Pemilu Legislatif 9 April lalu menyisakan banyak masalah. Setiap orang memiliki komentar negatif, bahkan opini pun cepat terbangun bahwa Pemilu Legislatif 2009 adalah pemilu terburuk sepanjang perjalanan sejarah demokrasi di Indonesia.
Banyaknya persoalan itu bisa menghipnosis kita untuk lalai berpikir hal yang lebih substantif perihal outputyang dihasilkan pemilu legislatif yang baru saja berlalu. Munculnya beberapa nama dan wajah baru yang kemungkinan lebih mendominasi posisi di lembaga legislatif (DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota) memberikan kekhawatiran baru. Mungkinkah mereka mampu menjalankan fungsinya secara tepat dalam mengadvokasi kepentingan rakyat lima tahun ke depan?
Walaupun secara normatif, pascareformasi, pemilu (pileg, pilpres, dan pilkada) telah dilaksanakan secara langsung dan memberikan sejumlah harapan baru pada saat yang bersamaan pemilu juga memiliki peluang untuk jatuh dalam perangkap electoralism. Padahal, salah satu faktor kunci yang menentukan keberhasilan memperoleh manfaat dari sistem pemilu adalah kemampuan menghindari jebakan demokrasi electoral.
Karena kurang lebih sembilan tahun belakangan ini, konsep demokrasi electoral--sebagai konsep yang menekankan pada pertarungan kompetitif dalam memperoleh suara rakyat--merupakan konsep yang sangat populer. Prinsip-prinsip demokrasi electoraltidak hanya diyakini dalam dunia akademik, tapi sudah menjadi rujukan utama dalam praktek politik dan pemerintahan di Indonesia.
Setidaknya hal itu terlihat jelas dalam kerangka paradigmatik yang menjiwai politik regulasi nasional maupun tindakan-tindakan politik yang dilakukan oleh rezim pasca-Soeharto, mulai rezim Habibie sampai dengan SBY.
Seperti pada umumnya penganut pendekatan electoral, para akademisi dan praktisi politik dewasa ini merumuskan demokrasi sebagai pengaturan kelembagaan untuk mencapai keputusan-keputusan politik, di mana individu-individu, melalui perjuangan memperebutkan suara rakyat pemilih, memperoleh kekuasaan untuk membuat keputusan sehingga dalam merumuskan makna demokrasi, mereka selalu merujuk pada tiga hal yang paling elementer; partisipasi, kompetisi dan liberalisasi.
Partisipasi politik, salah satu isu krusial dalam pemilu adalah persoalan partisipasi politik. Karena apa? Partisipasi warga negara dalam pemilu memiliki kontribusi bagi pengembangan kualitas demokrasi kalau para partisipan memiliki kesadaran kritis dalam menggunakan hak-haknya.
Dalam isu kompetisi politik ada problematika yang sedang dan mungkin muncul dalam pemilu jika penyelenggara tidak kompeten dan credible, diragukan netralitasnya, birokrasi juga secara diam-diam melakukan keberpihakan, pembiayaan pemilu yang tidak adil dan tidak seimbang, dan political equality(persamaan kesempatan dalam berkompetisi).
Dalam demensi kebebesan sipil ada dua hal yang bisa menjadi problem krusial. Pertama, munculnya ketakutan pemilih untuk menggunakan hak pilihnya karena penggunaan cara-cara kekerasan; premanisme, intimidasi secara fisik dan teror. Kedua, munculnya ketakutan dari pemilih untuk menggunakkan hak pilihnya karena menguatnya penggunaan wacana antipluralisme--di mana orang takut memilih pilihan yang berbeda. Atau hilangnya hak pilih karena sengaja dihilangkan.
Secara prosedural, ketiga hal pokok itu (partisipasi, kompetisi, dan liberalisasi), dilembagakan dalam pemilihan umum dan lembaga perwakilan. Pemilu merupakan arena kompetisi untuk menentukan pejabat-pejabat publik di eksekutif maupun legislatif. Partai politik dan parlemen merupakan dua institusi politik utama yang menjadi wadah artikulasi dan agregasi kepentingan publik.
Demokrasi Semu
Penekanan yang berlebihan pada electoralismmenimbulkan beberapa konsekuensi. Pertama, demokrasi seolah-olah sudah selesai untuk dibicarakan ketika sistem pemilihan yang menjamin partisipasi dan kompetisi politik secara formal sudah terbangun.
Banyak kalangan sudah berpuas diri ketika sistem pemilihan legislatif, presiden, gubernur dan bupati/wali kota berhasil terumuskan dalam agenda policy reform. Padahal, sistem pemilihan itu tidak akan berarti apa-apa bagi demokrasi jika sistem itu justru menjadi "topeng" atau bahkan dibajak kekuatan-kekuatan antidemokrasi.
Kedua, konsep-konsep demokrasi elektoral berisiko menimbulkan apa yang disebut Tery Karl dengan "kekeliruan electoralism". Kekeliruan electoralismini terjadi ketika konsep itu mengistimewakan pemilu di atas dimensi-dimensi lain, dan mengabaikan kemungkinan yang bisa ditimbulkan pemilu multi partai dalam menyisihkan hak sebagian masyarakat tertentu untuk bersaing memperebutkan kekuasaan atau meningkatkan dan membela kepentingannya atau menciptakan arena-arena pembuatan kebijakan penting yang berada di luar kendali para pejabat terpilih.
Ketiga, optimisme yang menggebu dari konsep demokrasi electoraldalam menciptakan kepastian-kepastian membuat konsep ini mengabaikan faktor-faktor di luar dimensi pemilu dan partai politik, seperti budaya politik dan legitimasi demokrasi. Budaya politik menyangkut pola keyakinan, nilai-nilai, ide-ide, sentimen, dan sikap-sikap suatu masyarakat tentang sistem politik negeri mereka dan peran setiap individu dalam sistem tersebut.
Keempat, demokrasi electoralcenderung formalis dan prosedural sehingga gagal untuk menjelaskan kemunculan bentuk-bentuk partisipasi dan kompetisi semu (ertzast). Mungkin saja terlihat ada perluasan partisipasi massa, tapi partisipasi yang terjadi lebih dalam kerangka mobilisasi.
Demikian pula dengan kompetisi politik, secara formal menurut kriteria demokrasi elektoral, pemilu multipartai sudah dilakukan secara bebas dan reguler, tapi secara substansi kompetisi itu dilakukan dalam manifestasi kultural yang sama sekali berbeda.
Demokrasi electoralmenjadi gagap dalam menjelaskan peranan para botoh dan perilaku mistis dari sebagian elite politik yang tengah melakukan kompetisi politik. Electoralternyata bukan satu-satunya ukuran dalam melihat demokrasi bekerja, akan tetapi ada banyak variabel lokal dan kultural yang menjadi penentu keberhasilan jalannya demokrasi. Misalnya, penelitian yang dilakukan J. Mardimin dalam kompetisi politik di perdesaan Jawa, menunjukan ada tiga hal yang dianggap sebagai modal utama bagi seorang calon perangkat desa untuk memenangkan pemilihan; dukun, duit, dan dukungan. Yang dalam Pemilu Legislatif 9 April yang lalu nyaris kita temui hampir di setiap daerah.
Akhirnya, keempat kritik yang ditujukan pada demokrasi electoralbukan sesuatu yang berlebihan. Karena pengabaian terhadap dimensi liberalisasi, budaya politik dan legitimasi demokrasi ini menimbulkan kosekuensi terbangunnya model demokrasi semu (pseudo-democracy). Juan Linz mendefinisikan demokrasi semu sebagai sebuah kecenderungan di mana "keberadaan lembaga-lembaga politik demokratis secara formal, seperti pemilu multipartai menyebabkan dominasi kekuatan otoriter menjadi tidak kasat mata".
Dalam tipologi yang berbeda demokrasi semu berawal dari konsensus di antara para pemain politik untuk menggunakan prosedural dan institusi demokrasi secara formal, tapi substansi permainan berada di luar skenario yang diinginkan penganjur demokrasi electoral. Dengan demikian, masyarakat kehilangan kontrol pada substansi maupun proses perumusan kebijakan publik.
Akhirnya, kita hanya bisa berdoa semoga pilihan kita pada Pemilu 2009 ini adalah pilihan yang benar. Sebab, jika yang kita pilih ternyata hanyalah orang yang populer dengan lawakannya, dengan kekonyolan tanpa dibarengi kemampuan legislasi, penganggaran dan pengawasan--meminjam istilah orang bijak--bisa jadi itulah gambaran bangsa ini secara keseluruhan, dan akhirnya kita tidak mendapatkan apa-apa dari pesta demokrasi tahun 2009 ini, selain dari lawakan politik yang tidak lucu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar