Ternyata persoalan pendidikan di Negeri kita masih menyisakan persoalan klasik. Ide baik untuk meningkatkan mutu pendidikan tidak dibarengi oleh niat dan pelaksanaan di lapangan yang baik. Akbiatnya, lagi-lagi Ujian Nasional selalu ada kecurangan dan kekurangan. Seperti laporan dari Dinas Pendidikan Nasional, untuk UN tahun ini telah ditemukan sebanyak 472 kasus terkait UN. Kasus yang muncul yang dilaporkan dari berbagai daerah umumnya tentang masalah kelengkapan dokumen, isu kebocoran soal UN dan beredarnya lembar jawaban. Yang ebih parahnya lagi adalah ternyata masih banyak kasus kecurangan yang dilakukan pihak sekolah agar siswanya dapat lulus 100%.
Praktek kecurangan
Tiap menjelang UN, ramai-ramai sekolah membentuk tim sukses UN. Strategi yang dilakukan adalah melakukan intensifikasi belajar mengajar. Siswa diberikan pengayaan dan tambahan pendalaman materi yang akan di UN-kan. Ini merupakan langkah positif, namun disayankan ketika hai pelaksanaan UN, ternyata tim sukses ini melakukan segala cara agar siswa-siswinya dapat lulus semua.
Teringat cerita dari seorang anak siswi SMP di Kota Cirebon tentang kecurangan dalam Ujian Nasional. Anak itu bercerita kalau dirinya ditunjuk oleh gurunya sebagi koordinator kelasnya dalam mendistribusikan jawaban yang diberikan guru kepada kawan-kawan di ruang ujian itu. Dia menceritakan kalau dirinya diberi sejumlah jawabab dalam lembar kertas kecil. Jika dihitung, jumlah jawaban yang diberikan bervariasi dari setiap mata pelajaran yang diujikan. Julahnya berkisar antara 20-40 soal, tergantung jumlah soal dari masing-masing pelajaran. Intinya, jika seorang siswa tidak bisa menjawab soal sama sekali, asalkan mengikuti jawaban yang diberikan guru, dijamin akan lulus. Dan jika ingin mendapat nilai lebih, selebihnya siswa menjawabnya sendiri.
Ada pengakuan lagi dari seorang bapak yang bekerja di sebuah sekolah negeri setingkat SMA di Kota Cirebon. Ia bekerja sebagai seorang pesuruh dan sekaligus sopir kepala sekolah. Ketika itu ia mengantar kepala sekolah rapat pimpinan sekolah Negeri se-Kota Cirebon terkait persiapan UN yang diundang oleh Kepala Dinas Pendidikan. Tak sengaja dia mendengar pembicaraan rapa itu. Orang yang memimpin rapat itu mengatakan kurang lebih begini :
"ya saya sangat berharap UN kali ini bisa lulus 100%. tentunya bapak ibu disini sudah mengerti bagaimana caranya. walaupun pengawas ujian berasal dari sekolah yang berbeda, tetapi dimohon bekerjasama demi kebaikan bersama. Mohon ini jangan sampai diketahui pihak luar."
Ditambahkan lagi bahwa ia pernah tidak sengaja masuk ruang panitia di sela-sela waku istirahat pergantian jadwal ujian. Pada saat itu beberapa orang guru sedang sibuk membuka-buka dan menulisi atau menghapus lembar jawaban para siswa. Salah seorang guru langsung berkomentar kalau mereka sedang memperbaiki penulisan nama, tanggal lahir, dan kode soal serta kode sekolah yang masih banyak kesalahan dan tidak diisi.
"tapi anehnya, memperbaiki bagian identitas kok di kolom jawaban", tuturnya.
Kisah ini sebagai gambaran bahwa pihak sekolah tidak memiliki itikad baik dalam membantu meningkatkan mutu pendidikan, sebab paradigma yang digunakan hanya sebatas persoalan angka atau nilai. Pihak sekolah atau institusi pendidikan di tingkat bawah belum siap menerima kenyataan jika anak didiknya ada yang tidak lulus. Jadi, capaian mutu pendidikan di Indonesia selama ini hanya sebatas kamuflase semata, sebab deretan angka-angka yang dicapai oleh siswa adalah hasil konspirasi. Walaupun masih ada sekolah-sekolah yang memang kualitasnya diakui dan tidak melakukan kecurangan.
Sangat ironis melihat realitas seperti ini. Di tengah rendahnya kualitas sumberdaya manusia, upaya peningkatannya pun tidak didukung penuh oleh semua stakeholders. Melihat realitas mengenai banyaknya kecurangan dalam pelaksanaan Ujian Nasional mengindikasikan masih rendahnya mutu pendidikan di negeri ini. Oleh karena itu perlu upaya ekstra dari pemerintah untuk mengatasi hal ini.
Tidak perlu tergesa-gesa
Sebenarnya pemerintah tidak perlu tergesa-gesa untuk menaikkan standar kelulusan siswa. Buat apa tiap tahun ajaran menaikkan standar kelulusan jika pelaksanaannya masih menyimpang? Jika memang mutu pendidikan kita belum bisa disejajarkan dengan negara lain, seharusnya tidak perlu kita menyamakan standar dengan mereka. Biarkan proses secara perlahan-lahan saja namun pasti. Butuh penyesuaian bagi siswa ataupun sekolah dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Karena sistem penidikan yang selama ini diterapkan tidak ada standar kelulusannya. Teringat keika jaman saya masih sekolah dahulu, bahwa setiap siswa pasti lulus dengan nilai berapapun. resikonya, jika siswa tidak mendapatkan nilai terbaik, akan sulit bersaik untuk masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Konsekuensi dari sistem pendidikan seperti ini adalah tidak ada semangat baik dari siswa atau pihak penyelengara pendidikan untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
Dengan melihat masih banyaknya praktek kecurangan dan ketakutan dari siswa atau sekolah terhadap lulusan, sebaiknya pemerintah tidak terburu-buru mengeluarkan kebijakan mengenai peningkatan standar nilai kelulusan. Pihak perumus kebijakan harus jeli membaca situasi seperti ini, sehingga dapat menemukan formulasi kebijakan yang tepat untuk saat ini. Pemerinah tidak perlu takut tersaingi dengan negara tetangga mengenai standar mutu pendidikan.
Praktek kecurangan
Tiap menjelang UN, ramai-ramai sekolah membentuk tim sukses UN. Strategi yang dilakukan adalah melakukan intensifikasi belajar mengajar. Siswa diberikan pengayaan dan tambahan pendalaman materi yang akan di UN-kan. Ini merupakan langkah positif, namun disayankan ketika hai pelaksanaan UN, ternyata tim sukses ini melakukan segala cara agar siswa-siswinya dapat lulus semua.
Teringat cerita dari seorang anak siswi SMP di Kota Cirebon tentang kecurangan dalam Ujian Nasional. Anak itu bercerita kalau dirinya ditunjuk oleh gurunya sebagi koordinator kelasnya dalam mendistribusikan jawaban yang diberikan guru kepada kawan-kawan di ruang ujian itu. Dia menceritakan kalau dirinya diberi sejumlah jawabab dalam lembar kertas kecil. Jika dihitung, jumlah jawaban yang diberikan bervariasi dari setiap mata pelajaran yang diujikan. Julahnya berkisar antara 20-40 soal, tergantung jumlah soal dari masing-masing pelajaran. Intinya, jika seorang siswa tidak bisa menjawab soal sama sekali, asalkan mengikuti jawaban yang diberikan guru, dijamin akan lulus. Dan jika ingin mendapat nilai lebih, selebihnya siswa menjawabnya sendiri.
Ada pengakuan lagi dari seorang bapak yang bekerja di sebuah sekolah negeri setingkat SMA di Kota Cirebon. Ia bekerja sebagai seorang pesuruh dan sekaligus sopir kepala sekolah. Ketika itu ia mengantar kepala sekolah rapat pimpinan sekolah Negeri se-Kota Cirebon terkait persiapan UN yang diundang oleh Kepala Dinas Pendidikan. Tak sengaja dia mendengar pembicaraan rapa itu. Orang yang memimpin rapat itu mengatakan kurang lebih begini :
"ya saya sangat berharap UN kali ini bisa lulus 100%. tentunya bapak ibu disini sudah mengerti bagaimana caranya. walaupun pengawas ujian berasal dari sekolah yang berbeda, tetapi dimohon bekerjasama demi kebaikan bersama. Mohon ini jangan sampai diketahui pihak luar."
Ditambahkan lagi bahwa ia pernah tidak sengaja masuk ruang panitia di sela-sela waku istirahat pergantian jadwal ujian. Pada saat itu beberapa orang guru sedang sibuk membuka-buka dan menulisi atau menghapus lembar jawaban para siswa. Salah seorang guru langsung berkomentar kalau mereka sedang memperbaiki penulisan nama, tanggal lahir, dan kode soal serta kode sekolah yang masih banyak kesalahan dan tidak diisi.
"tapi anehnya, memperbaiki bagian identitas kok di kolom jawaban", tuturnya.
Kisah ini sebagai gambaran bahwa pihak sekolah tidak memiliki itikad baik dalam membantu meningkatkan mutu pendidikan, sebab paradigma yang digunakan hanya sebatas persoalan angka atau nilai. Pihak sekolah atau institusi pendidikan di tingkat bawah belum siap menerima kenyataan jika anak didiknya ada yang tidak lulus. Jadi, capaian mutu pendidikan di Indonesia selama ini hanya sebatas kamuflase semata, sebab deretan angka-angka yang dicapai oleh siswa adalah hasil konspirasi. Walaupun masih ada sekolah-sekolah yang memang kualitasnya diakui dan tidak melakukan kecurangan.
Sangat ironis melihat realitas seperti ini. Di tengah rendahnya kualitas sumberdaya manusia, upaya peningkatannya pun tidak didukung penuh oleh semua stakeholders. Melihat realitas mengenai banyaknya kecurangan dalam pelaksanaan Ujian Nasional mengindikasikan masih rendahnya mutu pendidikan di negeri ini. Oleh karena itu perlu upaya ekstra dari pemerintah untuk mengatasi hal ini.
Tidak perlu tergesa-gesa
Sebenarnya pemerintah tidak perlu tergesa-gesa untuk menaikkan standar kelulusan siswa. Buat apa tiap tahun ajaran menaikkan standar kelulusan jika pelaksanaannya masih menyimpang? Jika memang mutu pendidikan kita belum bisa disejajarkan dengan negara lain, seharusnya tidak perlu kita menyamakan standar dengan mereka. Biarkan proses secara perlahan-lahan saja namun pasti. Butuh penyesuaian bagi siswa ataupun sekolah dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Karena sistem penidikan yang selama ini diterapkan tidak ada standar kelulusannya. Teringat keika jaman saya masih sekolah dahulu, bahwa setiap siswa pasti lulus dengan nilai berapapun. resikonya, jika siswa tidak mendapatkan nilai terbaik, akan sulit bersaik untuk masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Konsekuensi dari sistem pendidikan seperti ini adalah tidak ada semangat baik dari siswa atau pihak penyelengara pendidikan untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
Dengan melihat masih banyaknya praktek kecurangan dan ketakutan dari siswa atau sekolah terhadap lulusan, sebaiknya pemerintah tidak terburu-buru mengeluarkan kebijakan mengenai peningkatan standar nilai kelulusan. Pihak perumus kebijakan harus jeli membaca situasi seperti ini, sehingga dapat menemukan formulasi kebijakan yang tepat untuk saat ini. Pemerinah tidak perlu takut tersaingi dengan negara tetangga mengenai standar mutu pendidikan.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar