Oleh: Bambang Wibiono
Sejarah radikalisme agama
Radikalisme agama mungkin bagi sebagian orang adalah sebuah momok yang menakutkan, namun bagi para penganutnya radikalisme itu sendiri adalah sebuah keharusan yang harus dijalani sebagai jalan hidupnya.radikalisme agama itu sendiri muncul akibat adanya pemahaman terhadap konteks agama yang salah. Radikalisme itu sendiri muncul sebagai bentuk tindak lanjut dari proses persembahan seseorang kepada Tuhan-nya. Pemahaman terhadap ajaran agama yang salah inilah yang menyebabkan radikalisme agama itu berkembang dengan sangat cepatnya. Agama dijadikan alat untuk mengintimidasi dan menindas sekelompok orang yang bertentangan dengan pahamnya. Padahal, agama mana pun tidak mengajarkan demikian. Nilai-nilai kemanusiaan agama ditinggalkan.
Agama yang dibangun dari integrasi akal pikiran rasional dengan nonrasional, sehingga menciptakan pikiran yang masuk akal (rasional), telah beralih peran yang mengarah pada penciptaan rasionalitas untuk bertindak anarkis. Namun banyak kalangan yang berpendapat bahwa radikalisme agama itu di latar belakangi oleh faktor ekonomi, faktor inilah yang membuat sebagian orang merasa sebagai kaum yang terpinggirkan. Sehingga mereka melakukan sebuah gerakan yang nantinya menuntut sebuah perubahan status menjadi yang lebih baik. Namun hal tersebut dibantahkan dengan kenyataan-kenyataan yang ada, banyak para penganut radikalisme agama adalah para jutawan yang memilki aset kekayaan yang berlimpah. Contoh kasus terjadi pada pemimpin Al-qaeda Osama bin laden, ia tidak digolongkan sebagai orang miskin tetapi beliau adalah seorang milioner yang sangat kaya. Radikalisme itu sendiri sebenarnya kepanjangan tangan dari paham Fundamentalisme yang salah.
Asal-Usul Fundamentalisme di Dunia Barat
Fundamentalis oleh banyak kalangan diartikan adalah sebagai proses pembelaan terhadap kepercayaannya. Fundamentalisme di dunia Barat pada awalnya merupakan gerakan Kristen Protestan Amerika yang berlabuh pada abad ke-19 Masehi, dari barisan gerakan yang lebih luas, yaitu “Gerakan Millenium”. Gerakan ini mengimani kembalinya Almasih A.S. Secara fisik dan materi ke dunia untuk yang kedua kalinya, guna mengatur dunia ini, selama seribu tahun sebelum datangnya hari perhitungan manusia. Prototipe pemikiran yang menjadi ciri khas fundamentalisme ini adalah penafsiran Injil dan seluruh teks agama secara literal dan menolak secara utuh seluruh bentuk penakwilan atas teks-teks manapun, walaupun teks-teks itu berisikan metafor-metafor rohani dan simbol-simbol sufistik, serta memusuhi kajian-kajian kritis yang ditulis atas Injil dan Kitab Suci. Dari penafsiran Injil secara literal ini, orang-orang fundamentalis Protestan mengatakan akan datangnya Almasih kembali secara fisik untuk mengatur dunia selama seribu tahun yang berbahagia karena mereka menafsirkan “mimpi Yohana” (kitab Mimpi 20-1-10) secara literal.
Ketika fundamentalisme Kristen itu menjadi sebuah sekte yang indipenden pada awal abad ke-20, terkristallah dogma-dogma yang berasal dari penafsiran literal atas Injil itu melalui seminar-seminarnya, lembaga-lembaganya, serta melalui tulisan-tulisan para pendetanya yang mengajak untuk memusuhi realita, menolak perkembangan, dan memerangi masyarakat-masyarakat sekuler yang baik maupun yang buruk sekaligus. Misalnya, mereka mengklaim mendapatkan tuntunan langsung dari Tuhan, cenderung untuk mengisolasi diri dari kehidupan bermasyarakat, menolak untuk berinteraksi dengan realitas, memusuhi akal dan pemikiran ilmiah serta hasil-hasil penemuan ilmiah. Oleh karenanya, mereka meninggalkan universitas-universitas dan mendirikan lembaga-lembaga tersendiri bagi pendidikan anak-anak mereka. Mereka juga menolak sisi-sisi positif kehidupan sekuler, apalagi sisi negatifnya, seperti aborsi, pembatasan kelahiran, penyimpangan seksual, dan kampanye-kampanye untuk membela “hak-hak” orang-orang yang berperilaku seperti itu dari barang-barang yang memabukkan, merokok, dansa-dansi, hingga sosialisme. Itu semua adalah “fundamentalisme” dalam terminologi Barat dan dalam visi Kristen.
Armstrong menengarai bahwa sikap terlampau fanatik dalam beragama (over fanatism in religious faith) sebagai penyebab utama adanya gejala destruktif ini. Paradigma sempit serupa inilah yang kemudian berandil menentang setiap upaya sekularisasi dan modernisasi yang terjadi di tubuh agama. Lahirlah absolutisme pemikiran --dengan "perisai" purifikasi ajaran agama-- yang memaksakan penafsiran literal terhadap berbagai problema keummatan. Segala ihwal mesti dirujuk secara skriptural kepada sumber (hukum) tekstual yang serbabaku.
Dengan modifikasi konsep Martin E. Marty, prinsip dasar fundamentalisme agama dipilah Azyumardi Azra (1993) ke dalam empat ragam. Pertama, oposisionalisme. Setiap pemikiran dan arus perubahan yang mengancam kemapanan ajaran agama harus senantiasa dilawan. Kedua, penolakan terhadap hermeneutika. Pada titik ini, teks suci serta-merta menjadi ruang yang kedap kritik. Ketiga, penentangan akan pluralisme sosial. Masyarakat mesti seragam dan tak boleh beragam.
Keempat, pengingkaran terhadap perkembangan historis dan sosiologis umat manusia. Bentuk ideal keagamaan masyarakat dijawab dengan nostalgia sejarah melalui ajakan untuk selalu kembali ke masa lalu. Corak-corak dasar inilah yang membentuk sikap, pola pikir, serta perilaku keberagamaan seseorang. Ajaran agama harus senantiasa menjadi fundamen, dan setiap agama tentulah mensyaratkan hal itu. Hanya saja, yang laik diperselisihkan adalah mengapa sikap fundamental itu hanya bersifat doktrinal dan cenderung kaku, sehingga ia tidak kuasa bergerak plastis mengikuti kelenturan perkembangan sosial?.
Konflik Timur Tengah Sebagai Salah Satu Pemicu Terorisme
Peran serta Amerika Serikat dalam dinamika politik di timur tengah sebenarnya bukan baru-baru ini saja terjadi. Sudah sejak dulu Amerika mencoba melebarkan pengaruhnya di kawasan Timur Tengah lewat serangkaian kebijakan luar negerinya. salah satu yang saya soroti adalah keikutsertaan Amerika serikat dalam konflik yang terjadi antara Palestina dan
Amerika tidak pernah berada dalam posisi yang netral untuk meredakan konflik yang ada. Konflik antara Palestina dengan
Publik juga belum lupa peristiwa penyerbuan
Apakah publik bisa membayangkan reaksi Amerika? Bagaimana bila kedua contoh peristiwa itu dilakukan oleh Al Qaeda atau
Contoh peran serta Amerika Serikat dalam konflik Palestina di mana Amerika tidak pernah berada pada posisi yang netral tentunya mendapat berbagai macam reaksi. Dan tentu saja reaksi yang paling sumbang datang dari kelompok-kelimpok islam radikal. Sudah jelas latar belakang agama menjadi factor kuat pendorong reaksi kontra ini. Mereka menganggap perlakuan Amerika terhadap palestina sebagai pelecehan terhadap islam. Pun dengan apa yang terjadi dengan aksi-aksi penterangan Amerika Serikat terhadap Negara-negara lain di kawasan timur tengah.
Ketua MPR-RI, Hidayat Nur Wahid dalam pidatonya dalam aksi solidaritas untuk warga Palestina bahkan mengeluarkan statement yang berisikan agar secepatnya kemerdekaan untuk Negara Palestina di berikan. Dengan merdekanya Negara Palestina dari penjajahan bagsa
Tragedi WTC: Tuduhan Terhadap Radikalisme Islam
Pada 11 September 2001 lalu dunia benar-benar diguncangkan oleh penabrakan dua pesawat komersial berpenumpang penuh pada dua gedung kembar nan kokoh World Trade Center (WTC) dan Pentagon. Segera aksi brutal dan mengerikan yang tersebut dilakukan oleh jaringan terorisme Al Qaida itu memperoleh kecaman seluruh dunia. Amerika segera membuat warning bila aksi terorisme masih terus mengancam dan meluaskan sasarannya di luar Amerika. Dan benar, beberapa aksi lanjutan pun terjadi. Di Indonesia, Bom Bali I dan Bom Bali II menjadi saksi.
Tragedi 11 September tersebut membuat buruk citra dan bahkan memperlemah Islam. Isu terorisme telah membuat masa depan Islam terancam, sebab tragedi WTC 11 September 2001 terbukti membuat Islam menjadi tertuduh. Selain itu, tragedi WTC itu membuat
Beragam spekulasi pun muncul terkait dengan motivasi atau latar belakang aksi-aksi biadab tersebut. Mulai dari tesis benturan peradaban, ledakan gerakan fundamentalisme Islam, sampai tesis “Blowback” yang menggambarkan unintended consequences dari agresifitas kebijakan-kebijakan tersembunyi dan militerisasi Amerika Serikat[1].
Sejak tragedi 11 September dan berbagai gelombang aksi teror bom di berbagai belahan dunia termasuk di Indonesia, banyak orang kembali mengingat-ingat dan mengait-kaitkan tragedi tersebut dengan konstruksi teori-teori dualistik yang pernah menonjol dalam jagad keilmuan. Pertama adalah tesis benturan peradaban yang diajukan Samuel P. Huntington yang ditulis melalui artikelnya “The Clash of Civilizations and the Remaking of the World Order”. Dan kedua adalah teori yang digulirkan oleh Benjamin Barber dalam sebuah karyanya yang terkenal: Jihad vs McWorld[2].
Sejak tragedi WTC Islam memang tiba-tiba menjadi pembicaraan dan sorotan sangat penting di AS bahkan dunia, yang kemudian diikuti dengan berbagai reaksi rakyatnya, mulai dari sikap diskriminatif, perlakuan kekerasan, intimidasi, pelecehan seksual sampai rasa simpati yang begitu besar terhadap ummat Islam. Reaksi negatif muncul lantaran dipicu oleh pemberitaan media-media AS dengan perspektif miring terhadap Islam. Dampaknya, perlakuan buruk terhadap ummat Islam dan simbol-simbol Islam semakin hari semakin bertambah.
Menurut laporan Council on American-Islamic Relation (CAIR), kekerasan dan diskriminasi yang menimpa ummat Islam Amerika semenjak kasus WTC sampai bulan Februari 2002 lalu telah mencapai 1717 kasus. Bentuknya macam-macam; meliputi penyerangan fisik (289 kasus), pembunuhan (11 kasus), diskriminasi di tempat kerja (166 kasus), diskriminasi di bandara (191 kasus), perlakukan diskriminasi yang dilakukan oleh aparat baik polisi maupun FBI (224 kasus), intimidasi di sekolah (74 kasus), perlakuan kebencian yang lewat e-mail (315 kasus). Yang terbanyak adalah pelecehan seksual terhadap para Muslimah (372 kasus)[3].
Tragedi WTC juga menjadi momentum dan legitimasi penting bagi Bush untuk menyerang
Survei yang dilakukan Newsweek menunjukkan 71% warga AS mendukung dilakukannya serangan militer kepada basis-basis kaum teroris. Survei New York Times dan jaringan televisi CBS malah menunjukkan angka 85% setuju diadakannya aksi militer (Kompas, 17 September 2001).
Pasca tragedi WTC, orang atau kelompok yang dituduh menjadi dalang teroris menjadi target utama serangan AS. Namun pada kenyataannyapun AS malah menuding negara tempat dimana teroris itu tinggal menyembunyikannya. Sehingga ini melegitimasi serangan AS ke negara yang dituduh. Semua negara yang ditiduh sebagai sarang teroris, terutama timur tengah menjadi negara yang hancur akibat serangan Amerika yang tidak jelas. Seperti yang pernah dinyatakan oleh
Tragedi WTC telah 'menyihir' begitu banyak akal sehat. Dunia lupa dan tidak peduli pada berbagai bentuk kebrutalan, kesewenang-wenangan, dan pelanggaran HAM. Dunia lupa, bahwa AS adalah pemilik senjata pemusnah massal terbesar di dunia.
Akibat serangan itu, taring kekuatan AS mulai ditunjukkan bentuknya kepada dunia. Bukti adanya tindakan yang mencerminkan hegemoni Amerika Serikat dalam politik internasional yaitu adanya serangan ke Afganistan dan Irak atas dasar menumpas terorisme yang diawali dengan tragedi 11 September yang menghancurkan WTC dan Pentagon. Namun sejauh ini belum terbukti bahwa Osama Bin Laden atau kelompok Islam radikal yang meakukan tindakan tersebut. Bahkan akhir-akhir ini banyak para ilmuwan dan analis yang menyatakan bahwa tragedi tersebut adalah sebuah skenario Amerika sendiri unutk menguasai negara-negara Islam atau Timur Tengah yang memiliki potensi minyaknya.
Fenomena invasi Amerika dan sekutunya ke negara Irak patut untuk dicermati secara seksama oleh semua kalangan. Hal ini dilatarbelakangi oleh sebuah pertanyaan besar dan mendasar. Apakah yang akan terjadi setelah kemenangan Amerika dan sekutunya dalam meluluhlantakan Irak. Jika kita ingin sedikit berfikir rasional, pastilah tindakan AS dan sekutunya menyerang sebuah bangsa bukan tak mungkin tanpa alasan yang jelas dan tegas. Oleh karena itu pertanyaan diatas adalah sebuah kepanikan atas arogansi negara adidaya terhadap negara disekitarnya.
Kasus‘radikalisme’ di
Radikalisme dan teroris di
Adanya perbedaan ideologis di antara tokoh-tokoh atau kelompok-kelompok teroris menimbulkan friksi yang berujung pada perbedaan pemahaman mengenai orientasi, strategi, dan taktik. Sejarah pembentukan JI juga dilatari krisis internal organisasi Negara Islam Indonesia (NII). Faksi pimpinan Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba'asyir kemudian memutuskan untuk keluar dari NII dan membentuk organisasi baru yakni JI.
Keberadaan organisasi ini kemudian dikaitkan dengan Al-Qaida, Usama bin Ladin, dan Taliban. Resolusi PBB No.1267 juga mencantumkan JI dan nama-nama pengurusnya, sebagai organisasi dan individu-individu yang patut dicurigai sebagai teroris. Keterlibatan JI dalam pelbagai tindak terorisme di
Radikalisme agama muncul karena ketidakmauan dalam hal ini umat islam untuk tunduk pada peraturan yang dibuat oleh Orang Barat dan seakan-akan mendeskripsikan Islam sehingga melahirkan tindakan radikal umat islam. Orang Barat dalam pandangan Islam jaringan keras bila itu sesuatu hal menginjak-injak harkat martabat umat islam, maka harus dilawan sehingga melahirkan apa yang disebut oleh bangsa orang barat sebagai teroris. Amerika Serikat mengembar-gemborkan teroris identik dengan Islam,yang melakukan tindakan teroris bukan melakukan tindakan irasional, melainkan rasional. Kerasionalan kelompok ini terlihat jelas dalam idealisme yang diperjuangkan. Dalam setiap aksinya, kelompok teroris selalu mempropagandakan perjuangan yang belum selesai atau aspirasi yang belum tersalurkan. Penyaluran itu dapat dipetakan dalam dua wilayah: nasional dan internasional.
Isu terorisme internasional yang dikumandangkan Amerika Serikat telah menjadi bagian dari sikap masyarakat internasional terhadap terorisme. Namun yang sangat disayangkan bangsa barat khususnya Amerika Serikat sebagai teroris, Karena itu, kelompok teroris pun bermain pada tataran yang sama. Sasaran utama mereka adalah mempengaruhi kebijakan-kebijakan politis yang berskala internasional, lewat aksinya yaitu membom
Terorisme dapat dilakukan secara individu atau kelompok. Jika terorisme dilakukan kelompok, tidak perlu disangsikan bahwa tindakan mereka dilakukan secara sistematis. Sebagai kelompok, terorisme mensyaratkan adanya sistem organisatoris dan hierarkis yang memiliki pemimpin dan yang terpenting adalah pengikut. Pemimpin kelompok organisasi teroris hanya bisa menjalankan idealismenya lewat ketersediaan dana dan perekrutan tenaga kerja yang handal. Pengikut terorisme dapat dibagi menjadi dua kelompok: pengikut aktif dan pengikut pasif. Pengikut aktif bertugas dalam propaganda, hubungan publik, pemalsuan identitas, dan logistik; sementara pengikut pasif berada di luar kelompok dan berperan dalam perekrutan anggota. Karena itu, jalurnya menjadi tak sesempit yang kita duga. Khusus pada kelompok teroris, pelaksanaannya bisa dengan menyuarakan perasaan senasib dan solidaritas kematian anggota kelompok.
Perasaan senasib berpengaruh besar bagi kepercayaan dalam kelompok; sementara kematian anggota dapat memperkuat kohesi kelompok karena reaksi emosional terhadap anggota yang hilang. Lebih jauh, rasa kehilangan ini akan meningkatkan konformitas kelompok. Dalam psikologi, ini disebut introyeksi terhadap obyek yang hilang.
Istilah lawan menunjukkan bahwa setiap perkembangan selalu disertai krisis yang harus dihadapi. Ketika menjalani tahap tertentu, setiap orang akan mengalami konflik yang, jika tidak diselesaikan, akan menghambat perkembangannya. Bentuk ekstrem kegagalan dalam membentuk jati diri adalah munculnya jati diri negatif, yaitu gambaran diri yang bertolak belakang dengan nilai-nilai yang diajarkan masyarakat. Dengan menerima jati diri negatif, seseorang berani melakukan apa yang dilarang masyarakat.
Pelaku Bom Bali I Sebenarnya Bukan Orang
Orang-orang yang terlibat dan sudah dihukum dalam kasus om
Banyak kalangan yang menilai bahwa Amerika Serikat sebenarnya yang mengirimkan orang-orangnya ke
Penulis yakin dan percaya Imam Samudra adalah orang Islam yang taat beragama. Tidak mungkin dia memiliki koneksi yang erat dengan manusia bule. Apalagi bawa-bawa bom ke dalam Sari Club. Atau mendapatkan bom dari koneksinya yang adalah orang bule. Saya sependapat dengan Ustadz Abu Bakar Ba’asyir yang menyatakan bahwa pelaku pemboman itu adalah CIA. Tidak mungkin orang
Lalu mengapa kepolisian RI menangkap dan menjebloskan Imam Samudra ke dalam penjara? Argumen penulis adalah bahwa hal ini dilakukan semata-mata untuk sekedar menyelamatkan muka
Epilog
Secara keseluruhan kasus radikalisme agama yang saat ini sedang menjadi perbincangan hangat, selalu menimbulkan stigma pada gerakan radikalisme Islam. Kebencian terhadap umat Islam itupun dipertegas setelah terjadinya tragedi WTC dan Pentagon. Akibat peristiwa itu, presiden Amerika Serikat mengeluarkan sebuah doktrin terkait dengan permasalahan teroris. Doktrin itu pun seolah menjadi undang-undang bagi seluruh Negara di Dunia.
Masalah terorisme ini menjadi sebuah permasalahan internasional sebab sudah melewati batas antar Negara. AS dengan sikap arogansinya menuntut Negara ain untuk menerapkan kebijakan anti terorisme, dan yang jelas perlu mewaspadai umat Islam yang disinyalir olehnya sebagai biang teroris. Padahal kita tahu bahwa yang melakukan aksi teror khususnya pada waktu tragedi WTC belum jelas rimbanya. Bahkan banyak yang menyatakan bahwa tragedy WTC dan Pentagon adalah sebuah rekayasa AS sendiri untuk melegitimasi ekspansinya pada Negara Timur Tengah yang memiliki banyak sumber miyak bumi. Sebab selama ini tuduhan AS terhadap Negara yang diekspansi tidak pernah terbukti.
Dalam makalah ini penulis tidak memberikan justifikasi terhadap masalah terorisme tentang siapa yang salah. Dalam makalah ini menjelaskan tentang bagaimana radikalsime itu timbul dan menjadi sebuah ancaman dunia. Dari pemaparan ini agar dapat dijadikan sebuah refleksi untuk dapat mencermati masalah terorirsme yang selalu menyudutkan umat Islam. Semoga saja kebenaran akan segera terungkap.
Daftar Pustaka
Husaini, Adian. 2005, Wajah Peradaban Barat: dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal, Gema Insani,
Khalik Ridwan, Nur. 2002, Pluralisme Borjuis: Kritik Atas Nalar Pluralisme Cak Nur, Galang Press,
Nurul Huda, Mh. 2006, “Demokrasi, Terorisme, dan Mc Teror” artikel dalam http://nurulhuda.wordpress.com/2006/11/28/demokrasi-terorisme-dan-mcterror/
Sukma, Rizal. 2003, “Keamanan Internasional Pasca 11 September: Terorisme,
Qutub, Muhammad. 2001, Islam Agama Pembebas, Mitra Pustaka,
http://van.9f.com/islam_di_as_pasca_tragedi.htm “Islam di AS, Bersemi Pasca Tragedi”
Kompas, 17 September 2001.
Tempo, 15 April 2007.
[1] Dikutip dari Mh. Nurul Huda. 2006, “Demokrasi, Terorisme, dan Mc Teror” artikel dalam http://nurulhuda.wordpress.com/2006/11/28/demokrasi-terorisme-dan-mcterror/
[2] Ibid.
[3] data ini diperoleh dari Council on American-Islamic Relation (CAIR), yang dikutip dalam artikel “Islam di AS, Bersemi Pasca Tragedi” dalam http://van.9f.com/islam_di_as_pasca_tragedi.htm
[4] Ibid.