Oleh: Bambang Wibiono
Masyarakat tidak dapat ada tanpa suatu bentuk kekuasaan. Karl Mannheim, mempertanyakan kekuasaan yang bagaimana yang menguasai situasi tertentu. Ia menunjuk perbedaan antara kekuasaan perseorangan dan lembaga, kekuasaan fungsional dan sewenang-wenang, dan antara kekuasaan fungsional dan komunal. Kekuasaan perseorangan pada hakekatnya dijalankan oleh individu yang lebih kuat untuk keuntungan dirinya sendiri. Kekuasaan lembaga dijalankan oleh individu atas nama suatu kolektivitas melalui saluran-saluran sosial yang dikhususkan dan sah. Sedangkan kekuasaan fungsional merupakan lawan dari kekuasaan komunal, yang dilekatkan pada perkumpulan-perkumpulan dan lembaga khusus yang memiliki fungsi .
Dalam kajian akademis, politik diartikan sebagai interaksi kekuasaan dalam masyarakat yang meliputi fenomena mempertahankan, memperbesar, maupun merebut kekuasaan. Miriam Budiardjo merumuskan pengertian kekuasaan sebagai kemampuan pelaku untuk mempengaruhi tingkah laku pelaku lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku pelaku itu menjadi sesuai dengan keinginan pelaku yang mempunyai kekuasaan. Dalam pengertian ini, konsep pengaruh menjadi elemen penting dalam kekuasaan. Selain pengaruh (influence), elemen lain yang juga penting dalam kekuasaan adalah otoritas atau kewenangan (authority) dan daya paksa (force) .
Ada beberapa hal yang menyebabkan seseorang memiliki kekuasaan atau pengaruh. Sumber kekuasaan itu adalah dapat berupa sarana paksaan fisik, kekayaan dan harta benda (ekonomi), normatif, jabatan, keahlian, sarana informasi, status sosial, popularitas pribadi, dan massa yang terorganisasi.
Dalam konteks tradisional, terkadang sumber-sumber kekuasaan itu tidak berlaku. Pemimpin agama dan pemimpin suku misalnya, ditaati bukan karena senjata atau kekayaan, namun kebenaran agama yang “diwakili” dan disebarluaskan oleh pemimpin agama. Adat dan tradisi menaati kewenangan pemerintah bukan karena takut paksaan fisik atau kehilangan pekerjaan, melainkan lebih dikarenakan kesadaran hukum demi ketertiban umum dan pencapaian tujuan masyarakat-negara.
Menurut Max Weber (dalam Sugandi, 2007) terdapat tiga sumber kekuasaan, yaitu:
1. Tradisi. Artinya kekuasaan didapat karena legitimasi adat yang turun temurun.
2. Kharisma. Ini berkaitan dengan watak pribadi yang luar biasa. Seseorang dianggap sah berkuasa jika memiliki watak pribadi yang istimewa seperti kepahlawanan, kesederhanaan, santun, peduli terhadap keadaan, dan sebagainya.
3. Rasionalitas dan legalitas. Artinya legitimasi kekuasaan diperoleh karena ia memiliki jenjang kekuasaan melalui prosedur atau peraturan yang dibuat secara rasional dan legal.
Dalam konteks sistem kerajaan, raja sebagai pemimpin tradisional, dipandang sebagai pemilik sah kerajaan melalui kepercayaan adanya wahyu sehingga raja mempunyai otoritas kuat dan dipercaya penuh oleh rakyat. Raja mempunyai wewenang pada rakyat berdasar hubungan kawula-Gusti . Menurutnya, pada jaman penjajahan Belanda, ada dua hal yang membuat posisi Residen (sebagai bagaian dari pemerintahan kolonial) di depan elite pribumi dan rakyat itu sulit, yaitu: tradisi dan ideologi panatagama. Sementara simbol-simbol menegaskan kedudukan Sunan sebagai raja, yaitu sebagai pusat dunia di mana makrokosmos dan mikrokosmos bertemu.
Seperti yang dijelaskan oleh Kuntowijoyo bahwa Kraton beserta sistem kekuasaannya adalah kekuasaan yang bersifat kultural ketimbang formalistik. Kekuasaan kultural yang merupakan bagian dari sistem kebudayaan, diartikan sebagai sebuah sistem makna dan sistem simbol yang teratur, yang di dalamnya interaksi sosial berlangsung.
Pada taraf kultural, ada kerangka kerja kepercayaan-kepercayaan, simbol-simbol ekspresif, dan nilai-nilai. Dengan kerangka kerja itu, para individu mendefinisikan dunia mereka, mengungkapkan perasaan-perasaan mereka dan membuat penilaian mereka. Pada taraf sosial ada proses terus menerus dari tingkah laku interaktif. Menurut Geertz, karena kebudayaan adalah jalinan makna, maka dengan jalinan makna itu manusia menafsirkan pengalaman mereka dan mengarahkan tindakan mereka .
Raja sebagai kepemimpinan tradisional diatur dalam sistem kemasyarakatan yang sumber atau proses menjadinya terkadang sulit dilacak/diketahui. Terkadang, ia hanya merupakan dongeng yang diturun-alihkan secara lisan dari generasi ke generasi. Stratifikasi yang ada dalam masyarakat lokal sekaligus mencerminkan sistem pemerintahan (kepemimpinan) yang dianut dan dipraktekkan dalam masyarakat tersebut.
Strata tertinggi pada umumnya adalah pemimpin yang paling berkuasa dan selanjutnya strata terendah merupakan kelompok masyarakat yang diperintah atau dikuasai bahkan terkadang disetarakan dengan harta milik yang dalam segala hal harus taat kepada pemimpinnya. Ketaatan kepada sang pemimpin merupakan keharusan sebab hal itu merupakan partisipasi dalam memelihara ketertiban yang telah ditentukan oleh seluruh sistem. Dalam hal ini seorang bangsawan/pemimpin atau Raja ditempatkan sebagai wakil Tuhan di dalam dunia ini. Inilah sumber utama kewibawaan dan kekuasaan sang pemimpin atau Raja.
Menurut Ari Dwipayana, menjelaskan beberapa sumber kekuasaan bangsawan (sultan, raja) atau pemimpin tradisional, seperti:
a. Kesatuan yang integral antara istana (keraton, pura, puri, tongkonan) dengan bangsawan. Artinya Istana memberikan makna politis yang sangat besar bagi seorang bangsawan atau pemimpin.
b. Penguasaan secara hegemonik pada level wacana kebudayaan. Hal ini terjadi sebab istana merupakan sumber tunggal produksi wacana pengetahuan, kepercayaan, acuan sistem stratifikasi sosial, simbol status, gaya hidup, dan kesenian masyarakat. Upacara yang dilakukan dalam istana selain bermakna religius, tetapi juga mempunyai makna status serta berfungsi sebagai sarana hiburan bagi rakyat pada umumnya. Karena itu, tidak heran jika upacara sekaten yang dilaksanakan di keraton Surakarta atau Keraton Yogyakarta selalu mendapat perhatian dari seluruh rakyat. Demikian pula dengan benda-benda pusaka selain merupakan karya seni yang menarik tetapi juga merupakan simbol status bahkan menjadi sumber kekuatan atau kesaktian.
c. Penguasaan basis ekonomi politik. Artinya dalam sistem kepemimpinan tradisional bangsawan menjadi penguasa atas pengelolaan seluruh sumber ekonomi milik kerajaan.
d. Penguasaan atas birokrasi dan pengadilan. Kekuasaan bangsawan tidak hanya terbatas pada tingkat kekuasaan tertinggi dalam istana tetapi ia juga menguasai birokrasi di bawahnya. Kontrol itu begitu kuatnya sehingga tidak ada pembangkangan terhadap kekuasaan tertinggi. Kekuasaan yang “mutlak” tersebut diperkuat dengan penguasaan terhadap lembaga peradilan. Bahkan di beberapa suku, sang pemimpin pemerintahan sekaligus bertindak sebagai penegak hukum yang mengadili siapa saja yang dianggap bersalah.
2 komentar:
Mau tipe tradisional atau tipe modern tetap pada intinya sang pemilik kekuasaan adalah orang-orang yang bisa berbebas ria melakukan segalanya. Bebas disini ya bebas mau melakukan hal yang menyimpang atau memang mau melaksanakan amanahnya sebagai seorang pemimpin. Tulisan yg menarik utk menambah pengetahuan saya yg masih minim.
Salam
trimakasih atas komentarnya.
begitulah kenyataan politik yg ada saat ini
Posting Komentar