Assalamu'alaikum,,, Salam Hormat

Terima kasih atas kunjungan anda ke blog saya. Semoga bermanfaat. Semua tulisan ini hasil saya pribadi, atau diambil dari tulisan lain yang tercantum pada rujukannya. Bila mengutip baik secara langsung maupun tidak, sebagian atau keseluruhan, diharapkan Mencantumkan sumber tulisan dan penulisnya pada daftar pustaka/catatan kaki sebagai bahan rujukannya.
atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih

Senin, 16 Januari 2012

Dinamika Kekuasaan dan Kedudukan Keraton di Kota Cirebon (Studi Fenomenologi tentang Keraton Kasepuhan)

Saat ini kondisi keraton yang masih ada di Indonesia banyak yang sangat memprihatinkan. Biar bagaimana pun Keraton atau kerajaan yang masih ada saat ini adalah sebuah institusi peninggalan masa lalu dan juga sekaligus sebagai bukti peradaban bangsa. Perjalanan politiknya di masa lalu, khususnya ketika jaman penjajahan Belanda membuat posisi dan kedudukannya berubah saat ini. Dominasi dan pencabutan hak politik atau depolitisasi oleh kolonial turut mempengaruhi perjalanan kerajaan dan kondisinya saat ini. Kondisi ini juga yang mempengaruhi kekuasaan dan kedudukan Keraton Kasepuhan sebagai hasil dari perpecahan Kesultanan Cirebon.

Kekuasaan dan kedudukan keraton Kasepuhan inilah yang coba dikaji dalam penelitian yang berjudul "Dinamika Kekuasaan dan Kedudukan Keraton di Kota Cirebon: Studi Fenomenologi tentang Keraton Kasepuhan". Berikut ringkasan hasil penelitiannya.

Dinamika Kekuasaan dan Kedudukan Keraton di Kota Cirebon: Studi Fenomenologi tentang Keraton Kasepuhan*
oleh: Bambang Wibiono

RINGKASAN

Keraton atau Kesultanan Kasepuhan merupakan institusi tradisional yang secara fakta masih ada di Indonesia, khususnya di Cirebon. Keberadaan kraton di Cirebon memiliki warna tersendiri bagi kehidupan sosial politik dan ketatanegaraan di daerah itu. Pada masa lalu, kraton adalah simbol kekuasaan dan struktur pemerintahan bagi masyarakat. Dengan berkembangnya jaman modern saat ini, serta berubahnya sistem pemerintahan, mengakibatkan fungsi formal dari institusi kerajaan yang masih ada perlu dipertanyakan kembali. Atas alasan itulah penulis tertarik untuk meneliti bagaimana dinamika kekuasaan dan kedudukan keraton di Kota Cirebon, serta apa yang mengkonstruksi kekuasaan itu sampai saat ini. Kekuasaan yang dimaksud tidak hanya pada kekuasaan formal, namun juga kekuasaan secara kultural.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Metode ini dianggap paling cocok untuk meneliti realitas kekuasaan keraton berdasarkan perspektif pelaku. Pada metode ini, pelaku dianggap orang yang paling paham dan mengetahui mengenai permasalahan. Teknik pemilihan informan menggunakan teknik purposive dan snowball sampling.

Dahulu Kesultanan Cirebon sebagai cikal-bakal Kasepuhan memiliki kekuasaan, pengaruh dan wibawa yang besar. Berkembangnya zaman, kekuasaan itu kian memudar. Hilangnya kekuasaan politik Kesultanan Kasepuhan terjadi sejak masa kolonialisme Belanda. Perkembangan zaman yang semakin modern dan terbentuknya NKRI membuat eksistensi keraton sebagai institusi pemerintahan tradisional kian tersingkirkan dan kini hanya sebagai cagar budaya yang perlu dilestarikan. Kesultanan Kasepuhan berada di bawah kewenangan pemerintah NKRI dan ini berdampak pada hilangnya otoritas politik keraton. Kondisi seperti ini menyebabkan perubahan fungsi, kekuasaan dan kedudukan Keraton Kasepuhan. Meskipun tidak memiliki kekuasaan dan kedudukan politik secara formal, Keraton Kasepuhan masih cukup memiliki kekuasaan secara kultural di mata masyarakat. Kekuasaan dan pengaruh ini dikonstruksi oleh beberapa hal, yaitu budaya dan agama, peran keagamaan dan relasinya dengan kalangan agama, silsilah, serta kharisma dari para leluhurnya yang juga diinternalisasi melalui pendidikan dan gemblengan oleh kalangan internal keraton kepada putra mahkotanya.

Kata kunci: Keraton Kasepuhan, kekuasaan, pengaruh, kebudayaan.
download file ini

* Penelitian ini dilakukan sebagai tugas akhir penyusunan Skripsi pada jurusan Ilmu Politik, FISIP Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, 2011.

Minggu, 08 Januari 2012

Budaya Politik

Oleh: Bambang Wibiono

Konsep budaya politik lahir dalam ilmu politik sebagai dampak dari behavioral revolution dan menguatnya tradisi mazhab positivisme pasca Perang Dunia Kedua. Tokoh sentral dalam konsep budaya politik dalam konteks sistem politik adalah Gabriel Almond dan Sidney Verba. 
 
Dalam wacana pemahaman mengenai budaya politik, masih terdapat perbedaan pengertian. Menurut Almond dan Verba (dalam Arif dkk, 2007:23),  budaya politik didefinisikan sebagai orientasi politik, sikap terhadap sistem politik dan bagian-bagiannya yang lain, serta sikap terhadap peranan kita sendiri dalam sistem tersebut. Sementara Alan R. Ball  (dalam Suryadi, 2006:40) mendefinisikan budaya politik sebagai suatu susunan yang terdiri dari sikap, kepercayaan, emosi dan nilai-nilai masyarakat yang berhubungan dengan sistem politik dan isu-isu politik.
 
Menurut Chilcote (2003:11),  budaya politik terdiri dari serangkaian keyakinan, simbol-simbol, dan nilai-nilai yang melatarbelakangi situasi dimana suatu peristiwa politik terjadi. Jenis budaya politik merupakan ciri dari sistem politik yang bersangkutan. Jenis budaya politik ini merefleksikan orientasi psikologis dan subyektif dari orang-orang yang menjadi warga atau masyarakat suatu negara terhadap sistem nasional mereka. Dalam konteks ini, warga negara senantiasa mengidentifikasikan diri mereka dengan simbol-simbol dan lembaga-lembaga kenegaraan, perilaku tokoh politik, keputusan atau kebijakan yang dihasilkan oleh sistem politik, serta bagaimana seharusnya ia berperan dalam sistem politik (Arif dkk, 2007:23) .
 
Budaya politik merupakan seperangkat nilai yang menjadi dasar bagi para aktor untuk menjalankan tindakan-tindakan dalam ranah politik. Pada taraf ini, budaya politik berbeda dengan tingkah laku politik. Keduanya saling mempengaruhi. Budaya politik akan melahirkan perilaku politik dan merupakan cerminan budayanya. Perilaku politik, tidak jarang merupakan cerminan dari budaya politik yang berlaku di suatu masyarakat.
 
Wayan Gede Suacana (dalam Arif dkk, 2007:56-57) berpendapat bahwa budaya politik berpusat pada imajinasi (pikiran dan perasaan) perseorangan, yang merupakan dasar semua tingkah laku politik masyarakat. Sementara sistem nilai yang hidup di tengah-tengah masyarakat merupakan komponen penting bagi orientasi, sikap dan perilaku politik masyarakat dalam merespon obyek dan proses politik yang sedang berjalan.
 
Begitu banyaknya definisi tentang budaya politik, sehingga Albert Widjaja (dalam Suryadi, 2006:40-41) merumuskan definisi budaya politik secara sederhana menjadi 5 (lima) bagian , yaitu:
1.    Budaya politik adalah aspek politik dari sistem nilai yang terdiri dari ide, pengetahuan, adat  istiadat, tahayul dan mitos. Kesemuanya ini dikenal dan diakui oleh sebagian besar masyarakat. Budaya politik itu memberi rasional untuk menolak atau menerima nilai-nilai dan norma lain.
2.    Budaya politik dapat dilihat dari aspek doktrinnya dan aspek generiknya. Aspek doktrin menekankan pada sisi atau materi budaya politik yang dapat dijumpai pada studi tentang doktrin, seperti sosialisme, demokrasi atau nasionalisme. Aspek generik menganalisis bentuk, peranan, dan ciri-ciri budaya politik seperti budaya politik militan, utopis, terbuka, dan tertutup.
3.    Hakikat atau ciri-ciri pokok dari budaya politik menyangkut masalah nilai-nilai. Nilai yang dimaksud ini adalah prinsip dasar yang melandasi doktrin atau pandangan hidup.
4.    Bentuk dari budaya politik menyangkut masalah sikap dan norma. Norma membentuk sikap normatif seseorang terhadap suatu gejala seperti benar atau salah, baik atau buruk, suka atau tidak suka.
5.    Peranan dari budaya politik berkenaan dengan pengaruh budaya politik pada perilaku orang bersangkutan, seperti pola kepemimpinan, sikap terhadap mobilitas, prioritas kebijaksanaan.
 
Dalam budaya politik, menurut Almond dan Verba (dalam Suryadi:40-42)  terdapat tiga komponen penting, yaitu pertama, orientasi kognitif yang berupa pengetahuan dan kepercayaan pada politik, peranan dan segala kewajibannya serta input dan outputnya. Kedua, orientasi afektif yang berupa perasaan terhadap sistem politik, peranan para aktor, dan penampilannya. Ketiga, orientasi evaluatif yang berupa keputusan dan pendapat tentang objek-objek politik yang melibatkan standar nilai dan kriteria dengan informasi dan perasan.
 
Berdasarkan orientasi politik yang dicirikan dan karakter-karakter dalam budaya politik, maka setiap sistem politik akan memiliki budaya politik yang berbeda. Perbedaan ini terwujud dalam tipe-tipe yang ada dalam budaya politik yang setiap tipe memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Almond mengklasifikasikan budaya politik ke dalam bentuk:
1.    Budaya politik parokial (parochial political culture), yaitu tingkat partisipasi politiknya sangat rendah, yang disebabkan faktor kognitif (misalnya tingkat pendidikan relatif rendah).
2.    Budaya politik kawula (subject political culture), yaitu masyarakat bersangkutan sudah relatif maju (baik sosial maupun ekonominya) tetapi masih bersifat pasif.
3.    Budaya politik partisipan (participant political culture), yaitu budaya politik yang ditandai dengan kesadaran politik sangat tinggi.
Namun dalam kenyataan tidak ada satu pun negara yang memiliki budaya politik murni partisipan, parokial atau subyek, melainkan terdapat variasi campuran di antara ketiga tipe tersebut.
 
Suatu pemerintahan yang kuat dengan disertai kepasifan yang kuat dari rakyat, biasanya mempunyai budaya politik bersifat agama politik, yaitu politik dikembang¬kan berdasarkan ciri-ciri agama yang cenderung mengatur secara ketat setiap anggota masyarakat. Budaya tersebut merupakan usaha percampuran politik dengan ciri-ciri keagamaan yang dominan dalam masyarakat tradisional di negara yang baru berkembang.
 
Kebudayaan politik dalam kedudukannya sebagai sub-kultur kebudayaan tidak lepas dari pengaruh kebudayaan secara umum yang berlaku di masyarakat. Budaya merupakan warisan sosial yang terbentuk melalui pengalaman dalam berbagai sejarah dan masyarakat selalu menyesuaikan zaman. Budaya politik merupakan rangkaian kepercayaan-kepercayaan, nilai, sikap hidup dan kebiasaan serta perilaku yang berkaitan dengan kehidupan politik (psychological environment) dimana kegiatan politik berlangsung.
 
Di dalam masyarakat dengan kebudayaan homogen, yang semua warganya beridentitas ras, etnik, bahasa, dan kepercayaan agama yang sama, sistem politiknya relatif stabil. Lembaga-lembaga dan kelompok-kelompok elit politik biasanya mendapatkan kekuasaan politik yang tinggi. Sebaliknya, apabila masyarakatnya memiliki keanekaragaman kebudayaan yang sangat jelas seperti di Indonesia, maka sulit sekali memperoleh dasar bagi rasa kesamaan identitas, tujuan, atau konsensus politik.


Referensi
Arif, Saiful dkk. 2007, Budaya Politik Demokratis, Averroes Press dan KID (Komunitas Indonesia untuk Demokrasi), Malang.

Suryadi, Budi. 2006, Kerangka Analisis Sistem Politik Indonesia, IRCiSoD, Yogyakarta.

Chilcote, Ronald H. 2003, Teori Perbandingan politik: Penelusuran Paradigma (Terj. Aris Munandar dan Dudi Priatna dari buku Theories of Comparative Politics the Search for a Freedom), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Keraton dan Simbol Kekuasaan


 oleh: Bambang Wibiono

Keraton adalah daerah tempat seorang penguasa (raja atau ratu) memerintah atau tempat tinggalnya (istana). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, keraton berarti tempat kediaman ratu atau raja; istana raja; kerajaan. Dalam pengertian sehari-hari, keraton sering merujuk pada istana penguasa di Jawa. Dalam bahasa Jawa, kata kraton berasal dari kata dasar ratu yang berarti penguasa. Kata Jawa ratu berkerabat dengan kata dalam bahasa melayu; datuk/datu. Masyarakat keraton pada umumnya memiliki gelar kebangsawanan.

Istilah keraton berasal dari kata ka-ratu-an (keraton), maksudnya adalah tempat bersemayam bagi ratu. Di samping keraton, ada istilah kadaton yang sering juga digunakan untuk menyebut pengertian yang sama. Istilah kadaton berasal dari kata ka-dhatu-an, maksudnya adalah tempat bersemayam bagi para dhatu. Ada pula yang menyatakan bahwa keraton berasal dari bahasa Sansekerta, kratu yang berarti kebijaksanaan. Dengan demikian, arti keraton di samping sebagai tempat bersemayam para ratu atau raja juga diartikan sebagai sumber/tempat kebijaksanaan. Sumber yang dimaksud adalah raja. Oleh karena itu pula, keraton pada zaman dulu diakui sebagai tempat tinggal ratu dan memiliki fungsi sebagai pusat pemerintahan dan kebudayaan.
Keraton dapat juga disebut kadaton, yang dalam bahasa Indonesia disebut juga istana. Jadi keraton ialah sebuah istana, tetapi istana bukanlah keraton. Keraton ialah sebuah istana yang mengandung arti keagamaan, arti filsafat, dan arti kultural (kebudayaan) .
Sama seperti rumah, keraton atau istana terdiri atas beberapa bagian bangunan atau tempat yang mempunyai fungsi berbeda-beda. Di samping itu, ditinjau dari keseluruhan bangunan/tempat di dalam keraton, semuanya mengandung arti kefilsafatan, kebudayaan, dan keagamaan. Istilah keraton sering pula diidentikkan dengan pengertian negara. Ada juga yang mengartikan bahwa keraton adalah bangunan yang berpagar dan berparit keliling sebagai pusat kerajaan, tempat bersemayam raja-raja dengan kerabat atau keluarganya.

Keraton dianggap pusat mistis dan badan spiritual kesultanan yang berperan sebagai wadah untuk mewujudkan esensi ilahiyah yang diwakili oleh Sultan. Karena alasan itu, keraton memainkan peran yang demikian penting dalam kehidupan negara Jawa. Milik keraton dimaknai lebih dari penguasaan terhadap kawasan, penduduk dan sumber-sumber ekonomi, sosial maupun budaya. Ini dianggap sebagai karunia yang menandai legitimasinya. Jadi, lebih dari faktor apa pun, keratonlah yang membedakan seorang raja dengan pangeran-pangeran penguasa daerah atau tokoh-tokoh pemberontak.
Keberadaan keraton dalam suatu kerajaan memegang peranan penting karena keraton merupakan bangunan inti suatu kerajaan yang berfungsi ganda, yaitu sebagai pusat kerajaan sekaligus sebagai pusat kota. Selain itu, sesuai dengan pandangan kosmologis dan religius-magis, keraton dianggap pula sebagai pusat kekuatan gaib yang berpengaruh pada seluruh kehidupan masyarakat.

Seperti yang telah dijelaskan oleh Ari Dwipayana (dalam Manggeng, 2004),  keraton merupakan salah satu sumber kekuasaan raja. Istana atau keraton merupakan kesatuan yang integral dengan bangsawan kerajaan. Artinya istana memberikan makna politis yang sangat besar bagi seorang bangsawan atau pemimpin.

Menurut Behrend (dalam Permana, 2004),  keraton juga dipandang sebagai lambang kekuasaan raja dan merupakan tiruan (replika) alam semesta. Dengan demikian, apabila raja dianggap sebagai pribadi yang memusatkan kekuatan dan kekuasaannya, maka keraton merupakan institusi pendamping dalam proses pemusatan itu. Keraton tidak hanya dihayati sebagai pusat politik dan budaya, melainkan juga sebagai pusat keramat kerajaan.



Referensi

Dalam Mangeng, Marthen. 2004, “Kepemimpinan Tradisional: Antara Kenangan dan Impian”, INTIM, Jurnal STT Intim Makasar, edisi No. 7 Semester Ganjil 2004, hal. 42.
 
Permana, R. Cecep. 2004, “Kajian Arkeologi Mengenai Keraton Susrowan Banten Lama, Banten”, MAKARA, Sosial Humaniora, Volume 8 No. 3 Desember 2004, Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya, Universitas Indonesia, Jakarta. Hal. 112.