Oleh:
Bambang Wibiono[1]
Konstelasi politik
jelang pilpres 9 Juli 2014 semakin runyam. Ada beberapa indikator yang bisa dipetakan
sebagai sumber atau potensi konflik. Pertama, pilpres kali ini hanya menyisakan
dua pasangan calon presiden dan wakil presiden. Tentu ini menimbulkan
pertarungan politik yang lebih tajam.
Tidak seperti pemilu
sebelum-sebelumnya yang terdapat lebih dari dua pasangan calon, membuat massa dukungan
terfragmentasi sedemikian rupa, sehingga konflik tidak begitu tajam. Dengan
hanya ada dua pasangan calon, menimbulkan situasi head to head antar pendukung. Semua partai politik yang lolos electoral threshold dan parliamentary threshold pun tentu akan
terpecah menjadi dua kubu, kecuali Partai Demokrat yang belum menentukan sikap
yang jelas. Perhatian masyarakat lainnya selaku swing voters tentu akan lebih terfokus, dan bukan mustahil kalau
mereka akan mudah terpengaruh dan kemudian mendukung salah satu calon.
Kedua,
kondisi
seperti ini sangat dipengaruhi media massa yang mereproduksi makna sedemikian
rupa. Media massa sebagai salah satu pilar demokrasi yang seharusnya sebagai
jembatan informasi yang netral kepada khalayak, kini ikut-ikutan terfragmentasi
pada kubu yang berkontestasi. Media massa kini menjadi partisan politik. Hal ini
menimbulkan informasi atau berita yang disampaikan tentu tidak netral dan
mengandung unsur kampanye dukungan.
Penyebabnya mudah
dilihat. Pemilik perusahaan media televisi yang ada di Indonesia tak lain
adalah orang-orang partai. Sebut saja seperti TV One dan jaringan Viva News-nya
merupakan milik Aburizal Bakrie yang semua tahu kalau dia pentolan Partai
Golkar dan mendukung kubu Prabowo-Hatta. MetroTv tak lain adalah milik Surya Paloh
yang juga pendiri Partai Nasdem yang kini berada di belakang pasangan Jokowi-JK.
Selain itu ada MNC Grup milik Hari Tanoe yang merupakan sempalan dari Nasdem
dan lari ke kubu Hanura kemudian kini berbalik ke gerbong Prabowo. Alhasil,
media partisan ini berlomba-lomba memproduksi makna guna mempengaruhi opini
publik mengenai masing-masing pasangan capres-cawapres.
Ketiga,
partisan
dari kalangan agama yang terseret dalam pusaran politik turut memperkeruh
keadaan. Terlebih lagi, isu SARA, termasuk soal keagamaan ini sengaja diangkat
ke permukaan oleh salah satu kubu untuk melemahkan lawan politiknya. Tujuannya tak
lain adalah untuk menarik dukungan dari kalangan umat Islam yang merupakan
agama mayoritas di Indonesia dan menghancurkan elektabilitas lawan.
Dukungan dari partai
berbasis agama pun terpecah ke dalam dua kubu. Masing-masing mencoba menarik “jamaahnya”
untuk mendukung calon presiden yang dijagokan. Kalangan Nahdliyin yang dianggap
massa fanatik dan mayoritas menjadi objek tarik-menarik antar kubu. Masing-masing
mengklaim mendapat dukungan dari massa Nahdatul Ulama ini.
Isu agama ini sangat sensitif
dan sangat berpotensi menyulut konflik horizontal yang sangat tajam. Lihat saja
kasus konflik diantara massa NU saat Pemilu 1999 yang terjadi di Jepara. Saat itu
PPP dan PKB masing-masing mengklaim bahwa NU sebagai basisnya. Selain itu, isu
agama dan ayat-ayat Al-Qur’an digunakan sebagai alat politik untuk menjatuhkan
lawan. Tak dapat dihindari, bentrokan pun terjadi dan menimbulkan banyak
korban.
Rasanya, pengalaman
konflik atas dasar isu agama sudah tidak kehabisan referensi bagi masyarakat
Indonesia. Seharusnya ini dijadikan pelajaran bagi elit politik agar dapat berpolitik
dengan cantik tanpa merugikan para pendukungnya di tingkat grassroot.
Peta konflik yang
sudah dijelaskan tersebut sebaiknya bisa disikapi para tim sukses agar tidak
memecah belah bangsa. Partai politik, media massa, dan lembaga politik lainnya
perlu membangun konflik yang sehat. Sebab dalam politik, konflik itu
keniscayaan. Namun kedewasaan dan penyikapan yang diperlukan masing-masing
elemen dan stakeholder. Jika dapat
dikelola dengan baik, konflik yang terbangun pun akan bisa mendorong kedewasaan
politik di alam demokrasi ini. Dalam jangka panjang, siapapun pemenangnya,
tentu konflik positif yang bisa terbangun akan mampu mendorong kemajuan bangsa
dan pemerintahan yang terbentuk.
[1]
Penulis adalah alumni Jurusan Ilmu Politik, FISIP Universitas Jenderal
Soedirman dan mantan wartawan SatelitPost Pantura
Tidak ada komentar:
Posting Komentar