Perhelatan akbar dalam tubuh Partai Demokrat yang digelar pada Tanggal 21-23 Mei 2010 bertujuan untuk mencari pemimpin baru yang diharapkan akan membawa perubahan dan kemajuan dalam tubuh Partai Demokrat sendiri dan membawa angin perubahan pada kondisi bangsa dan negara ini. Dengan menggaungkan asas demokrasi, partai Demokrat lahir sebagai partai baru dalam konstelasi perpolitikan tanah air. Namun apakah asas demokrasi ini menjadi ruh dari partai berbendera biru dan berlambang bintang itu??
Mari kita telisik semua ini dalam Kongres II Partai Demokrat yang digelar di Padalarang, Bandung. Ada dua poin utama yang perlu dicermati dalam menganalisa demokratisasi dalam tubuh Demokrat. Dalam sidang pertama yaitu pembahasan draft tata tertib, sebagian peserta menginginkan pemilihan ketua umum didahulukan ketimbang pembahasan AD/ART. Seharusnya dalam mekanisme demokrasi, mungkin ini sah-sah saja. Namun permasalahnnya, usulan ini sangat bersifat politis. AD/ART adalah landasan dasar dari organisasi, dan seharusnya ini menjadi prioritas dalam pembahasan sebelum kemudian melakukan pemilihan. Jika mekanisme pemilihan didahulukan, semangat perubahan dan perbaikan di tubuh Partai Demokrat melalui pembahasan AD/ART akan menjadi seolah formalitas.
Persoalan kedua ialah mekanisme pemilihan yang sangat tidak demokratis. Dalam aturan yang disepakati, dari ketiga calon yang akan bertarung harus ada yang mencapai suara 50%+1 untuk dapat memenangkan pemilihan. Namun bila itu tidak dapat dicapai, maka harus diadakan pemilihan putaran kedua. Sampai taraf ini, masih berjalan normal dan demokratis. Namun yang membuat aneh adalah pada opsi terakhir. Ada kesepakatan di antara peserta kongres bahwa jika mekanisme yang sudah dijalankan belum juga memperoleh hasil, maka pilihan terakhir adalah menggunakan hak feto dari Dewan Pembina Partai Demokrat, yaitu keputusan Susilo Bambang Yudhoyono yang akan menentukan siapa yang berhak menjadi ketua umum.
Dalam logika demokrasi, jelas ini bukanlah langkah yang demokratis, bahkan ini sudah mengabaikan nilai demokrasi itu sendiri. Rupanya Partai yang didirikan SBY ini mengadopsi gaya demokrasi ala Amerika yang mengenal hak feto seperti yang diterapkan pada Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Nama "demokrat" hanya simbol saja, namun dalam pelaksanaannya masih tidak mencerminkan demokrasi.
Terlepas dari hasil Kongres yang menyatakan Anas Urbaningrum terpilih sebagai Ketua Umum Partai Demokrat periode 2010-2015 tanpa penunjukkan dari SBY, namun patut disayangkan dalam prosesnya ada pemikiran yang tidak demokratis. Meskipun SBY tidak boleh ada di ruangan selama Kongres atau selama pemilihan berlangsung demi menjaga netralitas, namun tetap saja tidak akan ada netralitas. Yang ada adalah subyektifitas seorang SBY untuk memilih siapa yang berhak menjadi ketua.
Hal itu lah yang perlu menjadi catatan Partai Demokrat kedepan. Jangan sampai pemikiran atau cara-cara yang tidak demokratis ditempuh dalam setiap kebijakan internal partai. Percuma kalian berteriak lantang atas nama demokrasi, namun demokrasi kalian adalah BUSUK..!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar