Dipublikasikan di situs Indomarxist pada tanggal 7 Mei 2000.
“PERISTIWA MADIUN”, PKI KORBAN PERDANA
PERANG DINGIN.
Amerika Serikat Dan Konflik Indonesia-Belanda
Belanda, Inggeris, Perancis dan Amerika Serikat berusaha keras menguasai Asia Tenggara sehabis Perang Dunia kedua. Tapi kebangkitan kekuatan rakyat, dan munculnya Partai-Partai Komunis di Indocina, Malaya, Birma, Indonesia dan Filipina merupakan tantangan berbahaya bagi kekuasaan pembela kolonialisme.
Belanda, Inggeris, Perancis dan Amerika Serikat berusaha keras menguasai Asia Tenggara sehabis Perang Dunia kedua. Tapi kebangkitan kekuatan rakyat, dan munculnya Partai-Partai Komunis di Indocina, Malaya, Birma, Indonesia dan Filipina merupakan tantangan berbahaya bagi kekuasaan pembela kolonialisme.
Amerika dengan tegas menempuh politik “the policy of containment” – politik pembendungan komunisme --. Truman dan Churchill memprakarsai politik anti-komunis ini, seusai Perang Dunia.
Di Asia, Amerika mula-mula mengambil sikap bekerjasama dengan dan membantu Belanda, Perancis dan Inggeris untuk mempertahankan kolonialisme, mencegah munculnya pemerintah nasional. Pemerintah-pemerintah nasional yang muncul dari perlawanan melawan kolonialisme, tentu menempuh politik anti kolonialisme, anti imperialisme. Ini memberi jalan bagi meluasnya pengaruh komunisme. Amerika Serikat tak mengingini hal ini..
Peranan Amerika Serikat jadi meningkat dalam pertarungan politik di Indonesia menghadapi konflik bersenjata Indonesia lawan Belanda semenjak tahun-tahun pertama revolusi Agustus 1945. Dalam konflik ini, sikap Amerika Serikat sangat jelas memihak dan membantu Belanda. Peralatan dan senjata yang dipakai pasukan Belanda masih memasang tanda-tanda militer Amerika Serikat, seperti truk-truk, tank-tank, pesawat terbang. Bahkan sampai bulan Januari 1949, sejumlah anggota pasukan Brigade Marine Belanda memakai pakaian yang bertulisan “US Marine” di kantong baju mereka.
Amerika Serikat juga memberi bantuan keuangan untuk berlangsungnya usaha Belanda menguasai kembali Indonesia. Sebuah laporan CIA bertanggal 14 November 1947 menyatakan: “Di Indonesia dan Indocina, para penduduk setempat sudah meraba, bahwa usaha-usaha Perancis dan Belanda untuk kembali berkuasa adalah berlangsung dengan bantuan Amerika Serikat. Keresahan penduduk akan bertambah dengan meningkatnya kemampuan Perancis dan Belanda di Asia Tenggara berkat pelaksanaan bantuan Plan Marshall”. “Pada akhir 1947, ketika perekonomian Belanda dan Perancis mulai pulih, pengaruh komunis di kedua negeri itu mulai menurun. Tapi pada waktu itu, kaum komunis akan mencapai kemenangan di Tiongkok, maka menghadapi perkembangan ini Amerika Serikat menjadi kian khawatir akan perluasan pengaruh komunisme di Asia – tidak saja di Jepang, tetapi juga daerah-daerah pemberontakan anti-kolonialis – terutama di Indonesia dan Vietnam. Maka Pemerintah Truman ketika itu mendukung kembalinya kekuasaan kolonial untuk menangkal meluasnya komunisme.”
Politik Amerika membantu kaum kolonial Belanda dan Perancis adalah dengan harapan: supaya kedua kekuasaan kolonial ini bisa menangkal perkembangan pengaruh komunisme. Politik ini berobah, setelah melihat adanya kemungkinan terbentuknya pemerintahan nasional yang anti komunis di Indonesia dan Vietnam.
Di Vietnam, Amerika jadi mendukung Pemerintah korup Vietnam Selatan. Amerika juga sudah memperhitungkan, bahwa Belanda tak akan berhasil menundukkan perlawanan anti-kolonial rakyat Indonesia. Yang penting bagi Amerika adalah: membantu lahirnya pemerintah yang anti-komunis. Dengan demikian, "the policy of containment" dilaksanakan dengan menggunakan kekuatan dalam negeri yang bersangkutan. Kaum komunis Vietnam dihadapkan pada kekuatan anti-komunis Vietnam. Demikian pula Indonesia.
Sesudah jatuhnya kabinet Sjahrir, 30 Juni 1947, Presiden Sukarno menugaskan team formatur yang terdiri dari Amir Sjarifoeddin (Partai Sosialis), A.K.Gani (PNI), Sukiman (Masjumi) dan Setiajit (PBI) untuk membentuk kabinet. Karena tuntutan Masjumi untuk menduduki kursi Perdana Menteri, Kementerian Dalam Negeri dan dua kursi Kementerian lainnya ditolak oleh para anggota team formatur, gagallah pembentukan kabinet. Maka mandat diserahkan kembali pada Presiden. Dan Presiden menunjuk lagi Amir Sjarifoeddin, A.K.Gani dan Setiajit untuk jadi team formatur. 3 Juli 1947 terbentuklah kabinet Amir yang pertama tanpa Masjumi, tapi mengikutkan PSII.
Amerika Serikat mencatat, bahwa walaupun Perdana Menteri Indonesia adalah Amir Sjarifoeddin yang komunis, dan sejumlah Menteri dalam kabinetnya terdapat tokoh-tokoh komunis, tapi di lain fihak terdapat oposisi berupa kekuatan anti-komunis yang sedang kian tumbuh di Indonesia. Partai Islam Masjumi dan golongan Sosialis dibawah pimpinan Soetan Sjahrir serta kekuatan yang dipimpin Tan Malaka adalah kekuatan-kekuatan yang tidak bersimpati dengan Uni Soviet, bahkan anti PKI. Dengan demikian, sudah ada syarat-syarat untuk menghadapkan kaum komunis Indonesia dengan kekuatan anti-komunis Indonesia sendiri. Amerika tinggal memainkan peranan memberi arah perkembangan situasi, yang mengabdi pada pelaksanaan “the policy of containment”.
Sebagai Partai Islam, Masjumi adalah sangat tegas sejak semula anti komunis, anti URSS, anti Marxisme, anti Leninisme, anti sosialisme dan pro Amerika Serikat. Masjumi menjadikan Islam, agama sebagai dasar untuk menentang komunisme. Dengan demikian, Amerika mendapatkan sekutu atau teman sehaluan di kalangan Islam dengan inti Masjumi dalam melaksanakan “the policy of containment”nya di Indonesia.
Sesungguhnya, Kabinet Amir merupakan kabinet koalisi nasional yang kuat, yang terdiri dari Partai Sosialis 6 kursi, PNI 7 kursi, PSII 3 kursi, Non Partai 5 kursi, PBI 4 kursi, Parkindo, PKRI, PKI, SOBSI, golongan pemuda dan golongan Tionghoa masing-masing 1 kursi.. Program politik luarnegeri kabinet Amir adalah:
a. Mempertahankan pengakuan de facto Negara Republik Indonesia,
b. Berusaha sekuat-kuatnya melaksanakan secara damai Persetujuan Linggarjati,
c. Berusaha agar Indonesia secepat mungkin harus ikut serta dalam persoalan hidup internasional sesuai dengan kepentingan kedudukannya dalam dunia.
Pemerintah Amir segera mengadakan kontak diplomatik dengan Belanda. Dalam penyelesaian pertikaian Indonesia-Belanda ini, Perdana Menteri Amir sangat percaya kepada bantuan Pemerintah Amerika Serikat. Dalam pedatonya 6 Juli 1947, dia menyerukan agar seluruh pengaruh Amerika dipergunakan untuk memelihara perdamaian di Indonesia. Kabinet Amir percaya, bahwa Amerika sendiri mempunyai kepentingan di Indonesia, yaitu Amerika menganggap keamanan di Indonesia sebagai faktor penting untuk stabilitas politik dan ekonomi dunia. Sesungguhnya, Amerika takut, kalau-kalau pengaruh komunis makin meluas di Asia Tenggara.
Dalam langkah-langkah diplomatik yang diambil Pemerintah Amir, telah diberikan konsesi yang sangat banyak kepada Belanda, kecuali dengan tegas menolak usul gendarmerie bersama. Sikap Pemerintah Amir menolak gendarmerie bersama ini didukung oleh Badan Pekerja KNIP. Dalam keadaan perundingan sedang masih berjalan, 21 Juli 1947 Belanda menggunakan kekuatan pasukannya yang dipersenjatai dengan bantuan Amerika, menyerang daerah Republik Indonesia, dari darat, laut dan udara. Pertempuran berkobar di semua front. Di Jakarta, Belanda menduduki Kantor-Kantor Republik Indonesia, menangkap anggota-anggota delegasi yang berunding dengan Belanda, yaitu wakil Perdana Menteri A.K.Gani, Menteri Muda Luarnegeri Tamzil, Walikota Jakarta Suwirjo, Sekretaris Kabinet Ali Budiardjo.
Indonesia dilanda perang kolonial, yang terkenal dengan agresi pertama Belanda terhadap Republik Indonesia. Menghadapi berlangsungnya pertempuran di Indonesia itu, di PBB, bulan Agustus 1947, Amerika Serikat mengusulkan pembentukan Komisi Tiga Negara (KTN) -- komisi jasa-jasa baik – sebagai perantara. Terbentuklah Komisi yang terdiri dari wakil-wakil Amerika Serikat, Australia dan Belgia. Indonesia memilih Australia, Belanda memilih Belgia dan Amerika yang menjadi Ketua Komisi dipilih oleh Australia dan Belgia. Yang jadi Ketua Komisi adalah Frank Porter Graham, yang sejak semula bersikap menekan pimpinan Republik Indonesia, agar memberi bermacam konsesi kepada Belanda. Dengan demikian, Amerika telah langsung memainkan peranan menentukan dalam penyelesaian konflik Indonesia Belanda. Pelaksanaan “the policy of containment” – politik membendung komunisme – yang menjadi benang merah politik luarnegeri Amerika sehabis Perang Dunia kedua segera merasuk ke Indonesia.
Untuk memperkuat dukungan menghadapi perundingan dengan Belanda, yang akan diselenggarakan lagi dengan pengawasan KTN, Perdana Menteri Amir mengajak lagi Masjumi masuk kabinet. Masjumi menerima tanpa mengajukan tuntutan apapun. Maka terjadilah reshuffle kabinet hingga susunannya menjadi: Partai Sosialis 7 kursi, PNI 8 kursi, PSII 3 kursi, Masjumi 5 kursi, PBI 4 kursi, PKI 1 kursi, PKRI 1 kursi, Parkindo 1 kursi, Non Partai 4 kursi, SOBSI 1 kursi, golongan Tionghoa 1 kursi, dan golongan pemuda 1 kursi. Perundingan dilangsungkan di kapal Amerika Serikat USS Renville, di Teluk Jakarta. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Perdana Menteri Amir Sjarifoeddin. Wakil Ketua: Ali Sastroamidjojo; anggota-anggota: Soetan Sjahrir, Dr Tjoa Siek Ien, Mr Nasroen, Ir Djuanda; anggota cadangan: Setiadjit; Penasihat 31 orang. Didalamnya terdapat wakil-wakil Masjumi dan PNI. Delegasi Belanda dipimpin oleh Abdulkadir Wirjoatmodjo; Wakil Ketua: H.L.K.F. van Vredenburgh; tujuh anggota; dua orang sekretaris dan tiga pembantu.
Dalam proses perundingan, Belanda tetap menjalankan aksi-aksi militernya. Sementara itu Belanda mulai membentuk Negara Sumatera Timur, Negara Jawa Barat, Negara Jawa Timur. Daerah-daerah ini adalah daerah kedaulatan Republik Indonesia. Ini merupakan pelanggaran atas kedaulatan Republik Indonesia..
Karena merasa kuat di bidang militer, Belanda bersikeras dalam perundingan. Bahkan mengancam dengan ultimatum, agar Indonesia menerima 12 prinsip politik yang diusulkannya. Menghadapi sikap Belanda ini, KTN di bawah Frank Graham menambahkan 6 pokok tambahan sebagai jalan kompromi agar Indonesia menerima usul Belanda. Didalamnya termasuk rencana pelaksanaan pemungutan suara, berupa plebisit. Dalam keadaan terdesak oleh batas waktu ultimatum Belanda, rombongan KTN datang ke Jogya menemui pimpinan tertinggi Republik Indonesia. Untuk berlangsungnya pertemuan itu, Perdana Menteri Amir terbang ke Singapura menjemput Soetan Sjahrir, kemudian ke Pekanbaru menjemput Wakil Presiden Hatta. Maka KTN ditemui oleh Presiden Soekarno, Wakil Presiden Hatta, Perdana Menteri Amir Sjarifoeddin serta Soetan Sjahrir dan Haji Agoes Salim. Dicapai saling pengertian, bahwa pada akhirnya akan diselenggarakan pemungutan suara sebagai penyelesaian terakhir sengketa Indonesia – Belanda.
Para politisi Indonesia yang mengutamakan menempuh jalan diplomasi, merasa 6 pokok tambahan dari KTN itu dapat menguntungkan Republik, yaitu punya harapan dengan rencana plebisit. Dalam keadaan Indonesian di- ultimatum dengan ancaman serangan militer Belanda, Frank Graham menyatakan, bahwa Amerika Serikat tidak dapat menekan Belanda agar tidak menggunakan kekerasan, tetapi dapat menekan untuk memastikan berlangsungnya plebisit nantinya. Karena itu, Bung Karno tampil dengan semboyan baru: “From the bullet to the ballot”. Berkat saling pengertian ini, maka 17 Januari 1948, tercapai Persetujuan Renville., yang ditandatangani oleh Perdana Menteri Amir Sjarifoeddin. Menurut catatan L. Fischer, pembantu Menlu Dean Rusk mengenai urusan PBB, Belanda akhirnya baru menerima 6 pokok tambahan dari KTN sesudah Menlu Amerika George Marshall “secara terang-terangan menyatakan kepada Belanda, pandangan pribadinya”, bahwa dia takut akan berlanjutnya ketidak-stabilan, dan sikap bersikeras “hanyalah bisa membawa Indonesia ke bawah komunisme”.
Dari sini jelaslah, bahwa masalah penyelesaian konflik Indonesia-Belanda, ditinjau Amerika dari pandangan bahaya menghadapi meluasnya pengaruh komunisme. Inilah titik-tolak realisasi “the policy of containment” dalam praktek. Dengan demikian, PERANG DINGIN telah merasuk ke Indonesia.
Presiden Soekarno, Wakil Presiden Moh Hatta, Panglima Besar Sudirman menerima Persetujuan Renville ini. Presiden Sukarno menyatakan: “Meskipun perjanjian penghentian permusuhan ini seakan-akan merugikan Republik, tetapi akan dapat membuka kemungkinan-kemungkinan yang akan menguntungkan Republik. Jika kita dapat mencapai cita-cita kita dengan melalui jalan damai, buat apa kita harus berperang ?” Tapi dengan tidak diduga-duga, Masjumi menolak Persetujuan Renville dan menarik semua Menterinya dari kabinet. Ini disusul oleh PNI dengan sikap yang sama. Pimpinan Masjumi antara lain menyatakan, bahwa
1. Situasi Republik sangat tidak stabil,
2. Kabinet yang sekarang harus secara radikal dirobah.
Ketua fraksi Masjumi dalam KNIP dalam konferensi pers menyatakan, bahwa Persetujuan Renville itu adalah masalah kedua; yang pertama adalah masalah mengganti kabinet. 15 Januari 1948, Masjumi menarik Menteri-Menterinya dari kabinet, karena tidak setuju dengan “gencatan senjata dan prinsip-prinsip politik yang diterima oleh Pemerintah Amir”. Mundurnya Masjumi dari kabinet diikuti dengan demonstrasi pemuda Islam GPII di Jogyakarta, yang menuntut pengunduran Amir Sjarifoeddin sebagai Perdana Menteri., menuntut pembentukan kabinet presidentil dan menolak Amir jadi Perdana Menteri. Amir Sjarifoeddin sangat kecewa mengenai sikap Masjumi ini, karena wakil Partai ini ikut dalam proses perundingan. 23 Januari 1948 Amir menyerahkan mandat kepada Presiden. Dan Presiden menugaskan Wakil Presiden Hatta untuk membentuk kabinet.
(bersambung……)
1 komentar:
Info Lengkap Tentang Ayam Bangkok Wangkas Geni
Sabung Ayam Online
Posting Komentar