Sistem Kerja Imperialisme Melalui Legitimasi Ilmu Pengetahuan
Saat ini dunia sedang digempur oleh arus budaya yang datangnya dari dunia barat yang cenderung destruktif terhadap nilai-nilai etika kemanusiaan, sosial, budaya, ekonomi dan politik. Di tengah perkembangan dunia global dan kemudahan informasi, arus budaya tersebut berkembang dan menyebar lebih mudah dan cepat.
Namun, internalisasi budaya barat tersebut tidaklah serta merta diterima oleh berbagai bangsa. Tentunya diperlukan sebuah pijakan legitimasi bagi penyebaran budaya tersebut. Maka diciptakanlah payung ilmiah untuk mengawalnya.
Berbagai ilmu pengetahuan diciptakan sebagai alat pembenar bagi perkembangan budaya, paham dan ajaran yang sengaja dihembuskan oleh negara-negara barat, tentunya dengan maksud proyek impreialisme baru. Ilmu pengetahuan digiring untuk melegitimasi pandangan kaum imperialis. Mereka menganggap bahwa ajaran atau budaya yang ditawarkan akan membawa kemajuan bagi setiap bangsa, seperti kemajuan yang telah dicapai oleh bangsa-bangsa barat seperti Eropa, Amerika yang telah mengalami kemajuan pesat. Akhirnya mau-tidak mau kita terbuai akan janji manis kaum imperialis. Kiblat ilmu pengetahuan pun selalu berpatokan pada negara-negara tersebut.
Kita diajari bahwa satu-satunya sistem sosial yang ada adalah sistem barat, satu-satunya sistem ekonomi dan politik yang benar adalah sistem yang dianut barat. Kita diajarkan bahwa hak-hak manusia pertama kali diakui dalam revolusi Peranis, bahwa demokrasi didorong dan dopopulerkan oleh orang Inggris, dan bahwa kekaisaran romawi yang menyediakan dasar peradaban.
Kondisi seperti inilah yang sebenarnya dialami oleh bangsa Indonesia. Negara Indonesia yang dianggap sebagai negara miskin, menjadi objek gempuran pengaruh barat tersebut yang tak lain adalah sebagai upaya imperialisme gaya baru melalui kapitalisme, materialisme, neoliberalisme. Sumberdaya yang dimiliki bangsa ini dieksploitasi dan diangkut ke luar.
Kita dicekoki oleh khayalan-khayalan akan kemajuan seperti yang dialami oleh negara-negara di barat sana. Parahnya bangsa kita menerima mentah-mentah saja akan pengaruh dan budaya tesebut. Jargon pembangunan dan modernisasi dipakai untuk alasan pembenar. Segala kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah selalu mengatasnamakan pembangunan dan modernisasi.
Misalnya saja proyek pembagunan dan modernisasi yang dilakukan oleh pemerintah orde baru menjadi isu sentral di negara kita. Masyarakat pedesaan menjadi objek proyek tersebut bagi tercapainya industrialisasi perkotaan. Revolusi hijau diupayakan secara intensif bagi masyarakat petani pedesaan.
Namun apa yang terjadi setelah itu? Banyak kajian para ilmuwan yang mengatakan bahwa dengan hadirnya industrialisasi melalui revolusi hijau di pedesaan, telah mengakibatkan rusaknya tatanan sosial yang telah ada dan telah berjalan dinamis pada masyarakat pedesaan. Nilai-nilai kearifan lokal telah hilang, budaya masyarakat pedesaan menjadi konsumtif dan materialis. Budaya gotong royong mulai berubah menjadi individualis. Akibatnya banyak lahan-lahan pertanian yang dikuasai oleh kaum pemilik modal, dan tentu saja para petani tersebut hanya menjadi buruh-buruh yang murah. Inilah sebenarnya yang diinginkan oleh kaum imperialis, penguasaan sumberdaya alam, menciptakan tenaga kerja murah bagi kebutuhan industri dengan terlebih dahulu mencekokinya dengan kesenangan.
Sebenarnya jargon pembangunan dan modernisasi yang ditawakan negara barat telah gagal mewujudkan janjinya pada negara dunia ketiga. Mansour Fakih (2001) menunjukkan bahwa proyek percontohan pada negara-negara di Asia telah gagal mewujudkannya. Negara-negara NICs (Newly Industrial Countries) di Asia, bahkan Indonesia termasuk di dalamnya tidak mampu bertahan dihantam oleh badai krisis yang melanda dunia. Sistem kapitalis yang diterapkan tidak mampu membendung krisis tersebut, bahkan yang ada hanyalah berkembang menjadi krisis multidimensi.
Teori ekonomi barat menilai bahwa tingkat kemajuan sebuah negara adalah ketika telah mencapai tingkat konsumsi tinggi. Inilah yang diamini oleh bangsa kita. Kita terjebak pada budaya konsumerisme yang sesungguhnya hanya akan menguntungkan kaum pemodal asing. Bangsa kita enggan untuk mencoba menjadi bagsa produktif, tetapi lebih nyaman hanya sebagai konsumen.
Gempuran Budaya Pada Generasi Bangsa
Sebenarnya gejala individualis, materialis, pragmatis, dan konsumtif ini juga yang sedang melanda generasi muda bangsa Indonesia. Sistem sosial, ekonomi, budaya, bahkan pendidikan diarahkan pada paham materialisme dan individualisme. Banyak generasi muda bangsa ini yang terjebak pada kesenangan sesaat. Banyak tersedianya fasilitas-fasilitas hiburan digunakan untuk mempengaruhi gaya hidup dan pola pikir generasi muda. Berbagai produk yang sifatnya konsumtif dijejali kepada anak-anak muda, dan mereka menikmatinya. Namun yang lebih parahnya, barang-barang konsumtif itu dimiliki oleh orang asing yang pada akhirnya hanya akan menguntungkannya. Bangsa kita hanya dijadikan objek pasar yang sangat menjanjikan.
Dalam hal pendidikan, pola pikir pelajar kita telah mengarah pada sikap pragmatisme dan individualisme. Yang mereka pikirkan hanyalah masa depannya, tanpa memikirkan kontribusinya bagi masyarakat, kemajuan dan kesejahteraan bangsa. Institusi-institusi pendidikan di Indonesia telah berubah layaknya pabrik penghasil buruh-buruh. Kondisi ini dilegitimasi oleh lahirnya kebijakan pemerintah melalui Undang-undang BHP. Institusi pendidikan dijadikan lahan bisnis bagi sebagian orang. Akibatnya out put yang dihasilkan tidak sesuai dengan apa yang dicita-citakan. Sebab mekanisme yang terjadi di dalamnya tidak mampu memberikan pendidikan yang memanusiakan manusia.
Mari kita lihat gejala yang terjadi pada generasi muda saat ini. Berapa banyak pelajar, mahasiswa yang peduli dengan nasib masyarakat sekitar. Kaum yang katanya terpelajar dan sebagai agent of change yang seharusnya kritis dan peduli, menjadi masa bodoh. Yang mereka pikirkan hanyalah memperoleh nilai yang bagus, serta cepat lulus, lalu bekerja.
Sistem pendidikan di sekolah atau perguruan tinggi diarahkan agar kita disibukan dengan “aktivitas akademik”, yaitu belajar. Padahal seharusnya dimensi pendidikan atau aktivitas akademik tidak melulu berkutat pada kegiatan belajar di kelas atau mengerjakan tugas. Aktivitas akademik juga menyangkut pertanggungjawaban secara moral kepada kehidupan masyarakat sekitar. Kita harus tanggap terhadap permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat, dan berupaya untuk mengatasi permasalahan tersebut, tanpa harus berdiam diri dan memikirkan teori-teori tanpa aplikasinya.
Kehidupan kampus dan realitas masyarakat sekitar seolah dipisahkan oleh jurang yang sangat dalam. Masyarakat yang berharap pada kaum akademisi menjadi tak berdaya. Institusi pendidikan seperti sebuah istana megah yang dihuni kaum elitis. Antara “istana akademisi” dan masyarakat tidak terdapat jembatan penghubung. Kaum akademisi sibuk dengan aktivitasnya, sementara masyarakat sibuk dengan penderitaannya.
Oleh karena itu sudah saatnya kita sadar akan bahaya imperialisme, melalui liberalisme, kapitalisme, materialisme dan konsumerisme (budaya populis) yang didukung oleh sistem pengetahuan yang mendominasinya. Kita harus hancurkan budaya dan peradaban produk barat tersebut yang telah jelas-jelas menyengsarakan masyarakat dan membuat masa depan bangsa menjadi suram, serta tidak pernah membawa pada kemajuan.
Islam Sebagai Tawaran Solusi
Islam secara harfiah berarti pembebasan dari segala bentuk perbudakan seperti menghalangi kemajuan umat manusia dan tidak mengijinkannya mengikuti jalan kemuliaan dan kebajikan (Muhammad Quthub, 2001). Ini berarti kebebasan manusia dari para diktator yang memperbudaknya dengan paksaan dan ancaman, membuatnya melakukan kesalahan dan kehilangan harga dirinya, martabat, harta benda, bahkan nyawa. Islam melepaskan manusia dari kedzaliman dengan mengatakan padanya bahwa segala kekuasaan berada di tangan Tuhan.
Kapitalisme tidak berasal dari dunia Islam, karena muncul setelah ditemukannya mesin yang secara kebetulan berlangsung di Eropa. Kapitalisme diimpor ke dunia Islam pada waktu Eropa berkuasa di sana.bersama gelombang perkembangan, kapitalisme tersebar ke dunia Islam yang menderita kemiskinan , ketertinggalan, dan terabaikan. Ini membuat banyak orang berpikir bahwa Islam menyetujui kapitalisme, dengan segala kelebihan dan kekuragannya. Mereka juga mengklaim bahwa tidak ada ketentuan dalam hukum atau aturan Islam yang bertentangan dengan kapitalisme. Mereka mengatakan bahwa karena Islam memperbolehkan kepemilikan individual, maka sama saja dengan memperbolehkan kapitalisme. Harus kita cermati bahwa kapitalisme tidak bisa tumbuh subur dan berkembang tanpa riba dan monopoli yang dua-duanya dilarang oleh Islam jauh sebelum kapitalisme lahir.
Sistem hidup yang ditawarkan oleh Islam sebenarnya telah banyak dan terbukti membawa kemajuan. Misalnya saja kemajuan dan kesejahteraan yang dialami Madinah ketika Islam berkembang dan diterapkan. Begitu juga dengan Mesir yang mengalami kejayaan selama berabad-abad. Tetapi ketika Islam mulai ditinggalkan oleh pemeluknya, kehancuran dan keterpurukan mulai dirasakan oleh negara-negara Islam. Orang-orang yang tidak senang akan kemajuan pesat dari Islam mencoba memisahkan pemeluknya dari ajarannya. Nasib buruk umat Islam sebenarnya berawal dari ketidaktahuan mereka tentang agama mereka sendiri.
Di bawah kekuasaan Barat, ilmu pengetahuan mengalami kemajuan namun manusia tertinggal jauh di belakang dan secara perlahan-lahan akan kehilangan penghargaan yang lebih tinggi dalam kehidupan manusia. Peradaban modern dengan budaya populisnya, menekankan aspek materi daripada rohani, lebih mementingkan sensualitas daripada kehidupan spiritual dan akibatnya orang lebih mementingkan kesenangan pribadi dan egoisme daripada berjuang atau menderita demi kebaikan bersama. Di sinilah peran Islam sebagai agama pembebas yang menentang segala bentuk budaya “modern” atau budaya populis yang menggejala dunia, khususnya juga pada bangsa Indonesia. Dengan kembali pada ajaran-ajaran Islam, maka akan tercipta tatanan masyarakat tamadun, sehingga Baldah Thoyyibah wa Rabbun Ghofur akan terwujud.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar