Berbagai solusi tersebut terkadang membawa pro dan kontra dikalangan masyarakat islam, terutama dari kalangan islam tradisionalis. Nurcholis Madjid adalah salah seorang tokoh pembaharu yang banyak ditentang oleh kalangan tradisionalis. Gagasannya tentang sekularisasi dalam islam, serta pernyataan tentang “Islam Yes, Partai Islam No” hingga kini banyak diperbincangkan orang . demikian pula kesadarannya untuk menggunakan institusi pendidikan untuk menyosialisasikan gagasan dan pemikirannya itu pula telah ia lakukan. Gagasannya tentang pembaharuan pesantren adalah merupakan bagian dari cita-cita modernisasinya.
Nurcholis Madjid sangatlah fenomenal dikalangan cendekiawan muslim indonesia. Sangat penting untuk dikaji lebih dalam tentang gagasannya yang orisinil. Dengan gagasannya tergugahlah masyarakat muslim indonesia yang sarat dengan dogma budaya. Dan bahkan memungkinkan untuk menelaah lebih lanjut pemikiran yang berkisar politik dari Nurcholis Madjid.
Pemikiran yang progresif dan dapat berguna bagi khalayak orang banyak sangatlah diperlukan. Itu demi semata-mata untuk kemajuan dalam komunitas tersebut. Namun, permasalahan dalam masyarakat sangatlah kompleks sehingga terdapat kelompok tertentu yang menginginkan perubahan. Salah satu tokoh yang ngetop dalam Islam adalah Nurcholis Madjid yang terkenal dengan model pembaharuannya. Namun, dari beberapa pemikiran Cak Nur yang jadi masalah adalah bagaimana pemikiran politik Nurcholis Madjid bila dibenturkan budaya berpolitik yang dilakukan oleh Nabi Muhammad? Bila Cak Nur menekankan agar umat islam dalam berpolitik secara kultural lalu bagaimana prilaku nabi waktu memimpin kota madinah yang notabene negara kecil yang heterogen ataupun plural tidak jauh berbeda dengan Indonesia.
Riwayat Hidup Nurcholis Madjid
Nurcholis Madjid lahir pada tanggal 17 Maret 1939 bertepatan dengan 26 Muharram 1358 H. di Jombang, Jawa Timur, dari keluarga kalangan pesantren yang taat menjalankan agama. Pendidikannya dimulai dari sekolah rakyat di Mojoanyar pada pagi hari, sedangkan sore hari ia sekolah di Madrasah Ibtidaiyah di Mojoanyar. Setelah menamatkan pendidikan dasar dan Ibtidaiyah, ia melanjutkan belajar di pesantren Darul Ulum di Rejoso, Jombang. Setelah itu, ia melanjutkan pendidikannya di Kulliyatul Muallimin al-Islamiyah (KMI) Pesantren Darussalam di Gontor Ponorogo.
Setamat dari Gontor ia melanjutkan studi pada institut agama islam kini Universitas Negri Islam (UIN) Syaraf Hidayatullah Jakarta, pada Fakultas Adab, Jurusan Sastra Arab dan tamat pada tahun 1968. pendidikan selanjutnya ia lakukan di Universitas Cicago, Illinois, Amerika Serikat dan berhasil meraih gelar doktor dalam bidang Islamic Though (Pemikiran Islam) pada tahun 1984.
Semasa jadi mahasiswa, Nurcholis Madjid banyak melakukan kegiatan di berbagai organisasi. Ia pernah menjadi ketua umum Himpunan mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ciputat pada tahun 60-an. Kemudian menjadi Ketua Umum Pengurus Besar HMI selama pereode 1966-1969 dan 1969-1971. selain itu, ia juga pernah menjadi Presiden pertama Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara (PEMIAT) tahun 1967-1969, sebagai Wakil Sekretaris Jendral Internasional Islamic Federation of Student Organization (IIFSO) pada tahun 1969-1971.
Setamat dari IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Nurcholis Madjid bekerja sebagai dosen di almamaternya, mulai tahun 1972 sampai 1976. setelah berhasil meraih gelar Doktor pada tahun 1985, ia diotugaskan memberikan kuliah tentang filsafat di Fakultas Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Selain itu, sejak tahun 1978 ia bekerja sebagai peneliti pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Bersama tugas-tugasnya itu, ia pernah berkesempatan menjadi dosen tamu pada Universitas McGill, Montreal, Canada. Pada tahun 1990 di dampingi oleh istrinya yang mengikuti program Eisenhower Fellowship.
Pemikiran Nurcholis Madjid
Dalam bukunya Jalaluddin Rahmat yang mengutip dari Gusdur (Abdurrahman Wahid) mengatakan bahwa: “Nurcholis Madjid merupakan “Mafia McGill” yang menjadi agen pencerahan”, yang bersifat serba terbuka kepada “hal-hal baru”. Selain itu, ia disebut sebagai pendekar Cicago. Nurcholis Madjid berangkat dari keterbukaan sikap yang ditunjukkan peradaban islam yang di puncak kejayaannya sekitar sepuluh abad yang lalu. Keterbukaan islam yang mampu menyerap yang terbaik, dari manapun datangnya. Proses penyerapan itu, menjadikan agama islam menjadikan agama yang sarat dengan nilai universal yang dianut manusia secara tidak berkeputusan.
Karena itu, Nurcholis Madjid selalu menekankan pentingnya mencari persamaan diantara semua agama. Sikap memisahkan diri dari universalitas peradaban manusia hanya akan menyempitkan islam sendiri, sebagai cara hidup bagian cukup besar dari ummat manusia. Inklusivitas islam haruslah dipertahankan kalau vitalitas agama terakhir itu ingin dapat dilestarikan. Sebab, keharusan mengembangkan inklusivitas islam itu, dalam pandangan Nurcholis Madjid hanya dapat terwujud dalam lembaga politik islam. Terkenal sekali semboyan Nurcholis: “Islam Yes Partai Politik Islam No”.
Nurcholis Madjid juga terkenal sebagai penulis yang sangat produktif diantara karya-karyanya adalah: a). Khazanah Intelektual Islam, Islam dan Kemordenenan dan Keindonesiaan, Islam Doktrin dan Peradaban, Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemotrdenan, Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, Islam Agama Peradaban Membangun Makna dan Relevannsi Doktrin Islam Dalam Sejarah, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, masyarakat Relegius, Kaki Langit Peradaban Islam, Tradisi Islam Peran dan Fungsinya Dalam Pembangunan di Indonesia, Dialog Keterbukaan Artikulasi Nilai Islam Dalam Wacana Politik Kontemporer, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, Islam Doktrin dan Peradaban.
Begitu banyak sekali hasil kontemplasi Cak Nur dalam khazanah keilmuan. Membaca pemikiran Cak nur yang terdapat dalam buku Cita-cita Politik Islam Era Reformasi. Pemikirasn Cak Nur memang sangat relevan dengan keadaan sosial para pelaku politik, terutama para prilaku para elit politik. Dalam bukunya yang lain, yang berjudul “Islam Doktrin dan Peradaban”, Cak Nur terkesan mengenyampingkan Partai Islam. Pemikiran Cak Nur dalam kancah politik perlu dikritisi lagi. Meskipun Cak Nur menyadur prilaku etika politik yang dilakukan oleh nabi dan sahabat, namun itu hanya sebatas nilai-nilainya saja. Sehingga disini pemikiran politik Cak Nur sangatlah lemah jika dikaitkan dengan politik islam dan pranata-pranata sosial islam lainnya dalam tradisi keilmuan islam merupakan bagian dari syari’ah (al-ahkam al-amaliah). Itu juga karena Cak Nur hanya mengambil sebagian saja baik dari waktu maupun segi cakupannya. Piagam madinah yang sering disebut Cak Nur sebagai Nuktah-Nuktah kesepakatan antar golongan untuk mewujudkan politik bersama.
Sementara itu, aspek yang dikemukakan Cak Nur hanya dari segi nilai-nilai dan etikanya saja, padahal yang dominan pada masa Madinah justru legislasi dalam bentuk syari’ah, yang menjadikan sebagian prinsip-prinsip dalam piagam Madinah itu berlaku lagi, seperti persamaan (penuh) diantara kelompok-kelompok masyarakat karena kelompok Yahudi kemudian menjadi dzimmi (non-muslim yang mendapatkan perlindungan), yang hak dan kewajibannya sama dengan muslim.
Cak Nur kecewa dengan partai-partai islam yang dianggapnya strukturalis, lgalistik dan formalistik. Sehingga Cak Nur mendeklarasikan pada perjuangan kulturasi nilai-nilai ke-islaman dalam sosio kultural masyarakat, bukan ke wilayah “partai islam”. Disamping itu, yang perlu dikritisi dari statemen Cak Nur adalah; “Sebagai agama, islam tidak akan kalah…orang islam lebih efektif menjadi oposisi sambil belajar untuk menjadi berkuasa”. Dengan begitu Cak Nur telah mengingkari adanya partai Islam secara struktural.
Di lain pihak dia mendukung adanya Partai Golkar karena kaitannya alumni HMI yang duduk di kursi DPR akan hilang. Padahal bila kita menengok sejarah politik rasul, rasul telah menjalankan politik secara kultural maupun struktural. Sehingga dapat dikatakan bahwa. Kalau memang islam diartikan sebagai nilai kultural semata, akan dikemanakan identitas islam tersebut?. Padahal agama Islam sebagai agama yang sempurna, yang mengatur setiap aspek kehidupan, semenjak awal mula, para ulama dan para ahli hukum Islam (Faqih) telah merinci agama islam sebagai berikut:
- Aqidah: keimanan atau keyakinan
- Syari’at: ibadah
- Akhlaq: prilaku manusia terhadap tuhan maupun sesamanya.
Dapat dikatakan pada zaman nabi adalah “Islam Yes Politik Islam Yes”. Dari pemikiran Nurcholis Madjid tentang politik diatas, sangat kurang relevan dengan konsep politik yang dilakukan oleh Nabi Muhammad. Itu dapat dilihat dari latar belakang sejarah, yaitu sebagai negara yang heterogen, negara Madinah sama dengan Indonesia. Meskipun diberlakukan sistem politik secara struktural dan kultural kenyataannya banyak golongan yang menerima. Sehingga perjuangan ummat islam dalam menanamkan nilai-nilai keislaman adalah dengan partai islam. Padahal sudah jelas-jelas secara syari’at ummat islam disuruh membentuk pemerintahan secara kultural. Yaitu kata Sulthon dalam QS. An-Nisa’, Al-Mulk QS. Al-Baqarah.
Disamping itu Cak Nur kelihatan tidak berani mengatakan “partai islam yes” karena waktu itu takut dengan kekuasaan Soeharto. Yang pada tahun 70-an cengkramannya sangat terasa. Apalagi statemennya yang mengatakan bahwa kekalahan Partai Islam adalah karena simbol islam ini sangat tidak beralasan seharusnya yang dikritik adalah ummat islam yang berpolitik bukan masalah simbol.
Dalam tradisi ke-ilmu-an islam, pemikiran politik, itu tidak terlepas dari siyasah syari’ah (pengaturan negara) dan ilmu Siyasah syari’ah (ilmu tentang pengaturan agama) yang juga disebut sebagai fiqh siyasah. Artinya tidak mungkin membahas pemikiran politik islam secara komprehensif tanpa menyinggung aspek syari’ah.
Pemikiran Cak Nur juga kehilangan greget “ideologisnya”, karena sejalan dengan santrinisasi dalam masyarakat indonesia, mereka pun berusaha melaksanakan ajaran-ajaran islam secara komprehensif. Hal ini, tentu membutuhkan adanya kebijakan negara atau peraturan perundang-undangan yang mendukung. Dalam kondisi demikian ini, aspirasi umat baik dari segi subatansi atau cara untuk memperjuangkan aspirasi mereka. Tidak hanya bersifat kultural, melainkan juga bersifat struktural.
Munculnya kembali partai-partai islam pada era reformasi baik yang dengan tegas memakai asaas islam maupun tidak, menunjukkan ke4cendrungan aspirasui ini. Orientasi ini, memang tidak pernah pudar dalam masyarakat islam di manapun berada, karena secara doktriner islam memang tidak bisa dipisahkan dengan persoalan kenegaraan. Dalam bukunya Din Syamsudin,” agama dan negara memiliki hubungan timbal balik yang saling membutuhkan, keduanya berbeda, tidak menyatu tapi saling memerlukan”. Maka dari itu Islam dilihat sebagai satu sistem kehidupan yang lengkap, meliputi sistem spiritual, sistem moral, sistem politik, sistem ekonomi dan sistem ekonomi.
Dari beberapa uraian di atas dapat diambil sebuah implikasi bahwa ide Cak Nur tentang ummat islam lebih efektif menjadi oposisi sambil belajar untuk menjadi berkuasa adalah sangat kurang relevan dengan prilaku politik yang telah dilaksanakan oleh nabi. Di kota Madinah, selain menjalankan nilai-nilai islam secara kultural, nabi juga menjalankan islam secara struktural. Keadaan sosiologis di kota Madinah tidak jauh beda dengan Indonesia, yaitu masyarakatnya sama-sama heterogen. Banyak perbedaan suku maupun budaya di Madinah. Namun, kennyataannya Nabi mampu membawa islam secara kultural maupun struktural.
Selain itu, yang dijadikan bahan perhatian adalah bukan masalah partai membawa nama islam, namun bagaimana ummat islam membuktikan bahwa partai islam merupakan representasi dari etika perpolitikan nabi. Bagaimana mungkin ummat islam belajar kalau tidak secara struktural. Meskipun waktu itu partai islam gagal. Dengan kegagalan itu diharapkan partai islam mampu instrospeksi diri agar lebih berhati-hati dan waspada dalam berpolitik.
Sungguh kecongkakan dan kesombongan intelektual bila pemakalah menganggap pemaparan dalam makalah ini sempurna atau bersifat final. Oleh karena itu, pemakalah berharap kepada semua pihak yang membaca makalah ini berkenan memberikan kritik yang konstruktif ataupun mendekonstruksi substansi maupun metodologi bila memang diperlukan. Demikian pemaparan tentang ”Pemikiran Nurcholis Madjid Tentang Prilaku Politik Islam Indonesia Relevansinya Prilaku Politik Nabi Muhammad”. Tentunya dalam pemaparan makalah kami ini masih banyak kekurangan baik dari segi substansi materi maupun segi metodologi. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dalam kancah intelektual.Amiin.