Ditulis oleh Lidya Christin Sinaga
Aksi-aksi demonstrasi terhadap pemerintah status quo yang dianggap otoriter akhir-akhir ini sedang marak terjadi di kawasan Timur Tengah. Sebut saja di Tunisia, Mesir, Aljazair, dan Yordania. Pergolakan politik tersebut tidak hanya menandai perubahan konstelasi politik di Timur Tengah, namun juga menandai bangkitnya demokrasi di kawasan itu. Hal inilah yang diangkat Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI dalam diskusi internal bertajuk ”Kebangkitan Demokrasi dan Masa Depan Timur Tengah” yang diselenggarakan pada 11 Februari 2011. Diskusi ini menghadirkan dua orang pembicara, yaitu Ahmad Faris, Lc, MSi, kandidat Ph.D Bidang Politik dari Ankara University-Turki, dan Drs. Moh. Hamdan Basyar, MSi, pemerhati Timur Tengah yang juga peneliti senior P2P-LIPI.
Ahmad Faris dalam paparannya mengungkapkan bahwa kejadian di Tunisia dan Mesir bukan dipicu oleh satu kasus baru, tapi merupakan bayaran atas keterlambatan pemerintah negara-negara kawasan dalam merespon gejala-gejala perubahan sosial yang terjadi pada dua dasawarsa terakhir. Tuntutan utama rakyat adalah perubahan politik dan kebijakan ekonomi. Menurutnya, ada empat faktor yang dapat dilihat dalam membaca perubahan politik di Timur Tengah, yaitu faktor ekonomi, politik, sosial, dan psikologis. Secara ekonomi, negara di Timur Tengah terdiri dari negara kaya dengan pemerintahan yang otoriter, negara miskin dengan pemerintahan yang otoriter, negara mapan dan demokratis, dan negara kaya namun pemerintah belum kokoh. Dari sisi politik, di negara-negara Timur Tengah tidak ada lembaga yang menampung aspirasi rakyat dan hilangnya hak menyatakan pendapat. Sementara dari faktor sosial kita lihat wawasan rakyat yang sudah sangat terbuka seiring era informasi global seperti internet dan televisi kabel (contoh Stasiun al-Jazirah, CNN, dan sebagainya). Masyarakat saat ini tidak hanya menyerap informasi melalui televisi dan surat kabar milik pemerintah. Berita yang mereka dapatkan secara bebas itu akhirnya memunculkan kesadaran akan hak-hak mereka yang selama ini terabaikan. Untuk kasus Mesir, misalnya, Revolusi Melati di Tunisia telah mengilhami hal penting dan membuka cakrawala baru bahwa ternyata penguasa tidak sekuat yang dibayangkan mereka selama ini. Rakyat Mesir hanya melihat betapa mudahnya menggulingkan pemerintah yang telah berkuasa puluhan tahun. Mereka mengabaikan beberapa perbedaan realitas politik Tunisia dengan Mesir. Terakhir, secara psikologis, pada dasarnya rakyat bosan dengan status quo para pemimpin di Timur Tengah, di samping tidak ada celah bagi dialog, apatis terhadap perubahan, harapan telah tertutup, dan melihat jalan satu-satunya adalah kekerasan.
Hamdan Basyar menambahkan bahwa partai Hosni Mubarak, yaitu Partai Demokratik Nasional (NDP), adalah partai pemerintah yang pada pemilihan umum (pemilu) legislatif tahun 2005 sempat mengalami penurunan perolehan suara dibandingkan pemilu tahun 2000. Sementara, Ikhwanul Muslimin (IM), kelompok oposisi terbesar di Mesir, justru mengalami peningkatan perolehan suara pada pemilu 2005 tersebut, dari 17 suara pada pemilu sebelumnya menjadi 88 suara dari 420 total kursi parlemen Mesir atau sekitar 21 %. Namun, pada pemilu tahun 2010 yang merupakan pemilu legislatif ke-7 sejak Mubarak berkuasa, Ikhwanul Muslimin justru tidak memperoleh satu suara pun. Pemilu tersebut ditengarai mengandung banyak kecurangan. Tak pelak, IM kemudian memboikot pemilu putaran kedua yang diadakan Desember 2010. Demontrasi yang terjadi di Mesir merupakan demonstrasi yang tergalang dari jaringan internet. Menjawab tuntutan demonstrasi rakyat, Mubarak melakukan perubahan dalam sistem pemerintahan Mesir, yaitu dengan mengangkat Omar Soleiman, kepala Badan Intelijen Negara, sebagai wakil presiden untuk pertama kalinya selama 30 tahun Mubarak memerintah dan Ahmad Shafiq, mantan kepala staf udara, sebagai perdana menteri.
Menurut Faris, ada empat skenario politik yang mungkin terjadi di Mesir tahun 2011 ini. Pertama, berjalan normal dan pemilu dilaksanakan sebagai rutinitas di mana Mubarak kembali mencalonkan diri dan menang. Kedua, pemilu berlangsung di mana Mubarak tidak mencalonkan diri, tetapi mengusung anaknya, Gamal, sebagai pengganti dan menang. Ketiga, militer mengambil alih kekuasaan dengan alasan korupsi yang merajalela dan kemiskinan yang parah. Keempat, revolusi rakyat yang menolak rezim lama, menolak militer, dan menolak parlemen lama.
Lebih jauh Ahmad Faris melihat ada persamaan dan perbedaan antara kasus di Tunisia dan Mesir. Persamaan terletak pada faktor ekonomi, politik, dan budaya. Namun keduanya berbeda, terutama karena budaya militer di Tunisia yang tidak terlibat dengan politik praktis, kenyataan bahwa oposisi di Tunisia masih memiliki tokoh-tokoh berpengaruh yang terpelihara sejak awal kekuasaan Ben Ali, dan adanya kepentingan Barat. Sementara terkait potensi konflik di Sudan, menurut Faris, bisa terjadi karena beberapa hal. Pertama, kelompok yang dirugikan oleh referendum akan terus mempertanyakan keabsahan referendum dan menyebabkan konflik antara kelompok separatis dan pendukung persatuan. Kedua, populasi penduduk Sudan Selatan cukup besar, yaitu 8,25 juta jiwa di mana 24%-nya adalah muslim. Sementara di Sudan Utara, masih banyak hidup penduduk Sudan Selatan. Realita ini tentu akan menjadi gesekan yang signifikan. Ketiga, sengketa perbatasan, baik di daerah Abyei atau daerah-daerah potensial lain. Kasusnya mirip pasca disintegrasi Uni Soviet. Apalagi, pemerintah pusat harus kehilangan 30% sumber minyak. Keempat, keberhasilan Sudan Selatan melepaskan diri kemungkinan akan menyebabkan potensi disintegrasi daerah lain, terutama Darfur. Kelima, pasca merdeka, kemungkinan Sudan Selatan akan segera membuka hubungan diplomatik dengan Israel secepat mungkin. (Lidya Christin Sinaga)
* tulisan ini diambil dari http://www.politik.lipi.go.id/index.php/in/kegiatan/409-diskusi-internal-kebangkitan-demokrasi-dan-masa-depan-timur-tengah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar