Matinya Ilmu Politik
Oleh: Bambang Wibiono
Banyak pandangan bahwa politik merupakan suatu kajian atau ilmu yang sarat dengan permusuhan, pertentangan, dan perebutan kekuasaan. Tidak dapat disalahkan memang pendapat tersebut, tetapi juga tidak sepenuhnya benar juga anggapan itu. Sah-sah saja jika orang mempersepsikan politik dengan perebutan kekuasaan yang sarat permusuhan. Jika dikaji secara teori, ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan. Pendekatan yang pertama adalah pendekatan klasik yang memandang politik sebagai sebuah asosiasi dari masyarakat (warga negara) yang membicarakan dan menyelenggarakannya segala sesuatu yang menyangkut kebaikan bersama.
Pendekatan yang kedua adalah kelembagaan yang lebih berorientasi pada hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara. Ini mengarah pada sebuah otoritas sebuah lembaga negara dalam mengatur masyarakatnya. Berikutnya adalah pendekatan kekuasaan yang mengartikan politk sebagai kegiatan mencari, dan mempertahankan kekuasaan.
Keempat, pendekatan fungsionalisme yang memandang politik sebagai kegiatan merumuskan dan melaksanakan kebijakan. Lasswell menyebutkan bahwa politik adalah
persoalan siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana. Dan yang kelima adalah pendekatan konflik. Menurut pendapat ini usaha untuk mempengaruhi proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan tak lain sebagai upaya untuk memperoleh dan atau mempertahankan nilai. Untuk mendapatkan atau mempertahankannya sering terjadi perbedaan pendapat atau konflik. Jadi pada dasarnya politik adalah konflik.
Dari kesemua pandangan tersebut mengindikasikan bahwa politik selalu mengarah pada persaingan yang berujung pada permusuhan. Tak heran jika ada yang menafsirkan bahwa politk adalah kotor.
Runtuhnya teori sistem politik
Berbicara mengenai politk, maka tidak bisa dilepaskan dari sistem politik karena berbicara politk berarti juga berbicara sistem politik. Dunia politk dinilai sebagai sebuah
dunia yang rumit, komplek untuk dipelajari dan dianalisis secara sederhana. Namun dunia komplek tersebut dapat disederhanakan dalam sistem politik David Easton yang menawarkan suatu gagasan konsep teori sistem.
Easton mngungkapkan bahwa sistem politik sebuah rangkaian kerja sebuah instrumen yang saling berkaitan satu sama lain tentunya dalam hal ini adalah politik. Sistem politik yang digambarkan adalah terdiri dari instrumen input, konversi, out put, dan lingkungan baik lokal maupun internasional. Berbicara politik adalah berbicara masalah kebijakan sebagai produk politik. Maka untuk mencapai itu diperlukan sebuah proses dimulai dari input (berupa tuntutan dan dukungan), yang diteruskan dalam konversi untuk dicarikan alternatif kebijakannya, setelah itu baru keluarlah sebuah kebijakan. Namun ini tidak berakhir di sini. Kegiatan ini akan terus berjalan. Dari implementasi kebijakan itu kemudian dilakukan evaluasi untuk diperbaiki. Dalam menghasilkan sebuah kebijakanpun tidak bisa terlepas dari faktor lingkungan masyarakat lokal maupun internasional. Artinya kebijakan yang dihasilkan tentunya tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat.
Sedangkan lingkungan internasional berkaitan dengan politik internasional yang yang ada. Bahkan boleh dikatakan kepentingan politik internasional biasanya berkaitan erat dengan kepentingan ekonomi global sangat berpengaruh atas kebijakan yang dihasilkan. Input dihasilkan dari sebuah pertarungan kekuatan antara tuntutan dan dukungan. Aspek
yang ada dalam input ada sosialisasi politik, komunikasi politik, artikulasi kepentingan, agregasi kepentingan, rekruitmen politik yang semuanya ini berperan dalam terciptanya sebuah kebijakan.
Pertanyaan yang kemudian timbul apakah tanpa adanya input sistem itu tak dapat berjalan? Jika input merupakan ‘bahan bakar’ untuk menjalankan sistem tersebut, maka rekayasa sosial maupun rekayasa politik di’halalkan’ dalam politik. Pemerintah merekayasa keadaan agar tercipta sebuah dukungan atau tuntutan, yang nantinya pemerintah sendiri yang akan menyelesaikan masalahnya karena memang pemerintahlah yang mencipta. Sebab bila keadaan tanpa adanya partisipasi berupa tuntutan atau masyarakat cenderung pasif, pemerintah bisa dicap sebagai pemerintah yang otoriter atau tidak demokratis yang tidak memberikan peluang pada rakyatnya untuk berpartisipasi. Atau dapat juga rekayasa itu sengaja diciptakan oleh lawan politiknya untuk menjatuhkan kekuasaan.
Dengan demikian diharapkan pihaknya nanti dapat duduk pada jabatan elit dengan mengambil perhatian rakyat dengan cara menyelesaikan masalah yang ada yang sebenarnya sengaja diciptakan oleh pihaknya. Inilah sebuah kejahatan politik yang sangat keji. Sebuah pendekatan ilmu politik sudah dijadikan legitimasi untuk merebut kekuasaan dengan ‘menghalalkan’ segala cara. Dengan dalih teori ini para aktor mendeklarasikan “inilah politik” yang berbicara tentang perebutan kekuasaan.
Untuk mencari kekuasaan dan otoritas, etika politik menjadi sebuah kewajaran. Demi kekuasaan, moralitas dicemooh sebagai suatu yang munafik. Kehidupan kekuasaan selalu akan bertemu dengan masalah tersebut. Tak salah jika politik dinilai sebuah porno pilitik yang selalu menampilkan ke-‘vulgar’an dalam etika berprilaku politik. Bukan hanya dalam dunia entertainment atau mode saja yang terdapat istilah porno, ternyata politikpun tak kalah demikian.
Bila saat ini ada UU yang mengatur masalah pornografi dan pornoaksi, maka sebaiknya perlu juga ada UU Porno Politik. Karena politik sudah dijangkiti oleh pornoaksi. Jika demikian dan memang demikian keadaan sebuah politik, maka inilah sebuah kahancuran ilmu politik. Karena ilmu politik tak mampu membumi dalam sebuah realitas dan tak mampu menjelaskan realitas yang ada. Karena teori adalah hasil dari sebuah penelitian empiris. Namun sesungguhnya ilmu adalah sesuatu yang suci yang patut dijunujung tinggi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar