Assalamu'alaikum,,, Salam Hormat

Terima kasih atas kunjungan anda ke blog saya. Semoga bermanfaat. Semua tulisan ini hasil saya pribadi, atau diambil dari tulisan lain yang tercantum pada rujukannya. Bila mengutip baik secara langsung maupun tidak, sebagian atau keseluruhan, diharapkan Mencantumkan sumber tulisan dan penulisnya pada daftar pustaka/catatan kaki sebagai bahan rujukannya.
atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih

Senin, 23 Desember 2013

Mempertanyakan Demokrasi Independen




Oleh: Bambang Wibiono, S.IP[1]

Perhelatan suksesi Bupati Cirebon sebentar lagi akan digelar. Pesta demokrasi lokal ini menjadi parameter keberhasilan Pemilu 2014 nanti. Cerminan suksesi tingkat nasional bergantung akan berjalannya demokrasi di tingkat daerah berupa pemilihan bupati/walikota, maupun pemilihan legislatif di daerah. Untuk itu sudah sepantasnya masyarakat maupun para kontestan turut menciptakan demokrasi yang bersih, aman, tertib, dan akuntabel. Jangan sampai demokrasi dicederai oleh praktek-praktek kotor. Para kontestan yang akan bertarung pun harus mampu memberikan edukasi politik kepada masyarakat.
Mempertanyakan Jalur Independen
Ada fenomena menarik seputar suksesi Bupati Cirebon, bahkan suksesi pemilu/pemilukada di Indonesia akhir-akhir ini. Calon bupati yang terdiri dari enam pasang ini tidak semuanya didukung oleh partai politik. Satu pasangan calon bupati berani maju dari jalur independen atau nonpartai. Dari sisi teori demokrasi, jalur independen merupakan hal yang sah-sah saja selama itu tidak melanggar peraturan atau undang-undang yang berlaku. Setiap warga negara berhak untuk memilih dan dipilih dalam pemilu.  
Persoalan yang kemudian muncul adalah tentang legitimasi ketika ia terpilih. Mungkin akan sangat berat bagi pasangan terpilih dari jalur independen sebab akan berhadapan dengan partai-partai yang menjadi lawannya. Calon yang berasal dari partai atau yang diusung oleh partai saja sulit untuk “bertarung” jika tak memiliki dukungan mayoritas partai di legislatif, apalagi kandidat yang tidak berasal dari partai. Ini akan sulit memperoleh dukungan suara atau back up dalam hal menjalankan tugasnya.
Fenomena “demokrasi independen” mulai muncuat pasca gerakan reformasi tahun 1998. Ini akibat dari ketidakpercayaan rakyat terhadap lembaga-lembaga politik seperti partai. Adalah hal yang wajar ketika itu karena setelah lebih dari tiga dekade rakyat Indonesia terkungkung oleh rezim orde baru yang menggerogoti negeri ini. Bahkan sempat muncul isu pembubaran Partai Golkar yang dianggap partai terlarang layaknya PKI ketika tahun 1965.
Dari aspek teoritis, partai politik memiliki fungsi dan tanggung jawab dalam hal kaderisasi, pendidikan politik, dan recruitment politik, yang dalam hal ini adalah menyeleksi kandidat yang pantas untuk menjadi pemimpin politik. Di sinilah letak legitimasi politik dari calon yang berasal dari partai. Ketika seorang calon terpilih menjadi kepala daerah maka rakyat dapat meminta pertanggungjawaban secara kelembagaan kepada partainya ketika terjadi suatu hal ketika ia menjabat. Siapa yang bisa menilai bahwa orang tersebut layak atau pantas mencalonkan/dicalonkan?
Secara demokratis, bisa saja kepala daerah independen mengetasnamakan dukungan rakyat. Namun ini akan sulit ketika rakyat hendak menuntut pertanggungjawaban. Tidak ada kontrol politik yang jelas. Apakah rakyat harus semua turun ke jalan untuk menuntut atau menggulingkan pemimpinnya layaknya revolusi yang terjadi di Mesir? Jika lewat kendaraan partai, parpol yang mengusung dapat melakukan kebijakan penarikan ketika kepala daerah itu melakukan pelanggaran.
Masih Relevankanh Partai?
Jalur partai dianggap masih sangat diperlukan dalam sistem demokrasi kepartaian di Indonesia saat ini. Ini untuk mengantisipasi dan sebagai langkah kontrol politik yang lebih baik. Meski saat ini kepercayaan rakyat terhadap partai politik semakin menurun, tapi alam demokrasi Indonesia dirasa belum siap menerapkan mekanisme independen dalam hal suksesi kepemimpinan politik. Prosedur penyeleksian kandidat lewat partai sekiranya lebih baik dan lebih akuntabel daripada semua orang bebas liar mencalonkan diri atas nama dukungan rakyat dan independen.
Pada kasus ini, perlu sebuah upaya revitalisasi peran partai politik. Tugas parpol sebagai agen sosialisasi politik, rekruitmen politik, pendidikan politik, kontrol politik, komunikasi politik, pengatur konflik, artikulasi dan agregasi kepentingan rakyat perlu ditingkatkan dan direvitalisasi agar tercipta sistem politik yang lebih baik.
Sebagai warga negara yang baik, kita pun memiliki tanggung jawab untuk membenahi citra buruk politik kita. Rakyat pun turut bertanggungjawab dalam hal kontrol sosial dan politik terhadap partai dan sistem politik, bukan malah mengabaikannya begitu saja. Karena saat ini belum menemukan formulasi yang tepat terhadap sistem politik, sistem kepartaian, dan sistem demokrasi di Indonesia.  



[1] Penulis adalah pemerhati masalah sosial, politik, dan kebudayan, khususnya persoalan budaya politik. Semasa kuliah, penulis juga aktif di Forum Kajian Politik dan Sosial (FKPS) dan pernah juga menjabat sekretaris umum HMI Cabang Purwokerto. Saat ini aktivitas penulis adalah sebagai asisten peneliti pada riset Pelayanan Kesehatan dan Pendidikan yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Kebijakan dan Kependudukan (PSKK) UGM.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar