Assalamu'alaikum,,, Salam Hormat

Terima kasih atas kunjungan anda ke blog saya. Semoga bermanfaat. Semua tulisan ini hasil saya pribadi, atau diambil dari tulisan lain yang tercantum pada rujukannya. Bila mengutip baik secara langsung maupun tidak, sebagian atau keseluruhan, diharapkan Mencantumkan sumber tulisan dan penulisnya pada daftar pustaka/catatan kaki sebagai bahan rujukannya.
atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih

Sabtu, 26 Maret 2011

Peran Media Sebagai Alat Komunikasi Politik dalam Kampanye Pemilu


Oleh: Bambang Wibiono (2007)


Sebuah agenda besar dari demokrasi tentunya adalah Pemilu, baik itu Pemilu Legislatif maupun eksekutif (kepala daerah/Presiden). Ketika menjelang masa-masa Pemilu begitu riuhnya hiruk pikuk perpolitikan di negeri kita. Seolah tidak ada yang lain lagi isu di negara ini, walaupun ada namun nuansa politis sangat kental mengisi berbagai media. Begitu kuatnya aroma intrik dalam masa-masa tersebut. 

Kampanye sebagai komuniksai politik
Jauh-jauh hari sudah banyak Parpol atau calon tertentu yang sudah berkampanye secara terselubung. Mereka mulai berebut simpati massa lewat pendekatan-pendejkatan persuasif. Semuanya mendadak menjadi baik hati, dan perhatian terharap rakyat. Jelas kondisi ini sangat kontaras dengan hari-hari biasanya.

Menjelang Pemilu adalah masa saatnya kampanye di mana setiap Parpol atau calon melakukan pendekatan pada massa untuk menarik dukungan. Roger dan Storey (dalam Antar Venus, 2004: 7) memberi pengertian kampanye sebagai serangkaian tindakan komunikasi yang terencana dengan tujuan menciptakan efek tertentu pada sejumlah besar khalayak yang dilakuan secara berkelanjutan pada kurun waktu tertentu. Perlu diperhatikan bahwa pesan kampanye harus terbuka untuk didiskusikan dan dikritisi. Hal ini dimungkinkan karena gagasan dan tujuan kampanye pada dasarnya mengandung kebaikan untuk publik bahkan sebagian kampanye ditujukan sepenuhnya untuk kepentingan dan kesejahtraan umum (public interest). Oleh karena itu isi pesan tidak boleh menyesatkan, maka disini tidak perlu ada pemaksaan dalam mempengaruhi.

Apapun ragam dan tujuannya, menurut Pflau dan Parrot, upaya perubahan yang dilakukan kampanye selalu terkait dengan aspek pengetahuan, sikap, dan prilaku. Dalam aspek pengetahuan diharapkan akan munculnya kesadaran, berubahnya keyakinan atau meningkatnya pengetahuan masyarakat tentang isu tertentu, yang kemudian adanya perubahan dalam ranah sikap. Pada tahap akhir dari tujuannya yaitu mengubah prilaku masyarakat secara konkret berupa tindakan yang bersifat insidental maupun berkelanjutan.

Kampanye dalam Pemilu pada dasarnya dianggap sebagai suatu ajang berlangsungnya proses komunikasi politik tertentu, yang sangat tinggi intensitasnya. Ini dikarenakan terutama dalam proses kampanye pemilu, interaksi politik berlangsung dalam tempo yang meningkat. Setiap peserta kampanye berusaha meyakinkanpara pemberi suara/konstituen, bahwa kelompok atau golongannya adalah calon-calon yang paling layak untuk memenangkan kedudukan.
 
Dalam masa kampanye Pemilu, media dalam hal ini media massa maupun elektronik sangat potensial dalam hal memepengaruhi publik untuk menggalang dukungan. Pada kasus pemilu jenis kampanye yang digunakan adalah candidate-oriented campaigns atau kampanye yang berorientasi pada kandidat yang dimotivasi untuk mendapatkan kekuasaan. Karena memang tujuan dari kampanye Pemilu adalah untuk pengisian jabatan publik (rekruitmen politik). Karena berbicara politik adalah berbicara soal perebutan kekuasaan.

Pada dasawarsa yang lalu banyak teoritisi komunikasi masih memandang media sebagai komponen komuniksasi yang netral. Pada waktu itu berlaku asumsi bahwa media apapun yang dipilih untuk menyampaikan pesan-pesan komunikasi tidak akan mempengaruhi pemahaman dan penerimaan pesan oleh masyarakat. Lalu bagaimanakah realitas media akhir-akhir atau saat ini sebagai alat komunikasi politik dalam kampanye Pemilu? Apakah media mampu mempertahankan kenetralannya dalam Pemilu?

Dalam sebuah negara yang belum demokratis, media massa yang netral sangat sulit ditemukan. Hal ini dapat dipahamai karena pemerintah memiliki otoritas yang kuat dalam menjaga stabilitas. Tak heran jika media di dalam negara tersebut sangat selektif menyiarkan berita dan tentunya melewati kontrol pemerintah.

Begitu juga kondisi media di negara Indonesia sejak dahulu. Media massa yang ada pun biasanya merupakan representasi dari pemerintah atau Parpol tertentu. Jadi begaimana media mampu berperan netral dalam menciptakan demokrasi kalau dia sendiri lahir dari ‘tangan-tangan’ politik ?.

Pada masa orde baru media adalah pendukung pemerintah. Maka setiap beritapun tentu selalu memuji pemerintah dan kalaupun ingin mengritik pemerintah harus dengan cara yang amat halus dan tidak tajam. Begitu juga saat Pemilu, media tentunya akan pro pada partai pemerintah.

Peran media massa
Menurut Mc Quail, secara umum media massa memiliki berbagai fungsi bagi khalayaknya yaitu pertama, sebagai pemberi informasi; kedua, pemberian komentaratau interpretasi yang membantu pemahaman maknainformasi; ketiga, pembentukan kesepakatan; keempat, korelasi bagian-bagian masyarakat dalam pemberian respon terhadap lingkungan; kelima, transmisi warisan budaya; dan keenam, ekspresi nilai-nilai dan simbol budaya yang diperlukan untuk melestarikan identitas dan kesinambungan masyarakat (dalam Yuniati, 2002: 85).

Oleh karena itu media massa seharusnya menjadi sarana pencerahan dan transformasi nilai-nilai kebenaran agar masyarakat dapat melihat secara apa adanya. Media sebaiknya tidak memunculkan kesan menilai atau keberpihakan khususnya dalam masa kampanye Pemilu. Biarlah masyarakat sendiri yang akan menilai. Yang diperlukan media hanyalah menyampaikan informasi yang sebenarnya, jelas hitam putihnya. Sehingga masyarakat tidak terjebak pada pilihan mereka, karena persoalan Pemilu adalah persoalan masa depan bangsa. Media harus mampu bersikap objektif dalam penayangan berita.

Pengaruh televisi
Dalam hal kampanye, media massa baik cetak maupun elektronik merupakan sebuah salauran kampanye terhadap konstituen. Apalagi dengan arus teknologi ini, rasanya media elektronik menjadi salauran utama bagi jalan untuk mempengaruhi pandangan masyarakat khususnya dalam masa kampanye Pemilu. Medium ini telah berkembang pesat seiring dengan perkembangan teknologi. Hal itu salah satunya disebabkan sudah banyaknya masyarakat yang memiliki televisi maupun radio, bahkan sebagian lagi sudah mampu menggunakan internet. Oleh karena itu banyak Partai maupun calon yang akan berkompetisi di Pemilu menggunakan sarana atau saluran kampanye melalui media elektronik khususnya televisi.

Banyak sedikitnnya penayangan yang berhubungan dengan transformasi ataupun sosialisasi visi dan misi dari sebuah Partai maupun calon yang dijagokannya akan sangat mempengaruhi penilaian masyarakat terhadapnya. Oleh karena itu, bagi yang ingin mendapat kemenangan suara harus mampu “menguasai” media ini dengan penayangan iklannya. Tetapi tidak sedikit biaya tentunya.

Contoh kasus bisa kita lihat pada Pemilu tahun 2004 kemarin khususnya Pemilu pemilihan presiden. Siapa yang sering terlihat di layar TV dari setiap stasiun televisi, dialah yang berhasil menarik simpati masyarakat. Saya teringat pada masa Pemilu legislatif di TPS ada seorang nenek yang bertanya pada petugas TPS untuk menunjukkan mana yang berlambang moncong putih yang akan dia coblos. Dengan enteng nenek tersebut berargumen bahwa bukannya gambar moncong putih yang harus dicoblos menurut iklan televisi dan yang sering diingatnya. Juga atusias kaum ibu-ibu yang riuh dalam mencoblos foto SBY sebagai idolanya bukan karena kesadaran politik.

Dari ilustrasi ini menggambarkan begitu kuatnya pengaruh media televisi untuk mempengaruhi orang awam sekalipun seperti mereka. Dengan televisi, kampanye mampu menjangkau orang-orang yang cacat sekalipun seperti tuna netra dan tuna rungu. Bagi mereka yang takdapat melihat, bisa menikmati dengan mendengar, begitu juga bagi yang tak dapat mendengar dapat menikmatinya dengan visualisasinya. Selain faktor aktualitas, televisi dengan karakteristik audio visualnya memberikan sejumlah keunggulan, diantaranya mampu menyampaikan pesan melalui gambar dan suara secara bersamaan dan hidup, serta dapat menayangkan ruang yang sangat luas kepada sejumlah besar pemirsa dalam waktu bersamaan (Nurrahmawati, 2002: 97).

Iklan tidak hanya sering tapi juga harus menarik dan mudah diingat oleh masyarakat. Pemberitaan mengenai Partai maupun tokoh juga berpengaruh terhadap persepsi masyarakat. Misalnya Partai mana saja yang sering melakukan kecurangan atau bertindak anarki akan dapat di lihat masyarakat secara aktual. Oleh karena itu opini yang ‘sengaja’ dibentuk oleh media menjadi senjata untuk menaikan ataupun menjatuhkan pamor salah satu kontestan Pemilu.

Dengan demikian diperlukan obyektivitas dan netralitas dari media itu sendiri agar tercipta iklim yang baik dalam masa Pemilu. Namun kita juga tidak boleh melupakan salah satu tujuan usaha yaitu tentunya profit. Artinya kita jangan mudah terpedaya oleh media massa yang mengatasnamakan berimbang dan tidak memihak. Karena penayangan iklan tentunya tidak gratis. Banyak sedikitnya penayangan ditentukan oleh besar kecilnya biaya. Selain itu juga kita perlu melihat siapa yang ada di balik media itu. Sedekat apakah hubungan antara sebuah media dengan pemerintah, Parpol, maupun tokoh politik lainnya? Ini sebagai parameter untuk mengukur netralitas sebuah media. Karena ini mempengaruhi pada setiap pemberitaan oleh media.

Tentunya kita sering melihat sebuah media lebih condong pada pemerintah atau partai tertentu. Kalau kita jeli dalam mencermati berita oleh media cetak ataupun elektronik, terkadang pemeberitaan selalu menyudutkan salah satu pihak dan mengunggulkan pihak yang lain. Selalu mencari kesalahan pihak ‘lawan’ tanpa melihat juga kesalahan pihak yang dibela.

Pengaruh surat kabar
Selain televisi, surat kabar atau media cetak memiliki andil dalam pembentukan persepsi masyarakat. Persepsi merupakan sebuah proses pemberian makna terhadap apa yang kita tangkap dari indera kita, sehingga kita memperoleh pengetahuan baru dari hal tersebut. Persepsi sangat dipengaruhi oleh informasi yang ditangkap secara keseluruhan. Begitu juga dengan pencitraan pada dasarnya juga dipengaruhi oleh informasi yang diterima dan dipersepsi.

Informasi atau berita dalam media massa merupakan hasil seleksi yang dilakukan oleh gatekeeper yang dijabat oleh pemimpin redaksi atau redaktur pelaksana surat kabar. Berita dalam surat kabar sendiri dapat didefinisikan sebagai sebuah laporan dari suatu kejadian penting dan dianggap menarik perhatian umum. Berita merupakan salah satu informasi yang diberikan oleh surat kabar. Dalam hal penyajian berita harus melalui seleksi. Karena isi berita sangat berpengaruh pada minat masyarakat untuk membaca.

Oleh karena adanya seleksi dalam pemuatan berita, maka tidak semua berita atau informasi yang ada dapat ter-expose. Berita yang dimuat biasanya hanya berita yang memiliki nilai jual. Terkadang dari sinilah kurang netralnya sebuah media. Media hanya mementingkan keuntungan saja, terkadang media kurang memeprhatikan masyarakat kecil khususnya. Sehingga mereka tak pernah terjamah oleh dunia elit.

Patterson berkesimpulan bahwa informasi surat kabar lebih efektif bagi khalayak dibanding televisi. Sajian berita surat kabar selain bentuk kata tercetak, juga kerap dalam bentuk visual berupa foto berita, lambang patai politik, atau karikatur. Dari asumsi ini terlihat bahwa surat kabar memiliki pengaruh yang besar pula dalam kampanye politik.

Menurut hasil penelitian terhadap mahasiswa, bahwa penonjolan berita pemilu melalui frekuensi pemunculan berita dan judul berita Organisasi Peserta Pemilu (OPP) terhadap persepsi mahasiswa tentang partai politik menunjukkan pengaruh yang signifikan (Yuniati, 2002). Suatu pesan atau berita yang sering diulang-ulang akan dapat menarik perhatian seseorang dabanding dengan pesan yang kurang banyak diungkapkan. Terlebih jika suatu berita serentak di berbagai surat kabar maupun televisi ditayangkan. Dalam surat kabar, sebuah berita besar atau yang menjadi topik utama selalu ditempatkan di halaman depan dengan judul yang menarik dan membuat penasaran ditambah dengan foto yang mendukung.

Semakin sering seorang tokoh atau berita tentang partai dimuat di halaman itu, maka akan semakin terkenallah dia. Kita coba ingat kembali berita dalam surat kabar pada waktu menjelang Pemilu 2004. Siapakah calon, tokoh, atau partai yang sering ‘berpose’ di halaman utama. Tentunya kita sering melihat berita tentang tokoh baru tersebut, tentunya seorang figur Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Nama dan partainya begitu sering muncul, ditambah dengan berita yang membuat simpati pada tokoh tersebut akibat disia-siakan oleh pemerintah sewaktu menjabat menteri.

Ternyata media massa baik surat kabar maupun televisi berpengaruh sangat besar bagi pemenangan dalam Pemilu. Komunikasi politik lebih efektif melalui sarana tidak langsung atau menggunakan media tersebut. Karena pesan yang disampaikan akan serentak diketahui oleh orang banyak di segala penjuru dan juga dapat diulang-ulang penayangannya. Persepsi, interpretasi, maupun opini publik mudah dipengaruhi lewat iklan maupun berita dalam media. Maka untuk menghindari terjadinya disfungsi media, media harus bisa menjadi penengah atau perantara antara pemerintah, elit partai, dan masyarakat. Di masa reformasi ini, dimana sudah mulai ada kebebasan pers seharusnya pers harus mengubah pola kerjanya yang semula ‘menjilat’ pemerintah karena terpaksa, tetapi sekarang harus netral dan sebagai alat kritik sosial bagi pemerintah maupun masyarakat.
***

Daftar Pustaka
Ali, Novel. 1999, Peradaban Komunikasi Politik: Potret Manusia indonesia, PT Remaja Rosda Karya, Bandung.

Intan Naomi, Omi. 1996, Anjing-anjing Penjaga Pers Orde Baru, Gorong-Gorong Budaya, Jakarta.

Nurrahmawati. 2002, “Pengaruh ‘Jingle’ Iklan Teh Botol Sosro di RCTI terhadap Pengingatan Merek Barang pada Pemirsa Remaja Pelajar SMUN Bandung”, Mediator Jurnal Komunikasi, Volume 3 Nomor 1 Tahun 2002, Diterbitkan oleh Fikom Unisba, Bandung.

Suryadi, Karim. 1999, “Media Massa dan Sosialisasi Politik: Perspektif Belajar Sosial”, Jurnal Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia, Volume IV/ Oktober 1999, Diterbitkan oleh kerjasama ISKI dan PT Remaja Rosdakarya, Bandung.

Venus, Antar. 2004, Manajemen Kampanye: Panduan Teoritis dan Praktis dalam Mengefektifkan Kampanye Komunikasi, Simbiosa Rekatama Media, Bandung.

Yuniati, Yenni. 2002, “Pengaruh berita di Surat Kabar terhadap Persepsi Mahasiswa tentang Politik”, Mediator: Jurnal Komunikasi Vol. 3 Nomor 1 Tahun 2002, Diterbitkan oleh Fikom Unisba, Bandung.

Ruang Publik Sebagai Sarana Komunikasi Politik terhadap Sistem Demokratisasi*


oleh: Bambang wibiono (2007)

Reformasi telah membuka jalan bagi kebebasan berpendapat di muka umum. Sejak masa orde baru kebebasan berbicara kita telah dipenjara. Bangsa kita sedang memasuki tahapan sejarah yang sangat penting dengan melangsungkan pemilihan presiden secara langsung. Namun, ini baru awal. Sangatlah dini mengklaim sukses pemilu sebagai sukses demokratisasi. Yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa negara ini dalam masa demokratisasi bukan demokrasi. Artinya kita sedang dalam prsoses dan ini akan terus berjalan sampai pada waktu yang tidak ditentukan.

Hampir satu dekade usia gerakan reformasi yang dirasa cukup memeberikan gambaran. Ada yang beranggapan bahwa transisi demokrasi memang sedang berlangsung. Pandangan ini mengacu pada adanya kebebasan politik dan partisipasi politik yang sudah dirasakan oleh semua komunitas. Namun ada juga yang beranggapan bahwa demokrasi di Indonesia belum tentu terkonsolidasi. Jika tidak terkonsolidasi, demokrasi itu ibarat tamu yang datang yang dapat dipastikan akan pergi kembali (J.A, Denny, 2006). Dan akhiranya kita akan kembali pada nostalgia otoritarian.

Demokrasi dan sistem politik

Pemahaman demokrasi di negara-negara yang sedang melangsungkan transisi dari otoritarianisme menuju demokrasi seperti negara kita bersifat minimal. Demokrasi dimengerti sebagai pemilihan umum yang berlangsung fair. Demokrasi minimalis ini mengabaikan proses di antara pemilihan umum yang satu dan pemilihan umum yang lain. Namun, jika bertolak dari konsep demokrasi itu sendiri, kita tak dapat berhenti pada sikap minimalis. Dalam literatur ilmu politik dikenal dua macam pemahaman tentang demokrasi yaitu demokrasi secara normatif dan secara empirik (Gaffar, 1999). Secara normatif dapat diartikan sebagai suatu tujuan yang hendak dilakukan oleh negara yang biasanya dituangkan dalam konstitusi. Sedangkan demokrasi dalam artian secara empirik atau dikenal dengan istilah procedural democracy, yaitu demokrasi dalam wujudnya yang nyata di kehidupan politik praktis. Namun yang diperlukan untuk mencapai demokrasi adalah apakah suatu sistem politik, pemerintah memeberikan ruang gerak yang cukup bagi warga masyarakat untuk melakukan partisipasi politik.

Dalam kajian demokrasi, hampir semua teoritisi atau ilmuwan sepakat bahwa dalam demokrasi yang berkuasa atau yang berdaulat adalah rakyat (demos). Oleh karena itu selalu ditekankan peran masyarakat dalam proses politik yang berjalan. Atau setidaknya jika merujuk pada teori sistem politik dari David Easton, perlu adanya peran nyata dari masyarakat dalam agenda seting, dan tahap pengambilan keputusan. Demokrasi juga bisa diartikan sebagai pemerintahan dari mereka yang diperintah (Budi Hardiman, 2006). Dari konsep ini memberi pengertian bahwa menyerahkan kepercayaan begitu saja kepada para pelaku dalam sistem politik hasil pemilihan umum eksekutif, legislatif, dan yudikatif tidak akan memenuhi definisi itu. Mereka yang diperintah harus mendapatkan akses pengaruh ke dalam sistem politik. Jika demokrasi ingin maksimal, celah di antara dua pemilihan umum harus diisi dengan partisipasi politis warga negara dalam arti seluas-luasnya. Dalam demokrasi maksimal inilah konsep ruang publik menduduki tempat sentral.

Bila demokrasi tidak sekadar dipahami formalistis, ia harus memberikan kemungkinan kepada warga negara mengungkapkan opini mereka secara publik. Ruang atau, katakanlah, panggung tempat warga negara dapat menyatakan opini, kepentingan, serta kebutuhan mereka secara diskursif dan bebas tekanan itu merupakan inti ide ruang publik politis. Dalam teori-teori demokrasi klasik dikenal konsep volonte generale (kehendak umum), yaitu keputusan publik yang mencerminkan kepentingan seluruh rakyat. Konsep kuno yang berasal dari Jean-Jacques Rousseau ini tetap dianut dalam praktik-praktik parlementarisme modern meski konsep itu lahir dari masyarakat berukuran kecil yang relatif homogen.

Dalam permasalahan agenda seting, yaitu memilih masalah apa yang akan dibahas menjadi sangat penting adanya keterlibatan masyarakat secara langsung. Dimana dalam sistem politik agar berjalan perlu adanya dukungan maupun tuntutan yang datangnya dari masyarakat. Menurut teori sistem Easton, sistem tidak akan berjalan dengan baik bahkan bisa mengalami stagnan bila tak ada pemicu. Tuntutan maupun dukungan yang datang akan menjadi sebuah agenda seting dalam merumusakan sebuah kebijakan dalam sebuah konversi. Dari hasil konversi ini kelak akan diputuskan sebuah solusi dari permasalahan yang diajukan menjadi sebuah kebijakan yang berlaku bagi publik. Tanpa adanya peran serta rakyat secara nyata, mustahil kebijakan yang dikeluarkan akan dapat menyelesaikan persoalan. Bagaimana sebuah solusi akan bermanfaat jika pembuat solusi tidak mengetahi permasalahan dengan pasti.

Tetapi kita sebagai warga negara juga jangan terlalu menyalahkan pemerintah atas kebijakan yang dibuat. Kita jangan terlalu menuntut agar pemerintah mau mengerti atas persoalan yang kita hadapai. Tetapi kita juga perlu turut aktif berpartisipasi dalam sistem poltik. Dengan demikian permasalahan dan solusi akan dicarikan bersama, sehingga hasilnya kan lebih bermanfaat bagi semua tanpa ada yang dirugikan. Namun sebuah pertanyaan besar akan muncul dalam proses demokrasi ini, yaitu sejauh mana masyarakat turut aktif berpartisipasi?. Sejauh mana masyarakat sadar akan berpolitik ?. Karena dikhawatirkan ketika proses demokrasi sedang berjalan, masyarakat sebagai pelaku dan objeknya sendiri tak pernah memahami perannya. Hal ini dapat dimaklumi, sebab selam masa rejim orde baru, kita telah dibodohi dan tidak pernah diberikan sebuah pendidikan politik. Ketika msayarakat telah mengerti akan perannya dalam berdemokrasi, lalu sejauh mana masyarakat memanfaatkan ruang-ruang publik yang disediakan sebagai saluran komunikasi politiknya?. Atau jangan-jangan ruang-ruang publik yang ada telah dikuasai oleh elit untuk memperkuat posisinya.

Apa itu ruang publik politis

Dalam masyarakat majemuk dewasa ini, suatu identifikasi “kedaulatan rakyat” dengan “perwakilan rakyat” dalam Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)/Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menjadi semakin sulit karena sistem politik “hanyalah” salah satu subsistem di antara subsistem lain di dalam sebuah masyarakat kompleks. Karena itu, konsep kedaulatan rakyat harus ditafsirkan secara baru. Jika parlemen hanyalah salah satu subsistem masyarakat kompleks, kedaulatan rakyat seharusnya dibayangkan melampaui sistem perwakilan itu, yang merupakan intensitas interaksi diskursif di antara berbagai subsistem di dalam masyarakat majemuk. Dengan kata lain, kedaulatan rakyat adalah “totalitas bentuk” dan “isi komunikasi” tentang persoalan-persoalan publik yang berlangsung, baik di dalam sistem politik (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) maupun di dalam masyarakat luas.

Dalam karya awalnya, Strukturwandel der Oeffentlichkeit (Perubahan Struktur Ruang Publik), Juergen Habermas menjelaskan ruang publik politis sebagai kondisi-kondisi komunikasi yang memungkinkan warga negara membentuk opini dan kehendak bersama secara diskursif (dalam Budi Hardiman, 2006).

Realitas pemanfaatan ruang publik oleh rakyat

Apakah dalam masa demokratisasi ini masyarakat kita telah mampu memanfaatkan ruang publik sebagai saluran komunikasi terhadap pemerintah ataupun sistem politik?. Kita dapat melihat aktivitas individu maupun kolektif yang ditujukan pada pemerintah. Saat ini masyarakat lebih berani dalam mengemukakan pendapat atau opini, saran, ataupun kritik terhadap pemerintah baik secara langsung maupun tidak langsung.

Dalam ruang publik, semua partisipan dalam ruang publik politis memiliki peluang yang sama untuk mencapai suatu konsensus yang fair dan memperlakukan mitra komunikasinya sebagai pribadi otonom yang mampu bertanggung jawab dan bukanlah sebagai alat yang dipakai untuk tujuan-tujuan di luar itu semua. Dalam hal ini semua pelaku baik pemerintah maupun rakyat memiliki kedudukan yang sama. Semua berhak menggunakan ruang tersebut dalam berdemokrasi. Ini sesuai dengan konsep ruang publik itu sendiri yang membuka peluang bagi siapapun untuk berinteraksi. Konsep ini mengandung unsur pluralisme. Selain itu dalam komunikasi politik, selain ketersedian ruang publik, perlu adanya payung hukum yang melindungi. Seperti yang diungkapkan oleh Denny J.A bahwa demokrasi yang terkonsolidasi mensyaratkan adanya aturan main. Semua yang terlibat harus sepakat bahwa prinsip demokrasi menjadi the only game in town yang harus dijunjung. Para pihak boleh berbeda pandangan, namun perbedaan iut harus diselesaikan dengan aturan main yang demokratis. Aturan tersebut untuk melindungi kedua belah pihak agar tidak terjadi represi/tekanan maupun diskriminasi.

Ringkasnya ruang publik harus bersifat inklusif, egaliter, dan bebas tekanan. Sehingga tercipta komunikasi yang wajar. Dalam demokrasi, ruang publik tidak harus ruang-ruang formal, tetapi juga bisa berupa ruang yang sifatnya informal. Setiap pendapat, kritik, atau apapun yang hendak disampaikan masyarakat bisa melalui media, ataupun secara langsung berdialog dengan yang dituju. Jika demikian, ruang publik politis harus dimengerti secara “normatif”: ruang itu berada tidak hanya di dalam forum resmi, melainkan di mana saja warga negara bertemu dan berkumpul mendiskusikan tema yang relevan untuk masyarakat secara bebas dari intervensi kekuatan-kekuatan di luar pertemuan itu. Kita menemukan ruang publik politis, misalnya, dalam gerakan protes, dalam aksi advokasi, dalam forum perjuangan hak-hak asasi manusia, dalam perbincangan politis interaktif di televisi atau radio, dalam percakapan keprihatinan di warung-warung, dan seterusnya.

Media massa memiliki peran dalam proses ini. Media berfungsi sebagai perantara atau penghubung antara elit dan masyarakat sipil. Dalam komunikasi politik dari elit kepada masyarakat sipil bisa berupa sosialisasi kebijakan, kampanye, maupun rekruitmen politik. Pemanfaatan ruang publik sangat diperlukan demi terciptanya demokratisasi. Masyarakat harus bisa memanfaatkan ruang-ruang yang ada untuk berpartisipasi di dalam sistem politik. Tetapi nyatanya khususnya masyarakat belum mampu memanfaatkan ruang publik yang ada untuk terlibat dalam sistem politik.

Komunikasi yang sering terjadi adalah dari elit kepada masyarakat sipil. Sesaat setelah memasuki era reformasi ini, terlihat adanya euforia politik. Masyarakat berani secara terang-terangan mengkritik pemerintah dengan cara mereka sendiri yang biasanya cenderung anarkis. Pemanfaatan ruang publik biasanya hanya ruang-ruang bebas seperti demonstrasi yang jarang melahirkan dialog-dialog dengan pemerintah. Ini salah satu penyebab tindakan anarki dalam demonstrasi. Masyarakat kelas bawah sangat jarang mengunakan forum-forum formal seperti diskusi publik dengan pemerintah, seminar, debat terbuka dan sejenisnya. Inisiatif-inisiatif ini biasanya datang dari kalangan akademisi, atau bahkan dari pihak pemerintah sendiri.

Elit politik sebagai bagian dari pemerintah harus memiliki hubungan yang harmonis dan dinamis dengan kelompok massa, karena dengan terwujudnya hubungan yang harmonis dan dinamis maka komunikasi antara elite politik dengan khalayak (rakyat) dapat berjalan lancar sehingga kebijakan yang akan dikeluarkan oleh elite politik tidak akan merugikan rakyat. Contoh kasus lain akan kurangnya pemanfaatan ruang publik untuk komunikasi politik adalah terjadinya peristiwa berdarah pada pemilu 1999 di Desa Dongos, Jepara (Sahidin, 2004). Ini terjadi karena kurangnya komunikasi antara elit partai yang berkompetisi dengan massanya. Akibat dari tidak adanya komunikasi massa antar pendukung/simpatisan kedua partai yang bertikai, maka tragedi politik berdarah itu bisa terjadi. Namun jika permasalahan tersebut dapat dibicarakan dengan memanfaatkan ruang publik yang ada, tentu peristiwa berdarah itu tak akan terjadi.

Pada masa orde baru, kegiatan-kegiatan diskusi publik yang diselenggarakan oleh stasiun televisi misalnya selalu mengandung muatan politik yang diistilahkan sebagai proyek mobilisasi politik (Saefulloh Fatah, 1998). Pada masa itu masalah partisipasi politik merupakan masalah krusial orde baru. Peranan negara terlampau besar dalam mengintervensi kehidupan sosial, politik, dan ekonomi.

Peran pers oleh Omi Intan Naomi (1996), diistilahkan sebagai ‘anjing penjaga’ bagi orde baru atau pemerintah yang berkuasa saat itu. Sehingga tidak ada ruang publik yang tersedia bagi rakyat untuk aktif dalam sistem politik/pemerintahan dan akhirnya berdampak pada komunikasi satu arah yaitu dari pemerintah kepada rakyat.

Ruang publik dalam era globalisasi

Dalam era globalisasi pasar dan informasi dewasa ini, sulitlah membayangkan adanya forum atau panggung komunikasi politis yang bebas dari pengaruh pasar ataupun negara. Kebanyakan seminar, diskusi publik, demonstrasi, dan seterusnya didanai, difasilitasi, dan diformat oleh kekuatan finansial besar, entah kuasa bisnis, partai, atau organisasi internasional dan seterusnya. Hampir tak ada lagi lokus yang netral dari pengaruh ekonomi dan politik. Analisis Habermas, membayangkan masyarakat kompleks dewasa ini sebagai tiga komponen besar, yaitu sistem ekonomi pasar (kapitalisme), sistem birokrasi (negara), dan solidaritas sosial (masyarakat), lokus ruang publik politis terletak pada komponen solidaritas sosial. Dia harus dibayangkan sebagai suatu ruang otonom yang membedakan diri, baik dari pasar maupun dari negara. Setidaknya dengan adanya era globalisasi dan demokratisasi, telah terbuka ruang-ruang umum yang bebas diakses oleh masyarakat umum. Dengan demikian seharusnya dengan terbukanya ruang publik tersebut, dapat dijadikan sarana untuk berkomunikasi untuk mendiskusikan atau menyelesaikan persoalan yang menyengkut hajat hidup orang banyak. Ruang-ruang tersebut seyogyanya dapat dimanfaatkan oleh seluruh elemen baik antar lembaga pemerintah maupun masyarakat sipil dan pemerintah. Kita harus bisa memanfaatkan peluang yang ada untuk mendukung demokratisasi dan kebaikan bersama.

Masyarakat sipil tidak hanya sebagai aktor atau pelaku, tetapi mereka juga merupakan penghasil ruang publik politis itu sendiri. J.Cohen dan A. Arato, memberikan ciri ruang publik politis yang dihasilkan oleh masyarakat sipil yaitu adanya pluralitas (seperti keluarga, kelompok nonformal, dan organisasi sukarela), publisitas (seperti media massa dan institusi budaya), privasi (seperti moral dan pengembangan diri), dan legalitas (struktur hukum dan hak-hak dasar). Itu artinya rakyat sipil bisa turut aktif dalam menciptakan ruang publik politis tersebut untuk menyuarakan opini, saran, maupun kritik terhadap sistem politik yang sedang berjalan.

Jangan sampai ruang publik tersebut dapat dikuasai oleh pihak-pihak tertentu demi kepentingan pribadi dan golongannya. Apalagi jika kembali dikuasai oleh rejim yang berkuasa, maka akan terjadi pengulangan sejarah orde baru. Karena ruang publik adalah milik bersama, maka siapapun berhak menggunakannya tanpa takut ada intervensi atau tekanan dari pihak manapun. Jangan sampai pula sepeti yang dikatakan oleh Denny J.A, demokratisasi yang sekarang sedang berlangsung hanya sekedar lewat karena tidak terkonsolidasikan.

***

Daftar Pustaka

Ali, Novel. 1999, Peradaban Komunikasi Politik: Potret Manusia Indonesia, PT Remaja Rosda Karya, Bandung.

Budi Hardiman, F. 2006, ”Ruang Publik Politis: Komunikasi Politis dalam Masyarakat Majemuk”, dalam http://duniaesai.com/komunikasi/kom1.htm, yang diakses tanggal 13 April 2007, bersumber dari Kompas Cyber Media.

Gaffar, Afan. 1999, Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Intan Naomi, Omi. 1996, Anjing-Anjing Penjaga Pers di Rumah Orde Baru, Gorong-Gorong Budaya, Jakarta.

J.A, Denny. 2006, Manuver Elit, Konflik, dan Konservatisme Politik, Penerbit LKIS, Yogyakarta.

Saefulloh Fatah, Eep. 1998, Catatan Atas Gagalnya Politik Orde Baru, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Sahidin. 2004, Kala Demokrasi Melahirkan Anarki: Potret Tragedi Politik di Dongos, Penerbit Logung Pustaka, Yogyakarta.

Suryadi, Budi. 2006, Kerangka Analisis Sistem Politik Indonesia, IRCiSoD, Yogyakarta.

http://himip.tripod.com/artikel.htm, “Peran Elite Politik dalam Komunikasi Politik di Indonesia”. Diakses tanggal 13 April 2007


*tulisan ini dibuat pada tahun 2007

Rabu, 23 Maret 2011

Resensi: Komunikasi politik Nahdlatul Ulama: Pergulatan Pemikiran Politik Radikal dan Akomodatif


Komunikasi politik Nahdlatul Ulama: Pergulatan Pemikiran Politik Radikal dan Akomodatif
Author(s): Asep Saeful Muhtadi
Publisher: LP3ES, 2004
Pages: 296
Language: Indonesia

Dinamika kehidupan politik nahdlatul Ulama (N U) yang sebelumnya lebih banyak diwarnai oleh komunikasi pesantren dan kiai, kini menghadapi kenyataan berbeda. Meskipun tema politik di kalangan nahdliyin ini masih akan didominasi oleh tafsir-tafsir politik tradisional dari para sesepuh organisasi, tetapi arus progresif yang diperankan oleh kalangan “muda” jaga akan ikut memberikan corak kehidupan politik yang signifikan. Karena itu, untuk mengamankan perjalanan politik ke depan, kompromi produktif antara kekuatan-kekuatan sosial di kalangan nahdliyin, kini bukan lagi sesuatu yang mudah dihindari. Kecenderungan politik NU ke depan ini, setidaknya, dapat dibaca dalam kiprah PKB dan PPNUI.

Secara tidak langsung, hal ini akan menimbulkan pergeseran sosiologis kaum nahdliyin. Feith (1962) mencatat bahwa bila sebelumnya NU merupakan “penggalan massa” dengan para pemimpinnya berperan sebagai “solidarity makers” ketimbang “administrators”, maka ke depan akan menjadi sebaliknya. NU yang sebelumnya cenderung diurus oleh kalangan tradisional yang lebih mendasarkan pada pola-pola hubungan emosional, ke depan ia akan menjadi organisasi modern yang dikelola oleh kalangan profesional yang lebih mendasarkan pada pola-pola hubungan rasional.


Resensi: Menjinakkan Metakuasa Global


Title : Menjinakkan Metakuasa Global
Type : Book
Author(s): Imam Cahyono, Editor
Publisher : LP3ES, Desember 2008
Pages : 328
Language: Indonesia

Globalisasi adalah sebuah kekuatan yang buta. Ia harus dipandu. Jika tidak, kita akan terseret dan tersesat oleh dayanya. Ia perlu dituntun oleh aturan main pada tingkat global yang adil agar tidak menimbulkan kerugian dan malapetaka bagi yang belum biasa atau belum siap memanfaatkannya. Tidak dapat disangkal, sebagian besar negara berkembang dan miskin justru kian terpuruk dan terpinggirkan olehnya. Gagasan mereformasi tata kelola globalisasi sangatlah ambisius, tapi sungguh naif jika tidak dikerjakan.

Indonesia yang berada di dalam arus globalisasi harus memperkuat diplomasi ekonominya agar tetap eksis. Peran diplomasi Indonesia harus diperluas dengan menggunakan politik luar negeri sebagai instrumen untuk mencapai pembangunan ekonomi. Untuk itu, dibutuhkan dukungan institusi yang memadai serta pola koordinasi yang efektif. Penguatan kelembagaan perlu didukung dengan penguatan kapasitas negosiator seiring dengan kompleksitas dan dinamika globalisasi. Buku ini membahas hal tersebut dengan sangat menarik.

Diskusi Internal "Kebangkitan Demokrasi dan Masa Depan Timur Tengah" *

Ditulis oleh Lidya Christin Sinaga


Aksi-aksi demonstrasi terhadap pemerintah status quo yang dianggap otoriter akhir-akhir ini sedang marak terjadi di kawasan Timur Tengah. Sebut saja di Tunisia, Mesir, Aljazair, dan Yordania. Pergolakan politik tersebut tidak hanya menandai perubahan konstelasi politik di Timur Tengah, namun juga menandai bangkitnya demokrasi di kawasan itu. Hal inilah yang diangkat Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI dalam diskusi internal bertajuk ”Kebangkitan Demokrasi dan Masa Depan Timur Tengah” yang diselenggarakan pada 11 Februari 2011. Diskusi ini menghadirkan dua orang pembicara, yaitu Ahmad Faris, Lc, MSi, kandidat Ph.D Bidang Politik dari Ankara University-Turki, dan Drs. Moh. Hamdan Basyar, MSi, pemerhati Timur Tengah yang juga peneliti senior P2P-LIPI.

Ahmad Faris dalam paparannya mengungkapkan bahwa kejadian di Tunisia dan Mesir bukan dipicu oleh satu kasus baru, tapi merupakan bayaran atas keterlambatan pemerintah negara-negara kawasan dalam merespon gejala-gejala perubahan sosial yang terjadi pada dua dasawarsa terakhir. Tuntutan utama rakyat adalah perubahan politik dan kebijakan ekonomi. Menurutnya, ada empat faktor yang dapat dilihat dalam membaca perubahan politik di Timur Tengah, yaitu faktor ekonomi, politik, sosial, dan psikologis. Secara ekonomi, negara di Timur Tengah terdiri dari negara kaya dengan pemerintahan yang otoriter, negara miskin dengan pemerintahan yang otoriter, negara mapan dan demokratis, dan negara kaya namun pemerintah belum kokoh. Dari sisi politik, di negara-negara Timur Tengah tidak ada lembaga yang menampung aspirasi rakyat dan hilangnya hak menyatakan pendapat. Sementara dari faktor sosial kita lihat wawasan rakyat yang sudah sangat terbuka seiring era informasi global seperti internet dan televisi kabel (contoh Stasiun al-Jazirah, CNN, dan sebagainya). Masyarakat saat ini tidak hanya menyerap informasi melalui televisi dan surat kabar milik pemerintah. Berita yang mereka dapatkan secara bebas itu akhirnya memunculkan kesadaran akan hak-hak mereka yang selama ini terabaikan. Untuk kasus Mesir, misalnya, Revolusi Melati di Tunisia telah mengilhami hal penting dan membuka cakrawala baru bahwa ternyata penguasa tidak sekuat yang dibayangkan mereka selama ini. Rakyat Mesir hanya melihat betapa mudahnya menggulingkan pemerintah yang telah berkuasa puluhan tahun. Mereka mengabaikan beberapa perbedaan realitas politik Tunisia dengan Mesir. Terakhir, secara psikologis, pada dasarnya rakyat bosan dengan status quo para pemimpin di Timur Tengah, di samping tidak ada celah bagi dialog, apatis terhadap perubahan, harapan telah tertutup, dan melihat jalan satu-satunya adalah kekerasan.

Hamdan Basyar menambahkan bahwa partai Hosni Mubarak, yaitu Partai Demokratik Nasional (NDP), adalah partai pemerintah yang pada pemilihan umum (pemilu) legislatif tahun 2005 sempat mengalami penurunan perolehan suara dibandingkan pemilu tahun 2000. Sementara, Ikhwanul Muslimin (IM), kelompok oposisi terbesar di Mesir, justru mengalami peningkatan perolehan suara pada pemilu 2005 tersebut, dari 17 suara pada pemilu sebelumnya menjadi 88 suara dari 420 total kursi parlemen Mesir atau sekitar 21 %. Namun, pada pemilu tahun 2010 yang merupakan pemilu legislatif ke-7 sejak Mubarak berkuasa, Ikhwanul Muslimin justru tidak memperoleh satu suara pun. Pemilu tersebut ditengarai mengandung banyak kecurangan. Tak pelak, IM kemudian memboikot pemilu putaran kedua yang diadakan Desember 2010. Demontrasi yang terjadi di Mesir merupakan demonstrasi yang tergalang dari jaringan internet. Menjawab tuntutan demonstrasi rakyat, Mubarak melakukan perubahan dalam sistem pemerintahan Mesir, yaitu dengan mengangkat Omar Soleiman, kepala Badan Intelijen Negara, sebagai wakil presiden untuk pertama kalinya selama 30 tahun Mubarak memerintah dan Ahmad Shafiq, mantan kepala staf udara, sebagai perdana menteri.

Menurut Faris, ada empat skenario politik yang mungkin terjadi di Mesir tahun 2011 ini. Pertama, berjalan normal dan pemilu dilaksanakan sebagai rutinitas di mana Mubarak kembali mencalonkan diri dan menang. Kedua, pemilu berlangsung di mana Mubarak tidak mencalonkan diri, tetapi mengusung anaknya, Gamal, sebagai pengganti dan menang. Ketiga, militer mengambil alih kekuasaan dengan alasan korupsi yang merajalela dan kemiskinan yang parah. Keempat, revolusi rakyat yang menolak rezim lama, menolak militer, dan menolak parlemen lama.

Lebih jauh Ahmad Faris melihat ada persamaan dan perbedaan antara kasus di Tunisia dan Mesir. Persamaan terletak pada faktor ekonomi, politik, dan budaya. Namun keduanya berbeda, terutama karena budaya militer di Tunisia yang tidak terlibat dengan politik praktis, kenyataan bahwa oposisi di Tunisia masih memiliki tokoh-tokoh berpengaruh yang terpelihara sejak awal kekuasaan Ben Ali, dan adanya kepentingan Barat. Sementara terkait potensi konflik di Sudan, menurut Faris, bisa terjadi karena beberapa hal. Pertama, kelompok yang dirugikan oleh referendum akan terus mempertanyakan keabsahan referendum dan menyebabkan konflik antara kelompok separatis dan pendukung persatuan. Kedua, populasi penduduk Sudan Selatan cukup besar, yaitu 8,25 juta jiwa di mana 24%-nya adalah muslim. Sementara di Sudan Utara, masih banyak hidup penduduk Sudan Selatan. Realita ini tentu akan menjadi gesekan yang signifikan. Ketiga, sengketa perbatasan, baik di daerah Abyei atau daerah-daerah potensial lain. Kasusnya mirip pasca disintegrasi Uni Soviet. Apalagi, pemerintah pusat harus kehilangan 30% sumber minyak. Keempat, keberhasilan Sudan Selatan melepaskan diri kemungkinan akan menyebabkan potensi disintegrasi daerah lain, terutama Darfur. Kelima, pasca merdeka, kemungkinan Sudan Selatan akan segera membuka hubungan diplomatik dengan Israel secepat mungkin. (Lidya Christin Sinaga)

* tulisan ini diambil dari http://www.politik.lipi.go.id/index.php/in/kegiatan/409-diskusi-internal-kebangkitan-demokrasi-dan-masa-depan-timur-tengah