Assalamu'alaikum,,, Salam Hormat

Terima kasih atas kunjungan anda ke blog saya. Semoga bermanfaat. Semua tulisan ini hasil saya pribadi, atau diambil dari tulisan lain yang tercantum pada rujukannya. Bila mengutip baik secara langsung maupun tidak, sebagian atau keseluruhan, diharapkan Mencantumkan sumber tulisan dan penulisnya pada daftar pustaka/catatan kaki sebagai bahan rujukannya.
atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih

Kamis, 24 Januari 2008

Menggugat Konstruksi Sosial Nilai Barat dan Timur

Review Artikel
Judul : Asian Values Reconsidered
Tahun terbit : 2000
Penerbit : Asia-Pasific Review, Vol. 7 No. 1, 2000; Institute for International Policy Studies
Menggugat Konstruksi Sosial Nilai Barat dan Timur
Bambang Wibiono
Selama ini, kita telah terjebak pada dikotomi antara barat dan timur। Dalam benak kita sebagai orang Timur atau Asia—atau mungkin dalam benak setiap orang—telah melekat stigma bahwa barat lebih baik dari Timur, negara barat lebih maju, orang barat lebih unggul, sedangkan kita sebagai orang Timur, khususnya orang Asia merasa lebih rendah dan terbelakang॥ stigama seperti ini sungguh sangat naif dalam kehidupan saat ini yang mengutamakan persamaan, dan hak asasi।।

Stereotyipe seperti ini merupakan sebuah konstruksi sosial yang sudah tercipta sejak lama dan melalui proses yang sangat panjang, serta telah menjadi sebuah sistem dan struktur yang mapan. Dari anggapan seperti ini pula yang menyebabkan sebagian orang Asia sulit untuk maju dan berkembang. Karena mereka menganggap dirinya sebagai inferior. Anggapan atau penyudutan terhadap orang Asia oleh orang barat inilah yang hendak dipertanyakan dan dibongkar oleh Tommy T.B. Koh dalam tulisannya "Asian Values reconsidered". Apakah benar nilai-nilai Asia lebih rendah dari nilai-nilai yang dianut barat? Apakah benar Asia, dalam dirinya selalu melekat nilai-nilai negatif? Atas dasar apakah mereka (orang barat) menilai hal itu?. Atau jangan-jangan penyudutan ini hanya sebuah ekspresi kehkawatiran orang Barat akan bangkitnya Asia dan takut jika Asia akan mengungguli Barat.

Setidaknya ada dua pandangan mengenai nilai-nilai yang melekat pada individu maupun sosial. Pandangan pertama manyatakan bahwa pada dasarnya nilai-nilai bersifat universal dalam karakternya pada semua orang, bahkan tidak memendang batas antara barat dan timur. Pandangan kedua menyatakan bahwa nilai tidak tersusun dan terbagi pada semua orang, sehingga akan selalu ada perbedaan, begitu juga dengan nilai yang dianut oleh barat maupun Asia. Namun dari pandangan tersebut dapat ditarik kesimpulan sebagai jalan tengah bahwa terdapat nilai-nilai tertentu yang membedakan antar orang atau kelompok sosial, disamping itu juga diantara perbedaannya, mengandung di dalamnya sebuah persamaan konsep tentang penilaian sesuatu.

Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan bahwa trdapat kesamaan baik nilai pribadi maupun sosial diantara orang-orang Asia. Semua nilai yang dianut oleh orang Asia, tidak sedikitpun yang mengarah pada hal negatif. Bahkan orang Asia lebih mengutamakan ketraturan, keharmonisan daripada mengutamakan pentingnya hak pribadi sebagaimana dianut oleh sebagian besar orang Amerika.


Nilai yang dianut oleh Asia terlihat lebih mengedepankan proses-proses yang harmonis dan dinamis daripada hasilnya. Namun, berbeda dengan konsep yang dianut oleh sebagian besar orang barat yang lebih menekankan pencapaian keberhasilan. Dari sini bisa ditafsirkan bahwa nilai yang dianut barat akan lebih mudah terjebak pada konsep "menghalalkan segala cara" demi tercapainya tujuan.


Berdasarkan hasil penelitian, bahkan yang dilakukan oleh orang barat sendiri, tidak aada yang membuktikan bahwa Asia lebih inferior dan terbelakang daripada barat। Bahkan selama ini apa yang mereka tuduhkan adalah akibat dari kolonialisme dan imperialisme dunia barat. Disaat mereka mengedepankan hak-hak pribadi, namun disaat yang sama, mereka mengekang hak orang lain dengan penjajahan dan ekspolitasi.


Tuduhan mengenai penyebab krisis di Asia akibat nilai-nilai yang dianut, sangatlah tidak beralasan. Hal itu terbukti, beberapa negara di Asia khususnya Asia Timur telah dengan cepat bangkit dari keterpurukannya dan mampu mengimbangi kemajuan yang dicapai negara barat. Dalam hal disiplin dan etos kerja misalnya, Jepang menjadi contoh keunggulan Asia.


Dalam hal menangani pembangunan misalnya, kemerdekaan menjadi suatu landasan yang sangat penting. Pandangan tentang pembangunan sebagai tujuan dan sekaligus alat (yang sebagian besar dianut barat), akan terjebak pada pencapaian angka-angka statistik dari pertumbuhan ekonomi, yang sesungguhnya tidak menyentuh dunia riil. Ini akan mengakibatkan kesenjangan akibat penumpukan modal di tangan segelintir orang.


Sepeti apa yang dikatakan oleh Amartya Sen (1999), dalam melihat pembangunan sebagai suatu proses, harus mampu membuka seluas mungkin kemerdekaan bagi semua orang। Kemerdekaan harus dipandang sebagai tujuan utama sekaligus juga sebagai cara terpenting. Kemerdekaan di sini, harus mencakup pula kemampuan untuk mencegah terjadinya pengurangan hak dasar.


Ketika pandangan orang Barat tentang kebebasan individu menjadi sangat penting, ternyata Asia telah menerapkan hal tersebut, bahkan melampaui negara Barat, seperti Jepang, Korea Selatan, Taiwan, India (negara bagian Kerala)
1। Banyak negara di barat yang lebih mengutamakan pencapaian pembangunan, tetapi mengabaikan keadilan, sehingga mengakibatkan terabaikannya hak-hak dasar masyarakat, walaupun memperoleh laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi।

Dari penjelasan contoh tersebut, setidaknya dapat membuka wawasan kita bahwa Asia memiliki nilai-nilai yang tidak kalah bahkan jauh lebih unggul dari nilai yang dianut kalangan barat। Walaupun terdapat kesamaan nilai seperti pentingnya kebebasan, persamaan hak, keadilan, namun dalam proses pelaksanaan dan pencapaiannya sangatlah berbeda. Ada hal-hal yang bisa dikembangkan dari nilai-nilai Asia. Inilah hal yang dapat dijadikan aset bangsa Asia dalam berkompetisi dengan negara lain khususnya Barat yang dianggap lebih unggul dan superior dalam era globalisasi saat ini. Karena saat ini dituntut sebuah persamaan dalam kompetisi di era global. Tidak ada lagi pembedaan atau stereotyipe antara Barat dan Timur (Asia), semua memiliki kedudukan yang sama dalam mengambil peran.


1 Argumen ini dijelaskan oleh Amartya Sen dalam bukunya Development as Freedom, Oxford University Press, Oxford: 1999।Dia membandingkan proses pembangunan dan pencapaiannya di beberapa Negara seperti Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Cina, Gabon, Sri Lanka, Brazil, Nagara Bagian Kerala, Namibia, Afrika Selatan, seta beberapa segara Eropa।

Minggu, 13 Januari 2008

sastra

Kisah sang Malam


Purnama datang membawa indahnya malam

Dia datang bersama gemerlapnya bintang

Langit dan bumi menyambut indahnya Purnama

Dia datang atas nama keindahan malam

Tak selamanya malam itu gelap mencekam

Kenapa tak Engkau datangkan saja Purnama tiap malam

Biar semua orang tak takut akan datangnya malam

Andai sang malam bisa bicara

Dia akan memohon agar indahnya Purnama selalu menemaninya

Bila Purnama tak datang

Sang malam selalu termenung kesepian

Mengapa Purnama tak mengerti betapa berartinya dia bagi sang malam

Purnama pergi dengan senyumnya

Bintang kejorapun memancarkan sinarnya

Sebagai tanda berpisahnya sang malam dengan purnama

Ada apakah dengan sang malam?

Mengapa tak katakan saja keinginannya pada sang Purnama?

Dia hanya bisa menanti akan kembalinya sang purnama

Mungkin dia yakin bahwa purnama akan datang

Suatu saat nanti untuk mengindahkan malam


By: Wibiono

negeri angan-angan

Negeri Angan-Angan


Ada sebuah negara yang dibentuk dari potongan surga.

Tongkat yang tertancap akan menjadikanya tumbuh tanaman,

atau bahkan menyemburkan harta

berupa minyak dan gas alam.


Airnya tak hanya menyegarkan,

Namun memberikan banyak kemanfaatan.


Indonesia kusebut negeriku.

Tetapi negeri yang tak seperti dalam anganku

Ini sebuah negeri yang penuh dengan kekacauan dan malapetaka

Dimanakah potongan surga itu dari bagian negeri ini?


Apakah itu semua hanya muslihat Sang Kuasa

Untuk menghibur setiap mahluk di dalamnya

Ataukah hanya sebuah mitos leluhur.


Entahlah…Aku hanya ingin menjalani hidup ini seadanya

Tanpa harus terbuai akan rayuan indahnya surga

Atau ketakutan akan kejamnya Neraka

Karena semua itu mungkin hanya angan belaka

untuk mengelabui hati yang gentar menghadapi dunia



Januari 2007

Wibiono”

negeri angan-angan

Negeri Angan-Angan


Ada sebuah negara yang dibentuk dari potongan surga.

Tongkat yang tertancap akan menjadikanya tumbuh tanaman,

atau bahkan menyemburkan harta

berupa minyak dan gas alam.


Airnya tak hanya menyegarkan,

Namun memberikan banyak kemanfaatan.


Indonesia kusebut negeriku.

Tetapi negeri yang tak seperti dalam anganku

Ini sebuah negeri yang penuh dengan kekacauan dan malapetaka

Dimanakah potongan surga itu dari bagian negeri ini?


Apakah itu semua hanya muslihat Sang Kuasa

Untuk menghibur setiap mahluk di dalamnya

Ataukah hanya sebuah mitos leluhur.


Entahlah…Aku hanya ingin menjalani hidup ini seadanya

Tanpa harus terbuai akan rayuan indahnya surga

Atau ketakutan akan kejamnya Neraka

Karena semua itu mungkin hanya angan belaka

untuk mengelabui hati yang gentar menghadapi dunia



Januari 2007

Wibiono”



menggugat konstruksi sosial nilai barat dan timur

Review Artikel

Judul : Asian Values Reconsidered

Tahun terbit : 2000

Penerbit : Asia-Pasific Review, Vol. 7 No. 1, 2000; Institute for International Policy Studies


Menggugat Konstruksi Sosial Nilai Barat dan Timur

Oleh: Bambang Wibiono


Selama ini, kita telah terjebak pada dikotomi antara barat dan timur. Dalam benak kita sebagai orang Timur atau Asia—atau mungkin dalam benak setiap orang—telah melekat stigma bahwa barat lebih baik dari Timur, negara barat lebih maju, orang barat lebih unggul, sedangkan kita sebagai orang Timur, khususnya orang Asia merasa lebih rendah dan terbelakang.. stigama seperti ini sungguh sangat naif dalam kehidupan saat ini yang mengutamakan persamaan, dan hak asasi.

Stereotyipe seperti ini merupakan sebuah konstruksi sosial yang sudah tercipta sejak lama dan melalui proses yang sangat panjang, serta telah menjadi sebuah sistem dan struktur yang mapan. Dari anggapan seperti ini pula yang menyebabkan sebagian orang Asia sulit untuk maju dan berkembang. Karena mereka menganggap dirinya sebagai inferior. Anggapan atau penyudutan terhadap orang Asia oleh orang barat inilah yang hendak dipertanyakan dan dibongkar oleh Tommy T.B. Koh dalam tulisannya ”Asian Values reconsidered”. Apakah benar nilai-nilai Asia lebih rendah dari nilai-nilai yang dianut barat? Apakah benar Asia, dalam dirinya selalu melekat nilai-nilai negatif? Atas dasar apakah mereka (orang barat) menilai hal itu?. Atau jangan-jangan penyudutan ini hanya sebuah ekspresi kehkawatiran orang Barat akan bangkitnya Asia dan takut jika Asia akan mengungguli Barat.

Setidaknya ada dua pandangan mengenai nilai-nilai yang melekat pada individu maupun sosial. Pandangan pertama manyatakan bahwa pada dasarnya nilai-nilai bersifat universal dalam karakternya pada semua orang, bahkan tidak memendang batas antara barat dan timur. Pandangan kedua menyatakan bahwa nilai tidak tersusun dan terbagi pada semua orang, sehingga akan selalu ada perbedaan, begitu juga dengan nilai yang dianut oleh barat maupun Asia. Namun dari pandangan tersebut dapat ditarik kesimpulan sebagai jalan tengah bahwa terdapat nilai-nilai tertentu yang membedakan antar orang atau kelompok sosial, disamping itu juga diantara perbedaannya, mengandung di dalamnya sebuah persamaan konsep tentang penilaian sesuatu.

Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan bahwa trdapat kesamaan baik nilai pribadi maupun sosial diantara orang-orang Asia. Semua nilai yang dianut oleh orang Asia, tidak sedikitpun yang mengarah pada hal negatif. Bahkan orang Asia lebih mengutamakan ketraturan, keharmonisan daripada mengutamakan pentingnya hak pribadi sebagaimana dianut oleh sebagian besar orang Amerika.

Nilai yang dianut oleh Asia terlihat lebih mengedepankan proses-proses yang harmonis dan dinamis daripada hasilnya. Namun, berbeda dengan konsep yang dianut oleh sebagian besar orang barat yang lebih menekankan pencapaian keberhasilan. Dari sini bisa ditafsirkan bahwa nilai yang dianut barat akan lebih mudah terjebak pada konsep ”menghalalkan segala cara” demi tercapainya tujuan.

Berdasarkan hasil penelitian, bahkan yang dilakukan oleh orang barat sendiri, tidak aada yang membuktikan bahwa Asia lebih inferior dan terbelakang daripada barat. Bahkan selama ini apa yang mereka tuduhkan adalah akibat dari kolonialisme dan imperialisme dunia barat. Disaat mereka mengedepankan hak-hak pribadi, namun disaat yang sama, mereka mengekang hak orang lain dengan penjajahan dan ekspolitasi.

Tuduhan mengenai penyebab krisis di Asia akibat nilai-nilai yang dianut, sangatlah tidak beralasan. Hal itu terbukti, beberapa negara di Asia khususnya Asia Timur telah dengan cepat bangkit dari keterpurukannya dan mampu mengimbangi kemajuan yang dicapai negara barat. Dalam hal disiplin dan etos kerja misalnya, Jepang menjadi contoh keunggulan Asia.

Dalam hal menangani pembangunan misalnya, kemerdekaan menjadi suatu landasan yang sangat penting. Pandangan tentang pembangunan sebagai tujuan dan sekaligus alat (yang sebagian besar dianut barat), akan terjebak pada pencapaian angka-angka statistik dari pertumbuhan ekonomi, yang sesungguhnya tidak menyentuh dunia riil. Ini akan mengakibatkan kesenjangan akibat penumpukan modal di tangan segelintir orang.

Sepeti apa yang dikatakan oleh Amartya Sen (1999), dalam melihat pembangunan sebagai suatu proses, harus mampu membuka seluas mungkin kemerdekaan bagi semua orang. Kemerdekaan harus dipandang sebagai tujuan utama sekaligus juga sebagai cara terpenting. Kemerdekaan di sini, harus mencakup pula kemampuan untuk mencegah terjadinya pengurangan hak dasar.

Ketika pandangan orang Barat tentang kebebasan individu menjadi sangat penting, ternyata Asia telah menerapkan hal tersebut, bahkan melampaui negara Barat, seperti Jepang, Korea Selatan, Taiwan, India (negara bagian Kerala)1. Banyak negara di barat yang lebih mengutamakan pencapaian pembangunan, tetapi mengabaikan keadilan, sehingga mengakibatkan terabaikannya hak-hak dasar masyarakat, walaupun memperoleh laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

Dari penjelasan contoh tersebut, setidaknya dapat membuka wawasan kita bahwa Asia memiliki nilai-nilai yang tidak kalah bahkan jauh lebih unggul dari nilai yang dianut kalangan barat. Walaupun terdapat kesamaan nilai seperti pentingnya kebebasan, persamaan hak, keadilan, namun dalam proses pelaksanaan dan pencapaiannya sangatlah berbeda. Ada hal-hal yang bisa dikembangkan dari nilai-nilai Asia. Inilah hal yang dapat dijadikan aset bangsa Asia dalam berkompetisi dengan negara lain khususnya Barat yang dianggap lebih unggul dan superior dalam era globalisasi saat ini. Karena saat ini dituntut sebuah persamaan dalam kompetisi di era global. Tidak ada lagi pembedaan atau stereotyipe antara Barat dan Timur (Asia), semua memiliki kedudukan yang sama dalam mengambil peran.


1 Argumen ini dijelaskan oleh Amartya Sen dalam bukunya Development as Freedom, Oxford University Press, Oxford: 1999.

Dia membandingkan proses pembangunan dan pencapaiannya di beberapa Negara seperti Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Cina, Gabon, Sri Lanka, Brazil, Nagara Bagian Kerala, Namibia, Afrika Selatan, seta beberapa segara Eropa.

Rabu, 09 Januari 2008

Ruang Publik Sebagai Sarana Komunikasi Politik terhadap Sistem Politik dalam Demokratisasi

Ruang Publik Sebagai Sarana Komunikasi Politik terhadap Sistem Politik dalam Demokratisasi

oleh: Bambang wibiono

Reformasi telah membuka jalan bagi kebebasan berpendapat di muka umum. Sejak masa orde baru kebebasan berbicara kita telah dipenjara. Bangsa kita sedang memasuki tahapan sejarah yang sangat penting dengan melangsungkan pemilihan presiden secara langsung. Namun, ini baru awal. Sangatlah dini mengklaim sukses pemilu sebagai sukses demokratisasi. Yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa negara ini dalam masa demokratisasi bukan demokrasi. Artinya kita sedang dalam prsoses dan ini akan terus berjalan sampai pada waktu yang tidak ditentukan.

Hampir satu dekade usia gerakan reformasi yang dirasa cukup memeberikan gambaran. Ada yang beranggapan bahwa transisi demokrasi memang sedang berlangsung. Pandangan ini mengacu pada adanya kebebasan politik dan partisipasi politik yang sudah dirasakan oleh semua komunitas. Namun ada juga yang beranggapan bahwa demokrasi di Indonesia belum tentu terkonsolidasi. Jika tidak terkonsolidasi, demokrasi itu ibarat tamu yang datang yang dapat dipastikan akan pergi kembali (J.A, Denny, 2006). Dan akhiranya kita akan kembali pada nostalgia otoritarian.

Demokrasi dan sistem politik

Pemahaman demokrasi di negara-negara yang sedang melangsungkan transisi dari otoritarianisme menuju demokrasi seperti negara kita bersifat minimal. Demokrasi dimengerti sebagai pemilihan umum yang berlangsung fair. Demokrasi minimalis ini mengabaikan proses di antara pemilihan umum yang satu dan pemilihan umum yang lain. Namun, jika bertolak dari konsep demokrasi itu sendiri, kita tak dapat berhenti pada sikap minimalis.
Dalam literatur ilmu politik dikenal dua macam pemahaman tentang demokrasi yaitu demokrasi secara normatif dan secara empirik (Gaffar, 1999). Secara normatif dapat diartikan sebagai suatu tujuan yang hendak dilakukan oleh negara yang biasanya dituangkan dalam konstitusi. Sedangkan demokrasi dalam artian secara empirik atau dikenal dengan istilah procedural democracy, yaitu demokrasi dalam wujudnya yang nyata di kehidupan politik praktis. Namun yang diperlukan untuk mencapai demokrasi adalah apakah suatu sistem politik, pemerintah memeberikan ruang gerak yang cukup bagi warga masyarakat untuk melakukan partisipasi politik.
Dalam kajian demokrasi, hampir semua teoritisi atau ilmuwan sepakat bahwa dalam demokrasi yang berkuasa atau yang berdaulat adalah rakyat (demos). Oleh karena itu selalu ditekankan peran masyarakat dalam proses politik yang berjalan. Atau setidaknya jika merujuk pada teori sistem politik dari David Easton, perlu adanya peran nyata dari masyarakat dalam agenda seting, dan tahap pengambilan keputusan. Demokrasi juga bisa diartikan sebagai pemerintahan dari mereka yang diperintah (Budi Hardiman, 2006). Dari konsep ini memberi pengertian bahwa menyerahkan kepercayaan begitu saja kepada para pelaku dalam sistem politik hasil pemilihan umum eksekutif, legislatif, dan yudikatif tidak akan memenuhi definisi itu. Mereka yang diperintah harus mendapatkan akses pengaruh ke dalam sistem politik. Jika demokrasi ingin maksimal, celah di antara dua pemilihan umum harus diisi dengan partisipasi politis warga negara dalam arti seluas-luasnya. Dalam demokrasi maksimal inilah konsep ruang publik menduduki tempat sentral.
Bila demokrasi tidak sekadar dipahami formalistis, ia harus memberikan kemungkinan kepada warga negara mengungkapkan opini mereka secara publik. Ruang atau, katakanlah, panggung tempat warga negara dapat menyatakan opini, kepentingan, serta kebutuhan mereka secara diskursif dan bebas tekanan itu merupakan inti ide ruang publik politis. Dalam teori-teori demokrasi klasik dikenal konsep volonte generale (kehendak umum), yaitu keputusan publik yang mencerminkan kepentingan seluruh rakyat. Konsep kuno yang berasal dari Jean-Jacques Rousseau ini tetap dianut dalam praktik-praktik parlementarisme modern meski konsep itu lahir dari masyarakat berukuran kecil yang relatif homogen. Dalam permasalahan agenda seting, yaitu memilih masalah apa yang akan dibahas menjadi sangat penting adanya keterlibatan masyarakat secara langsung. Dimana dalam sistem politik agar berjalan perlu adanya dukungan maupun tuntutan yang datangnya dari masyarakat.
Menurut teori sistem Easton, sistem tidak akan berjalan dengan baik bahkan bisa mengalami stagnan bila tak ada pemicu. Tuntutan maupun dukungan yang datang akan menjadi sebuah agenda seting dalam merumusakan sebuah kebijakan dalam sebuah konversi. Dari hasil konversi ini kelak akan diputuskan sebuah solusi dari permasalahan yang diajukan menjadi sebuah kebijakan yang berlaku bagi publik. Tanpa adanya peran serta rakyat secara nyata, mustahil kebijakan yang dikeluarkan akan dapat menyelesaikan persoalan. Bagaimana sebuah solusi akan bermanfaat jika pembuat solusi tidak mengetahi permasalahan dengan pasti.
Tetapi kita sebagai warga negara juga jangan terlalu menyalahkan pemerintah atas kebijakan yang dibuat. Kita jangan terlalu menuntut agar pemerintah mau mengerti atas persoalan yang kita hadapai. Tetapi kita juga perlu turut aktif berpartisipasi dalam sistem poltik. Dengan demikian permasalahan dan solusi akan dicarikan bersama, sehingga hasilnya kan lebih bermanfaat bagi semua tanpa ada yang dirugikan. Namun sebuah pertanyaan besar akan muncul dalam proses demokrasi ini, yaitu sejauh mana masyarakat turut aktif berpartisipasi?. Sejauh mana masyarakat sadar akan berpolitik ?. Karena dikhawatirkan ketika proses demokrasi sedang berjalan, masyarakat sebagai pelaku dan objeknya sendiri tak pernah memahami perannya. Hal ini dapat dimaklumi, sebab selam masa rejim orde baru, kita telah dibodohi dan tidak pernah diberikan sebuah pendidikan politik. Ketika msayarakat telah mengerti akan perannya dalam berdemokrasi, lalu sejauh mana masyarakat memanfaatkan ruang-ruang publik yang disediakan sebagai saluran komunikasi politiknya ?. Atau jangan-jangan ruang-ruang publik yang ada telah dikuasai oleh elit untuk memperkuat posisinya.

Apa itu ruang publik politis

Dalam masyarakat majemuk dewasa ini, suatu identifikasi “kedaulatan rakyat” dengan “perwakilan rakyat” dalam Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)/Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menjadi semakin sulit karena sistem politik “hanyalah” salah satu subsistem di antara subsistem lain di dalam sebuah masyarakat kompleks. Karena itu, konsep kedaulatan rakyat harus ditafsirkan secara baru. Jika parlemen hanyalah salah satu subsistem masyarakat kompleks, kedaulatan rakyat seharusnya dibayangkan melampaui sistem perwakilan itu, yang merupakan intensitas interaksi diskursif di antara berbagai subsistem di dalam masyarakat majemuk. Dengan kata lain, kedaulatan rakyat adalah “totalitas bentuk” dan “isi komunikasi” tentang persoalan-persoalan publik yang berlangsung, baik di dalam sistem politik (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) maupun di dalam masyarakat luas.
Dalam karya awalnya, Strukturwandel der Oeffentlichkeit (Perubahan Struktur Ruang Publik), Juergen Habermas menjelaskan ruang publik politis sebagai kondisi-kondisi komunikasi yang memungkinkan warga negara membentuk opini dan kehendak bersama secara diskursif (dalam Budi Hardiman, 2006).

Realitas pemanfaatan ruang publik oleh rakyat

Apakah dalam masa demokratisasi ini masyarakat kita telah mampu memanfaatkan ruang publik sebagai saluran komunikasi terhadap pemerintah ataupun sistem politik?. Kita dapat melihat aktivitas individu maupun kolektif yang ditujukan pada pemerintah. Saat ini masyarakat lebih berani dalam mengemukakan pendapat atau opini, saran, ataupun kritik terhadap pemerintah baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam ruang publik, semua partisipan dalam ruang publik politis memiliki peluang yang sama untuk mencapai suatu konsensus yang fair dan memperlakukan mitra komunikasinya sebagai pribadi otonom yang mampu bertanggung jawab dan bukanlah sebagai alat yang dipakai untuk tujuan-tujuan di luar itu semua. Dalam hal ini semua pelaku baik pemerintah maupun rakyat memiliki kedudukan yang sama. Semua berhak menggunakan ruang tersebut dalam berdemokrasi. Ini sesuai dengan konsep ruang publik itu sendiri yang membuka peluang bagi siapapun untuk berinteraksi. Konsep ini mengandung unsur pluralisme.
Selain itu dalam komunikasi politik, selain ketersedian ruang publik, perlu adanya payung hukum yang melindungi. Seperti yang diungkapkan oleh Denny J.A bahwa demokrasi yang terkonsolidasi mensyaratkan adanya aturan main. Semua yang terlibat harus sepakat bahwa prinsip demokrasi menjadi the only game in town yang harus dijunjung. Para pihak boleh berbeda pandangan, namun perbedaan iut harus diselesaikan dengan aturan main yang demokratis. Aturan tersebut untuk melindungi kedua belah pihak agar tidak terjadi represi/tekanan maupun diskriminasi.
Ringkasnya ruang publik harus bersifat inklusif, egaliter, dan bebas tekanan. Sehingga tercipta komunikasi yang wajar. Dalam demokrasi, ruang publik tidak harus ruang-ruang formal, tetapi juga bisa berupa ruang yang sifatnya informal. Setiap pendapat, kritik, atau apapun yang hendak disampaikan masyarakat bisa melalui media, ataupun secara langsung berdialog dengan yang dituju. Jika demikian, ruang publik politis harus dimengerti secara “normatif”: ruang itu berada tidak hanya di dalam forum resmi, melainkan di mana saja warga negara bertemu dan berkumpul mendiskusikan tema yang relevan untuk masyarakat secara bebas dari intervensi kekuatan-kekuatan di luar pertemuan itu. Kita menemukan ruang publik politis, misalnya, dalam gerakan protes, dalam aksi advokasi, dalam forum perjuangan hak-hak asasi manusia, dalam perbincangan politis interaktif di televisi atau radio, dalam percakapan keprihatinan di warung-warung, dan seterusnya.

Media massa memiliki peran dalam proses ini. Media berfungsi sebagai perantara atau penghubung antara elit dan masyarakat sipil. Dalam komunikasi politik dari elit kepada masyarakat sipil bisa berupa sosialisasi kebijakan, kampanye, maupun rekruitmen politik. Pemanfaatan ruang publik sangat diperlukan demi terciptanya demokratisasi. Masyarakat harus bisa memanfaatkan ruang-ruang yang ada untuk berpartisipasi di dalam sistem politik. Tetapi nyatanya khususnya masyarakat belum mampu memanfaatkan ruang publik yang ada untuk terlibat dalam sistem politik. Komunikasi yang sering terjadi adalah dari elit kepada masyarakat sipil.
Sesaat setelah memasuki era reformasi ini, terlihat adanya euforia politik. Masyarakat berani secara terang-terangan mengkritik pemerintah dengan cara mereka sendiri yang biasanya cenderung anarkis. Pemanfaatan ruang publik biasanya hanya ruang-ruang bebas seperti demonstrasi yang jarang melahirkan dialog-dialog dengan pemerintah. Ini salah satu penyebab tindakan anarki dalam demonstrasi. Masyarakat kelas bawah sangat jarang mengunakan forum-forum formal seperti diskusi publik dengan pemerintah, seminar, debat terbuka dan sejenisnya. Inisiatif-inisiatif ini biasanya datang dari kalangan akademisi, atau bahkan dari pihak pemerintah sendiri.Elit politik sebagai bagian dari pemerintah harus memiliki hubungan yang harmonis dan dinamis dengan kelompok massa, karena dengan terwujudnya hubungan yang harmonis dan dinamis maka komunikasi antara elite politik dengan khalayak (rakyat) dapat berjalan lancar sehingga kebijakan yang akan dikeluarkan oleh elite politik tidak akan merugikan rakyat.
Contoh kasus lain akan kurangnya pemanfaatan ruang publik untuk komunikasi politik adalah terjadinya peristiwa berdarah pada pemilu 1999 di Desa Dongos, Jepara (Sahidin, 2004). Ini terjadi karena kurangnya komunikasi antara elit partai yang berkompetisi dengan massanya. Akibat dari tidak adanya komunikasi massa antar pendukung/simpatisan kedua partai yang bertikai, maka tragedi politik berdarah itu bisa terjadi. Namun jika permasalahan tersebut dapat dibicarakan dengan memanfaatkan ruang publik yang ada, tentu peristiwa berdarah itu tak akan terjadi.
Pada masa orde baru, kegiatan-kegiatan diskusi publik yang diselenggarakan oleh stasiun televisi misalnya selalu mengandung muatan politik yang diistilahkan sebagai proyek mobilisasi politik (Saefulloh Fatah, 1998). Pada masa itu masalah partisipasi politik merupakan masalah krusial orde baru. Peranan negara terlampau besar dalam mengintervensi kehidupan sosial, politik, dan ekonomi. Peran pers oleh Omi Intan Naomi (1996), diistilahkan sebagai ‘anjing penjaga’ bagi orde baru atau pemerintah yang berkuasa saat itu. Sehingga tidak ada ruang publik yang tersedia bagi rakyat untuk aktif dalam sistem politik/pemerintahan dan akhirnya berdampak pada komunikasi satu arah yaitu dari pemerintah kepada rakyat.

Ruang publik dalam era globalisasi

Dalam era globalisasi pasar dan informasi dewasa ini, sulitlah membayangkan adanya forum atau panggung komunikasi politis yang bebas dari pengaruh pasar ataupun negara. Kebanyakan seminar, diskusi publik, demonstrasi, dan seterusnya didanai, difasilitasi, dan diformat oleh kekuatan finansial besar, entah kuasa bisnis, partai, atau organisasi internasional dan seterusnya. Hampir tak ada lagi lokus yang netral dari pengaruh ekonomi dan politik. Analisis Habermas, membayangkan masyarakat kompleks dewasa ini sebagai tiga komponen besar, yaitu sistem ekonomi pasar (kapitalisme), sistem birokrasi (negara), dan solidaritas sosial (masyarakat), lokus ruang publik politis terletak pada komponen solidaritas sosial. Dia harus dibayangkan sebagai suatu ruang otonom yang membedakan diri, baik dari pasar maupun dari negara.
Setidaknya dengan adanya era globalisasi dan demokratisasi, telah terbuka ruang-ruang umum yang bebas diakses oleh masyarakat umum. Dengan demikian seharusnya dengan terbukanya ruang publik tersebut, dapat dijadikan sarana untuk berkomunikasi untuk mendiskusikan atau menyelesaikan persoalan yang menyengkut hajat hidup orang banyak. Ruang-ruang tersebut seyogyanya dapat dimanfaatkan oleh seluruh elemen baik antar lembaga pemerintah maupun masyarakat sipil dan pemerintah. Kita harus bisa memanfaatkan peluang yang ada untuk mendukung demokratisasi dan kebaikan bersama.

Masyarakat sipil tidak hanya sebagai aktor atau pelaku, tetapi mereka juga merupakan penghasil ruang publik politis itu sendiri. J.Cohen dan A. Arato, memberikan ciri ruang publik politis yang dihasilkan oleh masyarakat sipil yaitu adanya pluralitas (seperti keluarga, kelompok nonformal, dan organisasi sukarela), publisitas (seperti media massa dan institusi budaya), privasi (seperti moral dan pengembangan diri), dan legalitas (struktur hukum dan hak-hak dasar). Itu artinya rakyat sipil bisa turut aktif dalam menciptakan ruang publik politis tersebut untuk menyuarakan opini, saran, maupun kritik terhadap sistem politik yang sedang berjalan.
Jangan sampai ruang publik tersebut dapat dikuasai oleh pihak-pihak tertentu demi kepentingan pribadi dan golongannya. Apalagi jika kembali dikuasai oleh rejim yang berkuasa, maka akan terjadi pengulangan sejarah orde baru. Karena ruang publik adalah milik bersama, maka siapapun berhak menggunakannya tanpa takut ada intervensi atau tekanan dari pihak manapun. Jangan sampai pula sepeti yang dikatakan oleh Denny J.A, demokratisasi yang sekarang sedang berlangsung hanya sekedar lewat karena tidak terkonsolidasikan.

***

Daftar Pustaka

Ali, Novel. 1999, Peradaban Komunikasi Politik: Potret Manusia Indonesia, PT Remaja Rosda Karya, Bandung.
Budi Hardiman, F. 2006, ”Ruang Publik Politis: Komunikasi Politis dalam Masyarakat Majemuk”, dalam http://duniaesai.com/komunikasi/kom1.htm, yang diakses tanggal 13 April 2007, bersumber dari Kompas Cyber Media.
Gaffar, Afan. 1999, Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Intan Naomi, Omi. 1996, Anjing-Anjing Penjaga Pers di Rumah Orde Baru, Gorong-Gorong Budaya, Jakarta.
J.A, Denny. 2006, Manuver Elit, Konflik, dan Konservatisme Politik, Penerbit LKIS, Yogyakarta.
Saefulloh Fatah, Eep. 1998, Catatan Atas Gagalnya Politik Orde Baru, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Sahidin. 2004, Kala Demokrasi Melahirkan Anarki: Potret Tragedi Politik di Dongos, Penerbit Logung Pustaka, Yogyakarta.
Suryadi, Budi. 2006, Kerangka Analisis Sistem Politik Indonesia, IRCiSoD, Yogyakarta.

Perdebatan RUU Paket Politik

Perdebatan RUU Peket Politik

Oleh: Bambang Wibiono*

Keluarnya draf revisi paket Undang-Undang Politik yang merupakan inisiatif pemerintah saat ini menuai kontrofersi. Dengan keluarnya UU Paket politik ini dirasa mengekanng proses demokrasi. Pemerintah terkesan takut akan hadirnya banyak Parpol. Dengan begitu RUU ini dibuat untuk mengkerucutkan jumlah Parpol yang ada dan mengekang lahirnya partai-partai baru. Pengerucutan itu terlihat dari peningkatan electoral thereshold dari 3% menjadi 5% perolehan suara dalam Pemilu 2009 untuk bisa ikut dalam Pemilu 2014.

Masalah yang lain adalah harus adanya deposit dana sebesar 5 miliar bagi pambentukan Parpol. Ini sangat tidak realistis bagi sebuah Partai baru terlebih bagi yang akan lahir. Apalagi sayarat untuk lolos Pemilu 2014 yang mengharuskan deposit dana 10 miliar. Dari mana dana sebesar itu bagi partai yang baru lahir. Mungkin pada dasarnya pemerintah bermaksud untuk menekan angka kecurangan dalam proses Pemilu maupun untuk menekan angka korupsi di kalangan pemerintahan. Baik legislatif, maupun eksekutif. Dana sebesar itu diperuntukkan dalam proses Pemilu. Sehingga kelak ketika calon dari Parpol tersebut terpilih tidak melakukan tindak korupsi dengan alasan untuk menutupi biaya yang dikeluarkan Parpol maupun pribadi selama kampanye.

Jika alasan semua ini dimaksudkan untuk menstabilkan jalannya roda pemerintahan yang selama ini dirasa kurang mendukung terciptanya pemerintahan yang stabil hal itu bisa dibenarkan. Dengan hadirnya banyak partai, kinerja pemerintah seolah terhambat karena begitu banyaknya friksi dalam tubuh pemerintah sendiri. Sehingga itu berdampak pemerintah tidak dapat mengambil kebijakan dengan cepat terkait dengan masalah yang sedang terjadi dan yang sangat membutuhkan penanganan dengan cepat.

Begitu banyaknya pertarungan kepentingan dalam pemerintahan merupakan masalah yang sebenarnya sudah pernah dialami negara ini pada masa demokrasi terpimpin. Dewan konstituante gagal dalam menyusun UUD yang baru karena banyak kontroversi dan tarik ulur kepentingan sehingga Presiden terpaksa membubarkan konstituante. Jika keadaannya demikian maka sistem kepartaian kita berubah dari sistem multi partai menjadi sistem multi partai terbatas seperti yang dikemukakan oleh Syamsudin Haris seorang pakar politk LIPI. Tetapi kemudian pertanyaan yang muncul apakah pemerintah mampu menjalankan pemerintahan dengan baik dengan adanya sistem kepartaian yang multi partai terbatas. Atau ini hanya siasat dari eksekutif untuk menguatkan wewenangnya seperti yang pernah dilakukan pada awal pemerintahan orde baru. Jika yang terakhir yang dimaksud, maka sudah seharusnya kita menolaknya. Namun semuanya itu akan kambali pada komitmen kita bersama untuk membangun negara Indonesia ini. Jika komitmen kita sungguh-sungguh, maka tak ada bedanya antara sistem multi partai maupun multi partai terbatas.

Syarat Pendidikan

Masalah persyaratan capres dan cawapres harus berijasah S-1, itu sangat baik untuk meningkatkan kapabilitas pemimpin negeri ini bila perlu jangan hanya pada capres atau cawapres saja tetapi juga bila perlu bagi anggota dewan dan juga kepala daerah. Tetapi permasalahan yang selama ini terjadi adalah manipulasi. Berapa banyak kasus ijasah palsu di kalangan anggota dewan dan kepala daerah. Jika hal ini yang akan terus terjadi, apalah artinya syarat gelar tersebut. Banyak orang yang tanpa mengenyam bangku kuliah atau tak bergelar sarjana lebih layak dan lebih mampu dibandingkan orang yang bergelar sarjana tapi asal lulus dan dapat ijasah. Apakah dengan pendidikan sarjana dengan ditunjukkan dengan ijasah itu sudah memenuhi standar kualitas ?. Sebab saat ini gelar dan ijasah sangat mudah didapat bahkan dari Perguruan Tinggi Negeri. Masalah ini perlu dipikirkan dan dipertimbangkan kembali.Sebagai orang yang cinta pada negeri ini sebaiknya kita tumbuhkan komitmen disertai tindakan konkrit kita untuk benar-benar ingin membangun negara. Sebab dengan dasar komitmen ini segala persoalan akan mudah diselesaikan. Semoga saja.