Apa
Kabar Pendidikan Indonesia?
Oleh:
Innas Rizky Afria
Pendidikan
yang maju dan berkualitas merupakan harapan setiap bangsa. Keberhasilan
pendidikan tentu salah satunya ditandai dengan sumber daya manusia yang “berkualitas”
pula. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang sedang berusaha
mewujudkan impian tentang pendidikan berkualitas. Namun nyatanya ukuran
keberhasilan pendidikan bukan diukur berdasarkan kemampuannya untuk melindungi
guru serta peserta didik, melainkan ukuran akumulasi laba yang didapat dari
proses pendidikan. Pendidikan telah dijadikan komoditas yang menjanjikan bagi
para penguasa. Bagaimana dengan nasib rakyat kecil yang tak mampu menempuh
pendidikan? Bukankah negara memiliki kewajiban memberikan pendidikan pada
setiap warga negara?
Saat ini, pendidikan mendapat jatah
sebesar 20% dari APBN. Namun, janggal sekali ketika masih banyak institusi
pendidikan yang kondisi fisiknya sama sekali tak layak pakai. Bangunannya rapuh,
bocor ketika hujan, bahkan ada yang roboh, itu terlihat sangat tidak pantas
jika disebut sebagai sekolah. Jika jatah 20% persen itu digunakan sesuai
ketentuan, maka setidaknya gedung-gedung sekolah yang tak layak pakai dapat
diperbaiki. Setelah ditelisik lebih jauh, ternyata dari 20% anggaran untuk
pendidikan hanya sekitar 5-6% saja yang digunakan untuk pendidikan. Tak heran
bahwa banyak orang yang tidak sekolah dikarenakan masalah ekonomi. Orang-orang
miskin lebih memilih untuk mencari uang demi bertahan hidup daripada mengenyam
pendidikan. Untuk makan saja susah, apalagi bayar sekolah yang membuthkan biaya
tidak sedikit. Sekolah membutuhkan banyak biaya untuk membeli seragam, memebeli
buku, perlengkapan sekolah seperti tas dan sepatu, belum lagi pungutan-pungutan
dari sekolah seperti SPP, uang gedung, uang buku, iuran OSIS, dan berbagai
macam pungutan lainnya. Pemerintah heboh berkoar-koar sekolah gratis, nyatanya?
Rakyat kecil semakin tersiksa dengan
semakin terlihatnya kesenjangan sosial antara orang yang berpendidikan dan
tidak berpendidikan. Mereka sebagai kaum marginal hanya pasrah dengan nasib
mereka yang memang tidak bisa sekolah. Tidak sekolah bukan merupakan keinginan
mereka, namun kondisilah yang memaksa mereka untuk tidak mengenyam bangku
sekolah. Tak ada peluang sama sekali bagi mereka untuk meraskan bagaimana duduk
dibangku sekolah, apalagi bangku perkuliahan. Sekolah hanya bisa dinikmati oleh
masyarakat kalangan menengah keatas. Pun jika menginginkan sekolah yang bagus,
harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Banyak orang yang rela bekerja siang
malam, banting tulang agar bisa membiayai sekolah anaknya. Mereka berharap agar
anaknya kelak dapat merubah nasib mereka menjadi lebih baik. Padahal
kenyataannya sekolah tidak menjamin seseorang berhasil dan sukses.
Paradoks Pendidikan
Dari
tahun ke tahun jumlah pengangguran di Indonesia meningkat. Kualitas SDM pun
perlu dipertanyakan. Output yang dihasilkan belum tentu sesuai dengan yang
diharapkan, output pendidikan hanya dicetak sebagai pekerja bukan sebagai
pencipta lapangan kerja yang diharapkan dapat mengentaskan kemiskinan di negeri
ini. Pendidikan mencetak manusia siap kerja namun tak siap menjadi manusia. Pendidikan
seharusnya menjadikan manusia-manusia yang mampu memanusiakan dirinya sendiri
dan orang lain. Namun terkadang justru sebaliknya, orang yang merasa dirinya
berpendidikan malah menindas orang yang tidak berpendidikan. Lihat saja para
pejabat pemerintah yang notabene merupakan kaum intelektual, apakah mereka
bersedia mengorbankan sedikit saja tenaganya untuk melakukan sesuatu demi rakyat
kecil? Memperjuangkan nasib generasi penerus bangsa?
Proyek pembangunan yang dilakukan
oleh pemerintah hanya merupakan ajang bisnis permainan politik semata. Uang
negara yang seharusnya digunakan untuk kepentingan rakyat justru menjadi
rebutan para koruptor. Setiap proyek yang dilakukan oleh pemerintah, selalu
tersandung kasus yang sama, yaitu masalah manipulasi dana. Dalam sektor
pendidikan pun tak jauh beda. Dana yang dianggarkan untuk kompensasi pendidikan
nyatanya dikorupsi oleh pejabat pemerintah. Pendidikan hanya dijadikan sebagai
komoditi yang menjanjikan. Pendidikan dijadikan alasan untuk mengeluarkan uang
negara secara berlebih. Budaya korup inilah yang pada akhirnya juga menjamur
dalam sektor pendidikan.
Budaya
korup juga terjadi dalam proses pendidikan, misalnya kecurangan dalam
pelaksanaan ujian. Seperti pada kasus Ujian Nasional yang belum lama ini
diselenggarakan, demi mencapai suatu kelulusan, baik pihak sekolah maupun murid
berlaku curang, entah dengan cara membuat contekan, mencari bocoran soal, dan
lain sebagainya. Walaupun tidak semua melakukan kecurangan seperti itu, namun
hal ini cukup mencerminkan bahwa pendidikan di Indonesia sangat memprihatinkan.
Dimana letak pendidikan moral dan etika bangsa Indonesia?
Peran Guru
Kesejahteraan guru juga merupakan
hal yang penting untuk diperhatikan, karena hal ini berdampak pada motivasi dan
kinerja para pengajar. Pemerintah seharusnya mengadakan pelatihan dan pembinaan
terhadap guru secara berkala, terutama di daerah terpencil dengan maksud agar
para pengajar selalu dapat mengikuti perkembangan IPTEK yang semakin pesat.
Namun melihat kondisi saat ini, masih banyak tenaga pengajar yang kapasitas SDM
nya rendah, sehingga mereka saklek
dalam mentransformasikan ilmunya, yaitu hanya sekedar mengajarkan tanpa
memberikan pemahaman yang mendalam dan tanpa memberikan pendidikan.
Saat
ini banyak guru yang tidak bisa lagi digugu
dan ditiru, padahal guru bukan
hanya sebagai tenaga pengajar, tetapi seharusnya dapat mengajarkan sekaligus
mendidik anak bangsa supaya dapat menjadi generasi penerus bangsa yang
berkualitas dan bermoral yang nantinya mampu merevolusi kondisi bangsa yang
sudah tak karuan seperti saat ini. Kenyataan saat ini guru hanya mampu
mentransformasikan ilmu dari buku-buku ajar sesuai kurikulum. Semboyan ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun
karso, tutwuri handhayani seharusnya dapat dijadikan pegangan bagi
orang-orang yang mengaku sebagai guru.
Ternyata
bukan perkara mudah membenahi situasi dan kondisi pendidikan bangsa yang cukup membuat
rakyatnya tersiksa. Namun bukan hal yang tidak mungkin pula jika dalam
memikirkan masalah ini menggunakan hati nurani dan akal sehat serta ada
kepedulian dari berbagai pihak akan mampu menyelesaikannya. Begitu kompleks
persoalan yang menyelimuti pendidikan di negeri ini, semuanya saling berkaitan.
Setiap stakeholders memiliki andil
dalam menentukan arah pendidikan dan kemajuan bangsa ini. Saatnya kita sebagai
bangsa yang mengaku hidup dalam negara kesatuan mau bersatu dalam membenahi
setiap kemelut, keterpurukan, kehancuran, dan krisis multidimensi.
Innas Rizky Afria,
Mahasiswi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto