Assalamu'alaikum,,, Salam Hormat

Terima kasih atas kunjungan anda ke blog saya. Semoga bermanfaat. Semua tulisan ini hasil saya pribadi, atau diambil dari tulisan lain yang tercantum pada rujukannya. Bila mengutip baik secara langsung maupun tidak, sebagian atau keseluruhan, diharapkan Mencantumkan sumber tulisan dan penulisnya pada daftar pustaka/catatan kaki sebagai bahan rujukannya.
atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih

Rabu, 21 Desember 2011

Pemajuan Hubungan Ekonomi Indonesia-Afrika


Pemajuan Hubungan Ekonomi Indonesia-Afrika*
Oleh: Prof. Suprapto Martosetomo, Ph.D**


Afrika: Potensi dan Perkembangan Ekonomi

Afrika sangat berpotensi dan setara pentingnya dengan kawasan lain di dunia. Afrika dengan kekuatan potensialnya merupakan benua masa depan yang menawarkan banyak peluang. Benua Afrika dengan wilayah 30 juta kilometer persegi adalah rumah bagi 930 juta penduduk, yang merupakan 14,72%dari penduduk dunia dan benua terpadat kedua di dunia setelah Asia.

Afrika diprediksi memiliki masa depan ekonomi yang optimis. Lembaga kajian Standar Charter memperkirakan tingkat pertumbuhan Afrika akan mengalami ‘a growth boom’ antara tahun 2011 dan 2030, dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 7%. Sementara lembaga kajian Mc. Kinsey Global Institute yang memperkirakan bahwa pada tahun 2020 jumlah gabungan keseluruhan GDP negara-negara Afrika akan mencapai US$ 2,6 trilyun, dengan jumlah belanja konsumen mencapai US$ 1,4 trilyun. Majalah The Economist yang sepuluh tahun lalu melabel Afrika sebagai ‘the hopeless continent’ telah merubah pandangan tersebut sejalan dengan makin menguatnya potensi ekonomi Afrika yang tercermin antara lain dengan rata-rata produktivitas tenaga kerja 2,7% per tahun dan rata-rata penurunan inflasi 8% per tahun.

Kekuatan Afrika yang didukung oleh 56 negaranya merupakan kekuatan kelompok regional yang signifikan dan menonjol di berbagai fora multilateral. Kelompok Afrika menduduki 55 kursi di PBB atau 28% suara di PBB. Kekuatan ini dapat memanfaatkan kekuatannya tersebut sebagai ‘bargaining power’ untuk memajukan agenda yang sesuai dengan kepentingannya, seperti dicapainya 8 aksi prioritas United Nations on Conference on Least Developed Countries dan Economic Cooperation for Africa di bawah kerangka UN-ECOSOC, maupun dalam isu perubahan iklim di bawah kerangka UNCTAD, maupun isu keamanan pangan di bawah FAO, negara-negara Afrika mampu menyuarakan kepentingan bersama mereka.

Kekuatan Afrika didorong sepenuhnya oleh semangat persatuan dan integrasi kawasan yang kuat. Nosi persatuan Afrika tersebut tumbuh ketika bangsa-bangsa Afrika yang baru merdeka dan yang masih di bawah penjajahan asing bertemu di Bandung pada KAA 1955. Menguatnya semangat regionalisme Afrika tersebut didorong oleh sentimen anti kolonialisme dan solidaritas sebagai sesama bangsa yang terjajah. Diprakarsai oleh para tokoh pejuang kemerdekaan seperti Nkrumah dari Ghana, Gamal Abdul Naser dari Mesir dan Yulius Nyerere dari Tanzania, negara-negara Afrika yang berhasil mendorong dikeluarkannya Resolusi Sidang Umum PBB Nomor 1514/1960 tentang Dekolonisasi telah berhasil mencapai kemerdekaan mereka.

Semangat solidaritas Afrika tersebut melatarbelakangi pembentukan Organization of African Union (OAU) pada tahun 1963 untuk memajukan kerjasama pembangunan di Afrika. Para pemimpin Afrika pada KTT OAU tahun 2000 meluncurkan kerangka kerjasama pembangunan yang disebut New Economic Partership for Africa’c Development (NEPAD) untuk mengatasi tantangan yang dihadapi Afrika, seperti kepercayaan masyarakat internasional terhadap kemampuan Afrika.

NEPAD merupakan upaya Afrika untuk menggapai kerjasama dengan berbagai negara di dunia. Afrika membuka dari dan mengundang mitra yang potensial untuk kerjasama. Dengan mengusung NEPAD ini, Afrika berhasil meningkatkan kepercayaan kalangan donor sebagaimana tercermin dalam pertemuan-pertemuan tingkat tinggi GB yang selalu mengundang para Pemimpin Afrika yang diberi mandat oleh Uni Afrika untuk memajukan NEPAD, yaitu Afrika Selatan, Mesir, Nigeria, dan Senegal; dan munculnya usulan dari berbagai negara untuk membentuk kerjasama pembangunan dengan Afrika. NEPAD diakui telah berhasil mendorong perekonomian Afrika, yang pada tahun 2000 pertumbuhan ekonominya baru mencapai 3,1%, setelah adanya NEPAD pada tahun 2007 naik menjadi 6,1%.

Komitmen negara-negara Afrika terhadap pemajuan kerjasama ekonomi dan pembangunan sangat tinggi. Negara-negara di kawasan Sub-Afrika melalui wadah organisasi sub-regional berupaya untuk mengharmoniskan berbagai peraturan di sektor perekonomian. Hal ini diharapkan dapat memfasilitasi kegiatan investasi dan memacu perdagangan antar negara di masing-masing sub-kawasan. Wadah organisasi sub-regional yaitu Southern African Development Community (SADC), East African Economic and Monetary Union (UEMOA), Economic and Monetary Community of Central Africa (CEMAC), Economic Community of Central African States (ECCAS), dan Intergovermmental Authority on Development (IGAD).

Sebagai hasilnya, secara berangsur-angsur perekonomian sejumlah negara di kawasan Sub-Sahara Afrika telah mengalami pertumbuhan positif. Organisasi-organisasi kerjasama ekonomi sub-regional tersebut makin aktif dan berfungsi dalam upaya mendorong pertumbuhan dan integrasi ekonomi negara-negara anggotanya untuk mengatasi berbagai permasalahan ekonomi dan konflik politik dengan tujuan terwujudnya integrasi Afrika yang sejahtera dan damai.

Dalam perkembangannya, negara-negara Afrika yang mempunyai visi membentuk persatuan Afrika, pada KTT di Sirte, Libya tahun 2002 mendeklarasikan perubahan OAU menjadi African Union (AU). Transformasi tersebut sangat besar artinya dan menunjukkan komitmen kuat negara-negara Afrika untuk mewujudkan visi mereka membentuk suatu Uni yang mereka nilai lebih tepat untuk menampung aspirasi dan semangat persatuan Afrika yang bertumpu pada semangat solidaritas dengan visi dan agenda yang lebih luas, dan membentuk kesatuan yang lebih besar, termasuk wacana pembentukan mata uang tunggal Afrika pada tahun 2021. Agenda AU difokuskan pada promosi perdamaian, keamanan, dan stabilitas yang merupakan prasyarat untuk pelaksanaan pembangunan dan agenda integritas AU.

Pilar-pilar utama dari rumah baru AU tersebut adalah Sekretariat Uni Afrika di Markas Besar AU di Addis Ababa, Ethiopia; Majelis Para Kepala negara/Pemerintahan, Komisi AU yang merupakan pilar eksekutif mempunyai 9 Komisi Portofolio, yaitu (1) Perdamaian & Keamanan, (2) Politik, (3) Perdagangan & Industri, (4) Infrastruktur & Energi, (5) Sosial, (6) Ekonomi Pedesaan & Pertanian, (7) SDM, (8) Ilmu Pengetahuan & Teknologi, dan (9) Ekonomi. Sementara itu pilar legislatifnya adalah Parlemen Afrika yang disebut Pan-Africa.

Selain itu, dengan negara-negara mitranya dari non-kawasan Afrika, dibentuk pula African Development Bank (AFDB) yang sahamnya dimiliki oleh 53 negara anggota AU dan 24 negara non-kawasan. AFDB membantu AU dalam mewujudkan agenda pembangunannya yang difokuskan pada pembangunan infrastruktur pendukung seperti transportasi untuk memperkecil biaya produksi karena cukup banyak negara-negara di Afrika yang land-locked, akibatnya biaya transportasi mencapai 77% dari keseluruhan biaya produksi. AFDB juga memprioritaskan program pembangunan dan pemberdayaan sektor swasta melalui program privatisasi Badan Usaha Milik Negara dan pemerkuatan Usaha Kecil dan menengah. Selain itu, AFDB juga membiayai program pemerintahan yang baik dan integritas regional.

Indonesia-Afrika: Prospek Pemajuan Kerjasama Ekonomi

Hubungan bangsa Indonesia dan Afrika telah berlangsung sejak berabad-abad yang lalu, sekitar abad ke-7 sampai abad ke-13, saat pelaut asal Indonesia mencapai beberapa negara di Benua Afrika seperti Zanzibar, Madagaskar, Seychelles, Afrika Selatan (Kota Cape Town) dan Ghana untuk berdagang rempah-rempah. Memasuki abad ke-20, hubungan ini terekam sangat jelas. Dilatarbelakangi oleh sentimen dan solidaritas anti kolonialisme, Indonesia pada tahun 1955 melalui penyelenggaraan KAA Bandung telah menanamkan investasi politik yang sangat strategis di Afrika.

Pada tataran bilateral, Indonesia terus secara berkesinambungan memelihara dan meningkatkan hubungan dengan Afrika. Indonesia saat ini telah membuka hubungan diplomatik dengan 40 negara di Afrika dan telah memiliki perwakilan RI di 17 negara Afrika (11 di Sub-Sahara Afrika dan 6 di Afrika Utara/Maghribi). Pada tataran multilateral, Indonesia telah memprakarsai Kemitraan Strategis Baru Asia-Afrika (NAASP), yang diharapkan dapat menjadi jembatan kerjasama antara kedua kawasan. Indonesia dalam kurun waktu  2006-2011 telah melaksanakan  26 program kerjasama di bawah kerangka NAASP yang mayoritas ditujukan untuk pembangunan Afrika. Hal ini secara tidak langsung semakin memperkuat mekanisme keterlibatan Indonesia dengan Afrika secara kawasan dan menambahkan nilai bagi investasi politis Indonesia di Afrika. Investasi politik tersebut harus, dan sudah saatnya, untuk dipetik manfaatnya bagi kepentingan Indonesia di Afrika. Namun semua itu kembali kepada Indonesia, kepada para pemangku kepentingan di Indonesia untuk secara cerdas dan jeli melihat setiap peluang yang ditawarkan oleh Afrika.

Banyak pintu yang dapat dipilih oleh Indonesia untuk masuk ke Afrika, termasuk di bidang investasi. Sebagai contoh, meskipun masih terfokus pada ritel makanan, konstruksi, dan produk pengolahan kulit, namun realisasi investasi pengusaha Afrika di Indonesia pada tahun 2010 tercatat USD 800 juta, sedangkan untuk tahun 2011 hingga kuartal pertama sudah mencapai USD 121 juta.

Di bidang perdagangan, krisis ekonomi yang menimpa AS dan Eropa dewasa ini sebagai dampak dari krisi keuangan di kedua kawasan tersebut mengakibatkan penurunan ekspor dan kejenuhan pasar tradisional Indonesia, dan menjadikan Afrika sebagai mitra dagang alternatif, selain Timur Tengah. Pertumbuhan ekonomi di Afrika yang relatif stabil pada kisaran 5,3% (2011) dan diproyeksikan 5,5% (2012) perlu dipandang sebagai alasan yang cukup kuat bagi kita untuk tidak menunda lagi waktu untuk melebarkan sayap bisnis  ke Afrika.

Sebetulnya Indonesia saat ini telah melakukan ekspor ke Afrika dengan nilai sebesar US$ 6 milyar di tahun 2010, meningkat US$ 4,7 milyar pada tahun 2009, dengan produk ekspor unggulan seperti minyak kelapa sawit, produk kayu, bahan bangunan, produk pengolahan kulit, mesin elektronik, produk plastik, produk makanan dan minuman, tekstil, dan perabot rumah tangga. Namun demikian, produk ekspor Indonesia masih kalah bersaing dibanding produk yang sama dari negara pesaing akibat biaya tinggi dan adanya pengaturan ekspor-impor tersendiri antara negara anggota kerjasama ekonomi kawasan dan negara persemakmuran. Sementara itu, masih minimnya nilai ekspor Indonesia ke Afrika juga dipengaruhi oleh persaingan dari negara-negara ASEAN lainnya seperti Malaysia, Singapura, Thailand, dan Vietnam serta negara Asia lainnya seperti Cina dan India, yang telah lebih dahulu memasuki pasar Afrika.

Untuk itu Indonesia dianggap perlu lebih melihat Afrika sebagai emerging marker untuk menawarkan peluang bagi produk-produk Indonesia, yaitu dengan tersedianya potensi pasar yang besar, meningkatnya pembangunan dan infrastruktur yang mendorong permintaan bahan bangunan. Keunggulan produk negara berkembang seperti Indonesia atas negara maju di Afrika karena produk Indonesia lebih murah dan lebih tepat guna. Sejalan dengan meningkatnya pembangunan infrastruktur di Afrika, Indonesia juga perlu melirik Afrika sebagai sumber peluang kerja bagi Tenaga Kerja Indonesia untuk sektor formal.

Untuk mendekati Afrika sebagai kesatuan, diperlukan pendekatan Indonesia incorporated di mana semua pemangku kepentingan baik publik maupun privat bersinergi. Keberadaan Perwakilan RI di 17 negara Afrika termasuk perwakilan dagang Indonesia (ITPC) di Afrika Selatan dan Nigeria dapat dimanfaatkan semua pemangku kepentingan untuk meningkatkan kerjasama ekonomi di berbagai bidang.

Selain itu, Indonesia perlu pula mempererat hubungan dan kerjasama ekonomi dengan memanfaatkan AU sebagai salah satu pintu gerbang memasuki pasar Afrika. Langkah Indonesia untuk menjadi peninjau di AU, sebagaimana disampaikan Menteri Luar Negeri RI usai menandatangani Perjanjian Ekonomi dan Kerjasama Teknis dengan Menteri Luar Negeri Ethiopia di New York pada 21 September 2011 silam merupakan salah satu langkah strategis yang akan makin memperkokoh keeratan kerjasama Indonesia dengan AU.

                                                                             Jakarta, 15 Desember 2011

*makalah disampaikan dalam Lokakarya “Perkembangan Uni Afrika dan Prospeknya bagi Hubungan Indonesia-Afrika” yang diselenggarakan oleh Kementerian Luar Negeri RI di Kampus Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto pada tanggal 19-21 Desember 2006.
** Penulis adalah Staf Ahli Bidang Ekonomi, Sosial, dan Budaya Kementerian Luar Negeri RI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar