Assalamu'alaikum,,, Salam Hormat

Terima kasih atas kunjungan anda ke blog saya. Semoga bermanfaat. Semua tulisan ini hasil saya pribadi, atau diambil dari tulisan lain yang tercantum pada rujukannya. Bila mengutip baik secara langsung maupun tidak, sebagian atau keseluruhan, diharapkan Mencantumkan sumber tulisan dan penulisnya pada daftar pustaka/catatan kaki sebagai bahan rujukannya.
atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih

Rabu, 16 Juli 2014

Pertarungan Pilpres 2014: Mewaspadai "Perang Saudara"

Oleh: Bambang Wibiono, S.IP*

Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) kali ini sangat luar biasa menyedot perhatian publik. Dalam sejarah Pemilu sejak orde baru, mungkin inilah pemilu yang dianggap mampu menggerakkan partisipasi politik masyarakat yang cukup luar biasa. Pertarungan gagasan dan kampanye politik begitu menarik dan menjadi perbincangan hampir di semua kalangan masyarakat Indonesia. 

Setelah sebelumnya melaksanakan Pemilu legislatif, terpetakanlah kekuatan masing-masing pasangan calon. Berikut gambaran peta kekuatan politik masing-masing pasangan calon presiden baik Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK yang dikutip dari news.liputan6.com.


Terlihat bahwa mesin politik pasangan Prabowo-Hatta didukung oleh partai dengan perolehan suara yang cukup besar. Berbeda dengan kubu Jokowi yang hanya didukung sedikit partai dan ramping. Meski demikian, hasil pertarungan politik semakin menarik saat kampanye, debat capres, bahkan setelah pencoblosan. Beberapa hasil survey menyebutkan kemenangan berpihak pada kubu Jokowi-JK yang didukung oleh PDIP, PKB, Nasdem, Hanura, dan PKPI. Meski dianggap koalisi ramping, tetapi ternyata mesin politik ini mampu mengangkat perolehan suara pasangan mantan Walikota Solo tersebut. Berikut beberapa hasil quick count yang dilansir dari beberapa lembaga survey.


Selain itu, berdasarkan hasil perolehan suara di Sumatra, Jokowi-JK pun memperoleh kemenangan telak. Pasangan Prabowo-Hatta hanya memperoleh kemenangan di Aceh, Lampung, dan Sumatra Barat. Bahkan di Sumatra Barat, pasangan yang diusung oleh tim Garuda merah ini memperoleh kemenangan telak sebesar 77,58%. Berikut data perolehan suara Pilpres di Sumatra.

Sumber: http://news.liputan6.com/read/2077814/infografis-pertarungan-daud-lawan-goliath


Sebagian besar lembaga survey menyebut pasangan Jokowi-JK unggul dari hasil quick count yang mereka lakukan. Namun demikian, ada beberapa lembaga survey yang justru memperlihatkan hasil sebaliknya. Inilah yang memicu kekisruhan pasca Pilpres 9 Juli beberapa waktu lalu. Parahnya lagi, masing-masing kubu mengklaim dan mendeklarasikan kemenangannya sebagai calon Presiden RI selanjutnya. 

Kondisi ini diperparah oleh peran media yang telah tergiring menjadi media partisan. Akibatnya pemberitaan menjadi tidak berimbang dan cenderung menyudutkan dan mengunggulkan salah satu kubu. 

Waspada "Perang Saudara"

Hal paling penting untuk diantisipasi adalah kemungkinan timbulnya konflik horizontal bahkan konflik vertikal setelah KPU sebagai lembaga resmi yang akan mengumumkan hasil perhitungan suara. Hari pencoblosan saja baru selesai, masing-masing kubu sudah merayakan kemenangannya. Bahkan, masing-masing mengklaim lembaga survey yang memenangkannya yang paling benar. 

Jika kondisinya demikian, ada kekhawatiran akan timbulnya "perang saudara" jika KPU mengumumkan hasil perolehan suara. Jika kubu Jokowi kalah, ada isu yang beredar di media bahwa pendukungnya akan mengamuk sebab hasil KPU dianggap tidak benar. Begitupun sebaliknya. 

Ada tiga hal yang menyebabkan kekisruhan dan potensi konflik pasca Pilpres ini. Pertama, lembaga survey yang menampilkan hasil quick count yang berbeda-beda dianggap biang keladinya. Hasil yang berbeda jauh ini menimbulkan kegamangan dikalangan masyarakat. Sulit menentukan siapa yang benar. Sampai akhirnya ada tuntutan sejumlah pihak untuk mengaudit lembaga survey tersebut. 

Kedua, media partisan yang turut menghangatkan suasana. Masing-masing media berusaha mempengaruhi opini publik dengan pegangan data hasil lembaga survey yang memenangkan jagoannya. Berita-berita pun dihadirkan sedemikian rupa kepada khalayak agar semakin mengukuhkan posisi jagoannya.

Ketiga, sikap para pendukung masing-masing kubu yang cenderung saling menjatuhkan dan mengejek. Situasi ini dapat dilihat dengan gamblang di beberapa media sosial seperti facebook dan twitter. Tak jarang komentar-komentar mereka berujung pada pertengkaran. Bayangkan apa jadinya bila mereka bertemu muka di dunia nyata. Terlebih saat KPU mengumumkan pemenangnya nanti pada tanggal 22 Juli mendatang. Tentu pendukung kubu yang kalah akan tidak terima, dan inilah yang perlu diwaspadai secara serius, khususnya kepada para pihak yang bertanggungjawab. 

Langkah Antisipatif

Beberapa langkah yang bisa diupayakan untuk mencegah konflik ini adalah perlu sikap legowo masing-masing calon pesiden dan wakil presiden. Mereka perlu membuat pernyataan-pernyataan yang bersahabat di depan publik atau media sehingga mampu meredam emosi para pendukungnya. Mendeklarasikan atau membuat pernyataan kemenangan sebelum ada pengumuman resmi KPU kiranya bukan langkah yang bijak. Jangan sampai muncul pernyataan diantara para elit politik yang terkesan sombong, menjatuhkan lawan, dan pernyataan lain yang bisa memicu konflik. 

Saling menghargai dan menghormati satu sama lain dan duduk bersama untuk memikirkan Indonesia kedepan dirasa cukup bijak. Sebab, bagaimanapun, kontestasi telah usai. Tinggal yang perlu dipikirkan adalah, siapapun yang menang perlu memikirkan langkah strategis apa yang bisa diupayakan bersama untuk membangun bangsa di pemerintahan selanjutnya.

Selain itu, Pemerintah, dalam hal ini SBY selaku Presiden yang sah harus segera bertindak sebagai mediator bagi kedua belah pihak. Penengah ini diperlukan untuk "mendamaikan" dan mencairkan suasana pasca pertarungan. 

Media sebagai corong informasi masyarakat harus bertindak obyektif sesuai etika jurnalistik. Selama ini ada stereotype bahwa TV One adalah televisinya kubu Prabowo, sedangkan MetroTv dianggap televisinya kubu Jokowi. Sebab kedua televisi ini yang sangat terlihat jelas mendukung masing-masing calon dalam pemberitaannya. Anggapan ini harus hilang. Masing-masing media harus berimbang dalam menyajikan informasi dan tidak menjatuhkan pihak lain. Dengan demikian, masyarakat tidak akan terpancing secara emosional ketika melihat berita. 

Di level bawah, pemerintah daerah dan juga tokoh masyarakat harus mampu menciptakan suasana harmonis dan merangkul semua kalangan. Hal ini dilakukan agar bibit konflik dapat segera diidentifikasi dan dicegah. Sebab bagaimanapun, tokoh masyarakat dirasa akan mudah didengar dan diikuti oleh masyarakat, sebab merekalah yang dekat dan bersentuhan langsung dengan masyarakat.

Sekiranya beberapa langkah sederhana itulah yang perlu diupayakan segera. Meski sederhana, namun percayalah, jika itu diupayakan, maka konflik atau perang saudara akibat pilpres kali ini bisa dicegah.


* Penulis adalah alumni Jurusan Ilmu Politik, FISIP Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto dan pemerhati masalah sosial politik.

Jumat, 04 Juli 2014

Peta Konflik Pilpres 2014


Oleh: Bambang Wibiono[1]


Konstelasi politik jelang pilpres 9 Juli 2014 semakin runyam. Ada beberapa indikator yang bisa dipetakan sebagai sumber atau potensi konflik. Pertama, pilpres kali ini hanya menyisakan dua pasangan calon presiden dan wakil presiden. Tentu ini menimbulkan pertarungan politik yang lebih tajam.

Tidak seperti pemilu sebelum-sebelumnya yang terdapat lebih dari dua pasangan calon, membuat massa dukungan terfragmentasi sedemikian rupa, sehingga konflik tidak begitu tajam. Dengan hanya ada dua pasangan calon, menimbulkan situasi head to head antar pendukung. Semua partai politik yang lolos electoral threshold dan parliamentary threshold pun tentu akan terpecah menjadi dua kubu, kecuali Partai Demokrat yang belum menentukan sikap yang jelas. Perhatian masyarakat lainnya selaku swing voters tentu akan lebih terfokus, dan bukan mustahil kalau mereka akan mudah terpengaruh dan kemudian mendukung salah satu calon.

Kedua, kondisi seperti ini sangat dipengaruhi media massa yang mereproduksi makna sedemikian rupa. Media massa sebagai salah satu pilar demokrasi yang seharusnya sebagai jembatan informasi yang netral kepada khalayak, kini ikut-ikutan terfragmentasi pada kubu yang berkontestasi. Media massa kini menjadi partisan politik. Hal ini menimbulkan informasi atau berita yang disampaikan tentu tidak netral dan mengandung unsur kampanye dukungan.

Penyebabnya mudah dilihat. Pemilik perusahaan media televisi yang ada di Indonesia tak lain adalah orang-orang partai. Sebut saja seperti TV One dan jaringan Viva News-nya merupakan milik Aburizal Bakrie yang semua tahu kalau dia pentolan Partai Golkar dan mendukung kubu Prabowo-Hatta. MetroTv tak lain adalah milik Surya Paloh yang juga pendiri Partai Nasdem yang kini berada di belakang pasangan Jokowi-JK. Selain itu ada MNC Grup milik Hari Tanoe yang merupakan sempalan dari Nasdem dan lari ke kubu Hanura kemudian kini berbalik ke gerbong Prabowo. Alhasil, media partisan ini berlomba-lomba memproduksi makna guna mempengaruhi opini publik mengenai masing-masing pasangan capres-cawapres.

Ketiga, partisan dari kalangan agama yang terseret dalam pusaran politik turut memperkeruh keadaan. Terlebih lagi, isu SARA, termasuk soal keagamaan ini sengaja diangkat ke permukaan oleh salah satu kubu untuk melemahkan lawan politiknya. Tujuannya tak lain adalah untuk menarik dukungan dari kalangan umat Islam yang merupakan agama mayoritas di Indonesia dan menghancurkan elektabilitas lawan.

Dukungan dari partai berbasis agama pun terpecah ke dalam dua kubu. Masing-masing mencoba menarik “jamaahnya” untuk mendukung calon presiden yang dijagokan. Kalangan Nahdliyin yang dianggap massa fanatik dan mayoritas menjadi objek tarik-menarik antar kubu. Masing-masing mengklaim mendapat dukungan dari massa Nahdatul Ulama ini.

Isu agama ini sangat sensitif dan sangat berpotensi menyulut konflik horizontal yang sangat tajam. Lihat saja kasus konflik diantara massa NU saat Pemilu 1999 yang terjadi di Jepara. Saat itu PPP dan PKB masing-masing mengklaim bahwa NU sebagai basisnya. Selain itu, isu agama dan ayat-ayat Al-Qur’an digunakan sebagai alat politik untuk menjatuhkan lawan. Tak dapat dihindari, bentrokan pun terjadi dan menimbulkan banyak korban.

Rasanya, pengalaman konflik atas dasar isu agama sudah tidak kehabisan referensi bagi masyarakat Indonesia. Seharusnya ini dijadikan pelajaran bagi elit politik agar dapat berpolitik dengan cantik tanpa merugikan para pendukungnya di tingkat grassroot.

Peta konflik yang sudah dijelaskan tersebut sebaiknya bisa disikapi para tim sukses agar tidak memecah belah bangsa. Partai politik, media massa, dan lembaga politik lainnya perlu membangun konflik yang sehat. Sebab dalam politik, konflik itu keniscayaan. Namun kedewasaan dan penyikapan yang diperlukan masing-masing elemen dan stakeholder. Jika dapat dikelola dengan baik, konflik yang terbangun pun akan bisa mendorong kedewasaan politik di alam demokrasi ini. Dalam jangka panjang, siapapun pemenangnya, tentu konflik positif yang bisa terbangun akan mampu mendorong kemajuan bangsa dan pemerintahan yang terbentuk.






[1] Penulis adalah alumni Jurusan Ilmu Politik, FISIP Universitas Jenderal Soedirman dan mantan wartawan SatelitPost Pantura