Oleh: Bambang Wibiono,
S.IP[1]
Perhelatan
suksesi Bupati Cirebon sebentar lagi akan digelar. Pesta demokrasi lokal ini
menjadi parameter keberhasilan Pemilu 2014 nanti. Cerminan suksesi tingkat
nasional bergantung akan berjalannya demokrasi di tingkat daerah berupa
pemilihan bupati/walikota, maupun pemilihan legislatif di daerah. Untuk itu
sudah sepantasnya masyarakat maupun para kontestan turut menciptakan demokrasi
yang bersih, aman, tertib, dan akuntabel. Jangan sampai demokrasi dicederai
oleh praktek-praktek kotor. Para kontestan yang akan bertarung pun harus mampu
memberikan edukasi politik kepada masyarakat.
Mempertanyakan
Jalur Independen
Ada
fenomena menarik seputar suksesi Bupati Cirebon, bahkan suksesi pemilu/pemilukada
di Indonesia akhir-akhir ini. Calon bupati yang terdiri dari enam pasang ini
tidak semuanya didukung oleh partai politik. Satu pasangan calon bupati berani
maju dari jalur independen atau nonpartai. Dari sisi teori demokrasi, jalur
independen merupakan hal yang sah-sah saja selama itu tidak melanggar peraturan
atau undang-undang yang berlaku. Setiap warga negara berhak untuk memilih dan
dipilih dalam pemilu.
Persoalan
yang kemudian muncul adalah tentang legitimasi ketika ia terpilih. Mungkin akan
sangat berat bagi pasangan terpilih dari jalur independen sebab akan berhadapan
dengan partai-partai yang menjadi lawannya. Calon yang berasal dari partai atau
yang diusung oleh partai saja sulit untuk “bertarung” jika tak memiliki
dukungan mayoritas partai di legislatif, apalagi kandidat yang tidak berasal
dari partai. Ini akan sulit memperoleh dukungan suara atau back up dalam hal menjalankan tugasnya.
Fenomena
“demokrasi independen” mulai muncuat pasca gerakan reformasi tahun 1998. Ini
akibat dari ketidakpercayaan rakyat terhadap lembaga-lembaga politik seperti
partai. Adalah hal yang wajar ketika itu karena setelah lebih dari tiga dekade
rakyat Indonesia terkungkung oleh rezim orde baru yang menggerogoti negeri ini.
Bahkan sempat muncul isu pembubaran Partai Golkar yang dianggap partai
terlarang layaknya PKI ketika tahun 1965.
Dari
aspek teoritis, partai politik memiliki fungsi dan tanggung jawab dalam hal
kaderisasi, pendidikan politik, dan recruitment
politik, yang dalam hal ini adalah menyeleksi kandidat yang pantas untuk
menjadi pemimpin politik. Di sinilah letak legitimasi politik dari calon yang
berasal dari partai. Ketika seorang calon terpilih menjadi kepala daerah maka
rakyat dapat meminta pertanggungjawaban secara kelembagaan kepada partainya ketika
terjadi suatu hal ketika ia menjabat. Siapa yang bisa menilai bahwa orang
tersebut layak atau pantas mencalonkan/dicalonkan?
Secara
demokratis, bisa saja kepala daerah independen mengetasnamakan dukungan rakyat.
Namun ini akan sulit ketika rakyat hendak menuntut pertanggungjawaban. Tidak
ada kontrol politik yang jelas. Apakah rakyat harus semua turun ke jalan untuk menuntut
atau menggulingkan pemimpinnya layaknya revolusi yang terjadi di Mesir? Jika
lewat kendaraan partai, parpol yang mengusung dapat melakukan kebijakan
penarikan ketika kepala daerah itu melakukan pelanggaran.
Masih
Relevankanh Partai?
Jalur
partai dianggap masih sangat diperlukan dalam sistem demokrasi kepartaian di
Indonesia saat ini. Ini untuk mengantisipasi dan sebagai langkah kontrol
politik yang lebih baik. Meski saat ini kepercayaan rakyat terhadap partai
politik semakin menurun, tapi alam demokrasi Indonesia dirasa belum siap
menerapkan mekanisme independen dalam hal suksesi kepemimpinan politik. Prosedur
penyeleksian kandidat lewat partai sekiranya lebih baik dan lebih akuntabel daripada
semua orang bebas liar mencalonkan diri atas nama dukungan rakyat dan
independen.
Pada
kasus ini, perlu sebuah upaya revitalisasi peran partai politik. Tugas parpol
sebagai agen sosialisasi politik, rekruitmen politik, pendidikan politik,
kontrol politik, komunikasi politik, pengatur konflik, artikulasi dan agregasi
kepentingan rakyat perlu ditingkatkan dan direvitalisasi agar tercipta sistem
politik yang lebih baik.
Sebagai
warga negara yang baik, kita pun memiliki tanggung jawab untuk membenahi citra
buruk politik kita. Rakyat pun turut bertanggungjawab dalam hal kontrol sosial
dan politik terhadap partai dan sistem politik, bukan malah mengabaikannya
begitu saja. Karena saat ini belum menemukan formulasi yang tepat terhadap
sistem politik, sistem kepartaian, dan sistem demokrasi di Indonesia.
[1] Penulis adalah pemerhati masalah
sosial, politik, dan kebudayan, khususnya persoalan budaya politik. Semasa
kuliah, penulis juga aktif di Forum Kajian Politik dan Sosial (FKPS) dan pernah
juga menjabat sekretaris umum HMI Cabang Purwokerto. Saat ini aktivitas penulis
adalah sebagai asisten peneliti pada riset Pelayanan Kesehatan dan Pendidikan
yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Kebijakan dan Kependudukan (PSKK) UGM.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar