disamping kekuatan Majumi dan PSI, kekuatan anti-komunis, anti-PKI, anti-FDR  bertambah lagi dengan kekuatan pendukung golongan Tan Malaka.

5 Agustus 1948, Dr Muwardi dari Solo, dari Barisan Banteng dan Gerakan Revolusi Rakyat (GRR) dipanggil Pemerintah untuk didengar keterangannya mengenai FDR, terutama mengenai kekuatan FDR.”Dr Muwardi mendapat biaya 3 juta ORI (Uang Republik Indonesia) untuk memancing suatu insiden militer, supaya kemudian pemerintah mempunyai alasan legal bertindak”.

(bersambung bagian 3…….)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar