Assalamu'alaikum,,, Salam Hormat

Terima kasih atas kunjungan anda ke blog saya. Semoga bermanfaat. Semua tulisan ini hasil saya pribadi, atau diambil dari tulisan lain yang tercantum pada rujukannya. Bila mengutip baik secara langsung maupun tidak, sebagian atau keseluruhan, diharapkan Mencantumkan sumber tulisan dan penulisnya pada daftar pustaka/catatan kaki sebagai bahan rujukannya.
atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih

Minggu, 05 Agustus 2012

Pudarnya Otoritas Politik Kesultanan Cirebon


Oleh: Bambang Wibiono, S.I.P

Masa Kolonial
Menurut “Dagh Register Anno 1680” (catatan harian VOC) yang dikutip Edi, S. Ekadjati,[1] pada tanggal 17 Maret 1680, Sultan Sepuh (Sultan Raja Syamsudin) mengadakan hubungan dengan Sultan Haji yang merupakan Sultan Banten (diperkirakan melalui utusan khusus). Selanjutnya beberapa waktu kemudian, setelah kontak dengan Sultan Haji, Sultan Sepuh menulis surat kepada Gubernur Jenderal VOC. Surat Sultan Sepuh segera dibalas oleh Direktur Jenderal VOC Cornelis Spellman. Isi surat Sultan Sepuh itu ialah meminta bantuan VOC terhadap gangguan dan ancaman pasukan Banten.
Beberapa waktu kemudian datanglah pasukan yang dipimpin oleh kapten Jochum Michielsen ke Cirebon untuk merundingkan materi perjanjian persahabatan dengan sultan-sultan di Cirebon dan mengusir pasukan Banten yang mengacau di Cirebon. Pada tanggal 23 Januari 1681, perjanjian persahabatan antara sultan-sultan Cirebon dengan VOC ditandatangani oleh Sultan Sepuh, Sultan Anom, dan Sultan Cirebon (pangeran Wangsakerta/Panembahan Toh pati) dalam suatu upacara di alun-alun. Dari pihak VOC ditandatangani oleh Commissaris Van Dyck.
Peristiwa penandatanganan perjanjian persahabatan ini merupakan awal dari surutnya eksistensi Cirebon yang pada saat itu sudah berdiri sejak 202 tahun lamanya dan dipertahankan dengan gigih dengan berbagai cara oleh para leluhur Cirebon yang juga leluhur Banten. Perjanjian persahabatan ini sebenarnya merupakan implementasi dan strategi politik VOC yang ingin menguasai Cirebon yang sebelumnya berhasil menguasai Mataram.
Menurut Sunardjo,[2] perjanjian persahabatan ini merupakan dorongan dari Sultan Haji (putra Sultan Ageng Tirtayaasa yang memberontak dan bersekutu dengan VOC) yang meyakinkan sultan-sultan di Cirebon mengenai keuntungan bersahabat dengan VOC. Selain itu Sultan Haji khawatir jika para pimpinan masyarakat dan pemerintahan di Cirebon yang masih sangat setia kepada Sultan Ageng, masih tetap membantu gerilya laut Banten yang mengganggu VOC di sebelah Timur Batavia, sehingga harus dicari akal untuk menjelekkan pasukan Sultan Ageng yang masih ada di sekitar perairan Cirebon dan di Kota Cirebon.
Penandatanganan perjanjian persahabatan itu menimbulkan perpecahan di kalangan para pembesar pemerintahan di Cirebon. Pro dan kontra ini tidak sampai menimbulkan pertumpahan darah. Setelah penandatanganan perjanjian itu terjadi proses likuidasi kekuatan politik di Banten.
Menurut beberapa sumber, pada masa Panembahan Girilaya beserta putra mahkotanya ditahan oleh Mataram dan terjadi kekosongan pemerintahan di Cirebon, Kesultanan Banten memiliki andil yang besar dalam membantu dan melindungi Cirebon dari ancaman Mataram dan VOC. Bahkan Pangeran Wangsakerta dinobatkan oleh Sultan Ageng Tirtayasa untuk memimpin Cirebon selama Sultan dan Putra Mahkota tidak ada.
Dari kondisi pada saat itu, dapat diambil kesimpulan secara logis bahwa ketika Banten dalam kondisi terpuruk akibat pemberontakan yang dilakukan oleh Sultan Haji yang dibantu VOC, dan Cirebon yang kekuasaannya terpecah di tangan tiga sultan, serta tidak adanya kekuatan militer, maka wajar jika Cirebon mudah dihasut oleh Banten yang pada saat itu telah dikuasai oleh Sultan Haji, dan akhirnya Cirebon meminta bantuan kepada VOC dalam hal pengamanan.  Selain itu, keruntuhan Cirebon pun dikarenakan para Sultan yang memerintah tidak mengetahui kondisi Cirebon sebelumnya saat mendapat ancaman dari Mataram dan VOC selama kekosongan pemerintahan, karena pada saat itu kedua Putra Mahkota ditahan oleh Sunan Amangkurat I atau Sunan Tegal Arum di Mataram.
 Seperti awal pendiriannya, sistem kekuasaan yang digunakan oleh Keraton Kasepuhan adalah sistem kesultanan. Pada sistem kesultanan ini, keraton tidak hanya memiliki otoritas atau kekuasaan di bidang “keduniawian” saja, seperti bidang sosial, politik, ekonomi, tetapi juga memiliki otoritas dalam bidang keagamaan. Yang memegang otoritas atau kekuasaan itu adalah Sultan selaku pemimpin pemerintahan atau pemimpin negara pada saat itu. Walaupun demikian, otoritas agama secara khusus dipegang oleh kaum masjid di bawah kordinasi kyai penghulu dan ketib agung.
Sistem Kesultanan Kasepuhan dalam sejarahnya tidak berjalan normal. Sejak awal kepemimpinan hingga sekarang, kekuasaan Keraton Kasepuhan telah kehilangan otoritas politiknya seperti yang diceritakan di atas. Sistem kekuasaan yang diterapkan hingga saat ini merupakan sistem kesultanan yang telah diadaptasi dengan situasi dan kondisi di sekitarnya.
Ketika masuknya Belanda dengan VOC sebagai kongsi dagangnya, Kesultanan Cirebon mulai diintervensi. Sekitar tahun 1678-1679, atas intervensi Mataram dan VOC serta Banten, akhirnya Kesultanan Cirebon terpecah menjadi dua, yaitu Keraton Kasepuhan dan Keraton Kanoman. Kanoman dibentuk sekitar  tahun 1679, dan kemudian tahun berikutnya berdiri Keraton Kasepuhan.[3]
Ketika itu pihak kesultanan membuat perjanjian dengan VOC yang akhirnya berimplikasi pada demiliterisasi dan depolitisasi. Sejak saat itulah Kesultanan Kasepuhan hanya sebagai penguasa adat. Sebagai sebuah institusi Negara, kesultanan tidak mampu berbuat apa-apa dalam hal pengelolaan sumberdaya yang ada karena sumber-sumber ekonomi dikuasai oleh VOC. Hal ini diungkapkan oleh informan ahli seperti di bawah ini:

“Keraton Cirebon itu di demiliterisasi. Pada masa VOC, keraton itu tidak punya tentara, di depolitisasi. Mereka lebih sebagai penguasa adat dan untuk menjalankan rumah tangga keraton itu, VOC memberi gaji. Termasuk dalam pengelolaan pelabuhan, itu langsung ditangani Pemerintah Kolonial. Keraton hanya mendapatkan persentase, atau diberi uang pertahun atau perbulan…”[4]

Akibat situasi seperti itu, orang-orang VOC ditempatkan sedemikian rupa dan mendapat penghormatan dari keraton. Berdasarkan penuturan beberapa informan dan juga beberapa hasil penelitian, menceritakan bahwa pada saat itu, setiap kali suksesi, yang mengukuhkan seorang Sultan adalah dari pihak Belanda, yaitu Gubernur Jenderal atau pemerintah kolonial.

“Kenapa VOC mendapat penghormatan dari keraton? Karena begini, setiap kali suksesi, yang menentukan Sultan, yang mengukuhkan Sultan itu VOC. Jadi Gubernur Jendral atau Pemerintah Kolonial yang mengukuhkan. Jadi mereka harus memanjakan orang-orang VOC… Setiap kali Sultan meninggal, mahkotanya diambil oleh VOC, pemerintah kolonial, kemudian dikukuhkan.”[5]

Menurut Sulistiyono,[6] setelah VOC bubar tahun 1799, kekuasaan politik Keraton Cirebon baik terhadap hinterland maupun Kota Cirebon diambil alih oleh pemerintah Hindia Belanda. Daendels menempatkan Cirebon sebagai salah satu Karesidenan dan para Sultan di Cirebon disejajarkan dengan kedudukan Bupati yang harus mengabdi kepada pemerintah Hindia Belanda.
Kontrol dan intervensi Belanda begitu kuat sampai pada kebijakan dan internal keraton seperti soal suksesi. Contoh lain yang terjadi pada saat itu adalah diturunkannya Sultan Sepuh V oleh Belanda karena kelakuannya yang tidak menyenangkan pihak Belanda. Sebagai penggantinya ditunjuk saudaranya sebagai Sultan Sepuh VI.[7] Ini memperlihatkan intervensi dan kontrol Belanda terhadap kehidupan internal kesultanan.
Kondisi seperti ini makin diperparah dengan adanya dominasi ekonomi oleh VOC sejak tahun 1681.[8] Mulai pada tahun itu, dimulailah sebuah perjanjian perekonomian yang menempatkan kompeni mendapatkan hak monopoli impor pakaian, kapas, opium, dan monopoli ekspor seperti lada, kayu, gula, beras, dan produk lain apapun yang dikehendaki yang semuanya itu bebas dari bea impor, yang sebelumnya pernah dikenakan oleh keraton sebesar 2% dari nilai barang. Perjanjian itu juga mengatur bahwa pelayaran pribumi harus mendapatkan lisensi dari VOC dan sangat dibatasi.
Implikasi dari semua itu adalah bahwa secara politis maupun militer, Cirebon telah berada di bawah perlindungan langsung dari kompeni. Kontrol terhadap pelabuhan juga dipegang oleh Belanda. Bahkan pada tahun 1800an, Sultan Cirebon menjadi pegawai pemerintah, dianggap sebagai bagian pemerintah dan para Sultan dinyatakan sebagai abdi negara Hindia Timur serta kekuasaan politik yang masih ada pada mereka ditempatkan di bawah pengawasan Belanda.[9] Jadi otomatis kedudukannya di bawah Gubernur Jenderal. Ini menyebabkan kedudukan para penguasa Cirebon hanya sebagai perantara antara Belanda dengan masyarakat desa di pedalaman. Namun posisi ini juga lambat laun dirampas oleh Belanda yang membuat posisi kesultanan semakin memprihatinkan.
Kehadiran VOC di Cirebon telah mengganggu stabilitas kekuasaan para Sultan. Menurut Suleiman,[10] disebutkan bahwa pada tahun 1681 Sultan-Sultan Cirebon terpaksa menandatangani perjanjian dengan VOC. Substansi perjanjian tersebut telah menempatkan Cirebon di bawah perlindungan langsung VOC, baik dalam urusan dalam maupun luar Kesultanan Cirebon. Materi perjanjian tersebut antara lain tentang pencabutan gelar Sultan dengan mengembalikannya menjadi panembahan; menetapkan wilayah VOC yang meliputi Kandanghaur, Indramayu, Kuningan, Majalengka, dan Cirebon sendiri; dan VOC mempunyai hak untuk membangun benteng-benteng di Cirebon dan Cirebon diharuskan untuk membantu VOC dalam berperang menghadapi musuh-musuhnya. 
Pada masa pendudukan Inggris di bawah kekuasaan Raffles yang menggantikan Gubernur Jenderal Belanda, kondisi kesultanan di Cirebon baik Kasepuhan maupun Kanoman tidak jauh berbeda. Kedudukan Sultan secara politis telah dihapuskan. Walaupun secara politis kekuasaan Sultan dihapuskan, namun Sultan mendapat gaji sebesar 18.000 gulden setahun, dan pada masa Raffles mendapat 8000 rupee.[11] Perubahan politik seperti itu berjalan seiring dengan perkembangan eksploitasi ekonomi yang sangat pesat di daerah pedalaman Cirebon.
Penghapusan kekuasaan politik para Sultan oleh Belanda, memungkinkan kesultanan untuk mencurahkan perhatiannya kepada pengembangan kebudayaan, atau lebih berorientasi ke dalam (inward orientation). Aktivitas keraton mulai mengembangkan aspek kebudayaan, kesenian, kerohanian dan gaya hidup keraton yang adiluhung dengan landasan ekonomi agraris yang berpusat di keraton, yang walaupun basis ekonomi ini makin lama makin dirampas lagi. Akibat dari campur tangan VOC dan intensitas hubungan VOC dengan keraton yang seperti ini, akhirnya gaya hidup di dalam keraton pun mengikuti gaya-gaya londo,[12] misalnya mabuk-mabukan sambil tayuban.[13] Bahkan dahulu Keraton Kasepuhan memiliki sekolah ronggeng.
Pengembangan aspek-aspek budaya ini terlihat dalam upacara-upacara tradisi dan keagamaan yang diadakan keraton. Misalnya saja upacara panjang jimat yang diselenggarakan secara besar-besaran adalah untuk membuktikan bahwa Sultan masih memiliki kharisma di mata masyarakatnya dengan dibuktikan dengan banyaknya pengunjung yang ingin bersilaturahmi dengan Sultan.[14] Ini menunjukkan bahwa simbol-simbol upacara tradisi tidak hanya memiliki makna religius, namun juga memiliki makna politis.
Selain pengembangan kebudayaan istana, tetapi juga mendorong munculnya kebudayaan di desa-desa penggarap tanah keraton. Pada aspek inilah yang mampu mengembalikan sebagian pengaruh dan kewibawaan keluarga keraton di mata masyarakat.

Pasca Kemerdekaan
Setelah kemerdekaan Indonesia, eksistensi kekuasaan politik Keraton Kasepuhan dan keraton-keraton yang ada di Cirebon pada umumnya tetap saja stagnan. Berdasarkan faktor historis dan sumber-sumber yang ada serta membandingkan dengan dinamika politik keraton lain seperti Yogyakarta dan Surakarta, dapat disimpulkan bahwa hilangnya kekuasaan politik keraton pada masa setelah kemerdekaan dikarenakan hubungan keraton-keraton dengan kolonial. Keraton-keraton yang kurang dan bahkan tidak mendukung terhadap perjuangan kemerdekaan umumnya tidak mendapatkan kekuasaan politik berupa hak istimewa setelah NKRI terbentuk. Dapat dibenarkan alasan ini, mengingat sejarah Kesultanan Cirebon, khususnya setelah terpecah, keraton-keraton yang ada menjalin hubungan dengan VOC dan Belanda seperti yang telah dijelaskan pada sub bab sebelum ini. Perlawanan-perlawanan terhadap penjajah lebih gencar dilakukan oleh orang-orang di luar keraton, meskipun itu dilakukan oleh orang yang masih memiliki hubungan dengan keraton. Hal ini memberikan implikasi pencabutan hak politik dan juga “nasionalisasi” aset berupa tanah keraton oleh negara.
Selain karena faktor tersebut, hilangnya kekuasaan ini dikarenakan kebijakan politik yang diambil oleh pemerintah RI adalah kebijakan politik negara kesatuan. Sempat ada keinginan dari keraton untuk mengembalikan kekuasaan politiknya seperti masa lalunya. Namun keterbatasan sumber daya manusia yang dimiliki serta beberapa sumber ekonomi keraton seperti tanah mulai menipis didorong kuatnya kebijakan politik pemerintahan RI, mengakibatkan posisi keraton tidak berdaya.
Beberapa kebijakan atau undang-undang produk pemerintah republik, secara langsung maupun tidak telah memperlemah eksistensi kekuasaan keraton. Contoh nyata adalah adanya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang semakin membuat keraton kehilangan sebagian besar tanahnya yang merupakan sumber utama pemasukan keraton. Akibat undang-undang itu, banyak tanah keraton yang sedikit demi sedikit lepas. Penyebab yang paling jelas adalah akibat keraton tidak memiliki sertifikasi yang jelas, padahal tanah keraton ini merupakan pendukung paling utama untuk mempertahankan eksistensi keraton.
Tanah-tanah milik keraton saat ini banyak yang menjadi sengketa dengan pihak pemerintah. Banyak tanah-tanah keraton yang dikalim oleh pemerintah tanpa ada persetujuan dari pihak keraton dan tanpa kompensasi atas pemanfaatan tanah tersebut. Meskipun demikian, hampir setiap persengketaan tanah keraton dengan pemerintah, pihak keraton selalu memenangi gugatan.[15]
Tanah-tanah yang dimiliki keraton sebenarnya merupakan aset utama untuk menciptakan legitimasi kekuasaan keraton. Hubungan kesetiaan yang tercipta antara keraton dengan masyarakat melalui proses penggarapan tanah keraton oleh petani merupakan modal utama bagi keraton untuk menggalang dukungan dari masyarakat luas.
Keadaan politik yang tidak menguntungkan ini membuat struktur pemerintahan tradisional yang ada di keraton pun menjadi tidak berjalan. Posisi keraton yang tidak jelas juga turut menjadi penyebabnya. Akibatnya, struktur organisasi tradisional keraton hanya bersifat formalitas. Bahkan pada saat ini struktur tradisional keraton tidak ada. Ini berdasarkan keterangan PRA. Arief Natadiningrat.

Ya kalau sekarang sudah tidak ada lagi. Tapi secara tradisi kita masih punya perangkat-perangkatnya. Misalnya kita punya penghulu keraton, khotib agung, punya kaum, juru kunci, perangkat-perangkat itu masih ada. Memang untuk sekarang saya belum mengangkat perangkat tradisional kesultanannya, menteri-menterinya belum mengangkat. Ini saya lagi milih-milih dulu. Sampai sekarang belum.[16]

Untuk menjalankan aktivitas keraton sehari-hari, saat ini Keraton Kasepuhan memiliki lembaga formal atau organisasi modern berupa Badan Pengelola Keraton Kasepuhan untuk mengurusi sehari-hari Keraton Kasepuhan sebagai obyek wisata. Selain badan pengelola keraton, ada juga Badan Pengurus Taman Air Gua Sunyaragi yang mengelola situs Gua Sunyaragi, Badan Pengelola SMKI yang mengurusi sekolah atau lembaga pendidikan kesenian milik keraton. Untuk bidang keagamaan, dibentuk Badan Pengelola Madrasah dan TK Nur Hidayah. Selain organisasi pengelola situs-situs atau wewengkon, Keraton Kasepuhan juga memiliki beberapa yayasan, yaitu Yayasan Keraton Kasepuhan yang didirikan pada tahun 1988 dan Yayasan Amparan Jati. Struktur organisasi yang lebih bersifat modern ini sebagai upaya menjaga eksistensinya dalam mengelola Keraton Kasepuhan beserta aset-asetnya.



[1] Dalam Sunardjo, Unang. 1983, Meninjau Sepintas Panggung Sejarah Pemerintahan Kerajaan Cerbon 1479-1809, Penerbit Tarsito, Bandung. Hal 158-159
[2] Sunardjo, Unang. op. cit.  Hal. 159-160
[3] Mengenai pendirian Keraton Kanoman dan Kasepuhan masih belum ada kesamaan pendapat. Ada yang menyebutkan bahwa Keraton Kanoman berdiri tahun 510 saka atau 1588 masehi, sedangkan Kasepuhan berdiri tahun 1529 masehi. Berdasarkan sumber dari Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman berdiri pada tahun 1679 oleh Pangeran Kertawijaya yang bergelar Sultan Anom dan setelah itu kemudian Keraton Pakungwati berganti nama menjadi Kasepuhan.
[4] Wawancara dengan Pak Adin pada tanggal 8 April 2011
[5] Ibid.
[6] Sulistiyono, op. cit. hal. 143
[7] Heriyanto, op. cit. Hal. 82.
[8] Sharon Siddique, dalam Sulistiyono, op. cit. hal. 140.
[9] Dalam Heriyanto. op. cit. hal. 105.
[10] Dalam Heriyanto. Ibid. hal 105.
[11] Lihat Ibid. hal 105; lihat juga Sulistiyono. op. cit. hal 143.
[12] Pada awalnya londo berasal dari sebutan kepada Belanda, namun pada perkembangannya sebutan itu tidak hanya untuk bangsa Belanda. Londo adalah sebutan masyarakat terhadap orang asing selain Arab dan Cina, khususnya sebutan terhdap orang-orang kulit putih seperti Belanda, Inggris, Portugis.
[13] Berdasarkan penjelasan salah seorang informan, tayuban merupakan sebuah kesenian atau tarian tradisional yang dahulu sering ditampilkan di keraton berkaitan dengan acara-acara pesta.
[14] Baca dalam Heriyanto. op. cit.
[15] Bukti-bukti putusan gugatan yang dimenangkan oleh keraton terhadap persengketaan tanah keraton bisa di lihat pada lampiran mengenai beberapa surat-surat gugatan yang dimenangkan Keraton Kasepuhan.
[16] Wawancara pada tanggal 12 Agustus 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar