Oleh: Bambang Wibiono
Ketidakadilan merupakan sebuah tema besar dari semua gerakan perlawanan. Ketidakadilan menjadi akar permasalahan dalam kehidupan. Sejarah manusia pun selalu dihiasi oleh permasalahan ini. Begitupun yang terjadi dalam kajian gender. Pada awalnya, permasalahan gender akibat dari adanya ketimpangan atau ketidakadilan yang dialami oleh manusia yang berdasarkan perbedaan jenis kelamin, baik itu dari segi peran sosial maupun segi biologis. Sumber ketidakadilan itu dinilai karena kuatnya dominasi laki-laki (patriarki). Biasanya perempuan selalu menjadi korban ketidakadilan sosial ini. Kaum perempuan dianggap sebagai kelompok inferior setelah laki-laki. Anggapan ini dibangun dari konstruksi sosial melalui pranata yang ada dalam masyarakat.
Berabad-abad konstruksi sosial mengenai peranan yang melekat pada perempuan dibentuk. Bahkan sosialisasi ini dilakukan sejak kita kecil. Sehingga tanpa kita sadari, peranan yang diberikan masyarakat pada setiap jenis kelamin seolah menjadi sebuah kodrat dan tabu untuk dipertentangkan apalagi diubah.
Sejauh ini pemahaman masyarakat mengenai gender masih tidak jelas. Ada yang beranggapan bahwa gender merupakan peran yang dimiliki manusia berdasarkan jenis kelamin. Sehingga peran antara perempuan dan laki-laki tentu akan berbeda. Dari pemahaman ini juga timbul anggapan bahwa laki-laki memiliki peran yang eksklusif dibandingkan perempuan. Akibatnya perempuan manjadi kelompok yang terpinggirkan (subaltern) yang selalu tidak mampu memperoleh akses dalam ruang publik. Sebab, masyarakat menilai bahwa peran perempuan adalah di rumah.
Contoh dari ketidakadilan gender adalah adanya konsep pembagian peran yang mengatakan peran perempuan tempatnya di rumah (domestik) sementara peran pria di luar rumah (publik). Menurut kaum feminis, pembagian peran seperti itu sekedar konstruksi sosial yang tidak berkaitan sedikitpun dengan fisik (jenis kelamin).
Gayatri C. Spivax, salah satu tokoh post-kolonial pernah menceritakan kepada kita bahwa di tengah kelompok tertindas masih ada penindasan. Spivax menilai bahwa penindasan juga terjadi di dalam kelompok yang sudah tertindas. Ketika mereka berteriak untuk sebuah kemerdekaan dari penindasan dan diskriminasi, tetapi di tengah kehidupan mereka pun masih menerapkan praktek-praktek penindasan, dan yang menjadi korban adalah kaum perempuan. Ternyata dalam keadaan tertindas pun, mereka masih tega untuk menindas yang lainnya.
Perempuan dalam Islam
“Dan para perempuan mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf…” (Al-Baqoroh: 225)
Dari segi agama, khususnya Islam masih banyak perdebatan mengenai peran yang dimiliki kaum hawa ini. Ada yang menganggap bahwa peran perempuan adalah di rumah dan melayani suami serta keluarganya. Namun ada pula yang beranggapan lebih moderat yang masih memberikan toleransi terhadap peran perempuan dalam ranah publik, namun tanpa melupakan tugas “pokok”-nya. Artinya, Islam masih bersifat fleksibel dalam memandangnya. Tetapi yang perlu dicatat adalah ridha/keikhlasan dari sang suami jika telah menikah atau dari orang tuanya. Sebab ketika seorang perempuan telah menikah, segala tanggung jawab orang tua akan berada di tangan sang suami.
Islam tidak mengajarkan tentang penindasan. Begitupun hubungan antara laki-laki dengan perempuan. Islam mengajarkan kepada kaum laki-laki untuk memperlakukan perempuan dengan baik, seperti yang disebut dalam Al-Qur’an sebagai berikut:
“Dan pergaulilah istri-istrimu dengan baik” (Surat An-Nisa: 19)
Dr. Ahmad Muhammad Jamal dalam bukunya Problematika Muslimah di Era Globalisasi (1995), menjelaskan bahwa Islam menyamakan kedudukan antara kaum laki-laki dan kaum perempuan baik hak maupun kewajibannya. Islam menetapkan agar laki-laki menyangga tugas mencari afkah, melakukan pekerjaan-pekerjaan berat dan bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup keluarga. Sedangkan perempuan berperan sebagai penenang suami, sebagai ibu yang mengasuh dan mendidik anak-anak dan menjga harta benda suami serta membina etika keluarga.
Dari peranan yang dilabelkan pada perempuan memberikan penafsiran bahwa perempuan adalah sebagai pilar penerus peradaban. Tanpa adanya fungsi alami dari perempuan sebagai “mesin produksi” generasi penerus peradaban, dunia ini akan musnah tanpa regenerasi. Sungguh besar jasa atau peran perempuan—secara tidak langsung—dalam ruang publik, sebab kemajuan peradaban adalah karena peran seorang perempuan (ibu) sebagai pendidik. Seandainya dunia ini bisa hidup layaknya manusia, tentu dia akan bersujud di kaki perempuan, karena kelangsungan, kemakmuran, dan kemajuan dunia ditentukan oleh seberapa besar perempuan menjalankan perannya.
Pergeseran Peran Perempuan dalam mainstream Gender
Akhir-akhir ini tema persamaan peran yang berbasis gender sudah didengungkan. Kaum perempuan (terutama), menuntut hak mereka untuk diperlakukan sama seperti laki-laki yang bisa bebas mengakses ruang-ruang publik tanpa ada diskriminasi. Sehingga tidak heran jika saat ini didengungkan konsep Women In Development. Perempuan harus dilibatkan dalam setiap proses pembangunan.
Jika kita berbicara tentang gerakan perempuan, maka masih banyak orang menganggap bahwa persoalan mendasar yang dihadapi oleh gerakan perempuan hanyalah budaya patriarkhi yang meminggirkan dan menindas perempuan. Kita lupa bahwa perkembangan ekonomi global telah melahirkan tirani-tirani patriarkhi baru seperti ekonomi global, otoritarianisme, militerisme, dan fundamentalisme. Empat kekuatan inilah yang sedang dan akan menghancurkan kehidupan perempuan.
Perempuan saat ini digiring pada peran serta dalam berbagai aspek kehidupan khususnya ruang publik. Mereka lupa bahwa peranan yang diberikan kepada mereka tidak kalah terhormatnya dengan kaum laki-laki. Bahkan ada sebuah anggapan dalam masyarakat, khususnya Islam bahwa surga ada di telapak kaki ibu. Ini mejelaskan kepada kita bahwa peran perempuan sungguh mulia.
Dengan adanya pengarusutamaan gender, kaum perempuan sudah mulai melupakan dan mulai meninggalkan tugas mereka yang berkaitan dengan fungsi biologisnya seperti: melahirkan, menyusui, mengurus, merawat, serta mendidik anak. Begitu juga yang dikatakan oleh Buddy Munawar Rachman dalam tulisannya “Rekonstruksi Fiqh Perempuan dalam Konteks Perubahan Jaman”
Apa yang terjadi akibat budaya modern khususnya pengarus-utamaan (mainstream) gender yang didengungkan oleh kaum feminisme adalah berpalingnya seorang perempuan dari rumahnya dan anak-anak. Ia mulai sibuk bersama kaum laki-laki di pabrik, pasar, kantor dan ruang publik lainnya. Yang lebih parahnya adalah mereka telah lalai akan tugas mereka yang menjaga, melindungi, merawat, serta mendidik anak.
Apa dampak dari ini semua? Anak mulai tidak terawasi dalam pertumbuhannya, kurangnya kasih sayang dan bimbingan dari kedua orangtuanya. Sebab ketika para ibu sibuk dengan pekerjaannya di ruang publik yang menyita banyak waktu, ia tidak memiliki waktu untuk anak atau keluarganya. Banyak ibu yang lebih rela anaknya diurus oleh orang lain (pembantu). Namun ketika terjadi sesuatu dengan sang anak, maka kedua oarangtuanya akan menyalahkan sang pembantu yang bertugas mengasuhnya. Banyak kita saksikan di TV, seorang anak yang berprilaku menyimpang akibat kurangnya kasih sayang dari kedua orang tuanya serta kurangnya pengawasan. Ini pun dipengaruhi oleh gempuran media—yang mungkin dengan sengaja—ingin menghancurkan moral bangsa.
Kita harus wasapada terhadap gempuran budaya atau pengaruh yang datang dari luar. Toh ternyata tidak semua misi yang mereka lontarkan adalah untuk menuntut keadilan dan menentang diskriminasi serta penindasan. Sebut saja kelompok feminisme radikal. Kelompok ini menganggap bahwa sumber ketidakadilan adalah masalah biologis, sebab biologis menentukan nasib perempuan. Oleh karena itu biologi harus diubah. Perjuangan feminis harus tidak berhenti pada penghapusan keistimewaan laki-laki, tetapi juga memperjuangakan perubahan dalam perbedaan jenis kelamin
Mereka membawa agenda penghapusan penindasan dan diskriminasi terhadap kaum perempuan. Tetapi di saat yang sama dia malah mengeksploitasi perempuan sendiri. Kaum feminis radikal menolak perannya untuk reproduksi. Seandainya mereka ingin memiliki keturunan, mereka bisa mendapatkannya dengan bayi tabung atau dia dapat menitipkan janinnya hingga menyusui pada perempuan lain yang bersedia. Aliran ini seolah mengutuki nasib mereka sebagai kaum perempuan. Tetapi mereka pun melakukan eksploitasi terhadap perempuan lain dengan melimpahkan bebannya kepada perempuan lain. Dari ilustrasi ini terlihat bahwa kelompok ini tidak konsisten terhadap agenda perjuangan mereka.
Dari pemaparan ini kita harus mulai waspada terhadap agenda pengarus-utamaan (mainstream) gender. Jangan-jangan di balik itu ada misi untuk menghancurkan bangsa yang berujung pada hegemoni kelompok/Negara tertentu dengan cara terlebih dahulu menghancurkan generasi penerus peradabannya melalui penggeseran peran perempuan/ibu dalam keluarga. Tentu tidak masalah ketika seorang perempuan berpartisipasi dalam kehidupan publik, namun tentunya dengan catatan tidak melupakan perannya dalam keluarga, khususnya dalam pendidikan anak. Semoga kita akan lebih berhati-hati dalam menyikapi gempuran arus budaya.