Oleh: Bambang Wibiono, S.I.P
Masa Kolonial
Menurut “Dagh Register
Anno 1680” (catatan harian VOC) yang dikutip Edi, S. Ekadjati,
pada tanggal 17 Maret 1680, Sultan Sepuh (Sultan Raja Syamsudin) mengadakan
hubungan dengan Sultan Haji yang merupakan Sultan Banten (diperkirakan melalui
utusan khusus). Selanjutnya beberapa waktu kemudian, setelah kontak dengan
Sultan Haji, Sultan Sepuh menulis surat kepada Gubernur Jenderal VOC. Surat
Sultan Sepuh segera dibalas oleh Direktur Jenderal VOC Cornelis Spellman. Isi
surat Sultan Sepuh itu ialah meminta bantuan VOC terhadap gangguan dan ancaman
pasukan Banten.
Beberapa waktu kemudian datanglah pasukan yang dipimpin oleh
kapten Jochum Michielsen ke Cirebon untuk merundingkan materi perjanjian persahabatan
dengan sultan-sultan di Cirebon dan mengusir pasukan Banten yang mengacau di
Cirebon. Pada tanggal 23 Januari 1681, perjanjian persahabatan antara
sultan-sultan Cirebon dengan VOC ditandatangani oleh Sultan Sepuh, Sultan Anom,
dan Sultan Cirebon (pangeran Wangsakerta/Panembahan Toh pati) dalam suatu
upacara di alun-alun. Dari pihak VOC ditandatangani oleh Commissaris Van Dyck.
Peristiwa penandatanganan perjanjian persahabatan ini
merupakan awal dari surutnya eksistensi Cirebon yang pada saat itu sudah
berdiri sejak 202 tahun lamanya dan dipertahankan dengan gigih dengan berbagai
cara oleh para leluhur Cirebon yang juga leluhur Banten. Perjanjian
persahabatan ini sebenarnya merupakan implementasi dan strategi politik VOC
yang ingin menguasai Cirebon yang sebelumnya berhasil menguasai Mataram.
Menurut Sunardjo,
perjanjian persahabatan ini merupakan dorongan dari Sultan Haji (putra Sultan
Ageng Tirtayaasa yang memberontak dan bersekutu dengan VOC) yang meyakinkan
sultan-sultan di Cirebon mengenai keuntungan bersahabat dengan VOC. Selain itu
Sultan Haji khawatir jika para pimpinan masyarakat dan pemerintahan di Cirebon
yang masih sangat setia kepada Sultan Ageng, masih tetap membantu gerilya laut
Banten yang mengganggu VOC di sebelah Timur Batavia, sehingga harus dicari akal
untuk menjelekkan pasukan Sultan Ageng yang masih ada di sekitar perairan
Cirebon dan di Kota Cirebon.
Penandatanganan perjanjian persahabatan itu menimbulkan
perpecahan di kalangan para pembesar pemerintahan di Cirebon. Pro dan kontra
ini tidak sampai menimbulkan pertumpahan darah. Setelah penandatanganan
perjanjian itu terjadi proses likuidasi kekuatan politik di Banten.
Menurut beberapa sumber, pada masa Panembahan Girilaya
beserta putra mahkotanya ditahan oleh Mataram dan terjadi kekosongan
pemerintahan di Cirebon, Kesultanan Banten memiliki andil yang besar dalam
membantu dan melindungi Cirebon dari ancaman Mataram dan VOC. Bahkan Pangeran
Wangsakerta dinobatkan oleh Sultan Ageng Tirtayasa untuk memimpin Cirebon
selama Sultan dan Putra Mahkota tidak ada.
Dari kondisi pada saat itu, dapat diambil kesimpulan secara
logis bahwa ketika Banten dalam kondisi terpuruk akibat pemberontakan yang
dilakukan oleh Sultan Haji yang dibantu VOC, dan Cirebon yang kekuasaannya
terpecah di tangan tiga sultan, serta tidak adanya kekuatan militer, maka wajar
jika Cirebon mudah dihasut oleh Banten yang pada saat itu telah dikuasai oleh
Sultan Haji, dan akhirnya Cirebon meminta bantuan kepada VOC dalam hal
pengamanan. Selain itu, keruntuhan
Cirebon pun dikarenakan para Sultan yang memerintah tidak mengetahui kondisi
Cirebon sebelumnya saat mendapat ancaman dari Mataram dan VOC selama kekosongan
pemerintahan, karena pada saat itu kedua Putra Mahkota ditahan oleh Sunan
Amangkurat I atau Sunan Tegal Arum di Mataram.
Seperti awal pendiriannya, sistem kekuasaan yang digunakan
oleh Keraton Kasepuhan adalah sistem kesultanan. Pada sistem kesultanan ini,
keraton tidak hanya memiliki otoritas atau kekuasaan di bidang “keduniawian”
saja, seperti bidang sosial, politik, ekonomi, tetapi juga memiliki otoritas
dalam bidang keagamaan. Yang memegang otoritas atau kekuasaan itu adalah Sultan
selaku pemimpin pemerintahan atau pemimpin negara pada saat itu. Walaupun
demikian, otoritas agama secara khusus dipegang oleh kaum masjid di
bawah kordinasi kyai penghulu dan ketib agung.
Sistem
Kesultanan Kasepuhan dalam sejarahnya tidak berjalan normal. Sejak awal
kepemimpinan hingga sekarang, kekuasaan Keraton Kasepuhan telah kehilangan
otoritas politiknya seperti yang diceritakan di atas. Sistem kekuasaan yang diterapkan hingga saat ini merupakan
sistem kesultanan yang telah diadaptasi dengan situasi dan kondisi di
sekitarnya.
Ketika
masuknya Belanda dengan VOC sebagai kongsi dagangnya, Kesultanan Cirebon mulai
diintervensi. Sekitar tahun 1678-1679, atas intervensi Mataram dan VOC serta
Banten, akhirnya Kesultanan Cirebon terpecah menjadi dua, yaitu Keraton
Kasepuhan dan Keraton Kanoman. Kanoman dibentuk sekitar tahun 1679, dan kemudian tahun berikutnya berdiri Keraton Kasepuhan.
Ketika itu pihak kesultanan
membuat perjanjian dengan VOC yang akhirnya berimplikasi pada demiliterisasi
dan depolitisasi. Sejak saat itulah Kesultanan Kasepuhan hanya sebagai penguasa
adat. Sebagai sebuah institusi Negara, kesultanan tidak mampu berbuat apa-apa
dalam hal pengelolaan sumberdaya yang ada karena sumber-sumber ekonomi dikuasai
oleh VOC. Hal ini diungkapkan oleh informan ahli seperti di bawah ini:
“Keraton Cirebon itu di demiliterisasi. Pada masa VOC,
keraton itu tidak punya tentara, di depolitisasi. Mereka lebih sebagai penguasa
adat dan untuk menjalankan rumah tangga keraton itu, VOC memberi gaji. Termasuk
dalam pengelolaan pelabuhan, itu langsung ditangani Pemerintah Kolonial. Keraton
hanya mendapatkan persentase, atau diberi uang pertahun atau perbulan…”
Akibat situasi seperti itu, orang-orang VOC ditempatkan
sedemikian rupa dan mendapat penghormatan dari keraton. Berdasarkan penuturan
beberapa informan dan juga beberapa hasil penelitian, menceritakan bahwa pada
saat itu, setiap kali suksesi, yang mengukuhkan seorang Sultan adalah dari
pihak Belanda, yaitu Gubernur Jenderal atau pemerintah kolonial.
“Kenapa VOC mendapat penghormatan dari keraton? Karena
begini, setiap kali suksesi, yang menentukan Sultan, yang mengukuhkan Sultan
itu VOC. Jadi Gubernur Jendral atau Pemerintah Kolonial yang mengukuhkan. Jadi
mereka harus memanjakan orang-orang VOC… Setiap kali Sultan meninggal,
mahkotanya diambil oleh VOC, pemerintah kolonial, kemudian dikukuhkan.”
Menurut Sulistiyono,
setelah VOC bubar tahun 1799, kekuasaan politik Keraton Cirebon baik terhadap hinterland maupun Kota Cirebon diambil
alih oleh pemerintah Hindia Belanda. Daendels menempatkan Cirebon sebagai salah
satu Karesidenan dan para Sultan di Cirebon disejajarkan dengan kedudukan Bupati
yang harus mengabdi kepada pemerintah Hindia Belanda.
Kontrol dan intervensi Belanda begitu kuat sampai pada
kebijakan dan internal keraton seperti soal suksesi. Contoh lain yang terjadi
pada saat itu adalah diturunkannya Sultan Sepuh V oleh Belanda karena
kelakuannya yang tidak menyenangkan pihak Belanda. Sebagai penggantinya
ditunjuk saudaranya sebagai Sultan Sepuh VI.
Ini memperlihatkan intervensi dan kontrol Belanda terhadap kehidupan internal kesultanan.
Kondisi seperti ini makin diperparah dengan adanya dominasi
ekonomi oleh VOC sejak tahun 1681.
Mulai pada tahun itu, dimulailah sebuah perjanjian perekonomian yang
menempatkan kompeni mendapatkan hak monopoli impor pakaian, kapas, opium, dan
monopoli ekspor seperti lada, kayu, gula, beras, dan produk lain apapun yang
dikehendaki yang semuanya itu bebas dari bea impor, yang sebelumnya pernah
dikenakan oleh keraton sebesar 2% dari nilai barang. Perjanjian itu juga
mengatur bahwa pelayaran pribumi harus mendapatkan lisensi dari VOC dan sangat
dibatasi.
Implikasi dari semua itu adalah bahwa secara politis maupun
militer, Cirebon telah berada di bawah perlindungan langsung dari kompeni.
Kontrol terhadap pelabuhan juga dipegang oleh Belanda. Bahkan pada tahun
1800an, Sultan Cirebon menjadi pegawai pemerintah, dianggap sebagai bagian
pemerintah dan para Sultan dinyatakan sebagai abdi negara Hindia Timur serta
kekuasaan politik yang masih ada pada mereka ditempatkan di bawah pengawasan
Belanda.
Jadi otomatis kedudukannya di bawah Gubernur Jenderal. Ini menyebabkan
kedudukan para penguasa Cirebon hanya sebagai perantara antara Belanda dengan
masyarakat desa di pedalaman. Namun posisi ini juga lambat laun dirampas oleh
Belanda yang membuat posisi kesultanan semakin memprihatinkan.
Kehadiran VOC di Cirebon telah mengganggu stabilitas
kekuasaan para Sultan. Menurut Suleiman,
disebutkan bahwa pada tahun 1681 Sultan-Sultan Cirebon terpaksa menandatangani
perjanjian dengan VOC. Substansi perjanjian tersebut telah menempatkan Cirebon
di bawah perlindungan langsung VOC, baik dalam urusan dalam maupun luar Kesultanan
Cirebon. Materi perjanjian tersebut antara lain tentang pencabutan gelar Sultan
dengan mengembalikannya menjadi panembahan; menetapkan wilayah VOC yang
meliputi Kandanghaur, Indramayu, Kuningan, Majalengka, dan Cirebon sendiri; dan
VOC mempunyai hak untuk membangun benteng-benteng di Cirebon dan Cirebon
diharuskan untuk membantu VOC dalam berperang menghadapi musuh-musuhnya.
Pada masa pendudukan Inggris di bawah kekuasaan Raffles yang
menggantikan Gubernur Jenderal Belanda, kondisi kesultanan di Cirebon baik
Kasepuhan maupun Kanoman tidak jauh berbeda. Kedudukan Sultan secara politis
telah dihapuskan. Walaupun secara politis kekuasaan Sultan dihapuskan, namun Sultan
mendapat gaji sebesar 18.000 gulden setahun, dan pada masa Raffles mendapat
8000 rupee.
Perubahan politik seperti itu berjalan seiring dengan perkembangan eksploitasi
ekonomi yang sangat pesat di daerah pedalaman Cirebon.
Penghapusan kekuasaan politik para Sultan oleh Belanda,
memungkinkan kesultanan untuk mencurahkan perhatiannya kepada pengembangan
kebudayaan, atau lebih berorientasi ke dalam (inward orientation). Aktivitas
keraton mulai mengembangkan aspek kebudayaan, kesenian, kerohanian dan gaya
hidup keraton yang adiluhung dengan landasan ekonomi agraris yang
berpusat di keraton, yang walaupun basis ekonomi ini makin lama makin dirampas
lagi. Akibat dari campur tangan VOC dan intensitas hubungan VOC dengan keraton
yang seperti ini, akhirnya gaya hidup di dalam keraton pun mengikuti gaya-gaya londo,
misalnya mabuk-mabukan sambil tayuban.
Bahkan dahulu Keraton Kasepuhan memiliki sekolah ronggeng.
Pengembangan aspek-aspek budaya ini terlihat dalam
upacara-upacara tradisi dan keagamaan yang diadakan keraton. Misalnya saja
upacara panjang jimat yang diselenggarakan secara besar-besaran adalah
untuk membuktikan bahwa Sultan masih memiliki kharisma di mata masyarakatnya
dengan dibuktikan dengan banyaknya pengunjung yang ingin bersilaturahmi dengan Sultan.
Ini menunjukkan bahwa
simbol-simbol upacara tradisi tidak hanya memiliki makna religius, namun juga
memiliki makna politis.
Selain pengembangan kebudayaan istana, tetapi juga mendorong
munculnya kebudayaan di desa-desa penggarap tanah keraton. Pada aspek inilah
yang mampu mengembalikan sebagian pengaruh dan kewibawaan keluarga keraton di
mata masyarakat.
Pasca Kemerdekaan
Setelah kemerdekaan Indonesia, eksistensi kekuasaan politik
Keraton Kasepuhan dan keraton-keraton yang ada di Cirebon pada umumnya tetap
saja stagnan. Berdasarkan
faktor historis dan sumber-sumber yang ada serta membandingkan dengan dinamika
politik keraton lain seperti Yogyakarta dan Surakarta, dapat disimpulkan bahwa
hilangnya kekuasaan politik keraton pada masa setelah kemerdekaan dikarenakan
hubungan keraton-keraton dengan kolonial. Keraton-keraton yang kurang dan
bahkan tidak mendukung terhadap perjuangan kemerdekaan umumnya tidak
mendapatkan kekuasaan politik berupa hak istimewa setelah NKRI terbentuk. Dapat
dibenarkan alasan ini, mengingat sejarah Kesultanan Cirebon, khususnya setelah
terpecah, keraton-keraton yang ada menjalin hubungan dengan VOC dan Belanda
seperti yang telah dijelaskan pada sub bab sebelum ini. Perlawanan-perlawanan
terhadap penjajah lebih gencar dilakukan oleh orang-orang di luar keraton,
meskipun itu dilakukan oleh orang yang masih memiliki hubungan dengan keraton.
Hal ini memberikan implikasi pencabutan hak politik dan juga “nasionalisasi”
aset berupa tanah keraton oleh negara.
Selain karena faktor tersebut, hilangnya
kekuasaan ini
dikarenakan kebijakan politik yang diambil oleh pemerintah RI adalah kebijakan
politik negara kesatuan. Sempat ada keinginan dari keraton untuk mengembalikan
kekuasaan politiknya seperti masa lalunya. Namun keterbatasan sumber daya
manusia yang dimiliki serta beberapa sumber ekonomi keraton seperti tanah mulai menipis didorong kuatnya
kebijakan politik pemerintahan RI, mengakibatkan posisi keraton tidak berdaya.
Beberapa kebijakan atau undang-undang produk pemerintah
republik, secara langsung maupun tidak telah memperlemah eksistensi kekuasaan
keraton. Contoh nyata adalah adanya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang
semakin membuat keraton kehilangan sebagian besar tanahnya yang merupakan
sumber utama pemasukan keraton. Akibat undang-undang itu, banyak tanah keraton yang
sedikit demi sedikit lepas. Penyebab yang paling jelas adalah akibat keraton
tidak memiliki sertifikasi yang jelas, padahal tanah keraton ini merupakan
pendukung paling utama untuk mempertahankan eksistensi keraton.
Tanah-tanah milik keraton saat ini banyak yang menjadi
sengketa dengan pihak pemerintah. Banyak tanah-tanah keraton yang dikalim oleh
pemerintah tanpa ada persetujuan dari pihak keraton dan tanpa kompensasi atas
pemanfaatan tanah tersebut. Meskipun demikian, hampir setiap persengketaan tanah
keraton dengan pemerintah, pihak keraton selalu memenangi gugatan.
Tanah-tanah yang dimiliki keraton sebenarnya merupakan aset
utama untuk menciptakan legitimasi kekuasaan keraton. Hubungan kesetiaan yang
tercipta antara keraton dengan masyarakat melalui proses penggarapan tanah
keraton oleh petani merupakan modal utama bagi keraton untuk menggalang dukungan
dari masyarakat luas.
Keadaan politik yang tidak menguntungkan ini membuat struktur
pemerintahan tradisional yang ada di keraton pun menjadi tidak berjalan. Posisi
keraton yang tidak jelas juga turut menjadi penyebabnya. Akibatnya, struktur
organisasi tradisional keraton hanya bersifat formalitas. Bahkan pada saat ini struktur
tradisional keraton tidak ada. Ini berdasarkan keterangan PRA. Arief
Natadiningrat.
“Ya kalau sekarang sudah tidak ada lagi. Tapi secara
tradisi kita masih punya perangkat-perangkatnya. Misalnya kita punya penghulu
keraton, khotib agung, punya kaum, juru kunci, perangkat-perangkat itu
masih ada. Memang untuk sekarang saya belum mengangkat perangkat tradisional kesultanannya,
menteri-menterinya belum mengangkat. Ini saya lagi milih-milih dulu. Sampai
sekarang belum.”
Untuk menjalankan aktivitas keraton sehari-hari, saat ini
Keraton Kasepuhan memiliki lembaga formal atau organisasi modern berupa Badan
Pengelola Keraton Kasepuhan untuk mengurusi sehari-hari Keraton Kasepuhan
sebagai obyek wisata. Selain badan pengelola keraton, ada juga Badan Pengurus
Taman Air Gua Sunyaragi yang mengelola situs Gua Sunyaragi, Badan Pengelola SMKI
yang mengurusi sekolah atau lembaga pendidikan kesenian milik keraton. Untuk
bidang keagamaan, dibentuk Badan Pengelola Madrasah dan TK Nur Hidayah. Selain
organisasi pengelola situs-situs atau wewengkon, Keraton
Kasepuhan juga memiliki beberapa yayasan, yaitu Yayasan Keraton Kasepuhan yang
didirikan pada tahun 1988 dan Yayasan Amparan Jati. Struktur organisasi yang
lebih bersifat modern ini sebagai upaya menjaga eksistensinya dalam mengelola
Keraton Kasepuhan beserta aset-asetnya.