Mencegah Kepunahan Budaya Lokal
Oleh: Bambang Wibiono
Oleh: Bambang Wibiono
AKHIR-AKHIR ini kita semakin prihatin, sebab semakin lama semakin banyak bahasa yang mati atau "sakit parah" di dunia, termasuk di Indonesia. Beberapa waktu lalu dikabarkan, bahasa Kaili sudah di ambang kepunahan. Bahasa Kaili adalah bahasa ibu masyarakat etnik Kaili. Suku bangsa Kaili merupakan kelompok terbesar atau mayoritas masyarakat Sulawesi Tengah (Sulteng).
Bahasa Kaili kini terancam punah karena peminggiran struktural yang terjadi dalam masyarakat Sulteng sendiri. Generasi muda Kaili secara perlahan tapi pasti mulai melupakan penggunaan bahasa ibunya sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, peminggiran bahasa tersebut juga terjadi lewat diskriminasi pengambilan kebijakan pemerintah, di samping tiadanya kemauan berbagai pihak untuk melahirkan kesepakatan dalam membentuk standardisasi (pembakuan) ketatabahasaan Kaili (Kompas, 6 November 2002).
Rupanya gejala yang sama juga terjadi di daerah Banyumas. Penggunaan bahasa Jawa Banyumasan semakin lama semakin terpinggirkan. Pemeliharaan bahasa Jawa Banyumasan sungguh menyedihkan. Bagaimana tidak jika generasi penerusnya saja enggan menggunakannya. Sebagai misal, Pelajar atau mahasiswa banyumas sekarang nampaknya lebih menyukai penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa pergaulannya di Kampus, mungkin tidak terlalu menjadi masalah jika itu dilakukan di luar banyumas, tetapi ini banyak terjadi di sekolah dan kampus di Banyumas itu sendiri, bahkan dengan sesama orang banyumas.
KRISIS penggunaan bahasa ibu di tanah air ternyata berdampak negatif terhadap kelestarian alam. Menurut guru besar antropologi-sosiologi Fakultas Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Padjadjaran (Unpad) Jatinangor, Dr. Kusnaka Adimihardja, M.A., tersingkirnya bahasa-bahasa lokal (daerah) di Indonesia merupakan salah satu penyebab seringnya terjadi bencana alam (banjir, longsor, kerusakan hutan dan lain-lain). Ia sangat memprihatinkan marginalisasi atau peminggiran berbagai bahasa daerah di tanah air baik disengaja maupun tidak disengaja. Peminggiran bahasa-bahasa daerah ternyata telah meminggirkan kearifan lokal di bidang lingkungan. Banyak sekali idiom dalam bahasa lokal yang berhubungan erat dengan pengetahuan sosial, ekologi, dan kelestarian lingkungan.
Kusnaka Adimihardja menegaskan, upaya untuk mencegah terjadinya berbagai bencana alam yang semakin sering melanda Indonesia, jelas terkait erat dengan pemahaman bahasa lokal yang berhubungan dengan pengetahuan sosial dan ekologi. Kerusakan lingkungan alam kita sekarang juga disebabkan penyimpangan masyarakat dari pakem kearifan tradisi yang ditunjukkan dengan berbagai ungkapan karuhun atau nenek moyang kita dalam bentuk klasifikasi bahasa. Menurut Kusnaka, proses mulai hilangnya bahasa-bahasa daerah di tanah air, yang juga diakibatkan semakin berkurangnya penutur asli bahasa lokal, haruslah dipandang sebagai suatu bencana sosial yang bersifat global (Pikiran Rakyat, 6 Maret 2003).
Para anggota DPRD waktu itu juga tidak melihat media massa lokal sebagai salah satu komponen atau institusi sosial yang mampu berkontribusi besar dalam pelestarian bahasa, sastra, dan aksara daerah khususnya dan kebudayaan daerah umumnya. Padahal, sudah lama diakui oleh para pakar komunikasi dunia -- dan telah terbukti secara empiris -- bahwa media massa mampu mewariskan peradaban atau kebudayaan dari satu generasi ke generasi berikutnya secara terus menerus.
Telah lama pula disadari bahwa setiap masyarakat wajib untuk memelihara atau melestarikan budayanya, baik budaya lokal (daerah) maupun budaya nasional dan global. Bahkan secara sadar setiap masyarakat juga merasa berkewajiban untuk mewariskan budayanya, terutama budaya lokal atau daerahnya, kepada keturunannya atau generasi penerusnya. Sejarah umat manusia telah membuktikan ini sejak dahulu kala hingga kini.
Banyak cara dan upaya yang ditempuh warga masyarakat untuk memelihara atau melestarikan dan mewariskan budayanya. Selain cara-cara yang tradisional atau konvensional, upaya pelestarian dan pewarisan budaya lokal juga sudah cukup lama dilakukan melalui media massa cetak dan elektronik lokal. Di Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur, misalnya, sudah puluhan tahun media massa cetak (surat kabar dan majalah) dan elektronik (terutama radio) secara sadar dan terencana untuk melestarikan dan mewariskan budaya daerah setempat, terutama bahasa dan kesenian Sunda dan Jawa, baik yang tradisional maupun yang populer. Tak dapat diingkari betapa besarnya kontribusi atau andil media massa berbahasa daerah di Pulau Jawa selama ini dalam pelestarian dan pewarisan budaya lokal. Meskipun begitu, ternyata bahasa daerah (Sunda) kini telah berada di ambang kepunahan sebagaimana diungkapkan pada bagian awal tulisan ini.
Para pakar jurnalistik atau komunikasi massa telah lama merumuskan beberapa fungsi atau peran utama media massa, yakni menyiarkan informasi, mendidik, menghibur dan melakukan kontrol sosial. Melalui fungsinya sebagai pemberi informasi dan pendidik, media massa berbahasa daerah berperan besar dalam pemeliharaan, pelestarian dan pewarisan budaya daerah setempat dari masa ke masa, dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Bahasa Kaili kini terancam punah karena peminggiran struktural yang terjadi dalam masyarakat Sulteng sendiri. Generasi muda Kaili secara perlahan tapi pasti mulai melupakan penggunaan bahasa ibunya sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, peminggiran bahasa tersebut juga terjadi lewat diskriminasi pengambilan kebijakan pemerintah, di samping tiadanya kemauan berbagai pihak untuk melahirkan kesepakatan dalam membentuk standardisasi (pembakuan) ketatabahasaan Kaili (Kompas, 6 November 2002).
Rupanya gejala yang sama juga terjadi di daerah Banyumas. Penggunaan bahasa Jawa Banyumasan semakin lama semakin terpinggirkan. Pemeliharaan bahasa Jawa Banyumasan sungguh menyedihkan. Bagaimana tidak jika generasi penerusnya saja enggan menggunakannya. Sebagai misal, Pelajar atau mahasiswa banyumas sekarang nampaknya lebih menyukai penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa pergaulannya di Kampus, mungkin tidak terlalu menjadi masalah jika itu dilakukan di luar banyumas, tetapi ini banyak terjadi di sekolah dan kampus di Banyumas itu sendiri, bahkan dengan sesama orang banyumas.
KRISIS penggunaan bahasa ibu di tanah air ternyata berdampak negatif terhadap kelestarian alam. Menurut guru besar antropologi-sosiologi Fakultas Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Padjadjaran (Unpad) Jatinangor, Dr. Kusnaka Adimihardja, M.A., tersingkirnya bahasa-bahasa lokal (daerah) di Indonesia merupakan salah satu penyebab seringnya terjadi bencana alam (banjir, longsor, kerusakan hutan dan lain-lain). Ia sangat memprihatinkan marginalisasi atau peminggiran berbagai bahasa daerah di tanah air baik disengaja maupun tidak disengaja. Peminggiran bahasa-bahasa daerah ternyata telah meminggirkan kearifan lokal di bidang lingkungan. Banyak sekali idiom dalam bahasa lokal yang berhubungan erat dengan pengetahuan sosial, ekologi, dan kelestarian lingkungan.
Kusnaka Adimihardja menegaskan, upaya untuk mencegah terjadinya berbagai bencana alam yang semakin sering melanda Indonesia, jelas terkait erat dengan pemahaman bahasa lokal yang berhubungan dengan pengetahuan sosial dan ekologi. Kerusakan lingkungan alam kita sekarang juga disebabkan penyimpangan masyarakat dari pakem kearifan tradisi yang ditunjukkan dengan berbagai ungkapan karuhun atau nenek moyang kita dalam bentuk klasifikasi bahasa. Menurut Kusnaka, proses mulai hilangnya bahasa-bahasa daerah di tanah air, yang juga diakibatkan semakin berkurangnya penutur asli bahasa lokal, haruslah dipandang sebagai suatu bencana sosial yang bersifat global (Pikiran Rakyat, 6 Maret 2003).
Para anggota DPRD waktu itu juga tidak melihat media massa lokal sebagai salah satu komponen atau institusi sosial yang mampu berkontribusi besar dalam pelestarian bahasa, sastra, dan aksara daerah khususnya dan kebudayaan daerah umumnya. Padahal, sudah lama diakui oleh para pakar komunikasi dunia -- dan telah terbukti secara empiris -- bahwa media massa mampu mewariskan peradaban atau kebudayaan dari satu generasi ke generasi berikutnya secara terus menerus.
Telah lama pula disadari bahwa setiap masyarakat wajib untuk memelihara atau melestarikan budayanya, baik budaya lokal (daerah) maupun budaya nasional dan global. Bahkan secara sadar setiap masyarakat juga merasa berkewajiban untuk mewariskan budayanya, terutama budaya lokal atau daerahnya, kepada keturunannya atau generasi penerusnya. Sejarah umat manusia telah membuktikan ini sejak dahulu kala hingga kini.
Banyak cara dan upaya yang ditempuh warga masyarakat untuk memelihara atau melestarikan dan mewariskan budayanya. Selain cara-cara yang tradisional atau konvensional, upaya pelestarian dan pewarisan budaya lokal juga sudah cukup lama dilakukan melalui media massa cetak dan elektronik lokal. Di Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur, misalnya, sudah puluhan tahun media massa cetak (surat kabar dan majalah) dan elektronik (terutama radio) secara sadar dan terencana untuk melestarikan dan mewariskan budaya daerah setempat, terutama bahasa dan kesenian Sunda dan Jawa, baik yang tradisional maupun yang populer. Tak dapat diingkari betapa besarnya kontribusi atau andil media massa berbahasa daerah di Pulau Jawa selama ini dalam pelestarian dan pewarisan budaya lokal. Meskipun begitu, ternyata bahasa daerah (Sunda) kini telah berada di ambang kepunahan sebagaimana diungkapkan pada bagian awal tulisan ini.
Para pakar jurnalistik atau komunikasi massa telah lama merumuskan beberapa fungsi atau peran utama media massa, yakni menyiarkan informasi, mendidik, menghibur dan melakukan kontrol sosial. Melalui fungsinya sebagai pemberi informasi dan pendidik, media massa berbahasa daerah berperan besar dalam pemeliharaan, pelestarian dan pewarisan budaya daerah setempat dari masa ke masa, dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar