Assalamu'alaikum,,, Salam Hormat

Terima kasih atas kunjungan anda ke blog saya. Semoga bermanfaat. Semua tulisan ini hasil saya pribadi, atau diambil dari tulisan lain yang tercantum pada rujukannya. Bila mengutip baik secara langsung maupun tidak, sebagian atau keseluruhan, diharapkan Mencantumkan sumber tulisan dan penulisnya pada daftar pustaka/catatan kaki sebagai bahan rujukannya.
atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih

Jumat, 04 Juli 2014

Peta Konflik Pilpres 2014


Oleh: Bambang Wibiono[1]


Konstelasi politik jelang pilpres 9 Juli 2014 semakin runyam. Ada beberapa indikator yang bisa dipetakan sebagai sumber atau potensi konflik. Pertama, pilpres kali ini hanya menyisakan dua pasangan calon presiden dan wakil presiden. Tentu ini menimbulkan pertarungan politik yang lebih tajam.

Tidak seperti pemilu sebelum-sebelumnya yang terdapat lebih dari dua pasangan calon, membuat massa dukungan terfragmentasi sedemikian rupa, sehingga konflik tidak begitu tajam. Dengan hanya ada dua pasangan calon, menimbulkan situasi head to head antar pendukung. Semua partai politik yang lolos electoral threshold dan parliamentary threshold pun tentu akan terpecah menjadi dua kubu, kecuali Partai Demokrat yang belum menentukan sikap yang jelas. Perhatian masyarakat lainnya selaku swing voters tentu akan lebih terfokus, dan bukan mustahil kalau mereka akan mudah terpengaruh dan kemudian mendukung salah satu calon.

Kedua, kondisi seperti ini sangat dipengaruhi media massa yang mereproduksi makna sedemikian rupa. Media massa sebagai salah satu pilar demokrasi yang seharusnya sebagai jembatan informasi yang netral kepada khalayak, kini ikut-ikutan terfragmentasi pada kubu yang berkontestasi. Media massa kini menjadi partisan politik. Hal ini menimbulkan informasi atau berita yang disampaikan tentu tidak netral dan mengandung unsur kampanye dukungan.

Penyebabnya mudah dilihat. Pemilik perusahaan media televisi yang ada di Indonesia tak lain adalah orang-orang partai. Sebut saja seperti TV One dan jaringan Viva News-nya merupakan milik Aburizal Bakrie yang semua tahu kalau dia pentolan Partai Golkar dan mendukung kubu Prabowo-Hatta. MetroTv tak lain adalah milik Surya Paloh yang juga pendiri Partai Nasdem yang kini berada di belakang pasangan Jokowi-JK. Selain itu ada MNC Grup milik Hari Tanoe yang merupakan sempalan dari Nasdem dan lari ke kubu Hanura kemudian kini berbalik ke gerbong Prabowo. Alhasil, media partisan ini berlomba-lomba memproduksi makna guna mempengaruhi opini publik mengenai masing-masing pasangan capres-cawapres.

Ketiga, partisan dari kalangan agama yang terseret dalam pusaran politik turut memperkeruh keadaan. Terlebih lagi, isu SARA, termasuk soal keagamaan ini sengaja diangkat ke permukaan oleh salah satu kubu untuk melemahkan lawan politiknya. Tujuannya tak lain adalah untuk menarik dukungan dari kalangan umat Islam yang merupakan agama mayoritas di Indonesia dan menghancurkan elektabilitas lawan.

Dukungan dari partai berbasis agama pun terpecah ke dalam dua kubu. Masing-masing mencoba menarik “jamaahnya” untuk mendukung calon presiden yang dijagokan. Kalangan Nahdliyin yang dianggap massa fanatik dan mayoritas menjadi objek tarik-menarik antar kubu. Masing-masing mengklaim mendapat dukungan dari massa Nahdatul Ulama ini.

Isu agama ini sangat sensitif dan sangat berpotensi menyulut konflik horizontal yang sangat tajam. Lihat saja kasus konflik diantara massa NU saat Pemilu 1999 yang terjadi di Jepara. Saat itu PPP dan PKB masing-masing mengklaim bahwa NU sebagai basisnya. Selain itu, isu agama dan ayat-ayat Al-Qur’an digunakan sebagai alat politik untuk menjatuhkan lawan. Tak dapat dihindari, bentrokan pun terjadi dan menimbulkan banyak korban.

Rasanya, pengalaman konflik atas dasar isu agama sudah tidak kehabisan referensi bagi masyarakat Indonesia. Seharusnya ini dijadikan pelajaran bagi elit politik agar dapat berpolitik dengan cantik tanpa merugikan para pendukungnya di tingkat grassroot.

Peta konflik yang sudah dijelaskan tersebut sebaiknya bisa disikapi para tim sukses agar tidak memecah belah bangsa. Partai politik, media massa, dan lembaga politik lainnya perlu membangun konflik yang sehat. Sebab dalam politik, konflik itu keniscayaan. Namun kedewasaan dan penyikapan yang diperlukan masing-masing elemen dan stakeholder. Jika dapat dikelola dengan baik, konflik yang terbangun pun akan bisa mendorong kedewasaan politik di alam demokrasi ini. Dalam jangka panjang, siapapun pemenangnya, tentu konflik positif yang bisa terbangun akan mampu mendorong kemajuan bangsa dan pemerintahan yang terbentuk.






[1] Penulis adalah alumni Jurusan Ilmu Politik, FISIP Universitas Jenderal Soedirman dan mantan wartawan SatelitPost Pantura

Tidak ada komentar:

Posting Komentar